Jumat, 11 November 2011

KE MINA MEMBAWA EMBER

8 Dzulhijah, suasana Mekkah sangat riuh sejak dini hari. Semua orang sepertinya tumpah ruah ke jalan raya, mondar-mandir dengan urusan masing-masing. Supermarket buka 24 jam. Apa pun yang dijual diserbu pembeli. Rak-rak berpendingin yang biasanya disesaki buah dan sayur tampak kosong melompong. Bus-bus ukuran besar dan kecil yang terparkir di depan hotel mulai dimuati berbagai barang. Barang bawaan jamaah dari Afrika sepertinya paling meriah, segala karpet hingga dandang berukuran besar-besar ditumpuk di atap bus. Beberapa penumpang yang tidak kebagian tempat di dalam bus, asyik saja nongkrong di atap, sekalipun hanya mengenakan dua lembar kain ihram. Persis pemandangan KRL Jabodetabek di pagi hari. Suara klakson bersahutan di jalan raya. Meriah sekali!

Ya, semua sedang bersiap untuk puncak ritual haji, perjalanan ke Arafah-Muzdalifah-Mina (Armina). Tidak semua negara mengurus warganya, seperti yang terjadi pada jamaah dari Afrika, akibatnya. mereka harus membawa banyak barang untuk keperluan selama 5 hari itu. Ini berbeda dengan jamaah dari Asia Tenggara termasuk Indonesia yang mendapat pelayanan dari Muasasah Asia Tenggara yang menjadi bagian dari ONH yang dibayarkan. Selama berada di Armina, jamaah Indonesia mendapat katering 3 kali sehari, plus makanan ringan yang banyak dikirim atas nama fii sabilillah. Singkatnya jamaah tinggal membawa tas kecil berisi keperluan selama 5 hari itu, selebihnya konsentrasi ibadah saja.

Meski demikian ada juga satu-dua jamaah yang ngeyel membawa barang-barang pribadi yang sebetulnya merepotkan. Seperti salah satu jamaah dari rombongan saya. Sejak semua diminta untuk bersiap di loby, saya lihat ibu ini repot menenteng ember kesana-kemari. Tadinya saya pikir, dia belum selesai dengan keperluannya, mungkin masih mau mengangkat jemuran atau ke kamar mandi yang membutuhkan ember. Sampai semua bersiap, embernya tetap dipegang erat. Rupanya tidak hanya saya yang memerhatikan, salah seorang pemandu juga melihatnya, "Ibu, untuk apa membawa ember?" tanyanya. Dengan polos ia menjawab, "Saya perlu, Pak, saya tidak bisa mandi memakai shower, saya harus gebyar-gebyur," jawabnya polos sambil memeragakan orang mandi memakai gayung. Oalah, si pemandu hanya bisa tersenyum, "Ya sudah, yang penting tidak merepotkan, ibu," lanjutnya. "Enggak, Pak, enggak, repot," jawabnya buru-buru seakan takut kalau diminta meninggalkan embernya!

Uttiek Herlambang

Rabu, 09 November 2011

DI TEROWONGAN AL-MUAISIM PARA SYUHADA MENANTI

Tenda-tenda di Mina semua berwarna putih dan bentuknya pun sama persis. Jutaan orang yang berdatangan malam itu, semua masih berpakaian ihram. Rata-rata wajahnya ngantuk dan lelah. Mobilitas dari Arafah ke Muzdalifah lalu ke Mina memang tidak mengenal jam tidur. 5 Juta orang terus bergerak untuk mencapai tiga tempat itu di waktu yang telah ditentukan.Setelah meletakkan barang bawaan dan menyiapkan kerikil yang diambil dari Muzdalifah, rombongan diminta berkumpul di depan tenda untuk bersiap melaksanakan jumrah pertama; Aqabah. Udara gurun dingin menggigit di puncak musim dingin. Berbeda dengan pakaian ihram pria yang hanya terdiri dari dua lapis kain putih, pakaian ihram wanita harus menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Sangat menolong di musim dingin seperti ini. Alhamdulillah. Saya tarik resleting jaket sampai ke atas untuk menghalau angin dingin, padahal saya sudah memakai tiga lapis pakaian di dalam jaket, masih ditambah syal dan kupluk rajut yang biasa dipakai ke Bromo. Subhanallah, angin gurun di puncak musim dingin!

