Minggu, 27 Maret 2016

Pendar Mozaik di Blue Mosque


Lelaki tua warga negara Prancis keturunan Maroko itu terlihat bersungut-sungut. Saat ia beriktikaf di masjid, anak laki-lakinya pulang dalam keadaan mabuk. Mereka beradu mulut. "Saya harus menunggu kamu berdoa. Di luar dingin, jadi saya minum sedikit," kilah si anak.

Adegan itu adalah penggalan film berjudul "Le Grand Voyage", sebuah film yang diputar pada pembukaan Festival Film Prancis di Jakarta sekian tahun lalu. Ceritanya tentang pria tua dari Prancis yang akan pergi haji melalui jalan darat dan meminta anak laki-lakinya menyupiri. Si anak ini memiliki gaya hidup hedonis yang jauh berbeda dengan ayahnya yang sholeh. Banyak pesan kemanusiaan terselip sepanjang film. Salah satu yang paling berkesan buat saya adalah adegan di masjid Sultan Ahmed, Istanbul, atau yang lebih dikenal sebagai Blue Mosque.

Masjid itu terlihat indah dengan minaret yang unik. Saat menyaksikan adegan dalam film itu, terselip doa di hati, semoga Allah izinkan saya untuk pergi ke Baitullah melalui jalan darat. Dan satu lagi, shalat di Masjid Biru itu. Alhamdulillah, Allah izinkan saya mendapatkan salah satunya hari ini.

------------------------------------------

Guyuran salju kian lebat. Saya memastikan coat dan sarung tangan terpasang rapat. Syal yang melingkar di leher saya kenakan di kepala, melapisi hijab. Sambil sedikit membungkuk, kita berjalan menembus salju. Jarak Topkapi Sarayi ke Blue Mosque tidak terlalu jauh, namun lebatnya hujan salju membuat jalan kita menjadi lambat.

Beberapa turis dari Timur Tengah terlihat berlarian gembira. Mereka bermain snow war, alias lempar-lemparan salju. Saya tersenyum kecil, membayangkan mereka yang setiap hari harus merasakan panasnya udara gurun, tentulah berada di tengah hujan salju seperti ini menjadi pengalaman yang menyenangkan. Bahkan beberapa perempuan yang mengenakan abaya hitam tampak santai tanpa coat tebal.

Dari kejauhan mulai terlihat Blue Mosque yang putih tertutup salju. Sebenarnya masjid ini dari luar memang tidak berwarna biru. Namun, mozaik di dalamnya yang semua berwarna biru, membuat masjid yang aslinya bernama Sultan Ahmed ini dikenal dengan nama Blue Mosque. Mozaik yang terpasang tak terhitung jumlahnya dan rapi sekali, pastilah ini hasil karya tangan-tangan terampil.

Di depan pintu, terlihat antrean wudhu untuk laki-laki. Saya lirik Lambang sekilas, ia menoleh dan langsung berkata, "Aku tayamum ya. Enggak kuat dinginnya," jawabnya. Di Turki, masyarakatnya tidak mengenal wudhu dengan air hangat. Sekalipun suhu di bawah nol derajat, dengan guyuran salju dan terpaan angin dingin yang kencang, mereka tetap berwudhu menggunakan air dingin.

Ingin tahu seperti apa rasanya wudhu dengan air dingin di tengah salju? Air ini kalau kena muka seperti menampar-nampar pipi. Sedikit pedih. Lalu pipi seperti dikerubuti ribuan semut, dan beberapa di antaranya menggigit, hingga terasa perih!

Nalan lalu memberi tahu arah tempat wudhu dan shalat untuk perempuan, serta menunjuk tempat janjian kita usai shalat. Seperti beberapa masjid besar di Turki, di gerbang masjid tersedia plastik yang bisa digunakan untuk membungkus sepatu, kemudian kita harus meletakkannya di rak penyimpanan di dalam ruangan. Di musim dingin seperti ini, semua orang ke masjid menggunakan sepatu boots, tidak ada yang memakai sandal, karena harus berjalan menembus salju.

Umumnya gerbang masjid di Turki ditutup dengan semacam kerai yang terbuat dari kulit dan terpal berwarna hijau yang sangat tebal. Fungsinya untuk menghalau angin dingin dari luar, sekaligus sebagai penanda bahwa itu pintu menuju tempat shalat. Berbeda dengan di Indonesia, masjid di Turki umumnya boleh dimasuki orang-orang non muslim, namun mereka menggunakan pintu yang berbeda. Pintu berwarna hijau khusus bagi yang akan shalat. Saat adzan berkumandang, semua masjid tertutup bagi turis, hingga selesai waktu shalat.

Saya menyibak kerai warna hijau yang berat itu dan melangkah perlahan ke tempat shalat perempuan. Subhanallah. Mozaik biru yang menutup dinding dalam masjid ini indah sekali. Tidak terhitung jumlahnya.  Di tengah masjid juga tak terlihat pilar-pilar untuk menyangga kubah yang sangat besar. Seperti halnya Masjid Selimiye di Edirne yang saya saksikan kemarin, mereka menggunakan hidden pillar. Dengan arsitek yang cantik, pilar kokoh berdiameter 5 meter itu seakan tidak terlihat.

Saya dongakkan kepala, kubah besar itu dikelilingi dengan kubah-kubah kecil di sekitarnya. Dari bawah, kumpulan kubah itu bentuknya menyerupai kelopak bunga. Tak hanya dari sisi estetika, sejatinya kubah-kubah kecil itu fungsinya untuk mengurangi “beban” kubah besar yang ada di tengah. Sungguh sebuah ide jenius yang menggabungkan antara kekuatan dan keindahan dalam sebuah karya arsitektur.

Dalam bukunya “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia”, Prof. DR. Raghib A-Sirjani menyebutkan, peradaban Islam telah mencapai kemajuan dalam membangun kubah-kubah besar. Secara keseluruhan kubah adalah bangunan yang membutuhkan perhitungan matematika yang rumit. Maha karya itu, di antaranya, kubah Ash-Shakrah (dome of rock) di Baitul Maqdis, Palestine, kubah masjid  Astanah di Kairo, bangunan-bangunan di Andalusia, dan rangkuman dari seluruh karya besar itu adalah masjid Sultan Ahmed atau Blue Mosque di Istanbul.

Beberapa buah chandelier yang sangat besar tergantung di bawah kubah. Istimewanya, saat itu mereka masih menggunakan minyak untuk penerangan, tapi tak ada sedikitpun jelaga yang membuat kubah terlihat menghitam. Dengan cara yang sangat "canggih", asap dan jelaga itu ditampung dalam satu wadah, lalu dengan menggunakan cairan kimia tertentu, diolah menjadi tinta yang digunakan untuk menulis kitab. Subhanallah.

Masjid ini memiliki 6 minaret, padahal umumnya masjid di Turki hanya memiliki 4 minaret. Ini terkait dengan menara di Masjidil Haram yang kala itu baru berjumlah 6, sehingga Sultan memutuskan, tidak boleh ada masjid yang melebihinya.

"Kesalahan" terjadi kala Sultan Ahmed menginginkan minaret masjid yang terbuat dari emas, namun dipahami oleh arsiteknya sebagai enam. Kata emas dan enam dalam bahasa Turki terdengar mirip. Jadilah masjid ini sebagai satu-satunya masjid yang memiliki enam minaret di Turki.

Tak berhenti pada penciptaan kubah-kubah besar, namun juga seni lengkung bangunan yang menjadi ciri arsitektur Islam. Di awali dengan pembuatan lengkung Manfukh di Masjid Umawi, Damaskus, pada tahun 706, lalu menyebarlah ke seluruh dunia. Beragam bentuk lengkungan tercipta, seperti lengkung Al-Mudabbabah, Ash-Shama, dan  Al-Munfarij. Nama terakhir itu baru dikenal di Inggris abad ke-16 dengan nama Tudor Arch.

Salah satu pencapaian yang paling spektakuler adalah ilmu suara atau akuistik. Tanpa menggunakan pengeras suara, suara imam dapat didistribusikan ke seluruh masjid dengan sangat jernih. Para arsitek muslim telah mengenal bahwa suara memantul dari atap-atap cekung dan berkumpul di cekungan tertentu. Seperti halnya hukum cahaya yang memantul dari kaca cekung. Atap dan tembok masjid dirancang dengan bentuk cekung yang terbagi di beberapa pojok masjid secara detail dengan perhitungan yang rumit.

Kalau dunia mengenal nama Wallace Sabine, fisikawan dari Harvard, sebagai penemu ilmu suara bangunan di tahun 1900, sesungguhnya para ilmuwan muslim lah yang menciptakannya, berabad sebelumnya. Ini dibuktikan pada masjid Isfahan kuno, masjid Al-Adiliyah di Halab, serta masjid-masjid Daulah Abbasiyah di Baghdad, masjid-masjid di Andalusia, dan masjid-masjid Daulah Utsmani di Turki.

Yang menarik, dari beberapa masjid yang kita singgahi, umumnya imamnya masih muda, berusia sekitar empat puluhan, dengan wajah yang ganteng-ganteng khas pria Euroasia. Sebagai gambaran, bayangkan para Vladimir, mengenakan jubah imam yang indah dan penutup kepala khas. Bacaan mereka sangat tartil, umumnya mereka hafiz. Kalau di beberapa masjid di Indonesia, sebelum dan sesudah shalat ada shalawatan, di Turki juga ada, dan lebih panjang lagi yang mereka baca.

Nalan sempat mengenalkan kita dengan salah satu imam di Masjid Selimiye, Edirne, kemarin. Sang imam dengan senyum ramahnya menyambut saya dan Lambang, ia terlihat berbinar begitu tahu kami dari Indonesia. Dalam bahasa Turki, yang diterjemahkan Nalan, ia mengucapkan selamat datang, memuji orang Indonesia sebagai muslim yang ramah, serta mengirimkan salam untuk saudara-saudara muslim di Indonesia. Sudut mata saya hangat menyambut salam ini, persaudaraan dalam satu akidah selalu menggetarkan hati.

