Minggu, 03 Februari 2019

ORANG-ORANG DI PERSIMPANGAN JALAN


Journey to Uighur-Xinjiang #End




Orang-orang di persimpangan jalan yang saya temui sepanjang perjalan ke Uighur-Xinjiang (1)


Dalam setiap perjalanan saya selalu dipertemukan Allah dengan orang-orang yang memperkaya batin. Demikian halnya dengan perjalanan ke Uighur-Xinjiang kali ini.


Yang pertama adalah Mb Manal yang saya temui di Dubai. Suaminya, Mas Abdul dalah teman satu kantor Lambang sewaktu masih di Jakarta, sebelum bekerja sebagai ekspatriat di Dubai.


Dokter gigi cantik yang hidungnya mirip Dewi Sandra ini yang meminjamkan kerudung yang saya gunakan dalam penerbangan Dubai-Urumqi.


Di saat kritis, ia datang membantu, “Ini warnanya masuk Mb, ada hijau-birunya,” katanya ramah sambil menyodorkan satu lembar kerudung untuk saya kenakan (baca Journey to Uighur-Xinjiang #2 "YOUR BAGAGE THROUGH URUMQI, MADAME").


Lalu, Mr. Chang, local guide yang menemani selama di kota Urumqi dan Turpan. Saya menghargai kerja kerasnya untuk membuat saya dan Lambang tidak terkena banyak "masalah" selama di sana.


Seandainya situasi yang dihadapi tidak seperti sekarang, mungkin kita bisa lebih bersahabat.


Saat chargher handphone saya tertinggal di hotel di Turpan, ia berusaha mencarikan pengganti. Padahal handphone yang saya gunakan bukan jenis yang populer di China.


Mr. Kashimir, local guide di kota Kashgar. Pria Uighur yang selalu gelisah dan terperangkap dalam ketakutan yang diciptakan di negerinya.


Saya hanya bisa berdoa, semoga suatu hari nanti ia bisa "bernapas lega". Mengajak orang asing yang dipandunya gembira dan menikmati indah kota kelahirannya.


Akima. Satu nama yang setelah tulisan Journey to Uighur-Xinjiang #4 “AKIMA, APAKAH ENGKAU MERINDUKAN SUARA ADZAN?”, saya unggah membuat gelisah.


Banyaknya doa baik yang dikirimkan padanya, saya aminkan sepenuh hati. Namun, di sisi lain saya juga khawatir, bagaimana nasibnya kini?


Ia tinggal di satu desa sepi yang sudah ditinggal penghuninya. Bukan hal sulit kalau mau membuatnya "kesulitan". Semoga Allah selalu menjaganya.


Orang-orang yang tak bersuara yang saya temui di sepanjang jalan. Perempuan penjual buah di Sunday Market. Pemilik kedai teh di Kashgar Old City. Perempuan penyapu jalan. Pria tua yang tertatih-tatih berjalan dengan tongkatnya. Penjual melon yang berbagi tungku pemanas tanpa berkata-kata. Pemilik toko kelontong yang menjual cokelat lokal Uighur.



Orang-orang di persimpangan jalan yang saya temui sepanjang perjalan ke Uighur-Xinjiang (2).


Seperti adegan film bisu di masa lalu. Meski tanpa suara, tatapan mata mereka telah menjelaskan semua.


Biidznillah, semoga suatu hari nanti Allah pertemukan kita kembali. Ketika hangat Cahaya hidayah telah menyelimuti negerimu lagi.


Pak Rustam pemilik Khalifah Tour yang menjadi jalan mewujudkan mimpi-mimpi saya. Menyusuri setiap jengkal bumi Allah. Mentafakurinya. Memunguti hikmah yang berserak dan membagikan pada siapa saja yang mau membacanya.


Mas Reggy Kartawidjaja, Manager Khalifah Tour yang berusaha mengakomodir semua kebutuhan perjalanan ini. Bukan destinasi yang mudah. Pun bukan waktu yang ideal. Namun, ia tetap bekerja keras untuk mewujudkannya.


"Xinjiang freezing, Bu. Suhunya (minus) -25 °C. Tapi saya tetap akan usahakan mencari mitra yang bisa membantu di sana," ucapnya yang akan selalu saya ingat.


