Kamis, 26 April 2012

Que Viva Intifada




Sekali lagi saya membuka koper merah berukuran besar itu. Sewaktu membelinya untuk umroh tahun 2009, Lambang sempat bertanya apa koper itu tidak terlalu besar? “Sekalian saja beli koper besar untuk ke Aqsa nanti, jadi enggak usah beli-beli lagi,” jawab saya waktu itu. Dan benar saja, koper merah bermerk Delsey ini yang kita bawa untuk umroh dan ke Aqsa tiga tahun kemudian.

Kain ihram, kerudung, baju, sendal karet... Satu per satu saya centang notes kecil berisi catatan apa saja yang harus saya bawa. Tas hitam kecil itu saya buka, lakban, karet, spidol kecil, spidol besar. Ah, ini penting, jangan sampai tertinggal, batin saya sambil merapikan lagi tas kecil itu dan memasukkan ke dalam koper. Setelah yakin tidak ada yang terlupa, nomer kombinasi saya acak. Gembok tambahan terpasang. Bismillahirrohmannirrohim.

----------

“Betul di tempat itu ada, Pak?” tanya saya
“Seingat saya iya ada. Di depan salah satu restoran tempat makan siang kita,” jawab Pak Rustam.
Grafiti. Itu yang saya cari.
Selain sholat dan mendengar kumdandang adzan dari Masjidil Aqsa, saya juga ingin melihat benteng Salahudin Al Ayyubi dan grafiti. Simbol perlawanan rakyat Palestine. Ketika mereka tidak punya senjata, ketika hanya batu dan pena yang tersisa, grafiti menunjukkan pada dunia, rakyat Palestine akan terus berjuang. Tidak pernah ada kata menyerah, sampai datang takdir Allah, seluruh tanah Palestine terbebaskan dari penjajah yang dzalim.

Grafiti pertama yang saya lihat ada di dinding suatu sekolah saat berjalan kaki dari makam Rabi'ah Al-Adawiyah ke makam Salman Al Farisi di sekitar Mt Olive. Bergambar bendera Palestine dengan tulisan Arab, Filistin. Setelah itu berturut-turut ada beberapa grafiti lainnya, banyak yang menuliskan kalimat Allahu Akbar: Allah Maha Besar. Semua saya foto. Supaya tidak tertinggal rombongan, saya tidak membaca lagi apa tulisannya, yang penting ada grafiti saya foto dulu. Foto-foto grafiti di lokasi ini ada yang membuat saya tertawa setelah melihatnya lagi di Jakarta. Rupanya tanpa sadar saya memotret tulisan tentang tata cara sholat jenazah! Tulisan ini sengaja dibuat di dinding Masjid Salman Al-Farisi, mungkin lokasi itu memang sering dijadikan tempat sholat jenazah.

---------

Reporter dari channel TLC itu berjalan bergegas, dengan cepat ia melaporkan apa yang dilihatnya. Tepat saat berhenti di depan sebuah dinding, ia mengatakan, “Tembok penuh coretan ini simbol penindasan,” katanya. Tembok itu terlihat sangat tinggi. Bercat abu-abu dengan kawat berduri yang melintang di atasnya.

Dari dalam bus yang bergerak menuju Bayt Lahym saya melihatnya. Benar. Tembok itu seperti yang saya lihat di teve. Ternyata lebih tinggi dari yang saya kira. Tembok itu lebih tinggi dari atap-atap bangunan yang ada di seberangnya. Rombongan berjalan masuk ke restoran untuk makan siang. Saya dan Lambang berjalan cepat untuk memotret dulu. Tembok ini sangat panjang. Sejauh mata memandang masih terlihat warna abu-abu yang penuh grafiti dengan kawat berduri melintang di atasnya. Konon kawat itu beraliran listrik. Sebuah grafiti membuat langkah saya berhenti. Que Viva Intifada. Hidup Intifada, dalam Bahasa Spanyol.

Saya bergantian dengan Lambang berfoto di depannya. Ah, tiba-tiba saya teringat, spidol besar yang sudah saya siapkan itu, ternyata tidak terbawa. Grafiti itu ditulis dalam berbagai bahasa, supaya siapa yang datang kemudian bisa menyaksikan dan membaca bahwa mereka mendukung perjuangan saudara-saudara kita di Palestine, seperti Que Viva Intifada, kalimat dalam Bahasa Spanyol itu. Saya ingin menulis beberapa kalimat dalam Bahasa Indonesia, sehingga siapa pun orang Indonesia yang berkesempatan melihatnya, akan tahu bahwa mereka tidak sendiri mendukung perjuangan saudara-saudara kita di Palestine.

Intifada. Kata itu begitu lekat dalam benak saya. Teringat sekitar tahun 2003, salah seorang adik saya, Anis, sedang menyusun skripsi yang mengangkat tema tentang Palestine. Beberapa kali saya mengantarkannya ke lembaga-lembaga yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan Palestine untuk mengambil data. Saya ingat, di salah satu lembaga yang kita datangi, terpajang banyak foto anak-anak Palestine. Ada yang membawa bendera, ada yang melempar batu di depan tank, ada wajah suci yang syahid dengan darah yang belum mengering. Dalam perbincangan yang panjang, saya sempat menanyakan mengapa anak-anak itu tidak diadopsi saja oleh keluarga-keluarga di Indonesia atau setidaknya dibawa sementara ke sini untuk bersekolah. Sambil tersenyum, seorang pria yang saya tidak ingat namanya menjawab, “Mereka memang harus berada di tanah Palestine. Untuk meneruskan perjuangan ayahnya, kakeknya, pamannya...”

“Palestine adalah tanah waqaf, tidak boleh berkurang se-inchi pun. Seluruh umat Islam berkewajiban menjaganya,” kalimat itu diucapkan Syech Ahmad Yassin, pendiri Hamas. Intifada adalah bukti perjuangan mereka yang diamanahi menjaga tanah waqaf itu. Intifada secara bahasa artinya melepas diri atau perlawanan. Intifada pertama terjadi antara tahun 1987-1993. Seorang bocah Palestine syahid ditembak tentara Israel pada tanggal 9 Desember 1987, peristiwa itu memicu perlawanan atas segala kekejian yang dilakukan Israel. Tua, muda, bahkan anak-anak turun ke jalan.

Hanya berbekal batu (intifada juga sering diterjemahkan sebagai perang batu) mereka berjuang mempertahankan setiap jengkal tanah waqaf yang diamanahkan. Selama 6 tahun itu 1.100 orang Palestine syahid, tercatat 13.000 anak-anak di penjara, nyaris tanpa melalui proses pengadilan. Israel gentar dengan militansi mereka, para pemuda ini menyongsong kesyahidannya dengan senyum. Tahun 1993 mereka meminta perjanjian damai yang ditandatangi di Oslo, atau dikenal dengan nama Perjanjian Oslo. Dan seperti yang telah tercatat dalam sejarah, berkali-kali yahudi-yahudi itu menghianati perjanjian yang mereka minta sendiri.

Intifada seperti ruh yang masuk dalam tiap sanubari rakyat Palestine. 7 tahun setelah ditandatanganinya Perjanjian Oslo, untuk kesekian kalinya Israel kembali berulah. Kali ini Perdana Menteri Ariel Sharon dan 1.000 tentara bersenjata lengkap masuk ke lingkungan Masjidil Aqsa. Tempat yang terlarang bagi mereka. Panggilan jihad kembali berkumandang, 29 September 2000 meletuslah Intifada kedua. Para syuhada itu, saya jadi teringat buku “Jalan Jihad Sang Dokter” yang menceritakan perjalanan dr. Joserizal Jurnalis di Gaza. Bagaimana ruangan berisi ratusan korban bersimbah darah yang sama sekali tidak berbau anyir. Seorang pejuang yang sedang dioperasi dalam keadaan dibius total, mulutnya masih bisa melantunkan ayat-ayat tentang jihad. Subhanallah... Intifada kedua terus berlangsung sampai 8 Februari 2005.

Selesai mengambil beberapa gambar, saya dan Lambang bergegas masuk ke restoran. “Ketemu, Mbak, yang dicari?” tanya Pak Rustam sambil tersenyum. “Iya, Pak, seperti yang saya lihat di teve,” jawab saya. Makanan Asia yang terhidang di depan saya seharusnya sangat lezat, tapi entah mengapa di mulut terasa hambar mengingat perjuangan saudara-saudara kita di Palestine. Apa yang sudah saya lakukan untuk meringankan perjuangan mereka? Kewajiban menjaga tanah waqaf ini adalah kewajiban bersama. Seperti isi surat yang ditulis Syech Ahmad Yassin untuk para pemimpin Liga Arab, beberapa hari sebelum syahid diserang 3 roket Israel di atas kursi rodanya seusai sholat subuh, 22 Maret 2004. “Aku akan berjuang bersama saudaraku ketika mereka merampas rumahnya. Aku tidak melawan yahudi karena mereka yahudi. Aku melawan karena mereka merampas tanah kami. Mereka menyampakkan rakyatku pada kesengsaraan yang berkepanjangan.”

Bus bergerak perlahan meninggalkan restoran, saya mendengar semangat mereka meneriakkan, “Ihna Kulluna Ahmad Yassin. Ihna Kulluna Ahmad Yassin. Kami semua Ahmad Yassin sekarang. Kami semua Ahmad Yassin sekarang.” Yaa Rabb, izinkan kami menjadi bagian dari mereka.





Uttiek Herlambang

Bayt Lahym, Palestine, 2012





Sabtu, 21 April 2012

Selembar Syal Dan Senyum Jamal

"This is my card. If there is anything I can help, just send me an email." 
"Thank you, Sister," jawab Jamal sambil tersenyum.
Ini senyum Jamal yang kedua yang pernah saya lihat selama di sini, meski tidak secerah senyum pertamanya.