Langkah saya terhenti, mulut yang semula melafalkan talbiyah seperti tercekat di tenggorokan. Kulit terasa merinding, bukan karena udara dingin. Saya berdiri tepat di depan terowongan Al-Muaisim yang terkenal dengan kejadian terowongan Mina. Hari itu, Jumat, 9 Juli 1990, 1.600 jamaah, 560 di antaranya dari Indonesia, syahid akibat gencet-gencetan saat akan melempar jumrah. Ya Allah tempatkan para syuhada itu di syurgamu yang indah. Rasanya di terowongan Al-Muaisim itu para syuhada menanti. Belum selesai keharuan itu, dari arah berlawanan (sekarang terowongan Al- Muaisim sudah dibagi menjadi 2 jalur untuk mengantisipasi tragedi tersebut berulang. Lepas dari mulut terowongan, masih ada pagar setinggi 2 m berjarak lebih dari 100 m untuk memecah arus supaya tidak berkerumun di mulut terowongan) saya melihat pemandangan yang sungguh sangat menakjubkan. Berjuta orang memakai pakaian serbaputih berjalan searah sambil bertalbiah, bertakbir, tahmid, tahlil, memuji Allah. Orang-orang itu bagai semut yang terus-menerus keluar dari mulut terowongan tanpa berhenti. Saya belum pernah melihat manusia sebanyak itu. Subhanallah.

Di dalam terowongan, semua harus bergerak, polisi dan tentara memantau jamaah supaya tidak ada yang berhenti berjalan. Satu orang saja berhenti bisa menyebabkan arus tersendat dan bahaya desak-desakan akan terjadi. Kalau ada yang kelelahan atau terlihat sakit, dengan sigap petugas medis akan memandunya keluar dari terowongan. Exhaust fan segede-gede parabola di tempatkan di langit-langit terowongan, supaya udara terus berputar di situ, saking besarnya exhaust, botol-botol plastik bekas air mineral dan sampah ringan lainnya berterbangan ke atas. Di dalam terowongan, di antara ribuan orang, suara saya semakin lirih...Allahu Akbarwa li Allahi al hamd...Sepulang dari haji, tiap kali mendengar suara takbir di malam takbiran, yang teringat selalu momen di dalam terowongan Al-Muaisim pagi itu.

Rombongan mengambil posisi di lantai 3 untuk melempar jumrah (di tahun 2006-2007 jamarat baru terdiri dari 3 lantai). Seperti yang diajarkan waktu manasik, jangan terburu-buru melempar, kita harus berjalan sampai bisa memegang tembok pembatas, baru melempar. Perlahan-lahan posisi saya makin dekat, setelah berhasil memegang tembok, Bismillahi Allahu akbar...satu kerikil saya lempar, Ya Allah hilangkanlah setan dalam hati saya. Bismillahi Allahu akbar...satu lagi saya lempar, Ya Allah hilangkanlah segala keraguan dan was-was karena godaan yang selalu dihembus-hembuskan setan ke dalam hati saya. Bismillahi Allahu akbar...sampai ketujuh kerikil selesai saya lempar. Sungguh, saya rasakan, jumrah tidak sekadar melempar, sebab godaan terbesar justru dari dalam hati. Setelah semua selesai melempar, rombongan bergerak agak menepi dan Ustadz memimpin berdoa, belum selesai, polisi sudah menghalau kami untuk terus bergerak dan tidak boleh berhenti di area jamarat. Saat berjalan turun, saya melihat nenek-nenek dari Turki (terlihat dari seragamnya), yang berjalan terbungkuk-bungkuk memegang tongkat meninggalkan tempat jamarat, "Ya Allah, mudahkanlah dia."