Sahabat-sahabat saya Wisnu Aji, Mursid Widarsono Affandi, Sigit Triwahyu, Rizka S. Aji, Prita Apresianti, Frety Yuana Indriasari, Fannie Santoso, Ustadz Dedi Hariadi Hidayat, Mas Muhammad Subarkah. Adik-adik saya Faridtribun Unique, Laila-Anton A Irawan, Fatmawati Nurul Handayani, Kharisma Dian Ikawati, Yudha-Nana, Anis. Kepada mereka saya menittip pesan "Cariin kita kalau belum kembali ke Jakarta."


"Cinta tulus kalian membuat hati saya selalu hangat di perjalanan."


Dan satu nama yang paling penting dari semua: Mama, yang mengiringi setiap langkah saya dengan doa.


Jazakumullah khairan katsiran. Wa jazakumullah ahsanal jaza


Semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan yang berlimpah dan semoga Allah membalas kalian dengan balasan yang terbaik.


Untuk semua yang berkenan membaca dan membagikan catatan perjalanan Journey to Uighur-Xinjiang #1-10, semoga setiap huruf yang terbaca memberi manfaat, berbuah pahala untuk kita semua. Syukron lakum.


Duhai Sang Pemilik Cahaya, izinkan aku terus melangkah menuju CahayaMu. Menyusuri lekuk bumiMu. Bersujud di sebanyak-banyak masjidMu. Menuliskan kisah, dan membagikan pada siapa saja yang mau membacanya.


Biidznillah...


Cokelat lokal Uighur. Nama brand dan seluruh keterangan ditulis dalam aksara Arab, China dan Inggris.


Jakarta, 9/1/2019


Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com

NESTAPA UIGHUR TANGGUNG JAWAB SIAPA?


Journey to Uighur-Xinjiang #10


Air sungai yang membeku selama musim dingin di depan perkampungan tua muslim Uighur di kota Kashgar.


Setiap melakukan perjalanan ke negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim, saya sangat bersyukur sebagai orang Indonesia. Kata “I’m from Indonesia,” akan bersambut pelukan hangat dan ucapan selamat datang sepenuh hati.


Di Palestine tahun 2012, Fatima, seorang petugas di Masjidil Aqsa memeluk saya erat dan mengatakan, “Kabarkan pada saudaramu untuk datang kemari. Mereka hanya memusuhi kami. Masjid ini aman. Masjidil Aqsa aman karena Allah yang menjaganya,” katanya tegas tanpa melepaskan pelukannya.


Di Bukhara, Uzbekistan, saya dan Lambang diajak foto bersama ala artis yang sedang jumpa penggemar. Di Old Madina, Fes, Maroko, saya mendapat barang dengan harga lebih murah disertai ucapan, “Because you’re my sister from Indonesia.”


Kabar kebaikan hati dan kedermawanan orang Indonesia untuk saudara-saudara muslimnya di dunia telah menyebar ke pelosok-pelosok negeri.


Tapi, ada yang berbeda dalam perjalanan saya kali ini. Jawaban, “I’m from Indonesia,” bersambut dengan tatapan mata yang sulit saya artikan. Tidak ada pelukan hangat dan ucapan selamat datang ke negerinya, seperti yang biasa saya terima.


Sebegitu parahkan perang psikologi yang dikondisikan sehingga membuat mereka betul-betul tercekam ketakutan. Ataukah larangan berbicara dengan orang asing membuat mereka memilih menahan diri?


Di Sunday Market, sewaktu memotret, seorang perempuan penjual buah berkali-kali mencuri pandang dan menatap saya. Saat saya dekati dan minta izin memotretnya, tiba-tiba ia berkata pelan, “Indonesia?” yang saya jawab dengan anggukan kepala.


Hanya itu sepenggal kalimat yang membuat saya tertegun. “Apa yang engkau harapakan dari kami, saudaraku?” bisik saya dalam hati. Apakah engkau sudah terlalu lama menunggu uluran tangan kami?


Prof. DR. Raghib As-Sirjani dalam bukunya “Palestina Kewajiban yang Terlupakan” menuliskan secara rinci apa kewajiban kita pada Palestina. Semua muslim di seluruh dunia bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada tanah waqaf Palestine.