Namanya Rezeq Salfity Jamal,  kita memanggilnya Jamal, profesinya sebagai  local guide di Palestine mengantarkan saya bertemu dengannya. Sejak pertama melihatnya saya merasa ia selalu terlihat gelisah dan gugup (baca tulisan: Mereka Rampas Tanah dan Pohon Jeruk Kami). Setelah beberapa hari melakukan perjalanan bersama, tahulah saya kenapa.

---------  

"Look the right side, Brother and Sister," seru Jamal dalam perjalanan menuju Masjid Ibrahimi Al Khalil (Hebron). Saya selalu merasa senang mendengar sapaan brother and sister saat berada di luar negeri. Sapaan itu biasanya saya dengar ketika masuk ke masjid. Menunjukkan  ukuwah dan indahnya persaudaraan dalam Islam. Saya menoleh ke kanan, terlihat bangunan yang cukup besar, tadinya saya pikir itu sekolah. Ternyata dugaan saya salah. Dari penjelasan Jamal, bangunan itu adalah Museum Rockefeller. Setelah perang 1967, bangunan itu digunakan sebagai penjara. Banyak pemuda Palestine yang ditangkap dan dipenjara di sana tanpa melalui proses pengadilan. Tak semua bisa keluar selamat, perlakuan yang kejam membuat  banyak dari mereka yang syahid membela tanah airnya, termasuk ayah Jamal!

Sepanjang perjalanan Jamal menceritakan bagaimana kondisi kehidupan di Palestine. Sekalipun itu tanah air mereka, tapi mereka hanya mempunyai semacam izin tinggal yang harus diperbaharui setiap tiga tahun. Kalau selama tiga tahun itu mereka meninggalkan Palestine, misalnya untuk sekolah atau berobat ke luar negeri, maka izin tinggalnya itu akan hilang. Kalau akan melakukan perjalanan ke luar negeri, seperti haji atau umroh, mereka menggunakan paspor sementara Jordan.

Bangsa Palestine yang pada dasarnya cerdas-cerdas juga dipersulit untuk mendapat pendidikan. Mereka yang bisa sekolah sampai S2 atau S3, tidak mendapat akses untuk bekerja secara layak. Kondisi ini sengaja diciptakan Israel supaya akhirnya mereka memilih bekerja di luar negeri. Setelah itu dengan gampang izin tinggalnya dicabut.  Orang-orang Palestine yang terdidik lama-lama akan habis dan tujuan Israel melakukan pembodohan dan pemiskinan bisa berjalan. Sebagai perbandingan untuk pekerjaan yang sama, saudara-saudara Palestine kita hanya mendapat upah 10-25 Dollar/hari, sementara yahudi Israel akan mendapat 80 Dollar/hari. Kondisilah yang memaksa mereka menerima perlakuan tidak adil itu.

Mereka yang berusaha berdagang pun dihambat dengan segala cara. Mulai perizinan yang sulit, pajak yang tinggi, hingga distribusi yang tidak lancar. Akhirnya barang-barang dari Palestine, sekalipun kualitasnya lebih istimewa, menjadi tidak kompetitif di pasaran. Saya teringat upaya  Dompet Dhuafa  tahun 2009 yang merevitalisasi pabrik roti di Jabaliyah. Pabrik ini mampu memproduksi 10 ribu roti perhari. Terbayang berapa banyak orang yang mendapat kesempatan kerja. Tahun berikutnya dibangun 2 instalasi sumber air bersih di daerah Khanyunis dan perairan bagi 300 hektar perkebunan sayur dan buah-buahan untuk saudara-saudara di Gaza. Bantuan seperti ini sangat efektif karena bisa menggerakkan perekonomian Palestine, baik yang di Tepi Barat maupun di Gaza.

Dengan segala kekejian yang dilakukan Israel, saya jadi emosional, "Kenapa kamu tidak berperang saja seperti saudara-saudara kita di Gaza?" tanya saya ke Jamal. Panjang alasan yang dikemukakan Jamal, salah satunya mereka tidak punya senjata seperti saudara-saudara di Gaza. Marah, kesal, gemas, rasanya campur aduk. Ah, tapi saya yakin mengapa Allah memilih Bangsa Palestine untuk berada di tanah suci ketiga ini, pasti karena mereka adalah orang-orang yang kuat dan amanah. Perjuangan tidak pernah sebentar. Perang Tabuk yang dipimpin Rasulullah SAW sesungguhnya adalah pembuka jalan menuju tanah Palestine, dilanjutkan Abu Bakar dan baru berhasil pada masa Khalifah Umar bin Khatab. Begitu pula perjuangan Imadudin, Nurudin dan baru berhasil pada masa Salahuddin Al Ayyubi.

Setelah percakapan itu saya baru mengerti mengapa Jamal selalu terlihat gelisah dan gugup. Ia generasi yang lahir ketika negerinya sudah dicengkeram penjajah yang dzalim, ayahnya syahid di penjara, setiap hari ia harus menyaksikan kekejian demi kekejian dan diperlakukan tidak adil. Saya sangat miris mendengar cerita, sehari ia bisa melepas ikat pinggangnya sampai sepuluh kali karena melewati check point Israel. Ya Allah, mudahkanlah saudara saya ini.

------

Setelah sholat Dzuhur-Ashar di Masjidil Aqsa, Jamal mengajak kita menyusuri Old City. Menyenangkan sekali menghabiskan senja di sini. Melewati Al Wad Rd di Quarter Muslim,  keluar masuk labirin di Souk Al Dabbagha (souk dalam Bahasa Arab artinya pasar),  rasanya seperti terlempar ke masa silam. Saya bisa mencium bau harum aneka roti yang baru keluar dari oven, pedagang rempah-rempah yang membuat bentuk Kubah Al Sakrah dari bubuk  rempah dagangannya, aneka karpet, buah, sayur, keriuhan orang menawar, pria-pria berkafayeh yang saling berjabat tangan dan mengucapkan salam. Indah. Subhanallah, indah sekali.

Jamal memenuhi janjinya mengantarkan saya ke toko souvenir yang menjual syal khas Palestine seperti yang sering dikenakan Khaled Mashaal,  Ismail Haniya, serta pemimpin Hamas lainnya. Mata saya berbinar begitu dari jauh melihat selembar kain bermotif kotak-kotak hitam putih dengan garis hijau di pinggirnya, di ujung ada tulisan huruf Arab, Al Quds Lana: Al Quds adalah milik kita. Ya, Al Quds adalah milik kita, hak kita! teriak saya dalam hati, sambil memilih 4 lembar syal seharga USD 3. Abu Muhammad, si pedagang, sangat ramah dan bersahabat seperti orang Palestine pada umumnya. Dia memasang fotonya bersama Alm. Yaser Arafat.  Saya kalap melihat gantungan kunci, pin, serta simbol-simbol Palestine lainnya. Bahkan saya tidak ingin menawar untuk apa pun yang saya beli. Sebagai bonus, saya meminta bendera Palestine kecil yang dipasang di meja kasir. "May I have it as a bonus," pinta saya, Abu Muhammad tersenyum sambil mengangguk.

Kalau saja saya tidak pergi bersama rombongan, tentu saya masih ingin belama-lama menyusuri pasar itu. Tiba-tiba Jamal menghentikan langkah di depan gerobak sayur. Ia membeli sekantung entah buah, entah sayur, yang bentuknya seperti kacang kapri tapi ini kulitnya tebal dan ada bulu halusnya. "What's that, Jamal?" tanya kami sambil berkerumun. Jamal mengambil satu lalu mengunyahnya. "Try, this," jawabnya sambil mengedarkan kantong itu. Dengan sedikit heran, saya ambil satu dan mulai mengunyah. Pahit. Sepat. Getar. Entah bagaimana mendefinisikannya. Untuk pertama kalinya, di Souk Al Dabbagha, sambil mengunyah entah apa ini, saya melihat Jamal tersenyum! Tertawa lebih tepatnya. Matanya berbinar cerah. Ia terus berjalan sambil mengunyah belanjaannya itu.

"Wah, kita dikerjain Jamal nih, apaan sih ini?" komentar mulai bermunculan. Ternyata bukan hanya saya yang merasakan makanan ini aneh. "Iya, nih, Jamal nih, awas aja kalau kita sakit perut," sahut yang lain. Jamal terus saja mengunyah sambil tersenyum. Ah, Jamal, mendengar ceritamu, penderitaan saudara-saudaramu, rasanya saya rela menghabiskan entah buah, entah sayur yang rasanya aneh ini, asal bisa menghiburmu, membuatmu tersenyum, batin saya. Tak jauh dari situ seorang teman berinisiatif membeli stoberi berwarna merah menyala yang terlihat sangat segar. Satu kotak plastik harganya 10 sekhel atau 3 USD. Semua langsung berebut mengambil satu untuk menghilangkan rasa sepat di mulut. Rasa stroberi ini sungguh manis dan segar. Saya menyesal kenapa tadi tidak ikut membeli. "Pasti penjual kacang yang aneh tadi belum pernah mencicipi dagangannya. Kalau sudah pernah, pasti dia memilih jualan stroberi," komentar Pak Hani. Saya terbahak-bahak mendengarnya.

Rombongan terus berjalan, sampai di sebuah gerbang. Damascus Gate. Saya membaca papan petunjuk yang ada di sebelah kanan. Ah, ini Damascus Gate, hati saya bersorak. Dari sini sang pahlawan Salahuddin Al Ayyubi memasuki kota yang berhasil dibebaskannya. Tiba-tiba saya merasa heroik. Berada di Damascus Gate sambil membawa kantong plastik berisi syal bermotif sama dengan Ismail Haniya dan bendera Palestine.