------------------------------------

Tempat shalat perempuan dipisah dengan batas partisi dari kayu, namun tetap bisa melihat arah mihrab. Saya segera mengambil posisi di shaf perempuan. Selesai shalat, saat berdoa, saya melihat jari lentik yang memakai cincin indah, terulur mengambil tasbih yang posisi gantungannya tepat di depan saya. Penasaran, saya menoleh. Alangkah terkejutnya, perempuan cantik berjari lentik itu sangat mirip dengan Dewi Sandra!

Usai shalat, kami saling berjabat tangan sambil mengucapkan salam. Melihat banyaknya jamaah siang ini, hati terasa hangat. Mustafa Kamal Attaturk boleh saja mencabut panji-panji Islam dan menjadikan negara ini sekuler, namun Allah Sang Pemilik Hidayah, tetap akan membuka hati mereka untuk memakmurkan masjidNya.


Istanbul, 31 Desember 2015

Uttiek Herlambang


Jumat, 25 Maret 2016

Topkapi Sarayi Pelipur Lara


Setahun lalu saat melakukan perjalanan ke Andalusia seusai umrah, saya merasakan kesedihan yang mendalam. Andalusia adalah senandung kepedihan. Semua diambil dari kita, tanpa ada yang disisakan. Rasa sedih berkepanjangan itu yang membuat tulisan-tulisan tentang Andalusia tak kunjung selesai, hingga berganti tahun.

Namun, Allah selalu punya rencana rahasia yang pasti sempurna. Saya yang seharusnya berada di Mesir, kini atas izinNya berbelok ke Turki dengan cara yang tidak terduga.

Rupanya ini adalah caraNya untuk menghapus kesedihan itu. Jejak sejarah Islam di Turki adalah dendang kemenangan. Manusia terbaik, dengan pasukan terbaik, berhasil mewujudkan nubuwat Rasulullah akan penaklukan Konstantinopel. Sebuah imperium yang sepertinya tak tersentuh kala itu. Perjuangan ini berlangsung dari generasi ke generasi, hingga terpilihlah sang Al-Fatih.

Getar itu masih saya rasakan saat melihat kalimat Allah tegak tergurat di atas gerbang Topkapi Sarayi atau Istana Topkapi. Laa Illa hailallah Muhammad darusulullah...

--------------------------------------------
“Wah, hujan salju!” seru saya pada Lambang saat membuka tirai jendela kamar hotel. Terlihat butiran putih yang berhamburan di udara. Meski ini bukan kali pertama saya melihat salju, tapi membayangkan akan menyusuri jejak Al Fatih dan shalat sebanyak mungkin di masjid yang kita jumpai hari ini di bawah guyuran salju, pastilah akan menjadi kenangan tak terlupakan.

Lambang yang pada dasarnya memang tidak tahan dengan udara dingin, menatap ke jendela sambil meringis seperti menahan dingin. “Sebentar, aku pakai satu lapis baju lagi,” katanya sambil mengenakan sweater, sebelum memakai coat tebalnya, mengalungkan syal, serta memasang sarung tangan.

Keluar dari kamar, terlihat taman dari balik kaca yang seluruhnya telah berwarna putih. “Wah, tebal sekali saljunya,” ujar Lambang. Pagi itu ketebalan salju sekitar 20-30 cm. Saya menatap sepatu boots yang baru kemarin dibeli di Edirne Bazaar, sambil membatin, alhamdulillah, kemarin sempat membelinya, karena saya memang tidak mempersiapkan perjalanan untuk bertemu salju. Apa jadinya kalau harus berjalan menembus salju setebal ini tanpa memakai sepatu boots?  

Hotel Hilton Garden Inn tempat kita menginap posisinya di atas. Karena jalanan tertutup salju, mobil tidak bisa naik. Jadilah Nalan mengajak kita untuk turun ke bawah, ke tempat mobil menunggu. Seorang pegawai hotel menemani, untuk memastikan kami turun dengan selamat. Beberapa kali saya terpeleset, karena jalan yang tertutup salju licin sekali.   

Pagi itu dingin terasa mengingit, karena salju turun kian lebat. Saya agak terkejut, ternyata guyuran salju tidak membuat kita basah seperti halnya kalau kehujanan. Dengan sekali kibas, salju yang menempel di coat akan berjatuhan, tanpa ada sisa air yang menempel.  

Setelah hampir 30 menit berkendara, sampailah kita di area kota tua. Saya, Lambang dan Nalan, harus turun dari mobil kurang lebih setengah kilometer dari lokasi parkir, karena jalanan stuck akibat tertutup salju. Jalan yang licin, membuat saya lagi-lagi nyaris terpeleset beberapa kali. "Aku lewat tengah salju sajalah, licin kalau lewat jalan yang saljunya sudah dibersihkan dengan taburan garam," kata saya pada Lambang.

Jalan yang kita lalui terus mendaki. Topkapi Sarayi berada di atas bukit. Ada tujuh bukit di seluruh Istanbul, salah satunya adalah lokasi ini. Dipilihnya tempat di atas ketinggian, tentu bukan tanpa alasan. Dari sini, setiap pergerakan di Selat Bosphorus dan Laut Marmara dapat terlihat dengan jelas.

Semua rasa lelah, ngos-ngosan karena berjalan jauh, mendaki di bawah guyuran salju, seketika hilang saat terlihat gerbang yang sangat terkenal itu. Di sinilah Muhammad Al-Fatih mengibarkan panji kemenangan, lalu menyebarkan cahaya Islam ke dua per tiga wilayah di dunia, selama lebih dari enam ratus tahun. Subhanallah, tak terasa sudut mata saya terasa hangat.

Topkapi Sarayi kini difungsikan sebagai museum yang menyimpan peninggalan sejarah tak ternilai harganya. Bukan karena banyaknya barang yang terbuat dari emas maupun berbalut batu mulia, tapi karena jejak sejarah yang ditinggalkannya.

Gerbang pertama yang kita masuki adalah Bab Al Humain. Saya agak terkejut sebenarnya melihat sarayi atau istana "penguasa" dunia "sesederhana" ini. Saya pernah menyaksikan istana Al Hambra yang luar biasa indahnya, padahal Granada hanyalah sebuah keemiran kecil sekaligus yang terakhir di Andalusia, sangat jauh dibanding kekuasaan Daulah Utsmani.

Tak banyak ornamen di dalam istana. Motif geometris maupun gambar-gambar bunga sebagai dekorasi pun terlihat sangat sederhana. Tidak serumit di Al Hambra. Inikah bentuk ketawadhuk-an Al Fatih? Atau mungkinkah menciptakan bangunan yang megah bukan prioritas? Mereka lebih memilih menciptakan alat-alat perang yang belum pernah digunakan manusia sebelumnya?

Ada yang khas dari istana ini, yakni banyaknya air mancur. Selain difungsikan sebagai hiasan, sumber air ini sekaligus digunakan sebagai tempat wudhu. Di pintu istana terdapat satu tonggak untuk menancapkan bendera. Pada masa itu digunakan sebagai penanda, apakah sultan sedang berada di istana atau sedang berjihad.

Pada kesempatan tertentu, kalau sedang beruntung, pengunjung bisa menyaksikan upacara pasukan Jeniseri (Inkisyariyah). Sekalipun saat ini pasukan kebanggaan itu sudah tidak ada, dan upacara ini sekadar pertunjukan budaya, namun tak kurang kegemilangannya masih dirasakan oleh mereka yang melihat. Di abad ke-15, pasukan Utsmani adalah pasukan tempur yang paling modern dan terorganisir. Terdiri dari divisi infanteri Jeniseri, kavaleri Sipahi, pasukan ireguler Akinci, militer sukarela Bashi-bazouk.  Dan tak ada yang dapat menandingi kehebatan Jeniseri pada masa itu.

Sejarah mencatat, pasukan elite ini dibentuk pada masa Murad I dan Bezayid, di akhir abad ke-14. Tidak seperti kebiasaan pasukan Eropa yang membunuh para tawanan perang dan laki-laki yang mereka temui di daerah taklukan, Sultan Murad I mempunyai ide jenius dengan memanfaatkan anak-anak laki-laki Kristen dari wilayah yang berhasil dibebaskan.

Anak-anak ini dididik dengan disiplin yang luar biasa sehingga terbentuklah armada militer yang tangguh. Tidak ada pemaksaan untuk memeluk agama Islam, meski akhirnya hampir seluruhnya mendapat cahaya hidayah setelah menyaksikan keadilan dan keagungan agama Tauhid ini.

Pasukan ini dipimpin oleh seorang jenderal yang disebut Aga yang memimpin beberapa brigade; brigade Cemaat (pasukan depan), brigade Boluk (pengawal sultan), dan brigade Sekban. Masing-masing brigade terdiri dari beberapa orta atau batalion yang dipimpin seorang Corbaci atau kolonel. Pada saat membebaskan Konstantinopel, jumlah pasukan Jeniseri kurang lebih 165-196 orta atau sekitar 10.000-12.000 pasukan.

Muhammad Al-Fatih acap kali mengimami pasukan ini shalat berjamaah. Dalam khubah Jumatnya, ia selalu mengingatkan akan nubuwat Rasulullah akan kemuliaan pasukan yang bisa membebaskan Konstantinopel. Sultan juga menempatkan para ulama di setiap barak untuk menjaga lurusnya niat dan kedekatan pada Yang Maha Memberi Kemenangan. Pengondisian seperti ini tak ayal membuat pasukan Jeniseri tak ada yang menandingi.

Kemenangan demi kemenangan yang ditorehkan pasukan Utsmani tak hanya karena ketangguhan pasukannya. Tapi, juga kehebatan senjata yang berhasil mereka ciptakan. Salah satu ahli senjata itu bernama Orban. Ia berhasil menciptakan meriam sepanjang 8 m, berdiameter lebih dari 0,7 m, dengan tebal bibir meriam 20 cm, yang terbuat dari logam padat. Di ujung moncong meriam, Sultan memerintahkan untuk mengukirnya dengan tulisan “Tolonglah ya Allah. Sultan Muhammad Khan bin Murad.” Betapapun hebatnya senjata ini pada zamannya, Al-Fatih tetap berkeyakinan bahwa pertolongan Allah lah yang akan menghantarkannya pada kemenangan.

