Selasa, 08 Mei 2012

Seharusnya Kita Bicara Satu Bahasa


Pukul 02.30 dini hari. Sekilas saya lihat jam penunjuk waktu sholat tak jauh dari tempat saya duduk. Saya tutup Al-Qur'an setelah menandai sampai juz berapa yang telah saya baca. Menggerakkan punggung ke kiri-kanan dan luruskan kaki untuk menghilangkan pegal. Dini hari ini saya baru selesai mengerjakan umroh dengan mengambil miqat di Dzul Hulaifah yang juga sering disebut Abyar 'Ali atau Bir Ali, dalam perjalanan dari Madinah ke Mekah.

Sudah menjadi kebiasaan saya dan Lambang, selesai umroh pertama kami tidak kembali ke hotel. Sebab biasanya umroh dimulai selepas sholat Isya’ dan barus selesai lewat tengah malam. Dini hari Masjidil Haram tidak terlalu padat, kita bisa sholat Tahajud sepuasnya di depan Multazam, tempat dimana doa diijabah. Membaca Al-Qur'an sembari menanti kumandang adzan subuh. Sungguh sangat nikmat.

Serombongan remaja perempuan berkerumun di dekat tempat saya duduk. Sepertinya mereka pelajar menilik pakaiannya yang seragam. Kerudung putih menjuntai sampai lantai masjid. Seorang wanita sepuh memimpin membaca doa, mungkin itu gurunya, batin saya. Tiba-tiba kerumunan itu heboh. Salah seorang dari mereka menangis. Dari hidungnya terus mengucur darah. Ah, mimisan, rupanya. Teman-temannya sibuk mengeluarkan tisu dan menenangkannya. Tapi darah semakin banyak dan anak gadis itu tambah sesenggukan.

Saya coba baca tanda pengenal mereka yang ditulis dalam huruf Arab: Syuriah. Alhamdulillah, sekalipun negerinya sedang bergolak, anak-anak sekolah ini tetap bisa melaksanakan ibadah umroh. Mungkin anak itu kecapekan. Mungkin udaranya dingin sehingga ia mimisan. Seorang wanita dewasa akhirnya membawa anak itu meninggalkan teman-temannya yang bersiap hendak melaksanakan tawaf.

------------

Satu, dua, tiga, ...,  akhirnya kanan kiri saya sesak oleh jama'ah. Waktu subuh semakin dekat. Langit di atas Ka’bah masih gelap. Saya tidak terlalu memperhatikan karena masih membaca Al-Qur'an saat seorang wanita berteriak ribut. Teriakannya memancing orang untuk menengok. Ia menyuruh wanita yang duduk di sebelahnya berdiri. Terlihat ada bercak darah menempel di gamisnya. Wanita yang disuruh berdiri itu sepertinya tidak merasa dirinya sedang haid. Keduanya ribut dalam bahasa Parsi. Mungkin keduanya dari Irak atau Iran.

Orang-orang yang melihat sibuk berkomentar dalam bahasanya sendiri-sendiri. Wanita yang gamisnya terkena bercak darah itu akhirnya meninggalkan tempat itu, sepertinya ia mau memastikan apakah sedang haid atau tidak. Awalnya saya tidak ingin nimbrung, tapi karena makin ribut, saya coba katakan kalau itu darah mimisan, bukan darah haid.

"Anyone speak English?" tanya saya.
"Yes, I am," jawab seorang wanita.
"That’s nosebleed ," kata saya. "Can you speak Arabic? Please tell them," imbuh saya.
Ternyata wanita itu juga tidak bisa berbahasa Arab.
Saya coba berikan bahasa isyarat bahwa darah itu keluar dari hidung bukan darah haid. Sebagian sepertinya mengerti, sebagian tetap ribut. Wanita berbahasa Parsi itu masih terus berkomentar sendiri.

Ah, saya mendesah pelan. Saya merasa miris menyaksikan kejadian ini. Ini sudah saya rasakan lama. Tiap kali harus mengatakan, “Can you speak English?” sebelum memulai perbincangan dengan seseorang di rumah Allah membuat saya sedih. Saya dan jama'ah wanita yang ada di tempat ini seharusnya bicara dalam satu bahasa. Bahasa Arab. Bahasa Al-Qur'an. Bahasa yang sama yang membuat kita bisa memahami maksud satu dengan yang lainnya. Allah sudah turunkan bahasa itu untuk menyatukan kita, memudahkan kita, tapi tidak semua umat Islam bisa menggunakannya. Termasuk saya.