Saya merenung. Kewajiban yang sama harusnya juga berlaku untuk saudara-saudara muslim di seluruh dunia yang kini tengah dirundung duka. Di Uighur, mereka tidak membutuhkan bantuan dana, karena sistem komunis membuat semua penduduk mendapat jaminan kebutuhan sandang pangan sama rata.


Namun, kebutuhan dasar manusia untuk beragama dan dimanusiakan itu yang direnggut paksa. Haruskah kita diam saja?


Suarakan penderitaan mereka dengan suara lantang maupun doa dalam diam. Kuatkan hati mereka untuk menggenggam erat kalimat Tauhid di hatinya. Dengan segala risiko yang harus diterima.


Saya teringat perjalanan ke Uzbekistan akhir tahun 2017 lalu. Saya bertemu dengan beberapa imam muda. Melihat usianya yang masih di bawah saya dan Lambang, saya membayangkan para imam ini harus menyembunyikan agamanya di era Uni Soviet menguasai negerinya. Hafalan surat-surat yang dikuasainya, pastilah tidak terjadi dalam semalam.


Sepanjang pendudukan Uni Soviet, secara diam-diam, mereka dan keluarganya tetap mempertahankan Tauhid, mendaras bacaan Al-Qur’an dalam kesunyian. Setelah rezim komunis berlalu, mereka melanjutkan pendidikan ke negeri yang menjadi sumber-sumber Cahaya hidayah, menyerap ilmu, dan kini bisa membagikannya pada umat di sekitarnya. (baca Buku Journey to Samarkand –segera hadir).


Sungguh-sungguh saya deraskan doa, supaya mereka diberi kesabaran, hingga tiba waktunya. Hangat CahayaNya kembali menghangatkan negeri ini. Dan musim dingin bisa segera berganti.


Bangunan berhias kubah dan lengkung iwan khas arsitektur Islam mendominasi kota tua Kashgar. Bangunan kosong seperti ini seakan menegaskan nestapa yang dialami muslim Uighur.


Hari ini saya harus melangkahkan kaki meninggalkan negeri ini. Berat rasanya. Pagi ini menggunakan China Southern Airlines saya akan terbang dari Urimqi transit di Guangzhou, lalu dari Ghuangzhou ke Jakarta.


Setiba di Urumqi dari Kashgar semalam, saya kembali berjumpa dengan Mr. Chang. Saya katakan padanya, besok berangkat lebih pagi tidak apa-apa, karena pemeriksaan saya di bandara pasti lebih lama. Saya tidak mau terburu-buru.


Tepat pukul 7.30, yang di sana berarti sebelum Subuh, Mr. Chang sudah menjemput saya dan Lambang di lobby hotel. “Kita gantian shalat Subuh di mobil,” pesan saya pada Lambang yang duduk di kursi depan.


Menembus pekatnya pagi di musim dingin, saya bertakbir. Ada satu pinta yang saya panjatkan usai salam, “Izinkan saya menyaksikan orang menegakkan shalat di negeri ini, sekali saja ya Rabb.”


Saya yakin di kegelapan sana ada orang-orang yang saat ini sedang terbangun, bermunajad, membenamkan sujudnya dalam-dalam.


Di check-in desk, saya minta Mr Chang memastikan ada dua boarding pass yang kita terima. Urumqi-Guangzhou dan Guangzhou-Jakarta. Serta bagasi kita langsung ke Jakarta. Karena waktu transit di Guangzhou yang sempit, semua harus beres di sini.


Sekali lagi boarding pass Lambang bermasalah. Nama tengahnya tidak muncul. Tapi karena ada Mr. Chang, jadi bisa diselesaikan dalam 5 menit. Kita diminta menuju salah satu konter, lalu nama tengah Lambang dituliskan menggunakan bolpen dan distempel. Beres!


Padahal kemarin di Kashi Airport, saat mengalami masalah serupa kita kalang kabut bukan main. Karena tidak ada yang bisa menjelaskan masalahnya dan apa yang harus dilakuan dalam bahasa Inggris (baca Journey to Uighur-Xinjiang #9 NEGERI TANPA SENYUM).