Sebagai bayangan betapa besarnya senjata ini, seorang pria dewasa dapat masuk ke meriam ini dengan berlulut di dalamnya. Peluru yang digunakan seberat 700 kg. Meriam inilah yang akhirnya, atas izin Allah, dapat menjebol tembok kokoh Konstantinopel. Seolah menjawab penantian panjang, jihad yang terus dikobarkan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, sejak masa Muawiyah mengirim pasukannya di tahun 669 hingga kemenangan itu diperoleh tahun 1453, atau 784 tahun!

-----------------------------

Hari ini Topkapi Sarayi sejauh mata memandang terlihat putih berselimut salju. Nalan mengajak kita masuk ke bagian lain dari museum yang menyimpan benda-benda bersejarah, seperti pedang yang digunakan Rasulullah dan para sahabat, rambut dan jubah Rasulullah, gamis yang dikenakan Fatimah, bahkan benda-benda dari zaman Nabi Ibrahim. Hati saya tergetar waktu melihat pedang Khalid ibn Walid, benda inikah yang digunakan berjihad sehingga membuatnya digelari Syaifullah atau pedang Allah?

Peninggalan Daulah Ustmani diletakkan di ruang terpisah. Ada berlian 86 carat (!), yang kilauannya sangat menyilaukan, juga pedang yang digunakan Al Fatih yang di tengahnya terdapat ukiran ayat-ayat jihad.

Di bagian lain, terdapat ruangan yang digunakan untuk audiensi dengan rakyat maupun para duta besar. Lagi-lagi saya terkesan dengan kesederhanaan bangunan ini. Keluar dari ruangan, terdapat taman yang luas. Di dekat pagar pembatas terlihat gazebo kecil. Di gazebo inilah sultan menanti adzan Maghrib berkumandang di bulan Ramadhan. Indah sekali pemandangan dari tempat ini. Bayangkan minum seteguk zam-zam untuk menghapus dahaga setelah puasa seharian sambil menatap senja yang lindap di atas Selat Bosphorus.

Hati saya terasa ringan. Sejarah Utsmani adalah kegemilangan. Saat melangkah keluar dari Topkapi Sarayi, terdengar kumandang adzan Dzuhur dari kejauhan. "Shall we go to Blue Mosque now?" Tanya saya. "Sure," jawab Nalan.

Kalimat, "Hayya 'ala sholah..."  terdengar sangat indah, di bawah guyuran salju, di depan Istana Topkapi. Allah selalu punya cara untuk membuat bunga tulip kembali bermekaran di hati saya...



Istanbul, 31 Desember 2015


Uttiek Herlambang

Minggu, 20 Maret 2016

Edirne, Kota Kelahiran Sang Al Fatih


"Al-Azhar di Mesir adalah tempat orang-orang paling pintar menuntut ilmu." Ucap Papi saat saya masih sangat belia. Sejak itu tertanam di hati, kalau mau pintar, harus bersekolah di Al-Azhar, atau setidaknya pernah berada di sana. Merasakan dan menyerap semangat para pencari ilmu.

Sudah selangkah menuju gerbang Al-Azhar, takdir Allah membawa saya harus berbelok lebih dulu ke tanah Al-Fatih, Istanbul. Tapi rencana Allah selalu paling sempurna. Mesir adalah bumi Allah, begitu pun Turki.

--------------------------------------------------
Menjelajah bumi Allah dan shalat di sebanyak-banyak masjidNya adalah impian yang sedang saya dan Lambang wujudkan. Dan perjalanan hari ini dimulai dari Edirne, kota indah bekas ibu kota salah satu periode Daulah Utsmani. Dari tempat ini Sang Al Fatih mengatur strategi dan menyiapkan pasukannya untuk membebaskan Konstantinopel.

Badan masih terasa sedikit penat, karena semalam kita baru mendarat di Istanbul.  Rasanya masih tidak percaya, saya kini berada di Benua Eropa, padahal kalau sesuai rencana, harusnya pagi ini saya terbangun di Benua Afrika. Nalan meminta kita bertemu di restoran hotel pukul 6.30. Jangan bayangkan pukul 6.30 seperti di Indonesia, karena di Istanbul, jam segitu hanya berselang beberapa menit setelah adzan Subuh berkumandang.

Di hari pertama ini, Lambang mencoba shalat Subuh di masjid terdekat. Setelah menembus dinginnya udara di musim salju, berjalan menanjak menaiki tangga dengan kemiringan 30 derajat, sampailah ia di masjid yang ternyata tutup karena sedang direnovasi! Saya terheran, dia sudah sampai lagi di hotel saat saya baru mengucapkan salam usai shalat Subuh. “Masjidnya tutup. Lagi direnovasi,” katanya sambil membenamkan muka ke bantal untuk menghalau dingin.

Setelah bersiap, kami segera turun. Nalan rupanya sudah menunggu di pintu restoran. Saya menyapanya dan memujinya karena on time. Dengan memasang muka serius, ia mengatakan kalau ia selalu siap 15-30 menit sebelum waktu yang dijanjikan. Oh, baiklah. Dengan sedikit malu, dalam hati saya membatin, sebagai orang Jakarta, saya masih menganggap on time adalah prestasi.  

Mobil bergerak perlahan meninggalkan hotel. Suasana masih terlihat sepi sepagi ini. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju jalan tol. Kita melintasi jembatan yang menghubungkan wilayah Turki yang berada di Benua Eropa dengan Turki yang berada di Asia, atau yang sering disebut Anatolia.

Gedung-gedung tinggi, rel kereta, semakin menghilang di kejauhan, berganti dengan ladang gandum dan perkebunan chery. Beberapa kali terlihat di kejauhan gundukan tanah menyerupai bukit kecil yang tertutup rumput. Dari cerita Nalan, gundukan tanah seperti itu adalah makam kuno. Banyak para pemburu harta karun yang menggali dan menemukan kepingan uang emas, tembikar dan barang-barang berharga lainnya. Makam kuno itu peninggalan era Byzantium atau sebelumnya.

Tiba-tiba Nalan berseru, “Lihat signboard hijau itu, itu arah ke desa saya. Orangtua saya masih tinggal di sana,” serunya dengan gembira. Ia lalu menceritakan kehidupannya di desa yang menyenangkan, sebelum ia merantau ke Izmir untuk kuliah dan pindah ke Istanbul setelah menikah. Saya tertawa geli waktu ia bercerita tentang neneknya yang takjub melihat turis yang dipandunya tidak shalat dan berpuasa di bulan Ramadhan. “Apakah mereka manusia?” tanya sang nenek. Sekalipun Republik Turki berhaluan sekuler, namun bagi generasi tua, terutama yang masih hidup di desa-desa, menjalankan syariat Islam adalah satu-satunya haluan hidup yang mereka pahami dan pegang teguh hingga akhir hayat.  

Memasuki kota Edirne, pemandangan kian menawan. Perbukitan yang menghijau, ladang yang tertata rapi, sungai dengan air yang jernih, jembatan tua bergaya Roman, minaret-minaret masjid yang menjulang.  Tak heran kalau Habiburrahman El Shirazy atau yang lebih dikenal dengan panggilan Kang Abik memilih kota ini sebagai salah satu setting novelnya yang berjudul  Api Tauhid.

Di kota ini pula Muhammad Al Fatih dilahirkan pada 29 maret 1432. Konon menjelang kelahirannya, Sang ayah, Sultan Murad II sedang menderas Alquran dan sampai pada Surat al-Fath, yang berisi janji Allah akan kemenangan kaum muslimin. Qadarullah, sebutan Al Fatih lalu tersemat di belakang namanya.

Muhammad Al Fatih tak pernah diproyeksikan menjadi pengganti ayahnya, karena ia mempunyai dua kakak laki-laki, Ahmed dan Ali. Seperti putra-putra sultan sebelumnya, di usia 2 tahun ia dan Ahmed kakaknya dikirim ke kota Amasya untuk belajar. Di usia 6 tahun, ia diangkat menjadi gubernur Amasya menggantikan Ahmed  yang meninggal mendadak.

Dua tahun memimpin Amasya, ia bertukar tempat dengan kakak keduanya, Ali, untuk meminpin kota Manisa. Takdir Allah, Ali kemudian terbunuh. Peristiwa ini sangat memukul Murad II, karena Ali adalah anak kesayangan yang digadang-gadang akan menggantikannya kelak. Itu pula yang menjadi salah satu penyebab, ia memilih mundur dari posisinya sebagai sultan, untuk lebih banyak berkhalwat dengan Allah, dan menyerahkan tampuk kekuasaan pada Muhammad Al Fatih di usianya yang masih 11 tahun.

Diangkatnya sultan yang masih sangat belia ini membuat Paus Eugene IV membujuk Ladislas menghianati perjanjian damai selama 12 tahun yang telah disepakati bersama Sultan Murad II. Keadaan menjadi kacau dan membuat Muhammad Al Fatih menuliskan surat yang sangat terkenal itu, seperti yang dikutip Ust Felix Siauw dalam bukunya Muhammad Al-Fatih 1453.

“Siapakah yang menjadi sultan saat ini, saya atau ayahanda? Bila ayahanda yang menjadi sultan, datanglah kemari dan pimpin pasukanmu. Tapi bila ayahanda menganggap saya sebagai sultan, dengan ini saya meminta ayahanda segera kemari dan memimpin pasukan saya.”

Demikianlah sejarah mencatat. Setelah Sultan Murad II berhasil mengalahkan musuh, ia kembali didaulat menjadi sultan Utsmani dan Muhammad Al Fatih kembali menjadi gubernur di Manisa. Ia baru kembali ke Edirne saat sang ayah, Sultan Murad II, mangkat. Ia adalah satu-satunya anak laki-laki yang tersisa. Kepindahannya ke Edirne pada 18 Februari 1451 ini untuk memangku jabatan sultan kali kedua.

Kota indah ini awalnya berhasil dibebaskan oleh kakek buyutnya, Sultan Murad I pada tahun 1361. Kota yang sebelumnya bernama Adrianopel ini kemudian diganti namanya menjadi Edirne. Nama yang masih digunakan hingga saat ini. Sejak itu pula, Sultan Murad I menjadikan kota Edirne sebagai basis untuk menaklukkan Eropa dan menjadikan kota Bursa untuk mengatur pemerintahan di Asia dengan Selat Dardanela sebagai penghubung keduanya.  

