Minggu, 17 Mei 2015

Berjumpa Antonia di Malaga




... Menginjakkan kaki di Andalusia,
Mulai merasai sederet kepedihan,
Di Malaga, bertemu Antonia, "Tidak ada satu pun masjid yang tersisa. Semua sudah dihancurkan."
Di Granada, melihat bir yang dinamai Alhambra Mezquita (Masjid Al Hambra) dijual seharga €3.
"Ummati...Ummati… -Umatku, umatku-," kata Rasulullah jelang ajal. Mungkin ini yang diresahkannya.
Sungguh, saya gelisah...

-------------------------------------------------------------

Saya hirup dinginnya udara Eropa dalam-dalam. Terasa sejuk dan segar. Kota Tarifa hanya kita lintasi untuk urusan imigrasi dan makan siang. Setelah itu bus kembali melaju membelah jalan beraspal mulus sejauh 152 km, dengan kincir angin berderet di sepanjang kiri-kanan jalan. Sesekali terlihat apartemen-apartemen bercat putih yang tertata rapi. Lalu-lintas terlihat sepi siang itu. Orang Spanyol mempunyai kebiasaan istirahat siang yang disebut siesta. Kebiasaan itu masih berlangsung hingga sekarang. Tak heran kalau waktu istirahat siang jalanan terasa lengang.

Malaga adalah kota tujuan pertama. Kota yang tertulis dalam memoar Ibn Batutah saat melakukan perjalanan ke Andalusia ini dulunya adalah pelabuhan penting bagi Kesultanan Granada. Posisinya berbatasan langsung dengan Cordoba di sebelah utara dan Granada di timur. Menjelang sore kita tiba di Calle Marqués de Larios, salah satu pusat perbelanjaan yang ada. Sepotong jalan yang ramai ini dipenuhi café dan butik-butik brand ternama.  Juan, supir bus yang menemani selama perjalanan di Spanyol, dengan bahasa Inggris terpatah-patah menjelaskan kalau local guide yang bernama Antonia akan menemui kita di ujung perempatan.

Lima menit berlalu, Juan terlihat gelisah memandang handphone-nya. Ia hanya bisa menghentikan bus tak lebih dari lima menit di pinggir jalan itu. Saya memandang keramaian dari dalam bus. Terlihat beberapa patung yang berdiri gagah di kiri-kanan jalan. Spanyol, seperti halnya kota- kota di Eropa lainnya, banyak memajang patung di sepanjang jalan. Senja mulai lindap, kota kelahiran seniman Pablo Picasso ini terlihat cantik.

Perempuan gemuk berambut pirang itu tergopoh-gopoh berlari menuju bus. Juan membuka pintu hidrolik dan membiarkannya masuk. Setelah bicara dengan cepat ke Juan dan dijawab, “Si…si –ya, ya,” berulang kali, ia memperkenalkan diri dan meminta kita segera turun dari bus. “Anyone want to toilet?” Tanyanya memulai percakapan. Hampir semua menjawab, ”Yes.” Ia lalu menunjuk salah satu café yang ada di ujung jalan dan meminta kita untuk ke lantai duanya, di sana ada toilet yang bisa digunakan.

Sambil menunggu yang lain berkumpul, Antonia memulai penjelasannya. Suaranya ceria, mimik mukanya ikut bergerak mengikuti intonasi suaranya. Sesekali ia mengangkat tangan, menggerakkan bahunya untuk mempertegas sesuatu. Diawali dengan sejarah kota Malaga, para tokohnya, sampai kemudian Daulah Umayyah Andalusia. Saya terkesiap ketika mendengar ia mengatakan, Abdurahman I karena dendamnya pada Bani Abbasiyah lalu membuat kiblat Masjid Cordoba tidak menghadap ke Ka’bah yang ada di kota Mekkah, melainkan agak menyerong, supaya tidak sama dengan yang dilakukan Daulah Abbasiyah di Baghdad.

Saya langsung angkat suara dan mendebatnya. Tidak seperti itu sejarahnya. Ketika masjid itu dibangun, ada gereja kecil di dekatnya. Bila seluruh bangunan akan dibuat menghadap ke arah Mekkah, maka gereja itu harus dihancurkan. Abdurrahman Ad-Dakil tidak menginginkan itu. Ia membiarkan gereja itu tetap di tempatnya. Meskipun bangunan masjid dari luar tidak lurus ke arah Mekkah, namun mihrab maupun shaf di dalamnya tetap menghadap kiblat. Abdurrahman Ad-Dakil atau Abdurrahman I adalah pemimpin yang adil. Bahkan, sekalipun Islam dengan segala cara coba dilenyapkan dari Spanyol, tapi masyarakat di sana mempunyai satu perayaan untuk menghormati Abdurrahman I yang masih diselenggarakan hingga kini.

“Enggak asyik ah, orang ini, memberikan informasi banyak yang salah,” kata saya pada Lambang.
Semakin saya pancing dengan beragam pertanyaan, semakin banyak jawaban Antonia yang tidak sesuai. “Sepertinya kamu banyak tahu tentang Daulah Umayyah,” cetus Antonia.
“Kalau tentang arah kiblat Masjid Cordoba, ini bukan sekadar tentang sejarah Daulah Umayyah, tapi ini masalah prinsip. Kami tidak mungkin salat menghadap bukan ke arah Ka’bah. Itu prinsip,” tegas saya.