Di ujung terowongan, langit mulai berwarna jingga, tanda Subuh sebentar lagi menjelang. Tiba-tiba terlintas prasasti yang bertuliskan nama para suhada di loby RS Haji Jakarta, tempat saya sering berobat. Sekali lagi saya menoleh ke belakang...Ya Allah, seandainya saja saya menjadi salah satu dari para syuhada itu...setetes air hangat jatuh di telapak tangan saya yang dingin.

Uttiek Herlambang

Jumat, 04 November 2011

KETIKA LANGIT TERBUKA, KETIKA DOA IJABAH

9 Dzulhijah adalah momen yang paling penting bagi jamaah haji, di hari itu semua harus melaksanakan wuquf di Arafah. Tidak syah haji seseorang kalau ritual itu terlewat. Bahkan mereka yang sakit keras pun akan dibawa dengan ambulans untuk disafari wuqufkan. Umumnya jamaah haji dari Indonesia tidak melaksanakan Tarwiyah, yakni perjalanan ke Mina terlebih dahulu sebelum ke Arafah. Begitu juga dengan rombongan saya, semua langsung menuju Arafah.

Sejak sore 8 Dzulhijah saya sudah berada di Arafah. Jauh-jauh hari sebelum berangkat haji ada keinginan kuat untuk mengkhatamkan Al-qur'an di tiga tempat yaitu di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan saat wuquf di Arafah. Karenanya begitu sampai saya langsung konsentrasi untuk meneruskan bacaan yang baru sampai juz 15. Sempat terbersit pikiran, apa bisa selesai 15 juz dalam semalam? Ah, Bismillah saja. Surat Al Isra yang mengawali juz 15 sangat berarti buat saya karena setahun sebelumnya, saat sholat Tarawih di Masjid Agung Al-azhar, sang imam membaca surat ini dengan suara yang sangat syahdu. Saya sampai menitikkan air mata, dan tiba-tiba saja muncul pinta untuk dimudahkan menjalankan ibadah haji. Mungkin karena arti ayat pertama surat itu: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjid Al-aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya... dan Alhamdulillah, Allah kabulkan pinta saya.

Perlahan saya mulai hanyut dalam bacaan dan tidak lagi ingat sedang berada di mana, yang terasa hanya kesejukan luar biasa dalam hati. Belum pernah saya membaca Al-qur'an senikmat malam itu. Hari semakin gelap, malam mulai larut, jamaah mulai tertidur. Tiba-tiba saya mendengar suara, "Ojo turu sik, iki isih akeh!" -jangan tidur dulu, ini masih banyak- Sekilas saya melirik, ternyata ada seorang jamaah yang sedang menegur orangtuanya yang sudah sepuh karena mengantuk saat dibimbing mengaji. Beberapa kali saya mendengar teguran itu. Wah, konsentrasi saya mulai terganggu, apalagi kepala si nenek itu terayun ke kanan-kiri menahan kantuk. Saya tersenyum melihatnya. Ruapanya si nenek melihat, lalu bertanya dalam Bahasa jawa halus, "Menopo mboten sayah, Mbak?" -Apa tidak mengantuk, Mbak?- Saya hanya tersenyum. Kenapa saya tidak mengantuk ya? tanya saya dalam hati. Ah, mungkin sebentar lagi juga mengantuk, batin saya. Kembali saya melanjutkan menderas Al-qur'an.

Tidak terasa mulai terdengar suara gaduh, rupanya orang-orang terbangun untuk sholat Tahajud. Wah, sudah hampir pagi. Alhamdulillah, saya lihat bagian Al-qur'an sebelah kiri yang terbuka semakin tipis, berarti sedikit lagi. Saya tutup Qur'an untuk sholat Tahajud. Saat sholat Witir kembali saya memohon, mudahkanlah untuk mengkhatamkannya ya Allah. Sekali lagi Allah kabulkan pinta saya, selesai mendengarkan khutbah wuquf, saya bisa menkhatamkannya. Saya teringat semalam tidak tidur, namun tidak merasa ngantuk. Sungguh, Allah terasa sangat dekat di Arafah.