Tak banyak peninggal masa Murad II maupun Muhammad Al Fatih di kota ini. Karena setelah membebaskan Konstantinopel, ia memindahkan ibukota kerajaan ke kota yang sekarang bernama Istanbul. Tujuan pertama kita adalah kompleks Sultan II Bayezid Kulliyesi Saglik Muzesi. Tempat ini dulunya adalah madrasah atau sekolah dan rumah sakit. Di tempat ini terlihat jelas bagaimana ilmu pengetahuan sudah sangat maju kala itu. Di saat Barat masih menganggap penderita gangguan jiwa adalah penyihir yang harus dibakar hidup-hidup, di sini sudah ada rumah sakit khusus untuk mereka. Selain menggunakan obat-obatan, Al Farabi juga melakukan penyembuhan menggunakan terapi musik, aromatherapi, bahkan diet makanan tertentu. Berabad kemudian, teknik ini masih digunakan.

Masjid di dalam kompleks ini tidak terlalu besar, namun berarsitektur cantik khas Utsmani. "Ini belum waktunya shalat, kan?" Tanya Nalan melihat saya dan Lambang bersiap untuk shalat. "Ya, saya akan shalat Tahiyatul Masjid. Saya ingin shalat sebanyak mungkin di masjid-masjid yang saya jumpai." Ruangan di dalam masjid terasa hangat dibanding suhu di luar yang minus satu derajat.

Tiba waktu Dzuhur, saya dan Lambang sudah berada di masjid berikutnya, yakni Ezki Mosque. Masjid ini kental dengan nuansa "mistik-nya", karena Islam di Turki mengenal banyak tarekat dan "menyukai" hal-hal seperti itu. Syahdan diceritakan Nalan, kalau Nabi Khidir masih sering shalat di sini. "Coba kamu lihat baik-baik orang yang shalat di sebelah kamu ya," pesan saya pada Lambang.

Usai shalat Dzuhur, kita menikmati makan siang di salah satu restoran yang menyajikan hidangan khas Edirne yang sangat terkenal: Hati sapi goreng atau tava ciger dalam bahsa Turki. Sebelumnya Nalan memastikan apakah kita mau makan hati sapi, sebab kalau tidak, kita bisa memilih menu yang lebih “aman”, yakni olahan daging sapi. Ah, andai dia tahu, orang Solo memakan semua bagian dari tubuh sapi. Jangankan hati, otak dan mata pun kita makan!

Tava ciger ini berupa potongan hati sapi yang diiris tipis memanjang, dibumbui tepung sebelum digoreng kering. Hidangan ini aslinya disajikan dengan roti, namun karena tahu kita dari Indonesia, Nalan sengaja memesankannya dengan nasi. Rasanya…hhmmm, lumer di lidah.

Di musim dingin seperti sekarang, hari sudah gelap sekitar pukul 16.00. Sehingga adzan Dzuhur pukul 12.30, masuk waktu Ashar pukul 14.38, hanya berselang 2 jam saja. Alhamdulillah, Allah izinkan saya shalat Ashar di masjid yang diarsiteki oleh si jenius Mimar Sinan. Masjid Selimiye yang termahsyur itu. Secara konstruksi, arsitektur dan desain interiornya, bangunan ini sangat mencengangkan. Bahkan hal ini diakui oleh orang-orang Jepang modern yang sangat paham dengan konstruksi bangunan tahan gempa. Lokasi masjid ini dan wilayah Turki pada umumnya adalah daerah rawan gempa. Namun berabad lamanya masjid ini masih utuh sekalipun diguncang gempa berkali-kali.

Subhanallah. Nikmat ini tidak terkira. Sekalipun Allah belum izinkan saya shalat di Masjid Al-Azhar, Kairo, namun Allah ganti dengan yang lebih banyak masjid yang bisa saya shalati hari ini.


Alhamdulillah...


Edirne, 30 Desember 2015


Sabtu, 13 Februari 2016

Assalamualaikum Istanbul


“Eh, tiket kita business class,” kata Lambang mengejutkan.
Saya hentikan langkah dan melihat tiket yang terselip di dalam passport. Betul, ada tulisan business class di situ. Kita saling berpandangan dan tersenyum lebar. Alhamdulillah, sebuah kejutan awal yang menyenangkan.

Tak berhenti di situ, perjalanan lanjutan usai umrah yang seharusnya ke Mesir, ternyata atas izin Allah harus berbelok ke Istanbul. Dan lagi-lagi, saya dikejutkan dengan tiket business class Saudi Arabia Airlines, Jeddah-Istanbul.

Ah, kejutan demi kejutan, membuat perjalanan umrah akhir tahun 2015 ini menjadi perjalanan yang penuh warna.
_____________________

Udara dingin menyambut kedatangan saya di Atatürk International Airport, Istanbul. Sambil mendorong koper-koper besar yang berat, saya dan Lambang celingak-celinguk mengamati deretan para penjemput yang menanti di balik ralling besi.

Seorang perempuan muda berkacamata membawa kertas bertuliskan Mr. Herlambang. “Itu…,” seru saya sambil menunjuk ke arahnya. Saya lemparkan senyum dan melambaikan tangan. “Hi, I’m Herlambang,” kata Lambang, yang disambut perempuan itu dengan ramah, “Bagaimana penerbangan kalian?”

Setelah lebih dekat, baru terlihat kalau perempuan ini memiliki kecantikan khas Turki Eropa. Kulitnya putih, rambutnya kemerahan, wajahnya mungil, perawakannya sedang. Sekilas tampak seperti artis Nikita Willy. “My name is Nalan…,” katanya memperkenalkan diri. Ia jelaskan kalau seharusnya kita makan malam di sebuah Chinese restaurant, tapi karena sudah lewat pukul 21.00 malam, sepertinya waktunya tidak keburu.
Is it halal?” potong saya setelah mendengar kata Chinese food.
Off course,” jawab Nalan, seperti bingung mendengar pertanyaan itu. Nanti, setelah melakukan perjalan beberapa hari di Turki, barulah saya tahu jawabnya.

Nalan lalu mengajak kita ke Simit Sarayi, sebuah franchise bakery yang sangat terkenal di Turki. Bahkan saya juga sempat melihatnya di Grand Zam-Zam, Mekkah. Makanan yang paling populer di sini namanya Taptaze simitler, semacam pretzel yang empuk. Lambang memilih itu, sedang saya meminta sandwich dan secangkir teh panas.

Malam ini kita langsung ke hotel Hilton Garden, tempat kita menginap, yang berada di Golden Horn. Nalan meminta kita segera beristirahat, karena besok pagi akan melakukan perjalanan darat ke Edirne, sejauh 240 km,  yang memakan waktu kurang lebih tiga jam.

Sepanjang perjalanan dari bandara ke hotel, saya melihat hiruk pikuk Istanbul yang modern. Gedung-gedung tinggi, manusia yang sibuk, jalanan yang macet, serta warna-warni signboard mengepung kota. Mendekati selat Bosphorus, Nalan menunjukkan beberapa bangunan kuno, seperti tembok Konstantinopel. “Besok, kalian bisa melihatnya lebih jelas,” katanya

Istanbul adalah kepingan sejarah yang tercatat dengan tinta emas. Daulah Ustmani menorehkannya selama lebih dari 600 tahun. Usman Bey sang pemula, dengan gagah berani  menghancurkan pasukan Tartar. Ditaklukkannya Bursa di tahun 1317, lalu satu per satu negeri-negeri di sekelilingnya.

Perjuangan Usman Bey dan keturunannya: Orkan I, Murad I, Bayazid, Muhammad I, Murad II, semuanya untuk mewujudkan nubuwat Rasulullah. Tercatat dalam tarikh, di perang Khandak, Rasulullah menghentakkan tembilangnya pada sebuah batu. Benturan keras antara besi dan batu itu memancarkan cahaya sebanyak tiga kali. Sebanyak itu pula manusia mulia itu bertakbir, hingga para sahabat yang menyaksikan bertanya, “Ada apa gerangan?” Dijawab, bahwa pada percikan cahaya yang pertama dilihatnya negeri Yaman, percikan kedua Kisra di Persia dan yang ketiga adalah istana Konstantinopel. “Sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik pasukan yang akan menaklukkan Konstantinopel.”

Nubuwat itu menjadi pelecut semangat bagi siapa saja untuk mewujudkannya. Sejak para sahabat, yang dibuktikan oleh Abu Ayub Al Anshari yang berjihad hingga tembok Konstantinopel, sampai Usman Bey dan keturunannya. Sejengkal demi sejengkal negeri di sekitar Konstantinopel berhasil ditaklukkan. Hingga datanglah Sang Al-Fatih, Muhammad II Sang Penakluk. Bersama pasukan terbaiknya, setelah mengepung dari hari Jumat, 6 April 1453 hingga Selasa, 29 Mei 1453, akhirnya ia berhasil mewujudkan nubuwat itu.

Tak berhenti sampai di situ. Mereka adalah keturunan darah Turan, bangsa pengembara yang perkasa, tak gentar panas, tak takut salju. Perlahan, satu per satu negeri-negeri yang jauh disatukannya. Mesir, Hijaz (Mekkah-Madinah), Yaman, Irak, Palestine, Maroko, Tunisia, Aljazair, Bulgaria, Hongaria, Polandia, bahkan Sultan Sulaiman Al-Qonuni dua kali mengirim pasukannya hingga batas kota Wina, Austria.

Dua per tiga wilayah di dunia tunduk pada Daulah Ustmani. Kekuasaannya ke Timur sampai Malaka dan Nusantara. Aceh berulang mendapat bantuan dari pasukan Turki Ustmani saat mengusir Portugis. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam, menuliskan, pengaruh Daulah Usmani itu sangat terasa. Bahkan sampai sekarang, di dusun-dusun di Ulu Palembang, Tanah Bugis, Minangkabau, terutama di Aceh, masih banyak yang menggantung gambar-gambar Sultan Turki dan para pahlawannya, seperti Anwar Pasha dan Ibrahim Adham Pasha.