Uttiek Herlambang
Damaskus Gate, Al Quds (Yerusahlaim), Palestine, 2012

Kamis, 19 April 2012

Darah Syuhada Mengalir Di Al Khalil

"Allahu Akbar..." takbir yang menandai sujud terakhir rekaat kedua baru berkumandang di subuh yang dingin. Jama'ah bersujud. Tiba-tiba terdengar desingan peluru yang memekakkan telinga, membabi-buta, menembaki siapa saja yang ada. Hari itu, Subuh, 15 Ramadhan 1414H bertepatan dengan 25 Februari 1994, darah  syuhada mengalir membasahi Masjid Ibrahimi Al Khalil (Hebron). 40 orang syahid, ratusan terluka. Seorang yahudi laknatullah bernama Baruch Kappel Goldstein datang dari arah Kiryat Arbaa, dengan perlindungan tentara, menenteng senjata, menjadi pembunuh di dalam masjid, saat jamaah sedang sujud, di bulan suci Ramadhan. Innalillahi wa innailaihi roji'un.

-------

Hari masih pagi, sebelum berangkat kita diingatkan lagi untuk tidak membawa benda- benda yang terbuat dari logam, senjata tajam, bahkan sekadar gunting kuku. Jamal juga memastikan paspor jangan sampai tertinggal. Saya mendesah perlahan, ini perjalanan ke masjid, tapi kita dikondisikan seperti ini. Bus berangkat sepagi mungkin, mengingat kota Al Khalil (Hebron) tidak selalu dibuka. Nama Al Khalil dalam Bahasa Arab berarti sahabatNya, diambil dari kata Ibrahim Al Khalil, karena ketaatan dan keikhlasannya, Ibrahim mendapat gelar Al Khalil: sahabat Allah. Perjalanan sejauh 30 km harus melewati beberapa check point. Untuk mempersingkat rute, beberapa kali bus harus keluar-masuk Israeli settlement atau pemukiman yahudi.  

"Your passports please," seru Jamal. Abu Ismail memperlambat laju bus yang dikendarainya, lalu berhenti. Seorang tentara berseragam militer, terlihat masih muda sekitar 25 tahunan, memakai kippa, dengan menenteng senjata di depan dada, melompat masuk ke dalam bus. Ia mengedarkan pandangannya, menyelidik, entah apa yang dicarinya. Saya kembali membuang muka. Tiap kali melihat orang-orang memakai kippa, ada sesuatu yang bergolak  di dalam dada. Jamal sempat mengatakan sesuatu, tapi sepertinya tidak digubris. Ia langsung melompat turun tanpa berkata- kata. Mereka selalu bersikap semena-mena tergantung mood: mau memeriksa secara acak, satu per satu atau tidak memeriksa sama sekali, seperti yang dilakukan tentara itu barusan.

Setelah sebelumnya hanya melihat dari jauh, untuk pertama kalinya saya melintas di dalam Israeli settlement. Rumah-rumah berderet rapi. Jalanan di dalam kompleks cukup lebar dengan taman di kiri-kanannya. Mobil-mobil keluaran terbaru berderet terparkir di pinggir jalan. Sesekali anak-anak muda memakai kippa berjalan melintas. Tentara terlihat di ujung-ujung perempatan. Lokasi settlement ini cukup luas, berkali-kali bus berbelok ke kiri dan ke kanan. Keluar dari settlement, pemandangan sungguh menyesakkan dada. Rumah-rumah tua, banyak yang terlihat kosong ditinggal penghuninya mengungsi, lingkungan yang kumuh, anak-anak memakai sweater lusuh bermain di pinggir jalan. Sudut mata saya terasa hangat.

Bus berhenti di mulut gang, jalanan di depan terlihat menanjak. Abu Ismail membuka pintu tanda kita harus turun di sini. Dua orang pria menyalami Jamal, sepertinya mereka saling mengenal. Saya sangat suka dengan persahabatan dan sikap hangat orang Palestine, mereka selalu terlihat berjabat tangan, saling mengucapkan salam, memberikan pelukan hangat dan cium pipi khas pria Arab, seperti yang diperlihatkan Jamal dan teman-temannya pagi itu

Di depan terlihat 3 x-ray yang dijaga tentara. Mereka dalam posisi siaga, ransel di sandang di punggung dengan senjata pada posisi on dan tatapan mata penuh curiga. Kita harus melewati penindai itu untuk masuk ke dalam masjid. Ini rupanya yang membuat Jamal  berulang-ulang mengingatkan supaya tidak membawa senjata tajam. Ah, bagaimana mungkin kami membawa senjata untuk menghadap Allah?

 "This way, Mam," seorang pria mununjukkan arah tempat wudhu perempuan. Ada tangga ke atas menuju tempat wudhu. Kran-kran berjejer di kiri-kanan, toilet terletak di belakang tembok kran. Seorang wanita memakai abaya hitam dan kerudung sederhana menyambut dengan senyumnya. Dengan sopan ia mengucapkan salam. Namanya Suha, ia bekerja sebagai petugas kebersihan di situ. Untuk ukuran penjaga toilet Bahasa Inggrisnya cukup bagus. Dari percakapan ringan, saya mendapat informasi kalau suaminya syahid berjuang mempertahankan tanah airnya, ia kini sendirian menghidupi ketiga anaknya. Sehari-hari ia tinggal di kamp pengungsi yang cukup jauh dari Masjid ini. Namun dari tutur katanya terlihat ketegaran dan keikhlasan. "Allah bersama kami, Allah bersama kami," katanya berulang-ulang.

Posisi Masjid Ibrahimi ada di atas, kita harus menaiki 20-an anak tangga. Di pintu masjid terlihat beberapa tentara berjaga. Terbersit pertanyaan, adakah tentara ini ada yang mendapat hidayah Allah karena setiap hari mendengar kumandang adzan? Semoga, karena Rahmat Allah diberikan pada siapa saja yang dikehendakiNya. Ruangan dalam masjid terlihat tua, dindingnya terlihat kusam dengan karpet yang tak lagi berwarna cerah, rak-rak untuk menyimpan sandal ada di kanan selasar.

Setelah sholat Tahiyatul masjid dan Dhuha, Jamal memulai penjelasannya. Awalnya di dalam kompleks masjid ini ada 6 makam; Nabi Ibrahim AS dan Sarah, Nabi Iskak dan Rifka istrinya, serta Nabi Ya' kub dan istrinya. Setelah peristiwa keji pembantaian subuh 1994 itu, dengan berbagai dalih Israel mengokupasi makam Nabi Ya'kub dan istrinya. Merampas separo bangunan masjid dan mendirikan sinagog di atasnya. Innalillahi wa innailaihi roji'un. Makam-makam itu sebenarnya ada di dalam gua di bawah masjid. Namun sekarang gua itu ditutup, tidak dapat dimasuki lagi karena sudah terlalu tua dan berbahaya. Dua buah pilar didirikan untuk menandai jalan masuk ke dalam gua, sebuah lubang kecil di lantai masjid bisa digunakan untuk melihat ke bawah. Saat ini ada 4 memorial, semacam peti batu yang sangat besar berselubung kain hijau, di dalam masjid untuk menandainya. Khusus untuk memorial Nabi Ibrahim dan Sarah diberi pagar berteralis besi.

Di samping tempat imam terdapat  mimbar Salahudin Al Ayyubi yang masih asli. Mimbar ini awalnya ada 2, yang satu diletakkan di Masjidil Aqsa, namun yang di Masjidil Aqsa sudah tidak ada lagi karena dibakar yahudi pada 21 Agustus 1969 yang akhirnya menyebabkan kebakaran di dalam masjid. Mimbar di Masjid Ibrahimi ini masih kokoh sekalipun sudah sangat tua. Di bagian atas terdapat lambang bulan sabit yang digunakan pasukan Salahudin Al Ayyubi saat membebaskan Al Quds (Yerusahlaim), lambang itu pula yang membuat gentar lawan-lawannya, dan ratusan tahun kemudian masih membuat saya bangga saat melihatnya.

Di sinilah sejarah itu bermula. Nabi Ibrahim SA sang pembawa agama yang hanif menetap setelah meninggalkan Irak utara tanah kelahirannya. Di sini pula ia berdakwah mengajak umatnya men-Tauhid kan Allah. Lahir Nabi Iskak, lalu Nabi Ya'kub. Israel mengklaim lebih berhak atas tempat ini karena mereka adalah anak turun Ya'kub. Klaim itu jelas tidak mendasar. Bagaimana mungkin seorang nabi yang mulia menurunkan manusia-manusia dzalim seperti mereka, batin saya. Kekhawatiran menyusup di hati, jangan- jangan upaya sistematis yang mereka lakukan saat merampas Masjid Ibrahimi di Al Khalil (Hebron) akan mereka lakukan juga di Masjidil Aqsa.

Ya Rabb, sungguh Engkau yang akan menjaga dan melindungi masjid ini, tempat dimana Ibrahim Al Khalil  dibaringkan bersama keluarganya. Saat melintas gerbang masjid untuk pulang, sekali lagi saya menoleh ke belakang, tercium bau harum, harum darah para syuhada.


Note: Goldsteinism, merujuk pada Baruch Kappel Goldstein si pelaku teror, saat ini digunakan sebagai kosakata untuk mengungkapkan sikap kebencian dan anti Palestine.


Uttiek Herlambang
Al Khalil (Hebron), Palestine, 2012

Selasa, 17 April 2012

Secangkir Chamomile Tea Sehangat Persahabatan

Dari kejauhan lampu kuning itu terlihat hangat. Buku-buku tertata rapi. Dari etalase kaca terlihat kursi-kursi nyaman berwarna putih diletakkan di atas loteng menghadap ke arah jalan. Sebuah mesin pembuat capucino mengepulkan asap. Perpaduan sempurna untuk cuaca dingin yang menggigit tulang seperti sore ini.

Betul. Begitu pintu terbuka udara hangat langsung menerpa.
"What time you'll be closed?"
"At 8, Sir,"
jawabnya sopan.
Ah, sepertinya tidak keburu kalau hari ini. Selesai jama'ah Isya', toko ini pasti sudah tutup.
"Ya, kalau tidak keburu hari, besok juga masih ada waktu," kata Pak Rustam.

------
"Jadi? Ngopi?"
"Di mana?"
"Ada toko buku di dekat situ, ada coffee shop-nya."
"Ayo."
"Oke, saya menyusul ya, saya harus ke hotel dulu."
"Sip, di tempat yang kemarin, ya, Pak."