Saya berkesempatan melaksanakan haji akbar, yakni jatuhnya wuquf di hari Jum'at, seperti halnya haji Wada' yang dilaksanakan Rasulullah SAW. Usai sholat Dzuhur dijama' qasar dengan Ashar, pembimbing haji mulai menyampaikan khutbah wuqufnya. Tempat saya duduk agak jauh sehingga suara khutbah tidak terdengar jelas. Wuquf secara bahasa artinya berdiam, dan itu pula yang saya lakukan. Saya hanya diam terpekur, namun tiba-tiba entah apa sebabnya satu persatu air mata saya menetes. Makin lama makin banyak. Sampai akhirnya saya menangis sesenggukan. Hari itu, sungguh, Allah bukakan langit untuk mereka yang  sedang berwuquf. Semua pertobatan diterima, segala pinta diijabah. Saya berada dalam penyesalan yang sangat mendalam atas dosa-dosa yang pernah saya lakukan. Semua seperti video yang tiba-tiba saja muncul di depan mata. Astaghfirullah...

Dalam pikiran tiba-tiba saya melihat kelebatan Papi, secara khusus saya memohonkan ampun atas dosa-dosanya, semoga dimudahkan baginya untuk sampai ke surga. Lalu saya berdoa untuk Mama dan adik-adik saya. Doa untuk diri saya sendiri sepertinya tercekat di tenggorokan karena rasa malu yang luar biasa atas dosa-dosa yang pernah saya lakukan. Saya hanya bisa beristighfar berulang-ulang. Akhirnya saya hanya mengucapkan, "Ya Allah berikan yang terbaik untuk saya menurutMu dan mudahkalnlah saya untuk menjalaninya." Sebelum menutup doa, saya teringat sesuatu, lalu buru-buru menambahkan, "Ya Allah, izinkan saya untuk kembali dan kembali lagi ke rumahMu." Alhamdullah, Allah kabulkan semuanya. Saya merasa bersyukur waktu itu tidak menyebut satu-dua pinta melainkan meminta yang terbaik menurutNya. Benar saja, Allah selalu memberikan yang terbaik untuk saya, melebihi yang saya pinta.

Laailaaha illallah wahdahuu laa syariikalah lahulmulk wa lahulhamd wa huwa 'ala kulli syaiin qadiir...

Uttiek Herlambang

Kamis, 03 November 2011

REZEKI YANG PENUH KEBERKAHAN

Di antara semua teman haji ada pasangan suami-istri yang sangat berkesan buat saya. Kami memanggilnya Pak-Bu Yadi. Sang suami adalah dosen agama di beberapa perguruan tinggi di Solo sedang istrinya guru SD Negeri. Dari awal pasangan ini selalu terlihat rukun, adem ayem, membuat siapa saja yang berada di dekatnya merasa nyaman. Awalnya saya menduga karena mereka sama-sama orang Jawa. Dalam tatanan Budaya Jawa harmoni seperti itu  lumrah, sekalipun kita tidak pernah tahu apa yang ada di dalamnya. Pokoknya tampak di permukaan tak ada gejolak.

Penerbangan panjang menuju kota suci, menyeberangi Samudera Hindia, membuat semua orang kelelahan, dari situ mulai kelihatan karakter masing-masing. Bukankah ada pameo, kalau ingin mengenal watak seseorang, nilailah saat dalam perjalanan. Setelah satu-dua hari bersama, yang aslinya nyebelin, mulai terlihat nyebelinnya, yang aslinya jutek mulai terlihat juteknya, yang aslinya dermawan selalu bermurah hati kapan saja dimana saja. Dan sejauh yang saya lihat, pasangan Pak-Bu Yadi ini tetap adem-ayem saja. Keduanya selalu berbicara dengan intonasi datar, suara pelan, tidak ada lonjakan emosi yang berarti. Berhari-hari bersama, ternyata tidak ada yang berubah. Saya mulai kagum. Mempertahankan emosi supaya selalu stabil dalam kondisi yang terus bergerak dan di antara begitu banyak orang, tidaklah mudah. Banyak teman seperjalanan yang mulai ribut dengan pasangannya atau orang lain.