Lebih mengejutkan lagi, kalau sungguh-sungguh mencari, pada khutbah kedua shalat Jumat (Na’at) di surau-surau di kampung-kampung itu, masih banyak yang mendoakan khalifah Ustmani! Bahkan salah satu lambang kerajaan Minangkabau adalah sebuah cap Daulah Ustmani yang bernama Thaghraii. Benda itu masih disimpan oleh anak cucu kerabat kerajaan di Pagaruyung.

Kegemilangan demi kegemilangan yang telah ditorehkan, harus berakhir di tangan anak bangsa sendiri. Mustafa Kemal Atatürk, pada tanggal 29 Oktober 1923 mendirikan Republik Turki yang berhaluan sekuler. Mencabut panji-panji Islam yang pernah menggetarkan dunia dan menghapus segala hal yang berbau syariat Islam. Melarang perempuan-perempuan mengenakan hijabnya ke sekolah atau gedung pemerintahan, mengganti adzan menggunakan bahasa Turki, menutup madrasah-madrasah, dan sederet peristiwa memilukan lainnya.

Apakah Islam hilang dari Turki? Tidak! Saya menyaksikan hangatnya cahaya Illahi di tanah Al-Fatih hari ini.

Assalamualaikum Istanbul


Istanbul, 29 Desember 2015

Senin, 08 Februari 2016

Dari Gurun Berjumpa Salju


... Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok. [QS. Luqman: 34]

Kita tidak pernah tahu, satu detik lagi angin akan bertiup ke utara atau selatan. Kita tidak pernah tahu, hari ini berapa helai rambut yang akan rontok. Namun, Allah telah menuliskan semua takdir makhluknya secara rinci di Laufil Mahfudz, lima puluh ribu tahun sebelum bumi diciptakan.

-------------------------

Dalam perjalanan meniti hari, kita juga tidak pernah tahu, dengan siapa akan berjumpa. Seperti, perjumpaan saya dengan Hameed, seorang pria Arab yang sangat baik. Saya dan Lambang diajak ke rumahnya, menikmati jamuan ala Arab, dikenalkan dengan keluarganya, dan dimudahkan menghadapi banyak urusan.

Hameed adalah mitra lokal Khalifah Tour, travel yang membawa saya umrah akhir tahun 2015 ini. Tugasnya mengurus airport handling, alias segala tetek bengek di airport, mulai check-in, bagasi, hingga memastikan kita tinggal melenggang manis ke ruang tunggu keberangkatan menunggu pesawat take off.

Qadarullah, perjalanan lanjutan usai umrah yang semestinya ke Mesir tidak berjalan lancar. Manifes visa yang sudah kita pegang ternyata tidak “berlaku” di Saudi. Padahal kalau kita berangkat dari Jakarta atau mungkin negara lain tidak masalah. Saudi dan beberapa negara di Timur Tengah menjadi sangat sensitif dengan urusan visa karena banyaknya kasus pengungsi Suriah, isu ISIS, terorisme, dan sebagainya. Apalagi belum lama terjadi pengeboman di pesawat Metrojet 9268 milik Rusia di Semenanjung Sinai, Mesir, 31 Oktober 2015 lalu. Burung besi itu meledak berkeping-keping di udara sebelum jatuh ke bumi, 23 menit setelah lepas landas dari Sharm el-Sheikh, Mesir, menuju St. Petersburg.

Hameed yang rasanya kenal dengan semua orang di bandara mengajak kami ke sana-ke mari untuk mengurus keberangkatan, karena sebenarnya kami telah memegang boarding pass: Jeddah-Amman-Kairo. Bagasi kami pun sudah masuk ke pesawat, namun tidak bisa berangkat. Bahkan, kami sampai bertemu dengan staf Kementerian Haji dan Umrah. Semua angkat tangan. Kami harus melengkapi visa itu di Kedutaan Besar  Mesir, dan itu pun tidak bisa diurus di Saudi, melainkan harus di Jakarta! Lā ḥawla wa lā quwwata illā billāh.

Setelah dua jam lebih bolak-balik dan pesawat Royal Jordan yang seharusnya membawa kami akan segera boarding, Hameed berkata pelan,  “Ini sepertinya sudah qadarullah, kalian tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Mesir. Situasinya sedang tidak bersahabat. Lebih baik diurus dulu kelengkapan dokumennya, baru terbang ke Mesir. Kalau dipaksakan, nanti terjadi apa-apa di Mesir malah repot,” sarannya. Saya terduduk lemas di ruang tunggu bandara. Bukan saja lelah karena harus berlari ke sana-ke mari mengurus ini-itu, tapi sekaligus sedih, karena perjalanan ke Mesir ini sudah saya rencanakan sejak lama. Bahkan, jauh sebelum ke Andalusia pun, sebenarnya saya sudah meniatkan untuk ke Mesir lebih dahulu. Setelah Masjidil Aqsa, Palestine, saya ingin shalat di Masjid Al-Azhar, Kairo.

Tak lama, Khudori dari Khalifah Tour-Mekkah, menelepon dan menjelaskan sedang dalam perjalanan dari Mekkah ke Jeddah untuk menjemput kami, serta mengatakan telah menyiapkan kamar di Hotel Marriot, Jeddah, untuk istirahat sembari menunggu segala sesuatunya diurus. “Perlu waktu kurang lebih 4 jam untuk mengeluarkan bagasi. Dari pada menunggu di sini, lebih baik menunggu di rumah saya,” tawar Hameed ramah. Lambang memandang saya meminta persetujuan, saya yang sudah lelah berpikir, hanya mengangguk mengiyakan.

Saat berjalan beriringan menuju tempat parkir, saya terkesan dengan keramahan Hameed pada orang-orang yang berpapasan dengan kami. Ia menyapa semua, menyalami, dan memberikan ciuman pipi khas pria Arab, berbasa-basi sebentar, bahkan ada juga yang lebih dari 5 menit. Hampir semua orang yang ditemuinya diceritakan masalah yang tengah kami hadapi. Saya sampai menyeletuk ke Lambang, “Kenapa dia tidak pinjam pengeras suara bandara saja, sih, dari pada cerita satu per satu ke tiap orang?” Dari ruang tunggu sampai parkiran yang jaraknya hanya sepelemparan batu, jadi agak lama, ya, karena keramahan Hameed itu.

“Saya punya dua rumah, yang satu di dekat bandara, yang satu lagi agak jauh,” ceritanya ketika kami sudah berada di dalam mobil double cabin miliknya. “Kalian mau makan apa? Ayam? Kambing? Sapi?” tawarnya saat kami berhenti di salah satu restoran. Rupanya restoran itu letaknya tak jauh dari rumah Hameed. Saya terkesiap saat ia menghentikan mobil dan membunyikan klakson di depan rumah berpagar tinggi. Berkali melakukan perjalanan ke Tanah Suci, saya selalu penasaran dengan rumah-rumah penduduk lokal. Bentuknya yang menyerupai kubus, berpagar tinggi dan tertutup rapat, menyelipkan tanya, seperti apa di dalamnya? Selama ini saya hanya bisa melihatnya dari kejauhan, tanpa bisa “mengintip” isinya. Dan tanpa diduga, Allah izinkan saya melihatnya hari ini.

Seorang pria muda berkulit legam, dengan ikat kepala dari kafayeh melilit di kepalanya, membukakan gerbang. Hameed memarkir mobilnya sembarangan di balik pagar. “Ayo turun, ini rumah saya. Jangan sungkan,” katanya sambil membukakan pintu. Terlihat ruang tamu yang luas, dengan sofa mengelilingi ruangan, serta karpet yang digelar di lantai. Ia mengatakan sesuatu pada pembantu pria yang tadi membukakan pintu, sambil menyerahkan bungkusan yang dibeli di restoran. Tak lama, Mustafa, nama pembantu asal Yaman itu, muncul lagi sambil membawa nampan besar berisi nasi dengan potongan daging kambing yang besar-besar di atasnya.

Diletakkan nampan itu di tengah karpet. Hameed lalu mengambil piring yang hanya satu dan menyendokkan nasi. Diangsurkannya piring itu pada saya. “Wah, ini terlalu banyak, setengahnya saja,” protes saya demi melihat nasi yang menggunung. “Ambil saja, di Arab, tamu tidak boleh menolak suguhan tuan rumah,” jawabnya. Ia lalu mempersilakan Lambang untuk makan langsung dari nampan besar bersamanya dan seorang menantunya yang baru muncul.

Dijamu keluarga Arab seperti ini, sudah lama saya impikan. Dan tanpa terduga, di antara kesulitan yang tengah saya dan Lambang hadapi hari ini, Allah izinkan saya merasakannya. Sambil makan, Hameed bercerita ngalor-ngidul tentang keluarganya. Ia adalah pensiunan tentara. Istrinya dua, dari istri pertama ia punya delapan anak, dari istri kedua, satu anak. Ia katakan kenal akrab dengan salah satu konglomerat Indonesia yang punya menantu seorang artis. Ia tunjukkan foto-foto keakraban mereka. Sambil mendengarkan ceritanya, saya takjub melihat pria-pria Arab ini menghabiskan makanan satu nampan besar dalam waktu singkat.

Selesai makan, kita berjamaah shalat dzuhur. Setelah itu Hameed menawarkan pada Lambang apakah mau mengisap shisha bersama, yang ditolak dengan mengatakan ia tidak merokok. Tabung shisha itu sangat besar, lebih besar dari tabung LPG 12 kg, setiap kali diisap ada suara bergolak, seperti air mendidih yang dijerang di atas panci. Saya jadi teringat tulisan Andrea Hirata tentang orang Melayu pedalaman yang suka bermalas-malasan di kedai kopi sambil berbual-bual. Pemandangan itu tak jauh berbeda dengan kebiasaan orang Arab. Hanya saja mereka tidak minum kopi, melainkan mengisap shisha. Dalam hal berbual-bual, saya pastikan orang Melayu manapun akan kalah. Orang-orang Arab ini kalau bicara seperti tidak ada jedanya. Merepet tanpa henti. Apa saja diomongkan. Kebetulan menantu Hameed ini sedikit-sedikit juga bisa berbahasa Inggris, jadilah ia ikut dalam obrolan kami.