Toko buku yang ada coffee shopnya ini sudah mencuri perhatian kita sejak kemarin. Tertulis namanya Educational Bookshop. Selain tokonya terlihat baru dan modern, berbeda dengan toko-toko lain yang ada di sekitarnya, sepertinya juga menawarkan tempat ngobrol yang mengasyikkan. Lokasinya tak jauh dari Hotel National, tempat saya menginap, di kawasan Arab Palestine, alamatnya tertulis: 22 Salah Eddin Street, Yerusahlaim 91540. Beragam buku dijual di sini, mulai buku-buku politik tentang Palestine, Hamas, PLO, buku-buku sastra seperti Rubayyat Umar Khayam, buku-buku arsitektur kota tua, buku wisata Al-Quds (Yerusahlaim) dan sekitarnya, peta, post card, hingga pin bergambar bendera Palestine.

"I repeat, Sir, one hot chocolate, one chamomile tea, one hot cappuccino, and one pastry."
"Oke."

"How much is this?"
tanya saya sambil menunjuk deretan post card di depan kasir.
Post card ini gambarnya bagus-bagus; saya mengambil satu yang bergambar seorang pemuda berwajah Arab, memakai peci di antara kerumunan tentara. Matanya menggelorakan semangat, La takhof wa la tahzan, Innallaha ma ana: jangan takut dan jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita; saya ambil satu lagi post card bergambar seorang anak kecil, pandangan matanya begitu polos tanpa dosa, ia memegang tangan ibunya persis di depan bayonet tentara; saya ambil satu lagi yang bergambar ilustrasi kota tua dengan kubah Al Sakrah dan seorang tentara memakai baju zirah, saya membayangkan itu salah seorang tentara Salahudin Al Ayyubi yang menjaga gerbang kota; masih belum puas, saya ambil satu lagi yang bergambar ilustrasi bendera Palestine, burung merpati yang membawa ranting zaitun serta dua jari mengacung membentuk tanda kemenangan.
"Each 10 shekel, Mam," jawabnya membuyarkan lamunan saya.
"Can I pay in USD?"
"Sure,"
jawabnya sambil tersenyum. Pandangan mata kita bersiborok seakan mempunyai pikiran yang sama: mau dibayar dengan shekel atau dollar, keduanya sama-sama menjajah kami.

"Bukunya bagus-bagus, Mbak?" pertanyaan itu mengagetkan saya.
"Oh, iya Pak, tapi saya beli post card saja, biar enggak ribet bawanya."
"Sudah pesan minum?"

------
Secangkir chamomile tea, secangkir hot chocolate, secangkir hot cappuccino, secangkir black coffee, dan sepotong pastry menemani perbincangan yang mengasyikkan sore itu.

Pak Rustam, si pemesan black coffee,  adalah pemilik Khalifah Tour, travel yang membawa saya umroh dan ke Aqsa kali ini. Sungguh suatu kebetulan Pak Rustam sendiri yang menjadi tour leader, karena sahabatnya sejak kecil, Pak Hani, si pemesan hot chocolate dan pastry, ngotot memintanya menemani umroh dan ke Aqsa.  Selain bersahabat sejak kecil, mereka berdua juga pernah sama-sama menjadi penyiar radio terkenal saat remaja di Bandung.

Keduanya adalah sosok yang menyenangkan, meski usia saya dan Lambang terpaut jauh dengan keduanya.
Pak Rustam adalah anak ITB yang pengetahuannya sangat luas. Sebagai mantan aktivis Salman, pemahaman keagamaannya sangat kritis.
Pembawaannya yang luwes, mau mendengarkan, membuat orang mudah bersahabat dengannya.

Pak Hani adalah direktur salah satu bank terkemuka di Indonesia. Awalnya saya melihat dia sebagai sosok yang kaku. Namun setelah berhari-hari melakukan perjalanan bersama ternyata dia orang yang sangat kocak. Celetukan-celetukannya selalu membuat saya terbahak-bahak, meski diucapkan dengan gaya yang sangat cool.

Perbincangan sore itu sangat mengesankan. Kita seperti teman lama yang bertemu kembali, setidaknya itu menurut saya. Kita tertawa bersama mengingat kejadian Pak Hani yang menjadi tour leader dadakan karena Pak Rustam tertahan di border Jordan. Lalu, pendeta yang marah-marah karena saya, Lambang dan Pak Rustam, mengikuti cara Umar bin Khatab berjalan mundur masuk ke Bayt Lahym. Terbayang waktu Pak Hani mengatakan,  "Ya, enggak usah mundur juga kali, Tam, miring saja," sarannya sambil memeragakan jalan miring. Ah, menyenangkan sekali.

Diskusi berubah menjadi serius saat Pak Hani berbagi informasi tentang senjata-senjata yang digunakan tentara Israel, sebagai penikmat olahraga menembak, pengetahuannya tentang jenis-jenis senjata tidak diragukan. Saya sangat tertarik dengan informasi tentang gaya arsitektur Sinan dan kejayaan pada masa Sulaiman Al Khonuni atau Sulaiman the Magnificent yang disampaikan Pak Rustam. Bahkan sepulang dari toko buku itu, semalaman saya sibuk browsing tentang keduanya di kamar hotel. Dari perbincangan sejarah, berganti jadi aksi debt collector di Indonesia, pengalaman haji, tempat-tempat yang pernah kita kunjungi, hingga perbandingan fiqih dari beberapa mahdzab. Sungguh, obrolan yang lengkap.

Chamomile tea pesanan saya yang disajikan dengan sepotong biskuit kecil beraroma ginger, terasa sangat sedap. Pelan-pelan isinya mulai berkurang. Hingga akhirnya tandas. Begitu pula tiga cangkir lain yang ada di meja. Malam semakin larut, sepertinya toko buku ini juga bersiap untuk tutup. Saat membayar di kasir, Pak Rustam berbaik hati mentraktir kami bertiga.
Syukron laka, Pak.

"Do you have a bookstore like this in Malaysia, Mam?" tanya si kasir.
"I'm from Indonesia. Yes, we have. Many," jawab saya.
"How do you think about this store?"
"Nice. Very nice. I get a lot of friends here. I get a lot of friends in Palestine."
"Ma'asalamah. Please come again,"


Ah, secangkir chamomile tea, sehangat persahabatan.


Untuk Pak Rustam dan Pak Hani,

Uttiek Herlambang
22 Salah Eddin Street, Al Quds (Yerusahlaim), Palestine, 2012

Jumat, 13 April 2012

Seluruh Kompleks Haram Al Syarief Adalah Tempat Suci

Yayasan Pemeliharaan Masjid Al-Aqsa Foundation melaporkan, puluhan Umat Yahudi dan tentara Israel tanpa izin memaksa masuk ke kompleks Masjid Al-Aqsa, Rabu (11/4) waktu setempat. Alasan warga Yahudi Israel memasuki kompleks Masjid Al-Aqsa untuk melakukan ritual ibadah Yahudi di beberapa situs Bait Suci dekat dengan masjid. Penjaga keamanan kompleks masjid tidak mampu menahan puluhan warga Yahudi Israel yang merangsek masuk ke dalam kompleks masjid. [Republika, 11/4]

Twitt itu saya baca setelah kembali ke Jakarta. Geram. Marah. Tapi tak bisa melakukan apa-apa, selain me-retwitt  berita itu supaya dibaca banyak orang. Terbayang orang-orang yang memakai setelan warna hitam, topi ala pesulap tapi tidak terlalu tinggi, serta godek ikal yang dipanjangkan hingga bawah telinga. Dengan arogan mereka merangsek masuk, dikawal tentara bersenjata. Padahal sudah ada perjanjian, selain umat Islam dilarang masuk ke dalam kompleks Masjidil Aqsa. Seluruh kompleks, tidak hanya masjidnya saja!

Peristiwa itu mengingatkan saya akan pertanyaan seorang teman sekian tahun silam, saat saya memasang foto kubah Al-Sakrah untuk profile picture di fb. "Itu kan bukan Masjidil Aqsa, kenapa itu yang kamu pasang?" "Seluruh kompleks Haram Al Syarief adalah tempat suci," jawab saya. Meski begitu foto itu lalu saya ganti dengan masjid yang berkubah keabu-abuan sampai saat ini. Mungkin banyak yang bingung, atau lebih tepatnya dibingungkan dengan informasi yang beredar saat ini. Mana sebenarnya yang dimaksud Masjidil Aqsa? Apakah yang kubahnya berwarna emas atau yang berwarna keabu-abuan? Jawabnya: SELURUH KOMPLEKS HARAM AL-SYARIEF ADALAH TEMPAT SUCI. 

Seluruh Kompleks Haram Al Syarief adalah Kompleks Al Aqsa atau Masjidil Aqsa karena saat turun Surat Al Israh ayat pertama [Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat] bangunan yang kita sebut sebagai masjid sesuai terminologi  masjid sekarang (bangunan yang berkubah, bermimbar, berkarpet) itu belum ada. Namun kita mengaimani perjalanan Isra' Mi' raj Rasulullah SAW melewati tempat suci ini. Selama berabad-abad seluruh kompleks Haram Al Syarief ini disebut Masjidil Aqsa, baru pada sekitar abad ke-16, masa kesultanan Utsmaniyah, kompleks ini disebut Haram Al Syarief, yang secara bahasa artinya tempat suci yang mulia. Sedang masjid yang dibangun Khalifah Umar bin Khatab di dalam kompleks ini disebut Jami' Al Aqsa atau Masjidil Aqsa. Ah, alangkah baiknya kalau kita kembalikan penyebutan ini seperti sebelumnya, seluruh Kompleks Haram Al Syarief sebagai Masjidil Aqsa. Supaya tidak membingungkan umat Islam.