Sebenarnya bukan tanpa usaha, saya dan Lambang bersama beberapa teman, Alee, Novi, Dedeh, dan beberapa nama lagi pernah ikut kelas Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar, Jakarta. Sampai jilid 5 tidak berlanjut karena kelas ditutup, jumlah pesertanya tidak memenuhi quota. Yang saya sesalkan, saya tidak terlalu bersungguh-sungguh waktu ikut kursus itu. Tidak ada target harus bisa. Padahal tak kurang yang mengajar adalah seorang doktor Ilmu Bahasa Arab lulusan University of Khartoum-Sudan, yang sudah sangat berbaik hati meluangkan waktunya –syukron laka, yaa ustadz-. Saya harus memulainya lagi. Harus!

Kemampuan berbahasa Arab inilah yang pernah menyatukan seluruh umat Islam di dunia dalam muktamar akbar: ibadah haji. Tranfer ilmu agama dan pengetahuan menjadi efektif karena kesatuan bahasa. Tak heran pemerintah Kolonial Belanda sangat takut dengan orang-orang Nusantara yang pergi haji. Di tanah suci mereka bertemu dengan orang dari seluruh penjuru dunia. Ide tentang kemerdekaan. Ide melawan kafir Belanda, muncul dari situ. Tak heran selama 22 tahun, dari 1911 sampai 1933, jamaah haji Nusantara begitu kembali dari tanah suci dikarantina terlebih dahulu di Pulau Onrust. Alasan Belanda untuk pemeriksaan kesehatan, setelah berbulan-bulan di atas kapal dikhawatirkan mereka membawa penyakit. Namun lebih dari itu Belanda harus mempunyai data lengkap para khafilah haji ini, jika suatu saat ada pergolakan di daerah, para haji inilah yang ditangkap lebih dahulu. Selama di Pulau Onrust mereka juga dicuci otak, terutama terhadap ide-ide tentang kemerdekaan.

Jauh sebelum itu, pada periode keemasan Dinasti Abbasiyah, para pemimpinnya sudah menyadari betul kekuatan bahasa. Karena perluasan wilayah Islam membuat Bahasa Arab berkembang sesuai dialek setempat. Hingga akhirnya saling tidak paham sekalipun sama-sama berbahasa Arab. Keprihatinan ini mendorong digunakannya kembali Bahasa Arab Fushah, bahasa yang sesuai Al-Qur’an. Dan sejarah mencatat kegemilangan masa itu, selama lebih dari lima abad (750-1258 M), peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya. Perpustakaan yang disebut Baitul Hikmah mengoleksi tak kurang dari 2 juta buku. Ilmu pengetahuan berkembang pesat karena kekuatan bahasa.

Semua kehebohan itu berakhir saat adzan Subuh berkumandang. Darah mimisan remaja dari Syuriah tadi ditutup tisue. Shaf kami jadi terputus, karena tempat itu tidak bisa digunakan sholat. Ah, seandainya tadi semua bisa mengerti…


Laa budda an takuuna lughotunaa waahidah; Seharusnya kita bicara satu bahasa.


Uttiek Herlambang,
Masjidil Haram, Mekah, 2012

Sabtu, 05 Mei 2012

Pohon Gharqad Yang Terlupa


Handuk besar berwarna putih itu saya bentangkan di depan koper. Dinginnya lantai hotel membuat kaki serasa berdiri di atas balok es. Subuh ini saya harus berkemas, tak terasa sudah tiba waktunya meninggalkan Palestine. Ah, rasanya sungguh berat, seperti waktu haji tahun 2007, rasanya begitu berat waktu meninggalkan Mekah untuk pertama kalinya.
Satu persatu barang bawaan saya kemasi: baju kotor, peralatan mandi, oleh-oleh.
Ya Rabb, izinkan saya untuk datang dan datang lagi ke tempat mulia ini, negeri para Nabi, juga adik-adik saya, juga umat Muslim seluruh dunia.

Koper kecil itu mulai terlihat sesak. Saya buka tas kain yang setiap hari dipakai ke masjid, cangkir- cangkir keramik bertulis Masjidil Aqsa, jam dinding  berkaligrafi Surat Al Israh, tempelan kulkas, semua barang dari keramik ini tidak bisa masuk koper karena takut pecah. Ah, jeruk Jericho, yang ini jangan sampai tertinggal, batin saya sambil memasukkan satu per satu  ke dalam tas supaya tidak makan tempat. Kemarin Jamal wanti-wanti  kalau hari ini jam 7 pagi sudah harus berkumpul di loby hotel. Jangan sampai terlambat karena jadwal sangat padat. Kita harus menyeberang lagi ke Jordan, dari Jordan terbang ke Dubai, dengan waktu tempuh 6 jam, dari Dubai ke Jakarta terbang sekitar 11 jam. Dihitung dengan perbedaan waktu, sehari ini akan saya lewati selama 29 jam, melintas batas 4 negara.