Berulang saya membaca buku tetang persahabatan gurun, artinya kebaikan orang Arab dalam menjamu tamunya. Beberapa kali pula saya melihat tayangan di channel TLC tentang hal itu. Orang Arab tidak akan menghentikan jamuan sebelum memastikan tamunya benar-benar kenyang dan mendapat bagian terbaik dari makanan yang dihidangkan. Kali ini saya menyaksikannya sendiri ketulusan Hameed dalam menerima kami di rumahnya. Padahal sebenarnya, bisa saja dia mengantarkan kami ke hotel, lalu bagasi dikirim kemudian.

Berkali-kali ia melakukan panggilan telepon ke Indonesia dan ke Mesir untuk mendapat update. “Kalau mau telepon ke keluarga di Indonesia, pakai telepon ini saja ya. Kabarkan kalau kalian baik-baik saja,” katanya yang membuat kami bengong. Ia lalu bercerita, dari bisnis airport handling ini ia mendapat 16 SAR per jamaah. Ada seribuan jamaah yang di-handle setiap hari. Pemasukannya sekitar Rp60 juta per hari. “Tapi itu semua bukan untuk saya. Kalian tadi lihat semua orang yang saya temui di bandara? Mereka semua saya bagi juga,” katanya. “Bukan uang yang menjadi tujuan semata. Saya ingin jamaah yang saya handle mendoakan saya. Doa yang dilakukan diam-diam akan diijabah Allah,” lanjutnya dengan kalem.

Saya tertegun. Pastilah saya dan Lambang bukan orang pertama yang dibantunya. Meskipun awalnya ini adalah bagian dari perkerjaannya, namun yang dilakukan lebih dari seharusnya. Saya yakin persahabatannya dengan salah satu konglomerat Indonesia itupun tulus.

Menjelang Maghrib, kita kembali ke Bandara King Abd Azis untuk mengambil bagasi. Dalam perjalanan, kita melewati Laut Merah. “Kalian ingin jalan-jalan ke pantai dulu?” tawarnya. Ya ampun, orang ini benar-benar menikmati hidup, sepertinya ia tidak pernah menganggap ada masalah di dunia ini. Bagaimana mungkin, saya yang lagi deg-degan setengah mati memikirkan mungkin tidak melanjutkan perjalanan ke Mesir, eh, malah diajak jalan-jalan ke pantai. “No, thanks,” jawab saya.

Tiba di bandara, rupanya Khudori telah menunggu. Setelah mengambil bagasi, kita harus berpisah. Waktu berpamitan, sekali lagi ia mengatakan, “Apa lagi yang bisa saya bantu? Mungkin kalian perlu uang?” Untuk kesekian kalinya saya bengong mendengar ucapannya. “Cukup doakan kami, supaya perjalanan besok lancar, kemanapun kami akan terbang. Semoga Allah mudahkan saya melihat hikmah dari kejadian ini. Dan, saya pasti akan mendoakan kamu sekeluarga, supaya selalu dalam kebaikan,” ucap saya tulus. Hameed tersenyum lebar. Ia lalu bersalaman, memeluk Lambang, dan memerikan ciuman pipi khas persahabatan pria Arab. “Saya dan banyak orang lagi pasti mendoakan kamu dalam kebaikan, Hameed,” batin saya saat mengucapkan salam perpisahan.

Lagi-lagi, Allah punya cara untuk menghibur saya di tengah situasi ini. Sopir yang membawa kita dari bandara ke hotel ternyata seorang pria Palestine warga negara Jordan, bernama Abu Hamdy. Sepanjang perjalanan kita bertukar cerita. Seperti umumnya orang Palestine yang cerdas dan bisa berbahasa Inggris dengan baik, Abu Hamdy menceritakan dengan runut bagaimana Israel mengokupasi desanya, 7 kilometer dari Yerusahlaim. Lalu kisahnya menikahi istrinya yang berasal dari Jaffa, pinggiran Gaza. Bagaimana penduduk desanya mengungsi, hingga kini sangat sedikit yang tersisa. Perjalanan terasa sangat singkat, dan tak terasa kami menjadi akrab. “Abu Hamdy, di mana kamu ingin menghabiskan hari tuamu? Di Jeddah? Jordan? Atau Palestine?” Tanya saya. Agak lama ia terdiam, sampai akhirnya terucap, “Di manapun takdir Allah, di situ tempat terbaik bagi saya untuk menghabiskan hari tua.”
_____________________

Esok paginya, Pak Rustam, pemilik Khalifah Tour yang sedang berada di Andalusia, menghubungi dan menawarkan beberapa alternatif solusi. Salah satu yang ditawarkan adalah me-reroute perjalanan dari Mesir ke Turki. Alternatif ini juga sempat disinggung ustadz Roffi, salah seorang pembimbing umrah, alumnus Al-Azhar, Kairo, yang sempat kita mintai pertimbangan semalam. Saya meminta waktu satu jam untuk mendiskusikannya dengan Lambang.

“Kita tidak membawa perlengkapan musim dingin. Di Turki, bulan Desember begini pasti sedang salju,” ucap saya.
“Ya, hari ini kita beli coat dan perlengkapan lainnya dulu di Jeddah. Sekalian menukar uang pond Mesir dengan lira Turki,” jawab Lambang.
Saya masih bimbang. Perjalanan yang harusnya berada di gurun pasir, kini malah akan berjumpa salju. Tapi, pilihan ini sepertinya yang paling bijak, dari pada saya ngotot ke Kairo tanpa dokumen lengkap. Bila muncul masalah di sana, pasti kami akan merepotkan banyak orang.

Akhirnya, “Bismillah, kita sudah memutuskan untuk memilih alternatif ke Turki: Istanbul-Edirne-Cappadocia, Pak,” tulis saya melalui WA pada Pak Rustam.
Siap, Mbak. Kami urus semuanya sekarang,” balas Pak Rustam.  

Qadarullah wamaa syaa afa’al. Takdir Allah adalah apa yang dikehendakiNya, dan itu pasti terjadi. Kisah ini akan menjadi tulisan panjang dan kenangan yang tak terlupakan.



Jeddah, 29 Desember 2015

Senin, 25 Januari 2016

Flamenco Tarian Duka


Tak… tak… tak…tak tak tak
Suara sepatu itu berdentam-dentam menghantam lantai kayu. Kian lama semakin ritmis. Dentamannya memekakkan telinga. Rasanya panggung kecil itu bisa roboh karena kerasnya goncangan. Cahaya lampu menyorot satu titik di tengah panggung. Perempuan berpinggang sangat langsing itu mengangkat roknya. Terlihat sepatu hitam yang membuat suara bendentam-dentam. Ia terus menari, berputar, sesekali berteriak, “Olee… Olaa…”

Tapi, mengapa wajahnya bergurat duka?

-----------------
Setelah menghabiskan siang di Estadio Santiago Bernabéu, sore ini kita melanjutkan perjalanan ke Plaza de Mayor. Salah satu pusat keramaian di kota Madrid. Sejak abad pertengahan, lokasi ini sudah difungsikan sebagai tempat berlangsungnya aktivitas sosial, seperti konsep alun-alun di Jawa. Dari penobatan raja, eksekusi tahanan, hingga pasar, berlangsung di area yang dibangun kembali oleh arsitek Juan de Villanueva tahun 1790, setelah hancur akibat kebakaran hebat.

Kafe-kafe cantik berderet di sepanjang jalan. Rata-rata secangkir kopi atau teh dibanderol 5-10 euro. Di Jakarta, itu setara dengan 3 cangkir cappuccino ukuran sedang di Starbuck. Seperti kafe-kafe di Eropa pada umumnya, tersedia tempat duduk di area terbuka. Sambil menyeruput hangatnya kopi, pengunjung bisa menikmati suasana orang yang berlalu-lalang.

Sore itu kawasan Plaza de Mayor ramai bukan kepalang, mungkin karena lagi musim sale akhir tahun, atau rebajas dalam bahasa Spanyol. Salah satu store brand asal Spanyol, Zara, sesaknya tak kalah dengan Tanah Abang menjelang Lebaran. Antrean di kasirnya mengular hingga terlihat dari pintu masuk. Terlihat beberapa orang berwajah Melayu sibuk memilih barang. Pajak barang mewah yang diberlakukan pemerintah membuat merk-merek seperti ini lebih murah di luar negeri ketimbang di Jakarta.

Saya dan Lambang punya kebiasaan jalan ke supermarket lokal saat berada di luar negeri, untuk membeli teh atau kopi. Beberapa sahabat kami adalah penggemar kopi, sedang saya sangat suka teh yang beraroma. Oleh-oleh teh atau kopi lokal sangat mereka tunggu. Tidak selalu enak, sih. Dari negara-negara yang pernah saya kunjungi, saya paling suka dengan supermarket lokal di Jepang. Barang-barang yang dijual unik-unik. Teh dan kopinya, sekalipun rasanya biasa saja, tapi kemasannya sangat menarik.

Supermarket yang kita datangi ternyata terkoneksi dengan stasiun kereta bawah tanah. “Yuk, mau nyobain enggak? Sampai stasiun pertama saja, lalu balik lagi,” ajak saya. Tapi sepertinya waktunya tidak cukup. “Enggak ada waktunya,” jawab Lambang. Ya, kita memang harus segera berkumpul lagi di salah satu kafe yang sudah disepakati di ujung perempatan. “Wah, ngeborong apa, Mbak?” Tanya Pak Rustam yang telah duduk menunggu. Saya hanya tersenyum kecil.

Usai acara belanja di Plaza de Mayor, Pak Rustam memberi kejutan untuk makan malam terakhir, setelah tujuh belas hari kita melakukan perjalanan bersama. Terbaca tulisan yang terpasang di tembok luar restoran:  Flamenco Salvaje Aqui “El Flamenco Debe Hacer Sentir, No Sold Asombrar”. “Asyik, kita nonton Flamenco ya?” seru rombongan.

