Jumat, 30 Januari 2015

Journey to Andalusia


“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir dan agar sebagian kamu dijadikanNya gugur sebagai syuhada. [QS Ali Imron: 140]

------------------------------------------------------------------------------------

Semua berawal dari hal sederhana: Dongeng pengantar tidur.

Setiap malam menjelang tidur, papi selalu mendongengkan banyak kisah untuk saya dan adik-adik. Favorit saya adalah perjuangan Salahudin Al Ayyubi membebaskan Al Quds (Yerusahlaim). Bahkan saya sudah punya bayangan seperti apa benteng yang berhasil ditaklukannya jauh sebelum saya bisa membaca dengan lancar. Papi dapat menceritakan dengan sangat heroik, bagaimana pasukan berkuda Salahudin memasuki gerbang kota.

Cerita lain yang menarik buat saya adalah kecerdikan Abu Nawas dan bijaksananya Raja Harun Al Rasyid. Saya selalu tertawa terpingkal-pingkal dengan ulahnya. Sampai sekarang pun saya masih bisa mengingat detailnya. Sayup-sayup saya juga masih ingat beberapa kali papi bercerita tentang Andalusia, penaklukan semenanjung Iberia oleh Thariq ibn Ziyad, istana Alhambra, dan Cordoba. 

Dari kebiasaan sederhana itu muncullah satu mimpi: Suatu saat nanti saya ingin mengunjungi negeri-negeri itu. Melihat benteng Salahudin Al Ayyubi, istana Harun Al Rasyid, keindahan Cordoba, dan kemegahan Alhambra.

Tahun 2012 Allah izinkan saya mengunjungi tanah Palestine, bumi para nabi. Damascus Gate, gerbang kota yang dimasuki Salahudin Al Ayyubi saat membebaskan Al Quds (Yerusahlaim) masih berdiri kokoh. Tapi kita tak lagi leluasa memasukinya. Tentara Israel menjaganya sepanjang waktu, mencurigai setiap muslim yang melintas, dan merasa berhak mengintograsi siapa saja yang dikehendaki. Banyak hal menyakitkan yang saya saksikan, namun itu justru melecutkan semangat keislaman.

Impian berikutnya Andalusia. Negeri sejuta cahaya, tempat segala hal hebat berawal. Mengapa Andalusia? Islam pernah menyinari negeri itu dengan ilmu pengetahuan, peradaban, dan kemanusiaan selama 800 tahun (711-1492). Lebih dari 2/3 sejarah Islam ada di sana. Andalusia adalah sejarah yang paripurna, bagaimana para syuhada terbaik pilihan Allah menyuburkan tanahnya dengan darah mereka. Dimulai dari perjuangan Musa bin Nushair dan panglimanya Thariq ibn Ziyad memasuki negeri yang tidak dikenalnya sama sekali. Jalan jihad ini bukan untuk mencari harta rampasan perang apalagi kemasyuran, semua semata-mata untuk menegakkan kalimat Allah.  

Allah lalu tunjukkan bagaimana manusia-manusia terbaik itu membangun peradaban. Di saat Barat masih menganggap penyakit sebagai kutukan, dokter-dokter muslim di Andalusia telah berhasil melakukan pembedahan, mengklasifikasi penyakit berdasar symtoms (gejala), meracik obat, bahkan mendirikan rumah sakit. Di sisi lain, para geographer muslim berhasil membuat peta dunia yang rumit dan detail, mengukur radius bumi, menemukan istilah mil untuk menunjuk jarak yang masih digunakan hingga saat ini. Berkat globe yang mereka buat, beberapa abad kemudian kolonial Barat bisa menemukan sumber rempah-rempah dan emas di belahan bumi lain. Tak hanya itu, kalkulus, algoritma, trigonometri, aljabar, adalah hasil pemikiran ilmuwan muslim yang tak ternilai bagi kemajuan peradaban. Tanpa penemuan-penemuan di bidang matematika itu, tak akan ada revolusi digital yang kita nikmati saat ini.

 Delapan ratus tahun bukan waktu yang singkat. Perlahan benderang itu mulai memudar. Hingga akhirnya sirna seakan tak berbekas. Dunia Barat berhutang banyak pada Islam. Mereka “mencuri”pengetahuan dan peradaban itu tanpa pernah mengakui Islam sebagai sumbernya. "Bagaikan bulan yang cahayanya hasil meminjam dari umat Islam," tulis Stanley Lane Poole di bukunya The Moors in Spain.  Apa yang terjadi? Ketika manusia-manusia terbaik tergantikan mereka yang terlena dengan gemerlap dunia, ketika ayat-ayat Allah ditukar dengan dendang lagu dan tarian, ketika tadabur Alquran yang mengasilkan ilmu pengetahuan ditinggalkan, ketika shaf salat tak lagi rapat, apalagi jalan jihad? Saat itulah kehancuran terjadi. Ibarat fragmen, Andalusia adalah episode yang lengkap. Semua telah disaksikan di sana.

Ah, saya jadi ingat ketika berpamitan pada seorang teman dan mengatakan setelah umroh akan melanjutkan perjalanan ke Andalusia. “Andalusia itu di Turki ya?” tanyanya. Maka saya menuliskan perjalanan ini, bukan sekadar menjelaskan bahwa Islam pernah berada di Andalusia: Spanyol, Portugal, dan sebagian Prancis –bukan di Turki-, tapi juga mengingatkan bahwa benderang itu bersumber dari Islam.

Assalamualaikum Andalusia,


Madinah, 30 Desember 2014

Uttiek Herlambang