Selasa, 03 Februari 2015

Benderang dari Kota Fes

Di sebuah dusun, nun jauh di satu titik di Benua Afrika, benderang itu muncul. Al Qarawiyyin, nama dusun itu. Sejak tahun 859 telah berdiri universitas yang menawarkan gelar kesarjanaan, sebuah sistem pendidikan yang masih dipergunakan hingga saat ini. Tak kurang hebat, pendirinya pun seorang perempuan. Anak saudagar kaya bernama Fatimah Al Fikhri yang mendermakan sebagian kekayaannya untuk mengongkosi universitas yang didirikannya. Seratus tahun kemudian Universitas Al-Azhar yang termasyur di Mesir baru berdiri, dan tiga abad kemudian, Universitas Oxford di Inggris baru mengikuti.

-------------

Kumandang adzan Dzuhur terdengar nyaring. Setengah berlari rombongan keluar dari toko kain dan bergegas menyusuri labirin Old Madina yang riuh. Sesekali bersenggolan dengan orang-orang di jalan sempit. Madina dalam bahasa Arab berarti kota, Old Madina adalah kota tua. Di situlah dulu denyut kehidupan kota Fes terpusat. Perumahan penduduk, pasar, masjid, madrasah,  semuanya di sana. Jalanan yang sempit dan berkelok-kelok didesain untuk keamanan penduduknya. Siapa saja yang tidak mengenal medan, pastilah akan tersesat dan tidak bisa keluar, termasuk para penjahat. Bahkan sampai saat ini, pengunjung yang datang ke Old Madina haruslah menggunakan jasa local guide sebagai penunjuk arah. Kalau tidak, dipastikan tidak bisa keluar dari dalam labirin itu.

Bangunan di dalam Old Madina rata-rata terdiri dari dua lantai. Bagian bawah digunakan sebagai tempat usaha dan di atasnya untuk tempat tinggal, mirip konsep ruko zaman sekarang. Bangunan yang relatif tinggi dan jalanan yang sempit sengaja dirancang khusus, mengingat matahari di Afrika pada musim panas sangat menyengat. Jadilah jalan-jalan itu ternaungi bayangan bangunan di sisi kanan-kirinya, sehingga lebih teduh untuk dilalui. Sungguh konsep arsitektur kota yang cerdas.

Old Madina terbagi dalam beberapa bagian, seperti area perajin kayu, perajin tembaga, pedagang kain, rempah-rempah, sayuran, daging. Di salah satu los, saya sempat dikejutkan dengan deretan pedagang ayam. Mereka menjual ayam hidup, bila ada pembeli, ayam itu diambil dan ditimbang. Setelah sepakat, langsung disembelih di depan pembeli dan ayam-ayam dagangan lainnya yang belum laku. Saya bayangkan ayam-ayam yang menanti giliran itu pastilah stres. Di kios daging, pedagang menjual kepala kambing dan sapi dengan cara menggantungnya di bagian depan. Azis bercerita dengan bangga bahwa kepala kambing dan sapi itu bisa diolah menjadi makanan yang lezat bagi orang Maroko. Sebagai orang Solo pemakan tengkleng, hal itu tentulah bukan prestasi.

Sebelum memasuki kota tua, Azis berpesan, kalau terdengar orang berseru, “Balak… balak,” kita harus menepi, karena akan ada keledai atau kuda yang sarat muatan lewat. Benar saja, beberapa kali saya mendengar orang berteriak, “Balak… balak,” dan tiba-tiba di lorong yang sempit itu muncullah keledai yang sangat dekat, bahkan dengus napasnya pun terasa menempel di telinga. Beberapa kali saya berteriak kaget, takut lebih tepatnya, karena terjepit di antara orang yang lalu lalang dan kuda sarat muatan.

Setelah beberapa kali berbelok, melewati suasana pasar yang menyenangkan, dan beberapa kali berhenti karena ada keledai atau kuda yang lewat, tiba-tiba jalan di depan tertutup kerumunan orang. Azis menyapa seseorang di dalam gerbang. Ia mengatakan sesuatu dalam bahasa Arab yang cepat. Konon dialek Arab Maroko paling sulit diikuti karena bercampur dengan bahasa Prancis. Tak lama pintu kecil di sebelah kanan dibuka. "This way, Madame," serunya sambil melambaikan tangan.