Restoran ini, seperti restoran di Spanyol pada umumnya, posisinya lebih rendah dari jalan di depannya. Dari pintu ada beberapa undakan turun ke bawah, lalu belok ke kiri. Di ujung terlihat panggung kecil. Ruangan sedikit temaram, meja-meja panjang berderet di depannya. Saya memilih duduk tepat menghadap ke depan, supaya bisa menikmati pertunjukan.

Menu utama makan malam itu adalah paella, nasi khas Spanyol. Nasi ini dimasak dengan seafood, seperti kerang, udang, cumi, dan dibumbui saffron. Nasinya tak benar-benar matang, ngletis kalau orang Jawa bilang. Tapi memang seperti itu rupa paella, konon kalau nasi paella ini dimasak sampai matang, pembeli akan melempar kuali yang digunakan untuk menghidangkan masakan itu ke tukang masaknya. Waduh!

Begitu piring-piring di meja dibereskan, ruangan menjadi gelap. Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan muncul di panggung. Penonton bertepuk tangan. Gitar berdenting, laki-laki berkucir itu mulai bernyanyi. Nyanyian itu… mengingatkan saya pada lagu-lagu Arab, tapi ini berbahasa Spanyol. Tiba-tiba pikiran saya melayang, membayangkan sosok Ziryab.

Fenomena Ziryab selalu dikaitkan dengan kehancuran Andalusia. Ia ibarat anai-anai yang menggerogoti tongkat Nabi Sulaiman hingga jatuh ke bumi. Mulanya, Ziryab adalah seniman dari Baghdad. Persaingan dengan gurunya yang bernama Ibrahim Al-Mushily, membuatnya terusir dari negeri itu. Dalam pengembaraannya, ia memilih Andalusia.

Andalusia yang bermandikan cahaya pengetahuan menyambutnya. Selain syair, dendang, dan tarian, ia mengajarkan hal-hal yang belum pernah dilakukan manusia sebelumnya, seperti membagi makanan menjadi 3 bagian; appetizer, main course, dan dessert. Etika makan seperti ini masih digunakan hingga kini. Ia juga menciptakan tren fashion berdasar musim; panas, gugur, dingin, dan semi. Kalau sekarang, ia pastilah mendapat gelar seniman multitalenta. Singkat cerita, ia mengajarkan tentang gaya hidup hedonis.

DR. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, menjelaskan sebuah fakta, Ziryab datang ke Andalusia di masa Abdurrahman Al-Ausath, sosok pemimpin yang sangat peduli dengan ilmu pengetahuan. Pada masa itu perekonomian dan peradaban Andalusia sedang berada di puncaknya. Tak ada yang bisa menjelaskan mengapa ia membiarkan Ziryab mengambil tempat di majelis ilmu dan menggantinya dengan dendangan yang melenakan. Perlahan, sangat perlahan, semua itu merasuk ke dalam sanubari umat tanpa seorangpun menyadarinya.

Hingga terjadilah apa yang seharusnya bisa dicegah. Senandung Ziryab membuat para pencari ilmu berpaling dari ulama dan kitab-kitabnya. Masyarakat terlena dengan cerita-cerita anehnya tentang negeri Persia. Apa yang terjadi bila ayat-ayat Allah ditukar dengan dendang lagu dan tarian? Saat itulah pendulum kehancuran mulai bergoyang. Tidak seketika semuanya musnah. Kemunduran Andalusia berlangsung selama 200 tahun, hingga jejaknya benar-benar sirna. Innalillahi wa innailaihi roji’un…

Tak… tak… tak…tak tak tak…
Hentakan kaki penari Flamenco itu terdengar serupa dengan derap kuda pasukan Thariq ibn Ziyad ketika membebaskan semenanjung Iberia. Kalau pasukan terbaik Sang Pahlawan telah membuka tabir hadirnya cahaya hidayah, para penari itu menggantang asap, hingga kabut kegelapan kembali menyelimuti bumi Andalusia. Guratan duka di wajahnya bisa menjelaskan, betapa dendang dan goyangannya membawa kehancuran.

Tak… tak… tak…tak tak tak…  
Dentaman itu kian bertalu-talu. Gelak tawa Ziryab, muncul tenggelam, berganti dengan derap pasukan Thariq ibn Ziyad yang mengobarkan jalan jihad. Rabbana, inikah jawab atas tanya, apa yang terjadi di Andalusia? Sudut mata saya basah. Di hari terakhir di Andalusia, saya menyaksikan Flamenco, sebuah tarian duka…


Madrid, 8 januari 2015

Uttiek Herlambang

_______________

Alhamdulillahi robbil ‘alamin…

Tulisan Flamenco Tarian Duka ini merupakan tulisan terakhir dari  12 tulisan Journey to Andalusia. Tepat setahun, saya baru bisa merampungkannya. Ini adalah kumpulan tulisan terlama yang pernah saya buat. Awalnya, saya tidak tahu mengapa begitu lama menyelesaikannya.

Jawaban itu saya dapat ketika melakukan perjalanan umrah akhir tahun ini, dan secara tidak terduga berbelok ke Turki, dari seharusnya meneruskan perjalanan ke Mesir. Menyaksikan kalimat Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah yang terpahat kuat di gerbang Topkapi Sarayi atau Istana Topkapi, membuat saya memahami; sejarah Andalusia adalah senandung kepedihan, sedangkan Istanbul adalah dendang kemenangan.

Kesedihan yang sangat, membuat saya merasa berat ketika harus menuliskan tentang Mezquita. Bahkan rasa takjub saat berada di Alhambra pun tetap menyisakan rasa pedih di hati. Di Turki, saya menemukan semangat itu kembali. Tulisan ini harus segera selesai.

Salah satu momen yang tak terlupakan adalah ketika Pak Rustam mengirimkan kabar dari Andalusia, ketika saya masih berada di Turki. “… Local guide kami, Abu Bakar, yang lulusan S3 University of Granada, menjelaskan tentang sejarah Masjid Jami Al-Bayajid. Di tempat ini pada bulan Januari 1492 dilaksanakan shalat Jumat terakhir di Granada. Insya Allah, suatu saat nanti bangunan ini bisa digunakan kembali untuk shalat. Dan, saya, Mbak Uttiek, serta Mas Lambang menjadi bagian dari jamaahnya.”

Saya baca pesan yang ditulis melalui media sosial itu dengan rasa haru. Dua hari sebelum menerima pesan itu, saya baru mengunjungi Hagia Sophia atau Aya Sophia. Bangunan simbol emperium Byzantium yang berhasil dibebaskan oleh manusia terbaik dengan pasukan terbaik, Muhammad Al Fatih. Di bulan Mei 1453, untuk pertama kalinya adzan berkumandang dan shalat Jumat didirikan di Aya Sophia.

Konstantinopel berhasil dibebaskan 40 tahun sebelum kejatuhan Andalusia. Tenggelamnya cahaya Islam di pojok Eropa Barat, bertepatan dengan terbitnya cahaya Allah di Eropa Timur. Sungguh, rencana Allah selalu sempurna.


“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir dan agar sebagian kamu dijadikanNya gugur sebagai syuhada. [QS Ali Imron: 140].

Jumat, 22 Januari 2016

Aku Lihatkan Santiago Bernabéu Untukmu, Diz

“Bisa, Pak, kita ke sana?”
Sejenak Pak Rustam terdiam dan terlihat berpikir, “Nanti bisa diusahakan,” jawabnya sambil tersenyum.
“Tidak apa-apa, Pak, nanti kami naik taksi.”
Di itinerary umrah plus Maroko dan Andalusia ini tidak ada jadwal ke Estadio Santiago Bernabéu. Saya meminta kepastian dari Pak Rustam untuk bisa ke sana barang sebentar saat berada di Madrid.

------------------------------------------------
Saya bukan penggemar sepak bola. Bahkan saya tidak tahu Lionel Messi itu pemain dari mana? Offside itu apa? Dan hal remeh tentang sepak bola lainnya. Pemain sepak bola yang saya tahu hanya David Beckham dan Cristiano Ronaldo. Nama pertama karena saya sering mengedit beritanya sebagai pesohor, bersama istrinya Victoria Beckham. Nama kedua karena kepeduliannya pada Palestine.

Namun, Estadio Santiago Bernabéu mulai terngiang-ngiang sejak saya membaca buku Andrea Hirata yang berjudul Sebelas Patriot. Perjuangannya mendapatkan selembar kaus bertandatangan asli Luis Figo seharga 250 Euro untuk ayahnya, sangat membekas di hati. Sekalipun kisah itu dituliskannya dengan gaya kocak, khas Andrea, tapi buat anak yang cinta mati pada ayahnya seperti saya, kisah itu sangat menyentuh. Entah kenapa kalimat yang ditulisnya, “Figo… Bujang, Luis Figo…,” selalu mengingatkan saya untuk memperjuangkan sesuatu demi membahagiakan Papi.

Pagi itu, kita mengawali hari dengan mengunjungi Plaza de Toros de las Ventas atau yang biasa disebut Las Ventas. Bangunan beraksitektur mudejar ini adalah stadion adu banteng alias tempat pertunjukan matador yang terbesar di Spanyol. Stadion berkapasitas 25.000 penonton ini mulai dibangun tahun 1922 dan digunakan tahun 1931. Beberapa kali sempat ditutup, sampai akhirnya bangunan bergaya peninggalan bangsa Arab di Andalusia yang diarsiteki José Espeliú ini digunakan lagi hingga kini. Tidak ada pertunjukan sepagi itu. Kita hanya berfoto-foto di area stadion.

Dari Las Ventas, bus bergerak menuju Estadio Santiago Bernabéu. Saya senang sekali, karena secara khusus Pak Rustam mengagendakan ke tempat ini, yang semula tidak ada di jadwal tur. Dari luar terlihat tembok menjulang setinggi Stadion GBK di Senayan. Kita tidak masuk ke dalam stadion, melainkan turun di depan pintu kafe. Dengan membayar 15 Euro per orang, pengunjung bisa duduk-duduk di dalam kafe, sambil menikmati secangkir kopi atau teh. Dan kalau beruntung, bisa menyaksikan Christiano Ronaldo, Karim Benzema, Mesut Oezil berlatih.