Luas kompleks Haram Al Syarief sekitar 150.000 m2, di dalamnya terdapat beberapa bangunan seperti Kubah Al-Sakrah yang menaungi batu yang dipercaya sebagai pijakan Rasulullah SAW Mi'raj ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah sholat. Di bawah batu itu ada semacam "gua" yang cukup lebar. Ada beberapa informasi yang menyesatkan yang beredar di internet bahwa batu itu melayang, konon batu itu ingin ikut Rasulullah SAW tapi tidak diperbolehkan. Itu semua tidak benar. Posisi batu yang melengkung membuat ada ruang kosong di dalamnya. Ruangan itu biasa digunakan untuk sholat atau pengajian dalam kelompok kecil. Berkarpet merah dengan dinding batu yang masih asli. Bangunan masjid yang berbentuk oktagonal dengan kubah emas  murni itu dibangun pada masa kekhalifahan Abd al Malik. Beberapa kali  bangunan ini rusak diguncang gempa dan direnovasi, saat ini kubahnya sudah bukan lagi emas murni, melainkan hanya dilapisi emas.

Masjid yang dibangun Khalifah Umar bin Khatab,  yang sekarang dikenal sebagai Masjidil Aqsa, kubahnya berwarna keabu-abuan berlapis timah, lokasinya kalau menghadap kubah Al -Sakrah  di sebelah kanan. Khalifah Umar bin Khatab mempercayai kalau di tempat inilah Rasulullah SAW sholat sebelum Mi'raj, karenanya didirikan masjid di lokasi ini. Posisi masjid ada di bawah, terdapat pilar-pilar berlengkung peninggalan Dinasti Mamluk sebelum anak tangga untuk turun. Di ujung tangga, ada plaza yang cukup luas dengan air mancur yang sekaligus difungsikan sebagai tempat wudhu di sekelilingnya. Di kanan- kiri plaza berjejer pohon cemara yang tumbuh subur. Tempat ini pastilah dulunya berupa perbukitan karena konturnya yang naik turun, namun sekarang sudah dilengkapi dengan tangga/undakan  untuk menuju bangunan lain di dalam kompleks. 

------

Gambar di teve itu cukup mengejutkan. Tentara bersenjata merangsek masuk, memukuli siapa saja yang menghalangi langkahnya. Sementara dari dalam masjid, laki-laki, perempuan, tua, muda, berusaha mempertahankan diri dengan melemparkan apa saja yang ada di dekatnya, kursi plastik, sendal, kain, topi, apa saja... Takbir terus bergema. Tiba-tiba gambar bergoyang hebat. Sepertinya kameramennya terdorong hingga jatuh. Terlihat karpet masjid berwarna merah. Sepatu tentara menginjak-injak karpet masjid.

Deg! Karpet merah itu. Begitu melihat karpet merah ini ingatan saya langsung melayang pada berita penyerbuan ke dalam Masjidil Aqsa yang saya lihat di teve sekian waktu lalu.  Alhamdulillah ya Rabb, saya akhirnya menginjakkan kaki di sini. Ruangan masjid nampak luas, meski tidak seluas Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Dari pintu masuk, posisi mihrab langsung terlihat karena segaris lurus dengan pintu. Pilar-pilar dari marmer putih berjejer rapi di kiri-kanan. Seluruh ruangan dilapisi karpet merah, beberapa lampu gantung menghiasi bagian dalam masjid. Mozaik yang menghiasi plafon dan bagian dalam kubah tampak indah. Suasana terlihat redup namun tidak mengurangi kesakralannya. Di dekat imam ada replika mimbar Salahudin Al Ayyubi, mimbar aslinya dibakar seorang yahudi yang akhirnya menyebabkan kebakaran di dalam masjid pada tanggal 21 Agustus 1969. Semoga Allah melaknat pelakunya, doa saya setelah mendengar informasi itu. Mimbar Salahudin Al Ayyubi sebenarnya ada dua, yang satu diletakkan di dalam Masjidil Aqsa, satu lagi masih utuh sampai sekarang di Masjid Ibrahim-Hebron Al Khalili.

Masjidil Aqsa memiliki lantai basement, untuk menuju ruangan itu kita harus keluar dulu dari bangunan utama masjid, posisi tangga ada di sebelah kanan. Langit- langit basement tampak rendah, tersusun dari batu-batu yang kokoh. Sekali lagi saya mengagumi arsitektur dan konstruksi seluruh Kompleks Haram Al Syarief ini, semuanya sangat unik, cerdas dan kokoh. Burj Al Khalifa di Dubai yang saat ini merupakan bagunan tertinggi di dunia, yang sempat saya saksikan seminggu sebelumnya, lewat! Jauh! Kompleks Haram Al Syarief sampai sekarang masih sangat mengagumkan, terbayang bagaimana orang-orang Islam sekian abad silam sudah mampu membuat bangunan secanggih ini. Subhanallah. 

Yahudi terus menerus merongrong bangunan ini dengan mengklaim adanya peninggalan Haikal Sulaiman di bawah masjid, jadilah mereka berupaya segala cara untuk merobohkan masjid dan menggantinya dengan tempat peribadatan mereka. Banyak alasan dikemukakan untuk menutupi ulahnya itu,  salah satunya penggalian arkeologi, padahal banyak pihak mencurigai itu sebagai upaya untuk merobohkan pondasi masjid. Sebuah kolom tua ada di basement masjid, menurut Jamal, kolom itulah yang terus diklaim yahudi sebagai pintu masuk ke Haikal Sulaiman. Omong kosong, saya tidak percaya dengan segala klaim dan bualan mereka. Tempat itu sekarang adalah masjid, digunakan untuk sholat, itu yang harus kita pertahankan. Titik. Ah, jangan salahkan saya kalau bersikap antipati pada mereka, sebelumnya saya hanya membaca dan mendengar bagaimana mereka memperlakukan saudara-saudara kita di Palestine dan tempat suci ini, setelah menyaksikannya sendiri, kenyataannya sungguh menyesakkan dada. Ya Azis, Yang Maha Adil, bahkan Engkau telah melaknat mereka dalam Al Qur'an.

Pada masa Kekhalifahan Islam, lazim didirikan masjid untuk menandai suatu peristiwa atau tempat bersejarah. Masih di dalam Kompleks Haram Al Syarief, ada sebuah tempat yang diberi nama Masjid Buraq. Dipercaya Malaikat Jibril meletakkan Buraq, kendaraan yang digunakan untuk membawa Rasulullah Isra' dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di tempat ini. Namun sekarang tempat itu sudah tidak difungsikan sebagai masjid lagi. Hanya ada lambang bulan bintang dan tulisan Arab; Masjid Buraq untuk menandainya. Dahulunya ada pintu gerbang di dekat Masjid Buraq ini, namun kemudian ditutup untuk menghindari kemusyrikan. Saya tersenyum mendengar penjelasan Jamal, kalau di tanah Jawa, pastilah tempat ini sudah dikeramatkan dan banyak orang ngalap berkah di sini.

Sekitar lima puluh meter dari Masjid Buraq ada Madrasah khusus untuk wanita. Madrasah seperti ini banyak didirikan pada masa Dinasti Mamluk di dalam Kompleks Haram Al Syarief. Semua yang bersekolah di situ dibebaskan dari biaya alias gratis. Sumber dananya didapat dari pasar yang didirikan di luar kompleks masjid. Sungguh sebuah ide brilian. Rakyat diberi tempat untuk berdagang, sebagai gantinya mereka harus membiayai madrasah, semua orang bisa bersekolah tanpa biaya. Efeknya: perekonomian bergerak, rakyat pintar, negara maju. Subhanallah! Tanda kemajuan lainnya, pada masa itu baik laki- laki maupun perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan. Tak  heran kalau Islam mengalami kegemilangan yang luar biasa, karena kualitas keimanan dan ilmu pengetahuan ada dalam genggaman. Ya Allah, izinkanlah generasi kami kembali mengulang masa kejayaan itu. Amin.

Banyak lagi alasan yang menjadikan seluruh Kompleks Haram Al Syarief adalah tempat suci selain Rasulullah SAW Mi'raj dari sini, dan tempat ini pernah menjadi kiblat pertama sebelum turun perintah untuk sholat menghadap Ka' bah. Nabi Adam setelah meninggikan Ka'bah berada di sini untuk beribadah pada Allah. Hampir seluruh nabi, selain Nabi Adam, Ismail dan Rasulullah SAW, pernah berada di negeri ini untuk berdakwah mengajak umatnya men-Tauhidkan Allah. Di sini pula Rasulullah SAW pernah mengimami para nabi untuk sholat berjama'ah. 

Ah, menikmati senja di dalam kompleks Haram Al Syarief, Subhanallah indahnya. Lokasinya yang luas membuat suasananya tenang, hiruk-pikuk di luar tembok nyaris tak terdengar. Tak heran banyak anak-anak pulang sekolah duduk-duduk di situ. Sambil mengerjakan PR atau belajar kelompok, mungkin. Anak-anak kecil bermain bola dengan riang. Seluruh kekejian yang dilakukan Israel seakan tak berbekas di dalam Kompleks Haram Al Syarief. Sungguh, janji Allah yang menjadikan Masjidil Aqsa sebagai tempat yang diberkahi, saya saksikan sore itu.


Uttiek Herlambang
Kompleks Haram Al Syarief, Palestine, 2012

Kamis, 12 April 2012

Masjid Ini Aman, Allah Yang Menjaganya

Warnanya abu-abu dengan dua garis berwarna cokelat. Kain ini adalah kain khas Afghanistan. Sering dikenakan laki-laki maupun perempuan untuk menutupi tubuh dari dinginnya udara gurun. Tenunannya cukup tebal dengan jalinan benang yang kuat. Lebarnya selebar kain jarik. Sekali diserempangkan dari leher hingga lutut bisa tertutupi. Orang yang menciptakan kain ini sangat cerdas, batin saya. Dinginnya udara gurun berbeda dengan dinginnya salju, dinginnya udara gurun dibawa oleh angin. Memakai kain tebal dan panjang seperti ini lebih efektif ketimbang jaket. Dengan mudah kain bisa dipindahkan ke kepala, kaki atau bagian tubuh lainnya yang terasa dingin.