Saya segera melangkah masuk. Pria yang memakai jelaba (pakaian khas Maroko, berupa jubah panjang dengan capucone/hoods di kepala) yang tadi membukakan pintu mengambilkan rak sepatu. "Put your shoes here," katanya sambil menunjuk rak yang dibawanya. "That's way, Madame," lanjutnya sambil menunjuk ke bawah, tempat wudhu perempuan. “Merci,” jawab saya sambil tersenyum mendengarnya menyapa dengan sebutan Madame. Saya jadi teringat sekian tahun lalu ketika kursus bahasa Prancis di Centre Culturel Francais de Jakarta (CCF)-Salemba, semua saling menyapa dengan sebutan Madame dan Mademoiselle.

Melewati gerbang tempat orang-orang berkerumum tadi dari sisi dalam bangunan, mereka masih ada di sana. Selintas saya lihat kebanyakan bule. Rupanya orang-orang itu tidak diperkenankan masuk, karena masjid ini hanya untuk muslim, apalagi waktunya bertepatan dengan adzan Dzuhur. Seorang perempuan di ruang wudhu memberi isyarat supaya saya memakai sendal yang tersedia dan mengambil air wudhu di kolam yang tengahnya terdapat air mancur. Nyeeesss, airnya dingin sekali. Segera saya mengambil wudhu dan mengenakan kembali coat untuk menghalau dinginnya udara siang itu. Ia lalu menunjuk tempat salat perempuan yang terletak di mezanin.

Ada beberapa undakan untuk naik ke atas. Subhanallah. Dari tempat sholat perempuan itu saya baru menyadari betapa indahnya bangunan yang ada di depan. Sebuah plaza yang luas dengan tiga air mancur yang masing-masing berada di tengah, kiri dan kanan. Hampir seluruh lantai dan dindingnya tertutup mozaik yang sangat indah. Apalagi tempat wudhu yang ada di sisi kanan saya. Ada semacam gazebo kecil yang menaungi air mancur untuk wudhu itu, di belakanganya terlihat minaret yang menjulang. Indah sekali.

Lurus dari arah gerbang, terdapat tembok mozaik yang menawan. Rupaya mozaik itu yang membuat kerumunan turis di luar tak henti memotret. Ruang salat perempuan sangat unik. Letaknya di mezanin dengan bagian depan hanya berbatas pagar rendah, sehingga bisa menyaksikan dengan leluasa aktivitas di plaza utama. Layaknya rumah gadang di Padang, dengan jendela-jendelanya yang besar. Masjid ini mampu menampung 20.000 jamaah sekaligus.

Usai salat, saya berlama-lama menikmati keindahan itu. Tak terbayangkan bangunan kokoh ini telah berdiri lebih dari seribu tahun yang lalu dan menjadi sumber cahaya keilmuan di dunia. Universitas Al Qarawiyyin (Jami'ah Al Qarawiyyin) tercatat di Guinness Book of World Records sebagai universitas tertua di dunia. Pada masanya, mereka yang ingin kuliah di sini jumlahnya membludak, karenanya diberlakukan seleksi ketat. Setelah diterima, para mahasiswa ini diharuskan mempelajari seluruh isi Alquran dan menguasai bahasa Arab sebelum belajar ilmu-ilmu umum, seperti kedokteran, matematika, astronomi, kimia dan sebagainya.

Sungguh kurikulum yang sempurna, mengingat murid universitas ini berasal dari seluruh penjuru dunia. Banyak ilmuwan termasyur yang mencicipi pendidikan di sini, seperti Al Idrisi sang kartografer (pembuat peta), Ibn Khaldun, Al Arabi. Tak hanya orang Islam, Gebert of Aurillac, yang kelak dikenal sebagai Paus Sylvester II, hingga filsuf yahudi Maimonides, pernah mengenyam pendidikan di tempat ini.  Perpustakaan universitas ini pun menyimpan karya-karya fenomenal seperti salinan asli kitab Al-Ibar yang ditulis oleh Ibn Khaldun. Semua mahasiswa dibebaskan dari biaya pendidikan. Selama berabad-abad, sekalipun penguasa silih berganti, mereka selalu menjamin kelangsungan pendidikan di tempat ini.