 ------------

Bus mulai bergerak menuju perbatasan. Melewati jalan yang sama dengan yang kita lewati waktu datang. Masuk check point Israel, Jamal dan Abu Ismail turun, mereka melepas ikat pinggang karena harus melewati penindai. Tentara berseragam lengkap memperlakukan mereka dengan tidak ramah. Selesai melewati pemeriksaan, mereka berdua diberi semacam stiker seukuran foto 2R, berwarna orange terang dengan tulisan huruf Hebrew. Saya sudah pernah melihat sebelumnya waktu baru datang. "What's that, Jamal?" tanya saya. Jamal hanya mengangkat bahu sambil membuka kedua telapak tangannya. Dari ekspresi Jamal saya bisa menangkap kegetiran karena perlakuan diskriminatif yang merendahkan itu. Ah, hati jadi miris, saya teringat sapi-sapi yang harus mendapat cap dari Departemen Pertanian sebelum disembelih di rumah penjagalan.

Gara-gara stiker diskriminatif itu, saya jadi lupa untuk menanyakan satu hal penting. Ini yang masih saya sesali sampai sekarang. Saya ingin melihat wujud pohon gharqad! Pohon inilah yang di akhir zaman nanti akan menjadi tempat persembunyian yahudi, seperti yang diriwayatkan dalam satu hadist, "Tidak akan terjadi kiamat hingga kaum Muslimin memerangi yahudi, lalu membunuh mereka, sehingga seorang yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon itu akan berkata: Wahai Muslim! Wahai hamba Allah! Ini yahudi di belakangku, kemarilah, bunuhlah dia! Kecuali pohon gharqad, maka itu adalah dari pohon-pohonnya yahudi." [HR. Muslim VII/188, Bukhari IV/51, Lulu' wal-Marjan III/308] 

Dari informasi yang saya cari sebelumnya, pohon gharqad (Nitraria Retusa) adalah tanaman sejenis semak, berdaun kecil-kecil namun lebat dengan ranting banyak. Setelah besar, batangnya cukup kokoh dengan daun lebat yang bisa dijadikan tempat persembunyian. Sampai tahun 2007, sudah lebih dari 220 juta batang pohon gharqad yang ditanam yahudi di tanah Palestine. Untuk menggalakkan penanaman pohon ini, bahkan Israel menjualnya secara online seharga USD 18/batang. Dengan melihat langsung rupa pohonnya, setidaknya saya tahu kalau-kalau pohon ini tiba-tiba muncul di Indonesia.

----------

Saya benar-benar lupa bertanya tentang pohon gharqad itu sampai bus masuk ke wilayah Jordan. Di border King Husein Bridge, Osama, local guide yang mengantarkan rombongan ke Petra dan selama di Jordan sudah menunggu. Melihat senyum ramah Osama, pikiran saya kembali melayang ke Jamal. Membandingkan Jamal dengan Osama seperti bumi dan langit. Usia mereka seharusnya tidak terpaut jauh. Osama adalah anak muda energik, murah senyum, selalu terlihat optimis dan bersemangat. Sehari-hari ia memakai celana jeans, t-shirt, menyandang ransel, topi serta kacamata sport merk terkenal. Ia anak muda yang terlahir di negara makmur (sebagai ilustrasi mata uang Jordan, yakni Dinar Jordan nilainya setara dengan Euro), tak heran kalau selalu terlihat gembira, tidak seperti Jamal yang gugup dan gelisah.

The Hashemite Royal Family merupakan keturunan Bani Hasyim (keluarga yang menurunkan Rasulullah SAW), pendiri kerajaan Jordan ini sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Hampir semua penduduk Jordan berpendidikan tinggi. Menurut cerita Osama, bahkan penduduk desa pun bersekolah tinggi serta mampu berbahasa Inggris dengan baik. Osama salah satunya, ia lahir dan besar di  suatu desa sekitar 30 km dari Ibu Kota Amman. Tak hanya untuk kesejahteraan rakyatnya, renovasi serta pendanaan Masjidil Aqsa  yang saat ini dibawah The al-Aqsha Foundation for Waqf and Heritage (Yayasan Wakaf Al Aqsa) dananya sebagian besar juga dari Kerajaan Jordan.

Bus yang dikemudikan Maher meninggalkan border menuju Dead Sea (laut mati), tempat dimana umat Nabi Luth dan Kaum Sodom ditenggelamkan. Sepanjang perjalanan terlihat tanah Jordan yang subur, hijau, sejauh mata memandang terlihat perkebunan anggur dan zaitun. Kontur tanahnya naik turun, dengan udara sejuk  di tepian Mediterania. Sangat  berbeda dengan suasana di Palestine, meski jaraknya hanya selemparan batu. Semoga Allah segera berikan kedamaian di tanah Palestine, seperti yang terlihat di sini.