Sekali lagi saya mempererat lilitan kain di bagian leher. Menarik ujung sarung tangan. Suhu udara sore itu sekitar 7-8 derajat dengan angin yang cukup kencang berhembus (sebagai perbandingan suhu di Bromo sekitar 10 derajat). Orang-orang berjalan cepat untuk menghalau dingin. Saya berdiri di tangga depan hotel dengan gembira, sesekali berjalan hingga ujung perempatan. Kami masih harus menunggu dua orang yang belum turun dari kamarnya. Padahal tadi Jamal sudah wanti-wanti berpesan supaya cepat berkumpul lagi di loby hotel. Saya tidak tahu jam berapa karena jam tangan saya masih menggunakan waktu Jakarta. Orang-orang lalu-lalang di depan saya, sepertinya pulang kerja.

Akhirnya diputuskan untuk mulai jalan perlahan sembari menunggu. Saya berusaha berjalan di samping Jamal supaya bisa banyak bertanya. Trotoar yang kami lewati tidak terlalu lebar, hanya cukup untuk papasan dua pejalan kaki. Di kanan-kiri toko-toko sederhana masih buka. Toko pakaian, sepatu, barang-barang murah dari China, restoran, barber shop. Suasanan seperti jalan Coyudan di Solo, atau Pasar Baru Bandung, saat tidak terlalu ramai. Orang-orang di jalan sangat ramah, mereka akan melempar senyum atau membalas senyum saya. Hotel National tempat saya menginap adalah hotel bintang 4 lokal yang berada di kawasan Arab Palestine. Lokasinya tidak terlalu jauh dari benteng kota tua. Setelah berjalan sekitar 200m, sampailah di persimpangan yang ramai. Ada pedagang buah dan sayur yang menggelar dagangannya di pinggir jalan, ada anak-anak yang sepertinya baru pulang sekolah, dan ada yahudi menyeberang jalan, saya memejamkan mata tidak mau melihat.

Yang saya suka dari Al Quds (Yerusahlaim) semua orang menunjukkan identitasnya dengan jelas; wanita muslim akan memakai jilbab dan laki-lakinya memakai peci atau membawa tasbih; yahudi akan memakai kippa, sekalipun ia sedang memakai seragam wajib militer atau memakai jeans dan t-shirt; orang-orang nasrani memakai kalung salib. Semua tahu siapa dia. Jelas. Tidak seperti di Jakarta yang serba tidak jelas. Dari seberang jalan saya sudah bisa melihat salah satu gerbang Old City. “Yala...yala,” seru Jamal dalam Bahasa Arab Amiyah yang berarti, cepat, cepat, saat menyeberang jalan yang lumayan ramai.

Old City kini terbagi menjadi 4 quarter: muslim, nasrani, yahudi dan armenia. Rombongan masuk dari Herrod’s gate, pintu gerbang dari quarter muslim yang paling dekat dari arah hotel. Sewaktu membebaskan Al-Quds (Yerusahlaim), Salahudin Al Ayyubi memasuki kota dari Damaskus gate. Pintu gerbangnya masih asli, lengkung yang tersusun dari batu-batu besar sangat kokoh. Tidak terlalu lebar, hanya bisa untuk papasan tiga orang dewasa. Di balik tembok ada pedagang buah dan sayur, sepertinya ini dulu pos penjaga. Setelah itu belok ke kiri, sepanjang lorong di sebelah kanan berderet toko-toko kecil. Jalanan di dalam kota tua terbuat dari batu-baru besar yang sangat kuat, ini seperti conblock tapi ini versi kuatnya karena terbuat dari batu. Ada undakan naik-turun yang tidak terlalu tinggi. Jalannya kecil, dengan labirin yang berkelok-kelok. Pastilah benteng ini didesain dengan sangat cerdas untuk menahan serangan dari luar. Menyusuri lorong di kota tua, terlihat jelas jejak perjuangan Salahudin Al Ayyubi membebaskan kota ini dan menjadikannya kota paling aman selama lebih dari 7 abad.

Saya tidak ingat berapa kali berbelok, naik, turun, sampai akhirnya Jamal memperlambat jalannya menunggu rombongan yang masih tertinggal di belakang. Saya yang berada di depan langsung melihat ada tiga orang tentara sedang duduk di depan gerbang besi berwarna hijau, hanya satu pintu kecil bagian kiri yang dibuka. Jamal menjawab pertanyaan mereka dengan Bahasa Hebrew, saya hanya menangkap kata, “Indonesia.” Pandangan mereka tidak bersahabat. Langit mulai temaran, dari tempat berdiri, saya bisa melihat kubah Al Sakrah yang berwarna emas. Indah sekali dalam keremangan langit senja. Tiba-tiba kaki saya tidak bisa digerakkan begitu kumandang adzan terdengar. Subhanallah, kumandang adzan Masjidil Aqsa terdengar indah sekali. Hati saya tergetar ketika muadzin sampai pada kalimat, “Hayya 'alash sholah; Marilah sholat,” Alhamdulillah ya Allah, Engkau turunkan perintah sholat.

Dari gerbang besi ada beberapa undakan naik, setelah itu terlihat pelataran yang sangat luas. Semua bergegas berjalan menuju kubah Al Sakrah. Ada teras kecil di depan pintu masjid tempat kita melepas alas kaki. Setelah melewati pintu, rak-rak untuk menyimpan sepatu ada di sebelah kiri. Segera saya sholat dua rekaat tahiyatul masjid dan dua rekaat qobliyah. Lalu terdengar iqomah dan imam mulai mengumandangkan takbir. Dada bergemuruh; sholat di Masjid Nabawi rasanya syahdu karena kita tahu Rasulullah SAW dibaringkan di dekat situ; sholat di Masjidil Haram rasanya sangat dekat dengan Allah, karena sholat bisa menatap Ka’bah; sholat di Masjidil Aqsa, subhanallah, semangat keislaman akan bergolak, dari tempat ini Rasulullah Mi’raj untuk menerima perintah sholat, tempat ini diperjuangkan dengan darah dan air mata dari generasi ke generasi.

Bacaan imam sangat indah, suaranya sedang, namun sangat tartil. Lalu terdengar imam mulai membacakan doa qunut untuk keselamatan saudara-saudara di Gaza. Saya yang dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah, seumur hidup baru beberapa kali sholat dengan qunut, itu pun pasti secara tidak sengaja. Namun kali ini air mata saya menderas. Amin yang saya ucapkan betul-betul dari sanubari terdalam. Ya Rabb, selamatkanlah saudara-saudara kami dari orang-orang dzalim ini. Saya bayangkan bagaimana rasanya saat para syuhada berangkat berjihad dan menyongsong kematian dengan senyum karena surga sudah diperlihatkan padanya.

Setelah sholat ba’diyah, saya menyalami wanita yang sholat di sebelah saya. Ia bertanya tanpa melepas genggaman tangannya, saya bisa menangkap sepotong bahasa Arab yang diucapkannya, “Masmuki Uttiek, ana min Indonesiy,” [nama saya Uttiek, saya dari Indonesia] jawab saya. “Subhanallah,” sahutnya sambil memeluk saya erat. Ia lalu memanggil seorang wanita yang memakai seragam hitam dan kerudung putih, diucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Arab yang cepat, saya tidak bisa menangkap apa maksudnya. Wanita berseragam itu terus mengangguk-angguk sambil memandang saya. Saya balas senyumnya. Lalu dengan bahasa Inggris yang sangat fasih ia memperkenalkan diri, namanya Fatima, ia adalah penjaga keamanan Masjid, diucapkannya selamat datang pada saya, senang sekali ada saudara jauh dari Indonesia berkunjung. Sama seperti wanita tadi, Fatima juga memeluk saya erat, bersahabat.

“Kabarkan pada saudaramu untuk datang kemari. Mereka hanya memusuhi kami. Masjid ini aman. Masjidil Aqsa aman karena Allah yang menjaganya,” katanya tegas tanpa melepaskan tangan saya.


Uttiek Herlambang
Kubah Al Sakrah, Palestine, 2012

Rabu, 11 April 2012

Al-Quds, Al-Quds, Memanggil

Setelah makan siang, Jamal dan teman yang tertahan di border Jordan sudah bisa bergabung. Alhamdulillah. Bus bergerak meninggalkan Jericho menuju makam dan Masjid Nabi Musa. Masjid dibangun pada masa dinasti Mamluk, terlihat dari ciri arsitekturnya yang banyak menggunakan lengkung. Di sini untuk pertama kalinya saya merasakan dinginnya air Palestine di bulan Maret. Nyeess...rasanya waktu mengambil wudhu. Selesai sholat Dzuhur dan Ashar dijama’ qasar, Jamal menunjukkan makam umat Islam di belakang masjid, dahulunya daerah ini adalah perkampungan yang padat. Namun sekarang semua sudah mengungsi akibat bombardir Israel. Jadilah Masjid Nabi Musa seperti berdiri sendiri di tengah padang tandus.

Makin dekat dengan Al-Quds (Yerusahlaim), Jamal menunjuk ke atas bukit. Dari kejauhan terlihat berderet-deret rumah berbatas tembok tinggi, itu adalah Israeli settlements atau pemukiman yahudi yang dibangun dengan merampas tanah-tanah Palestine. Ada kegetiran yang tertangkap dari nada bicara Jamal. Sebelum tahun 1967, settlements itu jumlahnya belum seberapa, hanya puluhan atau ratusan. Kini jumlahnya tak terhitung lagi. Hampir tak ada bukit yang di atasnya tidak dibangun settlements. Israel menjual perumahan berfasilitas lengkap itu dengan harga sangat murah untuk orang-orang yahudi dari seluruh dunia yang mau menetap di tanah Palestine. Sekilas terlihat seperti perumahan-perumahan baru di BSD atau Cibubur. Dada terasa perih membandingkan kondisi kamp pengungsi Palestine dengan settlements yahudi. Selain bergaya minimalis modern, di setiap rumah dilengkapi dengan pemanas, AC, serta fasilitas umum.