"Madame... Madame," saya menoleh mendengar seruan itu. Melalui lambaian tangan, Azis memberi isyarat untuk segera meninggalkan tempat ini. Rasanya saya belum puas, bukan karena tempat ini indah, namun membayangkan menjadi bagian dari para pencari ilmu di sini membuat saya bangga sebagai orang Islam. Universitas Al Qarawiyyin adalah bukti pemahaman yang benar atas surat pertama yang turun. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmuyang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (pengetahuan). Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya. [Q.S 'Al-Alaq 1-5]. Sebelum beranjak, sekali lagi saya menatap ke arah plaza di depan, seekor burung merpati terbang rendah, lalu hinggap di air mancur tempat wudhu. Burung itu mematukkan paruhnya ke dalam air untuk minum.

Ya, tempat ini bagaikan oase untuk semua mahluk. Oase pengetahuan yang menjadi obor penerang manusia.



Al Qarawiyyin-Fes, 3 Januari 2015

Uttiek Herlambang

Senin, 02 Februari 2015

Thé à la Menthe


“Kok enggak ada ya?”
“Ini mungkin, Mas, Thé à la Menthe.”
“Iya, kalau bahasa Prancisnya ini memang mint tea. Pesen aja dulu, kalau salah, ya nanti pesan lagi.”

-------------------------------------------------------------

Malam belum terlalu larut ketika saya, Lambang dan Pak Rustam janjian untuk ngopi bareng setiba di Cassablanca-Maroko. Ya, perjalanan ke Andalusia setelah umroh ini memang melintasi Maroko, karena saya ingin menapaktilasi jejak perjuangan Musa bin Nushair dan panglimanya Thariq ibn Ziyad saat menaklukkan semenanjung Iberia. Dari Madinah kami transit di Doha, lalu mendarat di Cassablanca. Dari kota ini perjalanan dilanjutkan menggunakan jalan darat menuju Rabat-Fes-Tangier. Dari Tangier baru menyeberang selat Gibraltar ke Tarifa, lalu masuk Andalusia.

Tadi sewaktu sholat Isya di masjid, Lambang dan Pak Rustam sudah berencana akan ngopi di salah satu coffee shop dekat Imperial Cassablanca, hotel tempat kami menginap. Tapi ternyata kedai kopi itu sudah tutup saat kita ke sana. Jadilah kita ngopi di kedai kopi seberang rel trem yang masih buka. Di sepanjang Cassablanca dan kota-kota lain di Maroko, sangat mudah menemukan kedai kopi, atau yang dalam bahasa Arab amiyah disebut makha. Menurut Azis, local guide selama saya di Maroko, nongkrong di kedai kopi sebenarnya bukan kebiasaan asli penduduk Maroko, namun tradisi yang ditinggalkan kolonial Prancis saat menjajah negeri-negeri Maghribi (Maroko, Tunisia, Aljazair). Hampir di sepanjang jalan di setiap kota yang saya lintasi, terlihat berderet kedai-kedai kopi tua nan cantik.

Thé à la menthe yang dipesan Lambang ternyata memang Maroccan mint tea yang dimaksud. Teh Maroko ini tidak dihidangkan menggunakan cangkir, melainkan memakai gelas yang agak besar, seukuran gelas es teh kalau di Indonesia. Tak seperti teh pada umumnya, penyajian Thé à la menthe cukup unik. Gelas besar itu dipenuhi dengan daun mint atau mereka menyebutnya daun na’na, baru kemudian disiram dengan seduhan air teh yang sangat panas. Tersedia gula batu sebagai pemanis. Karena daun mint-nya sangat banyak, jadilah aroma minuman ini terasa segar, rasanya pun tak lagi seperti teh, namun lebih kuat rasa mentholnya. Sangat cocok untuk menemani perbincangan di tengah udara dingin seperti ini.