“Katanya di ruang ganti stadion ini ada mushala yang digunakan Benzema untuk shalat ya?” tanya Lambang pada Carmen, local guide kita di Madrid. “Wah, saya tidak punya informasi tentang itu,” jawabnya. Dari dinding kaca kafe, terlihat pemandangan di dalam stadion. Bangku-bangku penonton bercat biru, bertuliskan Real Madrid. Beberapa pekerja sibuk melakukan tugasnya. Ada mesin-mesin besar semacam mesin pemotong rumput berderet di atas rumput stadion.

Melihat rapinya rumput stadion, lagi-lagi, saya teringat kisah Andrea. Ia harus melakukan tiga pekerjaan dalam satu hari demi selembar kaus untuk ayahnya. Pagi, sebagai tukang cat dan angkut-angkut di toko furnitur, malam sebagai pembantu umum di stadion, yang tugasnya disuruh-suruh oleh siapa saja, termasuk si tukang potong rumput. Dan, sesekali ia ikut mengamen bersama para backpacker di Plaza de Catalunya.

Dari kafe, kita ke Official Real Madrid Store. Toko berlantai dua ini terlihat gemerlap dengan aneka merchandise resmi. Mulai jersey, syal, pin, topi, tas, dan banyak lagi. Di lantai dua, tersedia aneka perlengkapan merk Adidas. Semua dibanderol dalam euro. Saya membayangkan, di tempat inilah Andrea Hirata bertemu Adriana, perempuan baik yang menyimpankan kaus Luis Figo untuknya.  

Selain kisah Andrea, alasan lain yang membuat saya ingin mengunjungi Estadio Santiago Bernabéu adalah karena adik bungsu saya, Farid, yang biasa dipanggil Dudiz di rumah, adalah seorang Madridista, sebutan untuk penggemar Real Madrid. Kalau bukan karena dia, bisa jadi saya tidak akan ngotot ke tempat ini. Saya ambil selembar jersey putih untuknya, lalu beberapa barang lain. Semoga ia sesenang ayah Andrea, saat menerima jersey oleh-oleh ini.

Madrid adalah kota terakhir yang kita kunjungi dalam perjalanan ini. Dari Madrid, besok pagi kita akan bertolak kembali ke Jakarta, setelah transit di Doha, Qatar, terlebih dulu. DR. Raghib As-Sirjani di bukunya Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, secara khusus memberikan catatan pada kota ini. Di sini, tahun 1992 ditandatangani perjanjian antara Palestine dengan Israel, yang tentu saja, kemudian dilanggar sendiri oleh yahudi-yahudi itu. Mengapa dipilih kota ini? Padahal perjanjian serupa umumnya dilakukan di Amerika.

Ternyata di hari yang sama, di kota ini sedang diselenggarakan perayaan 500 tahun Dia de la Toma atau jatuhnya Granada, yang menandai dimulainya genosida pada kaum muslim Andalusia. Sejatinya, apa yang terjadi di Andalusia pada waktu itu adalah apa yang terjadi di Palestine saat ini. Secara bertahap dan sistematis, umat islam diusir dari Tanah Airnya. Bom-bom yang dijatuhkan Israel di tanah Palestine, syahidnya pada syuhada, nestapa berkepanjangan yang dirasakan saudara-saudara kita, sudah pernah tercatat oleh sejarah Andalusia. Seakan ada pesan yang ingin disampaikan dalam perjanjian itu, kami pernah melakukannya 500 tahun lalu, kini pun kami akan melakukannya lagi.

Kekejaman yang dilakukan di Andalusia sungguh tak terbayangkan oleh manusia dan kemanusiaan. Umat Islam terus diburu, mereka yang ketahuan menyembunyikan ke-Islamannya akan disiksa dengan alat-alat penyiksaan yang sangat mengerikan. Bukti adanya alat-alat penyiksaan ini ditemukan oleh pasukan Napoleon ketika menguasai Spanyol. Dalam catatan harian seorang perwira bernama Kolonel J.J. Lehmanowsky, tubuhnya bergetar hebat, bahkan nyaris pingsan, saat menemukan sisa-sisa kengerian itu.

Salah satu alat penyiksaan itu ada yang dinamai Iron Maiden, yang kemudian digunakan sebagai nama band metal asal Inggris. Alat ini adalah peti berbentuk tubuh manusia, yang di dalamnya terpasang senjata-senjata yang sangat tajam dalam jumlah banyak. Mereka yang ketahuan Islam, akan dilempar ke peti ini, lalu ditutup, sehingga tubuhnya terkoyak seperti daging yang dicincang. Ada juga yang dinamai The Rack, yang digunakan untuk menghancurkan tulang manusia, dimulai dari tulang kaki, tulang dada, tangan, kepala, hingga sekujur tubuhnya remuk. Ada lagi The Pillory, The Brank, The Bastinado, dan masih banyak lagi, yang difungsikan dengan cara yang tak kalah mengerikannya. Astaghfirullah…

Issabel dan Ferdinand secara resmi membentuk Dewan Inkuisisi yang tugasnya memburu umat islam. Mereka memata-matai seluruh penduduk Andalusia. Bahkan yang sekadar ketahuan berdoa sambil menengadahkan tangan menghadap ke Timur, akan dibunuh; mereka yang memakai pakain terbaik di hari Jumat, dibunuh; mereka yang ketahuan dikhitan, dibunuh. Mereka yang sudah tua dan lemah, setelah mengalami penyiksaan berkepanjangan, akan dibiarkan hidup, namun harus menyaksikan anak dan cucunya makan babi, minum khamer, hingga mereka meninggal karena nestapa berkepanjangan. Innalillahi wa innailaihi rojiun…

Islam yang pernah menerangi Andalusia lebih dari 800 tahun seakan tak berbekas. Bahkan kini tercatat jumlah penduduk muslim di Spanyol dan Portugal hanya seratus ribu, lebih sedikit dari jumlah muslim di kota Dallas, Amerika, yang tidak pernah dikuasai daulah Islam. Muncul pertanyaan, mengapa hal itu tidak terjadi di negara-negara bekas koloni Barat, seperti Aljazair yang pernah dijajah Prancis selama  330  tahun, Mesir yang dikuasai Inggris selama 70 tahun, atau Indonesia yang pernah dijajah Belanda selama 350 tahun? Cahaya Islam tetap bersinar di negeri-negeri ini dan tak tergantikan.

Genosida yang terjadi di Andalusia belum pernah tercatat dalam sejarah manusia sebelumnya. Baik dalam skala jumlah yang sangat masif, maupun kekejamannya. Salah satu peristiwa memilukan yang masih “diperingati” hingga kini adalah The April’s Fool Day atau April Mop. Di tanggal 1 April 1487, penduduk muslim Andalusia ditipu dengan cara yang sangat licik. Mereka dijanjikan boleh meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi ke kawasan Afrika Utara dengan membawa seluruh keluarga serta harta bendanya. Begitu sampai di dermaga, ribuan orang tak bersenjata ini harus menyaksikan kapal-kapal mereka  dibakar habis di depan mata, mereka tak punya kesempatan untuk menyelamatkan diri. Dengan satu komando, mayoritas perempuan dan anak-anak itu syahid demi mempertahankan aqidahnya. Karenanya, hari itu dirayakan sebagai The April’s Fool Day, hari di mana orang boleh menipu dan memperdaya orang lain. Menyesakkannya, tak banyak umat Islam yang mengetahui sejarah ini dan ikut-ikutan memperingatinya.

Segala hal yang dilakukan, membuat penduduk muslim Andalusia berkurang drastis jumlahnya. Di saat bersamaan, kaum Nasrani dari negeri-negeri yang jauh didatangkan ke Andalusia. Kini, setelah lebih dari 500 tahun, seakan semua terlupakan. Tidak ada lagi yang berpikir untuk membebaskan Andalusia dan mengembalikan kehormatan Islam di sana.

Hal serupa inilah yang sedang terjadi di Palestine. Umat Islam diteror, diusir, dan coba dilenyapkan. Di saat bersamaan yahudi dari seluruh dunia didatangkan ke Palestine dengan iming-iming dan segala fasilitas. Bila umat Islam, terutama generasi mudanya, tak juga segera disadarkan dari “tidur panjangnya”, bukan tak mungkin apa yang terjadi di Andalusia akan terjadi di bumi para Nabi, Palestine. Al-aqsa yang telah diperjuangkan dengan darah dan airmata dari generasi ke generasi, akan bernasib sepilu Mezquita. Percayalah, di titik itu, tangis kita sudah tak lagi berguna…

------------------------

Bus bergerak perlahan meninggalkan Estadio Santiago Bernabéu. Tak sampai seratus meter, Juan menghentikan busnya. Rupanya restoran tempat kita makan siang lokasinya hanya sepelemparan batu dari stadion. Terbaca signboard bertulisakan Omar Restaurante, Cocina Turca, C/ Profesor Waksman 11, Madrid, tel: 913 441 237. Restoran ini terlihat cantik dari luar.

Saya agak terkejut, ternyata ini restoran halal. “Wah, siapa sangka ada restoran halal di dekat Estadio Santiago Bernabéu?” ucap saya pada Lambang. Menu yang dihidangkan adalah masakan Turki. Dibuka dengan sup lentil, menu utamanya lagi-lagi ikan, dan ditutup dessert yang sangat manis khas Turki. Selama di Spanyol, semua makanan dipesankan bermenu ikan, mungkin biar lebih aman.

“Yang tidak menghabiskan makanannya, tidak boleh shalat di sini,” kata manajer restoran demi melihat banyak dessert yang tersisa di meja kami. Tentu saja dia hanya bergurau. Namun tak urung saya semakin terkejut. Ada mushala di basement restoran halal di dekat Estadio Santiago Bernabéu. Issabel dan Ferdinand pastilah menangis di kuburnya saat ini! Mereka berdua boleh saja dengan segala cara coba melenyapkan cahaya Allah dari bumi Andalusia, tapi Allah Sang Pemilik Cahaya, telah menuliskan takdirNya.

 “Aku lihatkan Santiago Bernabéu untukmu, Diz…,” bisik saya dalam hati.


Madrid, Januari 2015


Uttiek Herlambang