Di mesin pemindai, karena tidak bersedia melepas kerudung, seperti biasa saya harus masuk ke ruang pemindai khusus. Tapi karena sudah beberapa kali, jadi saya sudah santai. Apalagi cukup waktu, sehingga tidak terburu-buru.


Saya berjalan pelan dengan Lambang menuju boarding gate. Sempat mampir di salah satu toko buku untuk membeli tempelan kulkas berbentuk peta Xinjiang. Bukan tak mungkin, peta ini kalau diikutkan 10 Year Challenge akan berubah 10 tahun lagi.


“Aku ke toilet terus ambil minum. Kamu mau?” Tawar saya ke Lambang yang dijawab dengan anggukan kepala.


Kebiasaan penduduk setempat di musim dingin seperti sekarang ini kemanapun pergi akan membawa termos kecil. Di bandara dan tempat-tempat umum lainnya banyak tersedia dispenser air panas gratis.


Mengapa air panas? Karena temperatur yang selalu di bawah 0 derajat di musim dingin membuat air dalam kemasan cepat sekali membeku. Saya pernah meninggalkan botol air mineral di mobil, sewaktu mau diminum bagian bawahnya sudah membeku.


Deg! Rasnya jantung saya seperti berhenti berdetak. Saya tersentak.


Di belakang mesin dispenser saya lihat seorang pria berwajah Timur Tengah, mengenakan hem biru dan syal kotak-kotak serupa kafayeh yang juga berwarna biru dililit ke lehernya, tampak menggelar sajadah untuk shalat Subuh.


Sudut mata saya terasa hangat. Hati saya gerimis. Allah langsung mengabulkan doa yang saya pinta usai shalat Subuh di dalam mobil dalam perjalanan ke bandara tadi.


Akhirnya, saya menyaksikan orang menegakkan shalat di negeri ini. Allahu akbar!


Sambil menyerahkan cup kertas berisi air panas ke Lambang, saya bisikkan pelan, “Pelan-pelan nolehnya. Arah jam 6 kamu ada orang lagi shalat. Jangan bikin gerakan ngagetin. Noleh pelan saja.”
 

Muslim food yang saya pesan dalam penerbangan kali ini yang paling kocak, karena dapatnya ubi rebus!

Penerbangan Urumqi-Guangzhou ditempuh dalam waktu 5 jam. Hampir sama dengan waktu tempuh Guangzhou-Jakarta. Menu muslim food yang kita request oline sejak dari Jakarta dihidangkan awak kabin, “Are you request muslim food?” tanyanya, yang saya jawab dengan anggukan kepala. Begitu dibuka, isinya ubi rebus, yang membuat saya dan Lambang tersenyum.


Dalam semua penerbangan ke luar negeri, kalau tidak menggunakan Garuda Indonesia atau maskapai Timur Tengah seperti Emirates dan Qatar Airways, kita selalu request muslim food secara online begitu dapat kode bookingnya. Namun, penerbangan kali ini yang paling kocak karena dapatnya ubi rebus!


Menjelang landing di Guangzhou, saya ke toilet. Tak sengaja saya antre di belakang pria yang tadi shalat Subuh di bandara. “Assalamualaykum, Brother,” sapa saya. Yang dijawab dengan senyum ramah, “Wa’alaykum salam.”


Where do you come from?” Tanya saya.
“Kuwait. And you?
“Indonesia,” jawab saya.
Aah, Indonesia. Beautiful country. Ahlan.”


Sekalipun bukan muslim Uighur yang menyambut, di atas ketiggian 35.000 kaki, akhirnya ada yang mengucapkan selamat datang. Saya ceritakan obrolan singkat itu ke Lambang yang dijawab dengan senyuman.


Dari jendela pesawat yang terlihat hanya awan putih. Entah berada di mana saat ini. Saya renungi perjalanan ini. Betapa banyak hikmah berserak yang bisa dipunguti.


Nikmat shalat tanpa tekanan dan rasa takut yang tak akan saya rasakan kalau tidak mengalaminya di negeri ini. Betapa iman yang sudah tertanam di hati harus digenggam erat. Jangan pernah terlepas sekalipun. Hangat Cahaya hidayah menyusup ke relung hati. Mata saya basah. Hati saya apalagi!


"Akan aku kabarkan keadaanmu saudara-saudaraku. Akan aku tuliskan kisahmu..."