Saya dan Pak Rustam memesan cappuccino. Sebenarnya saya bukan penikmat kopi. Asam lambung saya tak cukup ramah dengan aroma kopi. Saya hanya minum kopi saat berbincang seperti ini. Ngopi-ngopi cantik kalau istilah orang Jakarta. Karena khawatir perut akan perih, saya juga memesan omelette aux champignons, dadar telur dengan jamur champignons dan keju yang meleleh saat digigit. Saya tidak menyesali pesanan ini, benar-benar perpaduan yang pas.

Si mbak waitress cantik yang hanya bisa berbahasa Arab dan Prancis terlihat hilir mudik melayani pengunjung. Sungguh saya menikmati suasana seperti ini. Ini adalah kali ketiga saya dan Lambang traveling dengan Pak Rustam, pemilik Khalifah Tour, travel yang membawa saya umroh dan ke Andalusia kali ini. Saya jadi ingat beberapa bulan lalu, hampir saja tidak jadi berangkat karena peserta tidak memenuhi quota. Sebenarnya bukan masalah juga kalau saya dan Lambang tetap pergi sendiri ke Andalusia, tapi kami memang menginginkan melakukan perjalanan bersama Pak Rustam. Traveling dengannya selalu terasa menyenangkan, karena banyak obrolan dan diskusi yang kita lakukan. Perspektif keislaman kita jadi bertambah luas.

Saya sangat bersemangat berbincang tentang Andalusia. Bertukar pendapat dan menganalisa mengapa peradaban yang sangat besar ini bisa runtuh? Bagaimana Barat “mengakuisisi” kegemilangan itu tanpa menyebutkan, atau setidaknya menyamarkan, bahwa semua ini bersumber dari Islam. Andalusia adalah sejarah yang terampas. “Pak, nanti kita di sana akan dapat local guide yang memberikan penjelasan dari ‘sisi kita’, kan?” tanya saya. Terlihat Pak Rustam terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. “Biasanya memang local guide, sih, Mbak.” Jawaban itu membuat saya agak bimbang, dan barulah nanti di Andalusia saya menemukan jawabnya.

Obrolan lalu bergeser pada banyak hal, tentang sepak terjang dan keberanian walikota Surabaya, Bu Risma, yang kebetulan belum lama saya temui. Tentang PKL di kota Bandung dan walikotanya Kang Emil. Tentang seluk-beluk menjalankan bisnis travel umroh, tentang para ustaz yang banyak banyak godaannya. Seperti yang sudah-sudah, sangat menyenangkan.

Tak terasa jarum jam mulai bergeser ke angka 12, si mbak waitress mulai berbenah akan menutup kedainya. Setelah membayar, kita bertiga berjalan pelan menuju hotel sambil terus ngobrol. Sesekali berpapasan dengan anak-anak muda yang masih kelayapan di tengah malam.

Saya hirup dinginnya udara Afrika di bulan Januari sambil membayangkan perjuangan Musa bin Nushair saat menaklukkan negeri ini. Sejatinya sejak zaman Khalifah Umar ibn Khatab, cahaya Islam telah sampai negeri Maghribi. Namun penduduknya yang berasal dari suku Berber dengan cepat kembali murtad. Ketika Musa bin Nushair datang, bukan hanya pasukan yang ia bawa, melainkan juga para tabi’in dari Syam dan Hijaz untuk mengajarkan dan mengenalkan Islam pada mereka. Musa bin Nushair tak akan melangkah memperluas wilayah, kalau keimanan penduduknya belum benar-benar tegak. Hasilnya sungguh luar biasa, dari tempat ini lahir para prajurit-prajurit Islam yang kemudian menaklukkan Andalusia, termasuk sang panglima Thariq ibn Ziyad. Tak hanya itu, kekuatan iman yang telah tertancap kuat dari generasi ke generasi, membuat mereka tetap teguh dalam cahaya Allah, sekalipun pada masa kolonial, Prancis yang menjajah wilayah ini berusaha membuat mereka berpaling. Usaha itu tak pernah berhasil hingga kini.


Terima kasih, Pak Rustam, untuk perbincangan yang menyenangkan.

Cassablanca, 2 Januari 2015


Uttiek Herlambang