Dari obrolan-obrolan ringan saat makan, dalam perjalanan menuju masjid atau menunggu adzan, saya baru tahu kalau Pak Yadi sudah pernah pergi haji sendiri beberapa tahun sebelumnya. Tahun 2006-2007 itu selain memuhrimi istrinya, ia juga menghajikan salah satu orangtuanya yang sudah meninggal namun belum berkesempatan pergi haji. Ia bercerita bertahun-tahun mereka menabung untuk bisa berangkat haji. Menurutnya, kalau hitungan matematika memang sulit, tapi rezeki yang berkah akan membuat semuanya menjadi mudah. Pasti cukup karena Allah Maha Kaya. Sangat kaya. Saya jadi semakin penasaran. Apa yang membuat rezeki mereka mendapat keberkahan luar biasa dari Allah?

Rupanya Allah memberikan jawabannya lewat kejadian di Madinah. Selesai Sholat Dzuhur, sang istri pulang dulu ke hotel bersama ibu-ibu, sampai di hotel ternyata suaminya belum datang. Ia langsung tahu kalau suaminya pasti menunggu di Bab Annisa (di Masjid Nabawi, ruang sholat pria dan wanita terpisah, biasanya orang-orang saling menunggu di Bab Annisa). Kalau mau menyusul, khawatir malah telisipan jalan, sedang hp sang suami ternyata tidak dibawa. Lama menunggu, saya perhatikan Bu Yadi mulai gelisah, sesekali saya membaca gerak mulutnya beristighfar. Dengan sedikit heran, saya bertanya, apa yang membuatnya khawatir? toh suaminya InsyaAllah tidak akan tersesat karena lokasi hotel betul-betul tepat di depan pagar masjid. "Bukan takut Bapak tersesat Mbak, tapi saya takut pada Allah," jawabnya. Meski tidak jelas dengan maksudnya, saya hanya diam mengangguk. Tak lama mendengar suara salam suaminya, ia langsung berlari keluar kamar, saya lihat air matanya menetes saat bersalaman sambil mencium tangan suaminya. Sang suami bukannya marah, karena kesal sudah menunggu lama, tapi hanya tersenyum sambil mengatakan, "Alhamdulillah, kalau sudah di hotel."

Meski saya hanya melihat dari dalam kamar, tapi pemandangan itu membuat saya tertegun. Sang istri dengan ikhlas langsung minta maaf dan suaminya pun langsung memaafkan. Tidak perlu mencari siapa yang salah. Bagaimana tadi janjiannya? Siapa yang melanggar kesepakatan? Mengapa pulang dulu ke hotel? Mereka berdua lebih takut pada Allah, karena terikat perjanjian untuk saling memuhrimi selama di tanah suci. Mungkin ini yang mereka maksud dengan rezeki barokah. Membuat cahaya Allah lebih mudah sampai ke hati dan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Salah atau benar memakai aturan Allah, bukan ukuran manusia.  Sakinah, ma wadah, wa rahmah, diperlihatkan Allah langsung di depan mata saya..
Saya mendengar kalau tahun ini Pak Yadi kembali mendapat kesempatan ke tanah suci sebagai pembimbing haji. Subhanallah, betul-betul rezeki yang penuh keberkahan....

Uttiek Herlambang

Rabu, 02 November 2011

VIDEO KEHIDUPAN DI MUZDALIFAH

Tiap kali musim haji tiba, kerinduan untuk berada kembali di rumah Allah seakan tak terbendung. Membaca berita, berbagi cerita, melihat foto/video rasanya tak pernah cukup menjawab kerinduan itu. Saya pergi haji tahun 2006-2007, saat puncak musim dingin. Rombongan haji tahun itu dikenal dengan peristiwa kisruhnya katering sehingga menyebabkan jamaah haji Indonesia banyak yang kelaparan selama prosesi Arafah-Muzdalifah, Mina. Saya sebetulnya tidak sependapat dengan istilah kelaparan itu, kalau lapar iya, tapi tidak sampai kelaparan, ah. Saya ingat, waktu kita menahan dingin di Muzdalifah, seorang jamaah dari Jakarta ada yang berlari-lari kecil di sekitar saya sambil berteriak, "Enggak dingin...enggak laper...enggak dingin...enggak laper." Atraksi itu mengundang senyum orang-orang yang kebetulan melihatnya.