Menurut Jamal ada beberapa cara yang dilakukan Israel untuk merampas tanah milik orang Palestine. Pertama mereka akan menyodorkan cek yang boleh diisi sendiri. Berapa pun mereka akan menjual tanah/rumahnya akan dibayar. Mereka yang lemah iman, biasanya terbujuk untuk menjual tanahnya. Kalau tanah disekitar sudah berhasil diperoleh tapi ada beberapa rumah yang masih bertahan, mereka akan mengisolasi rumah-rumah itu, menyetop air serta listrik, hingga penghuninya menyerah. Tapi kalau cara itu tidak mempan, mereka akan membuldoser paksa. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

Kontur tanah di Palestine berbukit-bukit, jalanan naik-turun. Bayangkan indahnya negeri dimana pohon Tin dan Zaitun tumbuh subur ini. Udaranya yang sejuk, di kanan-kiri tanaman menghijau. Mungkin kalau daerah ini tidak terjajah, pastilah seelok Lembang atau Lereng Pananjakan di Bromo. Jamal lalu bercerita tentang tembok pembatas yang dibangun sejauh 844 km (sekadar perbandingan jarak Jakarta-Surabaya melalui jalan darat adalah 822 km!). Tembok ini merenggut semua hak rakyat Palestine. Mereka tidak bisa bebas bergerak, kemanapun harus melewati check point, bahkan sekadar berkunjung ke rumah tetangganya.

Bus lalu berhenti di sebuah bukit yang telah tertata rapi, namanya Mt Olive atau Bukit Zaitun. Dahulunya di sini adalah perbukitan zaitun, tapi sekarang sudah diratakan, sebagian dijadikan kuburan yahudi. Di atas bukit berdiri sebuah plaza yang cukup luas, dari sini kita bisa memandang keindahan panorama Kota Al Quds (Yerusahlaim). Kubah emas itu! Pandangan saya tidak beranjak darinya. Jamal lalu menunjuk benteng yang membatasi old city. Terlihat sangat luas dari kejauhan. Ah, di situ dulu Khalid bin Walid mengepung kota selama berhari-hari sampai akhirnya Gubernur Al Quds (Yerusahlaim) menyerah dan menyerahkan kunci gerbang kota pada Khalifah Umar bin Khatab. Di situ pula beberapa generasi kemudian sang pahlawan Salahudin Al Ayyubi membebaskan kota dengan pertempuran yang heroik. Tak sabar rasanya ingin segera turun dan memasuki gerbang kota tua itu.


Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi padaku

Bait di atas adalah penggalan syair yang sangat terkenal dari seorang sufi wanita Rabi’ah al-Adawiyah. Makam sang sufi ini yang menjadi tujuan selanjutnya. Terus terang saya tidak terlalu tertarik dengan sufiisme, jadi pengetahuan saya tentang Rabi’ah al-Adawiyah tak lebih dari penggalan bait syairnya yang terkenal itu. Dari penjelasan Jamal, saya baru tahu kalau ia adalah anak seorang saudagar kaya yang mengabdikan hidupnya untuk kemanusiaan. Ia menghabisakan banyak hartanya untuk menolong kaum papa, dan memberikan air ketika Al Quds (Yerusahlaim) terkena wabah penyakit. Makamnya berada di ruangan bawah tanah. Kita harus menuruni tangga. Temboknya terasa dingin namun lantainya beralas karpet. Di dekat gerbang tumbuh pohon zaitun yang rindang.

Dari makam Rabi’ah al-Adawiyah, rombongan berjalan kaki menuju makam Salman Al Farisi. Udara dingin terasa menusuk tulang karena angin berhembus cukup kencang. Salman Al Farisi adalah seorang sahabat yang perjalanan hidupnya sangat dramatis. Anak seorang bangsawan dari tanah Parsi (Al Farisi menunjukkan ia orang Parsi), hasratnya bertemu Rasulullah membuatnya mengembara, berganti-ganti beberapa agama, menjadi budak, sebelum akhirnya dimerdekakan dan menjadi salah satu sahabat yang istimewa. Kecerdasannya menginspirasi dari generasi ke generasi. Institut Teknologi Bandung mengabadikan namanya sebagai nama masjid kampus. Masjid Salman yang terkenal itu. Sepanjang jalan menuju makam Salman Al Farisi saya mulai melihat banyak grafiti yang menyuarakan perlawanan, banyak gambar bendera Palestine. Ah, saya benar-benar berada di sini.

Hari mulai senja, tak sabar saya ingin segera mendengar kumdandang adzan dari Masjidil Aqsa. Jamal menyudahi penjelasannya dan meminta kita segera kembali ke bus untuk menaruh barang-barang di hotel dan sholat Maghrib di Masjidil Aqsa.

Al-Quds, Al-Quds, terus memanggil...




Uttiek Herlambang

Al Quds (Yerusahlaim), Palestine, 2012

Selasa, 10 April 2012

Mereka Rampas Tanah dan Pohon Jeruk Kami

Setelah beres urusan imigrasi, lokal guide yang bernama Jamal menyambut kami di pintu keluar. Untuk ukuran orang Indonesia postur Jamal terhitung tinggi, kulitnya putih, rambutnya agak ikal berwarna hitam kecokelatan. Kesan saya pertama bertemu dengannya, ia terlihat gugup. Apalagi salah satu teman dalam rombongan masih tertahan di border Jordan, berulangkali ia meminta kami untuk bersabar karena berurusan dengan Israel tidak bisa diduga, bisa sejam, dua jam, atau seharian. Ia meminta kami berdoa supaya segalanya berjalan lancar.  Setelah tiga hari bersama, saya akhirnya paham mengapa ia selalu terlihat gelisah dan gugup. Nanti akan saya ceritakan.

Berbeda dengan Jamal, supir bus yang bernama Abu Ismail (ayahnya Ismail, orang Arab mempunyai tradisi dipanggil dengan nama ayah dari anak laki-laki pertama), wajahnya terlihat teduh, senyum selalu tersungging di bibirnya. Berkulit putih, dengan rambut beruban, dan hidung khas pria Arab. Sekalipun Bahasa Inggrisnya terpatah-patah, tapi ia berusaha keras untuk bersahabat dengan kami. Melihat Abu Ismail, saya jadi teringat Maher, supir bus selama di Jordan. Ia seorang Palestine yang mengungsi ke Jordan. Sudah puluhan tahun tak kembali ke negaranya. Ketika mengantarkan kami ke border King Husein Bridge, wajahnya tampak sendu, ia bahkan sempat menitikkan air mata ketika menceritakan kerinduan pada tanah kelahirannya. Kawat berduri sepanjang 4km memupus mimpinya. Semoga Allah segera memberikan jalan bagimu Maher, untuk menghirup kembali  segarnya udara Palestine dan bertemu dengan saudara-saudaramu.

Selama di border kita dilarang memotret. Peringatan itu kembali diulang, selama melewati check point kita dilarang memotret, apalagi memotret tentara Israel. Entah apa alasannya. Tapi itu tak ada pengaruhnya buat saya, jangankan memotret, melihat wajah mereka pun saya malas. Selalu yang terbayang bagaimana tingkah laku mereka menganiaya saudara-saudara kita di Palestine. Bus bergerak pelahan meninggalkan border, setelah diputuskan Jamal akan menunggu teman yang masih tertahan di border Jordan. Nanti kita akan bertemu di restoran saat makan siang. Kalau ternyata nanti belum beres urusan saat makan siang, akan dipikirkan lagi langkah selanjutanya. Untuk sementara perjalanan akan dipandu oleh Abu Ismail yang merangkap supir.

Di kiri-kanan terlihat kawat berduri dan bukit pasir yang sengaja di buat. Konon di dalam bukit-bukit pasir itu banyak ditanam ranjau darat. Jalanan  lebar yang beraspal mulus terlihat begitu lengang, sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan dan bukit pasir buatan. Di kejauhan terlihat Dead Sea, Laut Mati, tempat dimana umat Nabi Luth ditenggelamkan. Hanya sesekali bus berpapasan dengan bus lain yang juga membawa rombongan. Tak terlihat sama sekali mobil pribadi, "Apalagi ojeg," canda seorang teman memecah ketegangan. Lumayan.

Bus terus bergerak, dari kejauhan terlihat kibaran bendera yang sudah sangat saya kenal. Hitam-putih-hijau-merah. Palestine! Alhamdulillah. Abu Ismail menunjuk sebelah kiri, ia mengatakan kalau itu adalah kamp pengungsi Palestine. Rumah-rumah yang sudah terlihat tua, centang perentang, ah, hati kembali basah. Saya teringat buku dr Ang Swee Chai, From Beirut to Jerusalem, tentang pembantaian di Kamp Sabra-Shatila. Tiba-tiba tercetus tanya, "Where's Sabra-Shatila Camp?" "Sabra-Shatila is in Libanon, Mam," wajah Abu Ismail berubah sendu. Ah, tentu  saja saya tahu kalau Kamp Sabra-Shatila ada di Libanon, tapi entah kenapa pertanyaan itu terlontar begitu saja ketika mendengar bahwa bangunan yang ada di kiri jalan adalah kamp pengungsi Palestine. Mungkin karena ini pertama kali saya melihat langsung kamp pengungsi yang sudah ratusan kali saya baca di buku maupun artikel tentang Palestine.

Melewati sebuah bundaran kecil, Abu Ismail menunjukkan tanda bahka kita sudah memasuki kota Jericho, the moon city, mungkin itu seperti kata Solo Berseri. Kota Jericho adalah ibukota administratif Palestine untuk sementara ini. Kota ini pernah menjadi kota tertua di dunia yang masih terus ditinggali manusia, sebelum akhirnya tergantikan dengan ditemukan kota Gaziantep di Turki. Cuaca di Jericho masih dingin di bulan Maret namun akan mendapat curahan matahari yang cukup di musim panas. Hasil bumi berupa buah dan sayur dari Jericho sangat terkenal. Jeruknya sangat-sangat manis. Yang mencengangkan, pohon pisang yang butuh banyak air tumbuh di sisi kiri jalan, sedang di kanan jalan pohon kurma yang butuh panas matahari bisa berbuah. Subhanallah. Sungguh, tanah Palestine adalah tanah yang diberkahi.