Saya bulatkan tekad, “Akan aku kabarkan keadaanmu saudara-saudaraku. Akan aku tuliskan kisahmu. Akan aku bagikan pada siapa saja yang mau membacanya. Akan aku sorongkan doa-doa terbaik ke pintu langit supaya pertolongan Allah segera datang ke negerimu.”


Seluruh hatiku bersamamu, saudaraku!



Jakarta, 8/1/2019

Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com

NEGERI TANPA SENYUM


Journey to Uighur-Xinjiang #9



Kashgar adalah kota yang sangat indah. Sebagai gerbang Jalur Sutra dari Persia dan Asia Tengah, ia menawarkan pesona yang luar biasa.


"Dari mana saja?" Suara saya tidak bisa menutupi kekesalan karena menunggu lebih dari 30 menit di depan pintu kamar hotel.


Ekspresi muka Lambang yang kebingungan membuat saya menyadari sesuatu pasti telah terjadi. "Aku pikir kamu diculik," jawabnya pelan yang seketika membuat saya bengong!


Tadi setelah sarapan, kita bertemu Mr. Kashimir di lobby hotel.
"We'll going up to take our luggage first," pamit saya.
Hari ini kita sekalian check-out, karena nanti sore harus mengejar penerbangan kembali ke Urumqi.


Sambil ngobrol, saya sibuk mengetik tulisan di handphone. Saya ikuti langkah Lambang tanpa memperhatikan situasi. Sampai di depan kamar, kunci tidak berfungsi. Berkali-kali di-tap, pintu tetap tidak bisa dibuka.


Lambang menduga Mr. Kashimir sudah membereskan urusan check-out sehingga pintu kamar tidak bisa dibuka lagi.
"Kamu tunggu di sini saja, aku urus kunci ke bawah." Saya hanya mengangguk dan tetap sibuk menulis.


Sepuluh menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit. Sampai pegal kaki saya berdiri, Lambang belum muncul juga. Pasti ada yang tidak beres, batin saya.


Segera saya putuskan untuk menyusul ke bawah. Di depan lift saya terkejut, karena di angka 20 pintu lift terbuka. Padahal kamar kita di lantai 22. Mengertilah saya kenapa kunci tidak berfungsi. Karena salah lantai. Saya tidak memperhatikan karena sibuk menulis dari tadi.


Rupanya Lambang kembali ke lantai 22 dan tidak menemukan saya. Tiga kali ke atas-ke bawah, tidak bertemu juga. Segera dia melapor ke Mr. Kashimir kalau saya "hilang".


Mr. Kashimir tak kalah panik. Ia segera melapor ke manajer hotel yang kemudian memeriksa CCTV. Saya tidak terlihat di lantai 22 sejak tadi.


Saya diculik! Itu yang ada di pikiran Lambang.


Sejak sebelum berangkat, bermacam isu keamanan memborbardir kita. Sebagai jurnalis, saya dilatih untuk menghadapi perang psikologis semacam ini. Sehingga tidak terlalu terganggu. Namun tidak dengan Lambang. Ia "parno" dengan berita tentang penculikan.


"Hasbunallah wanikmal wakil nikmal maula wanikman nasir. Aku akan share semua tulisan setelah sampai Jakarta. Kita pastikan bisa balik ke Jakarta dulu. InsyaAllah aman," kata saya sebelum berangkat.


Suasana "mencekam" sepertinya sengaja dihembus-hembuskan. Sehingga semua orang ketakutan. Beberapa hari melakukan perjalanan dengan Mr. Kashimir, sebenarnya saya "prihatin" dengan ketangguhan mentalnya. Ia terlihat selalu gelisah. Irit bicara. Mengalihkan perhatian bila saya sudah menyinggung hal sensitif.


Dan yang paling parah, ia ketakutan menerima telepon dari nomer internasional. Sementara, profesinya adalah local guide yang mengharuskannya berhubungan dengan orang asing.


Sebenarnya, saya ingin sekali menggali kisah lebih dalam dari muslim Uighur. Tidak sekadar apa yang saya saksikan di sana. Berkali-kali saya pancing, ia selalu berkelit dan menutup diri.