Tapi peristiwa yang membuat saya merinding adalah ketika melihat seorang laki-laki yang mengais-ngais tumpukan kertas/kardus bekas yang sudah dibuang orang, ia seperti mencari sesuatu yang tertinggal di tempat itu. Sampai akhirnya ia menemukan sepotong buah pisang. Mukanya kelihatan berseri saat menemukan apa yang dicarinya. Dari tempat saya duduk, saya tertegun. Subhanallah, Allah membukakan mata saya, bahwa manusia adalah mahluk hina, hanya Allah yang mulia. Bapak itu mungkin di kampungnya adalah orang terhormat (setidaknya ia mempunyai cukup biaya untuk membayar ONH), tapi di Muzdalifah, di tempat yang mulia ini, ia harus "mengais" sampah sekadar untuk mengganjal perutnya.

Di Muzdalifah kita harus bermalam, atau setidaknya baru bergerak menuju tempat berikutnya, yaitu Mina setelah lewat tengah malam. Karena dingin dan lelah, saya tertidur. Antara sadar dan tidak, saya seperti mendengar orang menjerit-jerit di dekat saya. Akhirnya saya terbangun dan mencari sumber keributan itu. Ternyata sepasang suami istri sedang bertengkar hebat sampai berteriak-teriak. Orang-orang di sekitarnya berusaha menyadarkan mereka dengan berkata, "Haji...haji...istighfar." Tapi pasangan itu terus saja berteriak-teriak histeris. Sekali lagi saya seperti melihat video kehidupan. Mungkin dua orang itu mengalami disorientasi, kelelahan, rasa lapar, dingin, sampai-sampai tidak sadar saling meneriaki pasangan dan disaksikan puluhan orang. Tapi buat saya itu pelajaran; bagaimana pun aib rumah tangga harus ditutup rapat, jangan sampai orang luar melihat/mendengar seperti yang terjadi pada pasangan suami-istri itu. Dan itu hanya bisa dilakukan kalau kita terus-menerus mengingat Allah dengan Istighfar. Astaghfirullahaladzim....

“JUMRAH” RIYAL, “TAWAF” DI HILTON

Perjalanan haji adalah perjalanan spiritual yang dimaknai berbeda-beda oleh tiap manusia. Ada yang datang semata-mata karena Allah, ada yang datang karena tuntutan sosial, ada juga yang datang sekadar mencari alternatif tempat belanja. Jamaah Indonesia terkenal sangat doyan belanja dan royal. Apa pun dibeli, berapa pun harganya dibayar. Tak mengherankan memang, sebagai negara agraris, tak banyak penduduk Indonesia yang berkesempatan melancong ke berbagai negara. Bisa jadi ini adalah perjalanan ke luar negeri pertama sekaligus sekali-sekalinya. Belum lagi rata-rata orang Indonesia sudah menabung lama untuk persiapan perjalanan ini, jadi hampir semua membawa pundi-pundi uang yang cukup. Apalagi tak afdol rasanya kalau sanak saudara bahkan orang sekampung yang ikut mengantar ke Asrama Haji tidak kebagian oleh-oleh.
          Saking pentingnya aktivitas belanja ini, sampai muncul anekdot, “jumrah” riyal dan “tawaf” di Hilton. Pedagang di sini rata-rata bisa mengucapkan satu-dua kata dalam Bahasa Indonesia, seperti “murah”, “bagus”, “belanja” dan sebagainya. Bahkan seorang pedagang kain di dekat Hotel Mercure, Makkah, selalu menawarkan dagangannya dengan intonasi suara khas tiap bubaran waktu sholat. “Liyat-liiyat dolo, liat-liiyat dolo, liyat-liiyat dolo…” Tak hanya jam tangan seharga 5 riyal atau boneka unta yang bisa bernyanyi yang laris diserbu jamaah, tas, kaca mata seharga ratusan riyal bahkan jam tangan ribuan riyal pun banyak diminati. Jamaah Indonesia dengan mudah terlihat di semua tempat belanja, dari Pasar Seng hingga Hilton.
          Melihat peluang ini, tak heran banyak perusahaan kargo yang menawarkan jasa pengiriman barang ke Indonesia. Mobil-mobil boks yang dilengkapi dengan timbangan besar tiap hari terparkir di depan maktab/hotel yang diisi Jamaah Indonesia. “Empat sampai sepuluh hari pasti sampai, Bu, dijamin. Harga per kilonya pun lebih murah dari kargo lain,” adalah kata-kata seragam yang diucapkan para pegawai meski perusahaan kargonya berbeda-beda. Pasti banyak peminatnya, buktinya usaha musiman ini selalu ada tiap tahun.
          Di suatu siang yang dingin, seorang wanita terlihat melintas di depan Masjidil Haram diikuti porter yang memakai seragam Departemen Store terkemuka sambil menjinjing barang belanjaan yang sangat banyak. “Lihat orang itu belanja kok sampai segitu banyak. Mau ibadah atau shopping sih?” bisik seorang wanita sambil melirik jam tangan seharga seribu lima ratus riyal yang baru dibelinya. “Iya, dasar orang Indonesia,” balas temannya tanpa menghentikan kegiatannya mengelus-elus cincin berlian yang dibelinya kemarin.
Uttiek Herlambang