Sebelum sampai Dead Sea, rombongan sempat menziarahi makam Nabi Syuaib. Tempat ini dulunya bernama Negeri Madyan, Nabi Syuaib diutus untuk kaum yang suka berlaku curang dalam timbangan dan perniagaan. Jadi teringat kondisi Indonesia saat ini, perilaku korup, suap, perniagaan penuh riba, ah, semoga Allah tidak turunkan azab seperti yang terjadi pada Negeri Madyan.

Di sepanjang sisi Dead Sea, baik yang di wilayah Jordan maupun di wilayah Palestine yang diduduki Israel, banyak didirikan resort-resort mewah dan jaringan hotel internasional. Rombongan berhenti di salah satu resort untuk makan siang. "Jadi, kita tidak sempat berenang nih, Pak?" tanya seorang teman pada Pak Rustam. "Iya, waktunya mepet sekali, tidak memungkinkan untuk berenang," jawabnya. Beberapa orang terlihat kecewa. Saya bertanya pada Lambang, "Emang kamu juga mau berenang?" "Nyelupin kaki aja, enggak berenang," jawabnya. Saya jadi teringat cerita ibu-ibu dari Singapura yang duduk sebelahan di Masjid Nabawi, kaki suaminya yang berendam di Dead Sea tiga hari berwarna pink, setelah itu berubah jadi kehitaman, baru kembali normal setelah sampai Mekah.

Sejak awal saya memang tidak ingin menyentuh air Dead Sea, sekalipun lumpurnya dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit kulit, membuat awet muda, bahkan produk-produk dari Dead Sea laris untuk spa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Alasannya, bahkan mahluk hidup pun tidak ada yang mau tinggal di tempat itu karena tempat itu telah dilaknat Allah (penelitian ilmiah membuktikan bahwa kadar garam yang sangat tinggi membuat tidak ada satu mahluk hidup pun bisa bertahan di situ). Ulah kaum Luth, penduduk Kota Sodom dan Gomorah, sudah kelewat batas, sehingga tanah tempat mereka tinggal dibalik oleh Allah dan mereka ditenggelamkan di dasar laut mati. Teringat perkataan Presiden Iran Ahmadinejad yang terkenal itu, "Hapus Israel dari peta bumi. Biarkan mereka tinggal di atas laut mati." Setuju!

Rombongan bergegas masuk restoran. Makan siang disajikan secara buffet alias prasmanan. Nasi, aneka olahan daging, ayam, roti, pasta, boleh ambil sepuasnya, tapi minumnya bayar sendiri, seperti kebanyakan restoran All You Can Eat di Jakarta. Udara Dead Sea di bulan Maret masih sangat nyaman, sejuk, tidak terlalu dingin, sudah ada sinar matahari namun belum menyengat. Buat mereka yang tidak tahan gerah dan menyukai udara dingin seperti saya, mengunjungi negara-negara di Timur Tengah saat musim dingin (November-Maret) akan terasa sangat nyaman dengan suhu di bawah 15C.

Dari Dead Sea harusnya masih ada satu tujuan yakni Gua Ashabul Kahfi, namun karena terjebak kemacetan parah, akhirnya diputuskan untuk langsung ke Bandara supaya tidak tertinggal pesawat. Lokasi Gua Ashabul Kahfi ini masih diperdebatkan, apakah yang di Jordan atau yang di Damaskus. Karena tidak jadi mengunjungi yang di Jordan, saya berdoa semoga Allah izinkan untuk mengunjungi yang di Damaskus lain waktu. Amin.

Saat transit di Dubai menunggu penerbangan ke Jakarta, antara lelah sangat dan kantuk, saya baru teringat, ah, saya belum sempat bertanya pada Jamal seperti apa pohon gharqad itu?

----------

"Jadi, seperti apa pohon gharqad itu?" tanya Alee, sahabat saya  dan Lambang di food court Plaza Senayan, saat kami bertiga bertemu untuk melihat foto-foto perjalanan ke Aqsa.
"Itu dia Lee, aku nyesel banget, sampe pulang kelupaan terus nanya rupa pohon gharqad itu. Baru inget sudah di Dubai," jawab saya penuh sesal. "Mungkin ini rencana Allah, supaya kita bisa umroh, ke Aqsa lagi, dan melihat pohon gharqad bersama-sama," lanjut saya.

Kalau selama ini saya hanya berdoa supaya bisa kembali dan kembali lagi ke Baitullah dan menziarahi makam Rasulullah SAW, kini doa itu saya lengkapi: Yaa Rabb, izinkan saya untuk kembali dan kembali lagi ke Masjidil Aqsa, tanah Palestine, bumi para nabi...

Untuk Alee,


Uttiek Herlambang
Palestine-Jordan-Dubai-Jakarta, 2012