Bus berhenti di sebuah restoran untuk makan siang. Lantai satu dijadikan toko souvenir dan toko yang menjual aneka buah-buahan, sedang lantai dua difungsikan sebagai restoran. Makanannya disajikan secara buffet alias prasmanan. Semua rasanya enak menurut saya. Pizza yang terhidang baru keluar dari oven, hangat dan kejunya meleleh di mulut. Manisan jeruknya super.  Selesai makan saya memutuskan untuk berbelanja buah-buahan. Aneka jeruk, anggur, pear, pisang, apricot, hingga kurma terhampar menggoda mata. Semua ada testernya bagi yang ingin mencicipi. Satu kilo jeruk dihargai 4 USD, satu kilo pear 6 USD. Pembayaran bisa dilakukan dengan  Shekel, mata uang Israel, atau USD. Saya tidak pernah mau melakukan transaksi dengan mata uang Shekel, dengan banyak alasan. Saya putuskan untuk membeli jeruk dan pear. Jeruk ini akhirnya saya bawa hingga ke Jakarta, saking senangnya.

Meskipun hasil pertanian Jericho sangat istimewa, tapi produk rakyat Palestine menjadi tidak kompetitif di pasaran karena dikenakan pajak macam-macam oleh Israel. Harganya menjadi terlalu mahal. Ah, seandainya Jericho dekat, saya relakan tabungan saya setahun untuk terus membeli jeruk mereka dan saya bagikan untuk siapa saja yang menginginkan. Bangsa Palestine adalah bangsa yang kuat, meski terus dimiskinkan dan dipinggirkan, namun mereka bertahan. Kamp pengungsi, jeruk yang sangat manis dan senyum Abu Ismail adalah buktinya.

Keluar dari restoran, gerimis kembali mengguyur bumi Palestine. Sepertinya sayup-sayup saya mendengar teriakan mereka, "Mereka merampas tanah dan pohon jeruk kami, tapi kami tidak akan menyerah, tidak takut, karena yakin Allah  bersama kami. Mereka boleh mengambil apa saja, semua milik Allah. Allah pasti akan mengganti dengan yang lebih baik."

Hasbunallahu wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'mannashir 
[Cukup Allah pelindungku dan Allah lah sebaik-baik pelindung]


Uttiek Herlambang
Jericho, Palestine, 2012

Journey to Aqsa 2012

Lelaki itu terlihat masih sangat muda, umurnya sekitar 17-18 tahun. Berkulit putih pucat, rambutnya sedikit ikal, berwarna hitam kecokelatan. Memakai celana jeans, kaos biru bergaris-garis putih dan kacamata hitam. Senjata jenis M4 seri terbaru yang dilengkapi dengan laser berada pada posisi on, disandang di depan dada. Sambil berjalan mondar-mandir, mulutnya sibuk mengunyah permen karet. Entah apa yang sedang diawasi karena pandangan matanya terhalang kacamata hitam.

Tak jauh dari lelaki itu, seorang perempuan bertubuh gemuk, umurnya sekitar 30 tahunan, rambutnya keriting sebahu berwarna merah, terlihat berteriak-teriak marah. Di jarinya terselip sebatang rokok, menunjuk kesana-kemari. Dihardiknya seorang wanita tua yang tampak repot dengan troley-nya yang sarat muatan. Beberapa kali terlihat tumpukan barang di atas troley berjatuhan. Itu rupanya yang membuat antrean tersendat, dan membuat perempuan berambut merah itu marah. “Allahu Akbar,” desah wanita tua itu perlahan.

Dada mulai berdegup keras menyaksikan pemandangan itu. Padahal tadi rasanya biasa saja saat melintasi daerah demiliterisasi sepanjang 4 km dengan empat pintu gerbang yang dijaga tentara bersenjata lengkap. Ada rasa marah, sedih, kesal, menyaksikan bagaimana wanita tua dan banyak orang lagi diperlakukan dengan kasar di tempat itu. “Your bag?” suara itu menyadarkan saya. Seorang pria berumur 20 tahunan, memakai kippa, bertanya sambil melihat paspor saya. “With my husband,” jawab saya tak acuh sambil menunjuk ke depan. Sekali lagi saya menoleh ke belakang dan melihat wanita tua itu sedang membungkuk, memastikan posisi jerigen zam-zamnya supaya tidak jatuh. “Ya, Allah, mudahkanlah dia, Allahumma yassir wala tu`assir [Ya Allah mudahkan urusannya dan jangan dipersulit],” pinta saya dalam hati.

Rombongan terus bergerak ke depan, kami melewati jalur yang berbeda dengan penduduk lokal sehingga lebih cepat. Ada tiga alat x-ray barang dan orang seperti yang sering terlihat di bandara untuk menindai semua yang masuk area ini. Saya teringat wanita dari Singapura yang duduk bersebelahan di Masjid Nabawi, Madinah, beberapa hari yang lalu. Ia bercerita kalau bersamaan dengannya ada 8 orang warga negara Malaysia yang tertolak masuk. Alasannya: mereka membawa Al-Qur’an! Itu juga yang membuat semalam saya berpikir keras di hotel, saya tidak pernah pergi menginap tanpa membawa Al-Qur’an, apalagi ini adalah perjalanan ibadah. Tapi mempertimbangan kondisi semua rombongan, saya akhirnya memutuskan untuk menandai Al-Qur’an digital yang ada di iPad, sampai surat mana yang telah saya baca. Jadi selama di sini saya akan mengaji menggunakan iPad.

Ruangan setelah x-ray tidak begitu besar, sekilas terlihat seperti ruang kargo bandara. Hanya ada beberapa deret kursi untuk duduk. Di sebelah kanan ada toilet. Toiletnya lumayan bersih, tidak ada air, hanya tersedia tisue. Seorang wanita berumur 30 tahunan berteriak dari balik ruangan kaca meminta rombongan mendekat. Lambang mendekat dan mejelaskan kalau kita berombongan dan sedang menunggu yang lain. Ia mengajukan beberapa pertanyaan sederhana, seperti mau apa? Berapa lama? Kemana saja? Berapa orang? Tak lama saat duduk menunggu, ia keluar dari bilik kacanya dan menghampiri rombongan, “You want stamp on your pasport?” “No,” cepat saya menjawab. “All, no?” lanjutnya. “Yes,” tukas saya cepat.

Setelah semua rombongan terkumpul, kami diminta untuk mengantre di loket 5 dan 6. Mereka telah menyiapkan selembar kertas kecil, sebesar tiket parkir, kertas inilah yang dicap oleh mereka. Saya tersenyum kecut. Teringat cerita tentang larangan bagi Bani Israel untuk bekerja di hari Sabtu, mereka lalu memasang jala di hari Jum’at dan memanen ikannya di hari Ahad. Bahkan Allah pun coba mereka akali! Ini juga, banyak negara yang tidak punya hubungan diplomatik dengan mereka sehingga paspornya tidak bisa dicap dengan stempel imigrasinya, tapi tak kurang akal, karena mereka mau mengumpulkan pajaknya, jadilah dibuat kertas kecil itu sebagai penggantinya!

Kertas kecil berstempel imigrasi itu lalu diambil petugas di pintu keluar. Hati saya berdebar tidak karuan. Tak sabar ingin segera berlari keluar. Saya pejamkan mata begitu menginjakkan kaki di atas aspal. Saya hirup udara dingin ini dalam-dalam. “Ya Rabb, Alhamdulillah...Alhamdulillah, akhirnya saya bisa menginjakkan kaki dan menghirup udara Palestine. Negeri yang telah saya rindukan sejak umur empat tahun.” Setelah berulang-ulang mengucap syukur, saya berbisik, “Pi, akhirnya saya bisa sampai di sini. Saya akan melihat bentengnya Salahudin Al Ayyubi. Saya akan mendengar kumandang adzan dari Masjidil Aqsa.” Sudut mata saya terasa basah. Hati saya apalagi. Tiba-tiba saya merasa ada tetes air di tangan, lalu di kepala, saya menengadah. Gerimis. “Ya Allah, bahkan bumi Palestine pun ikut menangis merasakan kebahagiaan ini. Alhamdulillah, Ya Rabb.” 

Seorang teman dalam rombongan masih tertahan di border Jordania. Karena passportnya baru, ia harus mengajukan clearence lagi. Untuk bisa sampai ke Palestine, kita melewati daerah-daerah yang diduduki Israel, kepastian untuk bisa masuk atau tidak diberikan tiga hari sebelum rencana tanggal masuk. Ada 3 departemen yang harus memberikan izin; imigrasi, dalam negeri dan intelejen. Rupanya passport baru teman ini belum mendapat clearence dari departemen intelejennya. Jadilah kita semua harus menunggu di bus yang terparkir di border sisi Palestine yang diduduki Israel, dan teman itu menunggu di border sisi Jordania, menunggu izinnya didapat.

Tapi saya sangat menikmati masa menunggu ini. Dada saya rasanya dipenuhi perasaan gembira yang luar biasa. Sejak umur 2-3 tahun, Papi sering sekali mengisahkan kepahlawanan Salahudin Al Ayyubi dalam membebaskan kota Yerussahlaim sebagai dongeng pengantar tidur untuk saya dan adik-adik. Saya sudah hapal betul ceritanya. Sejak saat itu saya selalu punya mimpi untuk bisa sholat di Masjidil Aqsa, berada di tempat Rasulullah mi’raj untuk menerima perintah sholat dan melihat benteng kota ini. Saya sudah punya imajinasi sendiri bagaimana bentuk benteng itu sejak saya belum bisa membaca dengan lancar. Dan, sungguh Allah Maha Medengar, hari ini saya berada di tempat yang saya rindukan itu.

Uttiek Herlambang
King Hussein Bridge, Palestine, 2012