TEH SUSU TANPA GULA

Dengan cekatan anak kecil berkulit putih itu menuang susu ke dalam gelas kertas, menambahkan sedikit air panas dari dispenser, lalu mencelupkan satu kantong teh Lipton. “No sugar?” tanyanya memastikan. “No sugar.” “3 riyal,” imbuhnya sambil mengangkat 3 jari tangannya. Lho? Kok lebih mahal, di Makkah kemarin harganya hanya 2 riyal, bahkan di Madinah nanti harganya hanya 1 riyal segelas.  
Ya sudahlah, kehidupan di Mina hanya berlangsung tak lebih dari 3 hari dalam setahun. Jadi sah-sah saja kalau semua barang harganya sedikit lebih mahal. Atau jangan-jangan pedagang di sana juga mendengar berita kalau Jamaah Indonesia tidak menerima katering makanan sebagaimana seharusnya, jadi berapa pun makanan/minuman dijual, pasti ada yang beli.
Teh susu tanpa gula adalah minuman yang paling pas diminum di musim dingin seperti ini. Rasanya seperti menyeruput bandrek di Puncak. Merk susu dan teh yang digunakan semua sama, padahal di supermarket beragam merk susu dan teh tersedia. Tapi kenapa semua pedagang menggunakan merk ini? Jangan-jangan komposisi keduanya memang dirasa paling pas. Beberapa orang dengan kreatif mencelupkan roti atau donat ke dalam teh susu yang ternyata rasanya sangat sedap.
Mereka yang menyukai rasa manis, tentu tidak akan order tanpa gula. Tapi sekadar informasi, orang Arab sangat menyukai rasa manis. Mereka membubuhkan gula dalam porsi generous pada semua makanan/minuman manis. Standar rasa manis mereka mungkin disetarakan dengan kurma.  Alhasil, teh susu dengan gula rasanya jadi manis sekali. Giung, kata orang Sunda. Minuman ini cocok untuk mendampingi semua jenis makanan. Dari kebab, nasi pecel, hingga bakso. Teh susu tanpa gula. Slruupp
Uttiek Herlambang