Rombongan terus berjalan menyusuri jalan-jalan kecil di belakang pusat perbelanjaan. Rupaya di balik bangunan-bangunan modern itu tersembunyi kota tua. Beberapa peninggalan bersejarah, sejak zaman Romawi hingga masa Islam ada di sana.
It was a mosque,” seru Antonia pada rombongan.
Deeengg… Deengg
Langkah saya terhenti. Jantung saya berdegup kencang. Saya mendongak ke atas, menatap ke minaret di mana lonceng itu berdentang. Hati terasa perih. Dulu, dari atas minaret itu pastilah sang muadzin mengumandangkan adzan lima kali sehari.
“Ada berapa masjid di sini, Antonia?” Tanya saya.
“Tak ada satupun. Semua sudah dihancurkan atau digunakan sebagai gereja, seperti yang ada di depan kita,” jawabnya.

-----------------------------------------------

“Kapan kita bisa belanja?”, “Rebajas itu sale, kan?” Satu dua rombongan mulai bersuara. Antonia lalu memberi waktu untuk berbelanja dan menunjuk satu tempat sebagai meeting point. Sekaligus ia mengingatkan rombongan untuk on time, karena Juan nanti akan menjemput di pinggir jalan, dan bus tidak bisa berhenti lama di tempat itu. Semua berpencar. Saya sudah kehilangan selera. Bersama Antonia saya tetap berdiri di depan tembok sisa bangunan masa Islam yang di bawahnya adalah reruntuhan bangunan Romawi.

I knew you’re journalist,” katanya tiba-tiba, “Your husband told me,” lanjutnya saat melihat saya mengerutkan dahi. Saya tersenyum.
Dia pasti tahu, banyak hal yang saya tidak sepaham dengan penjelasannya. Dari sini pula saya mulai mengerti bahwa sejarah Andalusia secara sistematis dibelokkan. Informasi yang diterima Antonia adalah informasi yang diterima orangtuanya, kakek-neneknya, buyutnya, dan seterusnya. Itu yang ia tahu, dan itu yang ia sampaikan pada orang-orang, pada anaknya, cucunya, mungkin buyutnya. Informasi itu pula yang akhirnya sampai pada generasi muda muslim. Tanpa coba menggali, lalu dipercaya sebagai kebenaran. Oh, Andalusia…

“Saya percaya, Tuhan tidak menyuruh manusia untuk saling memusuhi. Itu kerjaan manusia saja yang membuat permusuhan di sana-sini,” katanya lagi, seperti mengerti suasana hati saya yang tidak nyaman.
Saya tersenyum, “Kamu beragama, Antonia?” Tanya saya.
“Saya percaya Tuhan, tapi saya tidak memilih satu agama pun,” jawabnya. “Selama saya berbuat baik, saya yakin Tuhan pasti mengerti.”

Sekali lagi saya tertegun. Perbincangan dengan Antonia ini mengingatkan saya pada salah satu adegan di film “99 Cahaya di Langit Eropa” saat Rangga mencoba mendamaikan temannya, Steven yang ateis dengan Khan, seorang muslim yang taat. “Yang kalian butuhkan adalah dialog. Saling bicara. Coba mengerti,” katanya. Sepertinya kata-kata Rangga itu pas betul untuk situasi saya dengan Antonia. Lalu saya mengulang kalimat itu, “What we need is dialog, understanding each other and we’ll living in harmony,” cetus saya.
Yes, I’m agree, Dear,” jawabnya.

Matahari sudah beranjak ke peraduan, ketika Antonia meminta rombongan segera bergegas menuju meeting point untuk menunggu bus. Saya berjalan bersisihan dengannya. Obrolan dan perdebatan membuat saya dan Antonia menjadi akrab. Ia lalu bercerita tentang pengalamannya membawa turis dari berbagai negara. Turis Korea selalu terburu-buru melakukan semua hal, namun tak pernah lupa mengucapkan “Ahnyong haseo” sambil berlari-lari ke sana-ke mari. Atau turis Jepang yang selalu membatasi semua kegiatan dalam waktu 5 menit. Ia menceritakannya dengan gaya yang sangat kocak. Saya dibuatnya tertawa terbahak-bahak.

Ia lalu berhenti di tukang kacang yang berjualan di pinggir jalan. Diambilnya dua kantong. Salah satunya disodorkan pada saya sambil mengatakan, “Almond bersalut gula ini adalah tradisi Bangsa Moors (sebutan untuk Bangsa Arab di Andalusia). Mereka mewariskan pada kami bagaimana memasak yang enak dan banyak hal lainnya. Beberapa bahkan masih terus digunakan sampai saat ini. Seperti cara mengolah almond ini,” katanya. Saya menerima kantong kacang darinya sambil mengucapkan, “Gracias.” Saya tersenyum, sepertinya Antonia tak sekadar menawarkan kacang, tapi juga pertemanan.

“Antonia, saya punya buku tentang Andalusia yang sangat lengkap. Apa yang ditulis di buku itu banyak yang tidak sama dengan penjelasanmu. Kalau saya menemukan terjemahannya dalam Bahasa Inggris, saya akan mengirimkannya untukmu. Mungkin bisa menjadi pembanding. Boleh saya minta alamat e-mailmu?”
Sure,” jawabnya sambil menuliskan alamat e-mail di notes yang saya sodorkan.

Maka, saya akan terus menulis tentang Andalusia. Bukan sekadar mencatat perjalanan ini, namun informasi ini harus terus ada yang menuturkannya.


Malaga, 4 Januari 2015

Uttiek Herlambang