HANYA ADA TUHAN DAN SAYA

Melihat manusia begitu banyak berjalan, berputar, bagaikan pusaran air, membuat siapa pun akan tergetar hatinya. Dimulai dari tanda berupa lampu hijau dengan mengangkat satu tangan dan berseru “Bismillahi Allahu Akbar”, kita akan tenggelam dalam putaran kontemplasi yang tak bisa digambarkan. Semua berseru menyebut nama Allah, semua berjalan bergegas, semua memandang Ka’bah yang agung itu, tapi semua terasa sunyi, senyap, hanya ada Tuhan dan saya. Ini adalah pengalaman spiritual yang sangat pribadi. Tiap orang akan merasakan hal berbeda yang kadang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
          Subhanallah, Walhamdulillah, Walailahailallah, Allahu Akbar, Walahaula wala kuata illabilahil adzim. Lafal pujian ini terasa lebih menggetarkan di rumah Allah. Bukankah salah satu tanda orang beriman adalah bila disebut nama Allah akan bergetar hatinya? Kesunyian, kesenyapan di antaranya riuhnya manusia, membuat air mata seakan tak ada artinya. Menangis menyesali semua dosa yang telah dibuat, menangis mohon ampun dan kasih sayang, menangis karena rindu kapan bisa datang lagi, menangis karena tak menyangka bisa melangkah di depan rumah Allah, menapaki jalan yang dulu pernah dilalui Ibrahim, Ismail, dan manusia yang paling dicintai di muka bumi Rasullah Muhammad.
          Ribuan manusia berdesakan, semua ingin paling dekat dengan Tuhan, tanpa pernah berpikir ada wanita yang terhimpit di sana, ada kakek tua yang kakinya tak lagi menapak tanah karena terdorong arus, ada orang-orang cacat yang berjalan tertatih-tatih. Tiba-tiba muncul satu pinta, “Ya Allah, mudahkanlah semua orang ini, karena semua hanya ini memujamu, dekat denganMu.” Doa yang sama yang tiba-tiba terlintas saat melihat seorang nenek tua renta dari Turki yang berjalan terbungkuk-bungkuk menuju tempat Jamarat di suatu pagi yang sangat dingin.
Uttiek Herlambang

KOTA YANG TAK PERNAH TIDUR

Setiap tahunnya, beberapa bulan sebelum dan sesudah Bulan Dzulhijah, Makkah selalu disesaki tamu-tamu Allah. Mereka datang dari tempat-tempat yang sangat jauh, dari ujung-ujung dunia, yang bahkan mungkin namanya tak terbaca di globe. Mereka tidak bicara dalam bahasa yang sama kecuali saat melafalkan takbir, tahmid dan tasbih. Jamaah dari Indonesia sangat mudah dikenali karena selalu memakai mukena dan topi haji dengan berbagai aksesoris sebagai tanda pengenal. Jangan heran kalau melihat bunga mawar segede piring bertengger manis di ujung kopiah seorang bapak tua, atau kibaran kain warna-warni yang dijepit di belakang mukena seorang wanita. Satu lagi, Jamaah Indonesia selalu tersenyum pada siapa saja, sekali pun itu bisa mengundang penafsiran yang berbeda.
          Jamaah Turki terkenal sangat kompak, selalu berjalan dalam rombongan besar dengan pakaian seragam yang terlihat sangat necis. Maklumlah mereka adalah bagian dari Bangsa Eropa yang katanya sangat menjunjung tata krama. Jamaah dari India selalu mengundang pelototan mata, karena tidak pernah bisa tertib. Mereka selalu berisik di mana pun berada, menyerobot antrian, membuat orang-orang di sekitarnya merasa tak nyaman. Jamaah pria dari Iran gampang dikenali karena jenggot dan surban khas seperti yang dikenakan Imam Khomaeni, jamaah wanitanya selalu berbalut kain warna hitam dengan cadar yang hanya menyisakan secuil pemandangan mata biru yang membuat siapa pun penasaran.
          Melihat semua itu dari selasar panjang di depan Kentucky Fried Chicken, yang menutup gambar kepala Kolonel Sanders dengan kertas putih, seperti melihat segelas es doger. Ada merah, kuning, hijau, hilir mudik kesana-kemari. Semua sibuk dengan aktivitas masing-masing, bahkan di jam dua dini hari. Di musim haji, Makkah adalah kota yang tak pernah tidur. Lampu-lampu seterang lampu stadion Senayan membuat siang dan malam tak terasa bedanya. Di dalam masjid orang-orang bertadarus sampai pagi. Di sekitar Ka’bah pusaran manusia tak pernah putus Tawaf bagai gelombang air di Samudera Hindia. Di luar pagar masjid, masih ada yang sibuk menawar sajadah, membeli kebab, menukar uang, sekadar menyaksikan semua sambil sesekali tersenyum dan mencatat, seperti saya.
Uttiek Herlambang