Melihat dirinya, saya jadi membandingkan dengan Jamal, local guide yang menemani saya dan Lambang saat ke Palestine tahun 2012 lalu. Situasi keduanya mirip. Sama-sama tumbuh di negeri terjajah. Namun, Jamal bisa menunjukkan "ketangguhannya" sebagai orang Palestine.


Saya coba merenung, pastilah Mr. Kashimir punya alasan mengapa membiarkan dirinya terperangkap dalam ketakutan berkepanjangan yang sengaja diciptakan itu.


Sejak pertama menginjakkan kaki di sini, saya seperti mendarat di negeri tanpa senyum. Sulit sekali menemukan orang yang tersenyum, apalagi tertawa bahagia. Kalaupun ada yang tersenyum, selalu bergurat duka.


Sejatinya, Kashgar adalah kota yang sangat indah. Sebagai gerbang Jalur Sutra dari Persia dan Asia Tengah, ia menawarkan pesona yang luar biasa.




Suasana kota tua Kashgar melemparkan kita ke Persia dengan segala kemolekannya. Seakan Putri Jasmine dan Aladin sedang bermain dengan karpet terbangnya di sana.


Kemarin sore saat berkeliling kota tua, saya seperti terlempar ke Persia dengan segala kemolekannya. Rumah-rumah tua berbata merah, labirin sempit, lengkung iwan khas arsitektur Islam, lentera yang tergantung di ujung-ujung gang, gerbang kayu dengan gerendel khas. Ah!


Seakan Putri Jasmine dan Aladin sedang bermain dengan karpet terbangnya di sana.


Saya dan Lambang sempat mampir dan menyesap teh di sebuah kedai teh berumur seratus tahun. Melihat muslim Uighur berkumpul dan saling berbagi cerita.


Para tetua berbagi cerita di kedai teh.


Tak lama seorang mengambil oud dan rebana. Musik mulai ditabuh. Irama serupa irama padang pasir terdengar memenuhi ruangan. Meski suasana riang, namun terasa hampa, karena tak ada yang tersenyum di sana.


Sebagai penikmat sejarah Islam, saya terlena. Eksotisme dan jejak sejarah kota kuno ini sungguh luar biasa. Hanya, kini ada percikan luka. Entah berapa lama dan siapa yang bisa menyembuhkannya.


Di Sunday Market, pasar tradisional yang masih eksis sejak zaman Jalur Sutra, saya melihat aneka ternak diperdagangkan: kuda, unta, yak, keledai, sapi, kambing. Yang tidak ada hanya babi! Persis seperti ribuan tahun silam. Ini adalah bukti. Ini negeri muslim.


Sore ini kita harus kembali ke Urumqi. Di Kashi Airport boarding pass Lambang bermasalah. Nama tengahnya tidak tercetak, sehingga berbeda dengan tiket dan passport.


Nahasnya, di bandara ini tidak ada orang yang bisa menjelaskan dalam bahasa Inggris. Sehingga kita tidak mengerti apa yang terjadi. Padahal waktu boarding semakin mepet.


"Anyone can speak English?" Saya sampai berteriak karena tidak ada yang bisa membantu. Mr. Kashimir yang berulang ditelepon Lambang tidak mengangkat teleponnya. Alhamdulillah, akhirnya ada seorang penumpang dengan bahasa Inggris yang terbata-bata menjadi penerjemah.


Bahasa menjadi kendala, bisa dimengerti. Jangankan bicara dalam bahasa asing, ada peraturan yang melarang muslim Uighur untuk berbicara dengan orang asing. Di titik ini saya mencoba memaklumi mengapa Mr. Kashimir tidak mengangkat teleponnya.


Belum selesai. Meski dikejar waktu, lagi-lagi petugas di mesin pemindai meminta saya melepas kerudung. "Allahu rabbi," desis saya sambil menunjukkan boarding pass yang waktunya tinggal 10 menit lagi. Melihat muka saya yang mungkin sudah tidak karuan, petugas itu akhirnya meloloskan.


Sambil berlari, saya tenteng sepatu boots yang tak sempat dipakai lagi. Untungnya bandara ini tidak terlalu luas. Tepat di depan boarding gate, terdengar pengumuman melalui pengeras suara kalau pesawat yang akan membawa kita kembali ke Urumqi segera boarding.


Di kursi pesawat, sambil mengatur napas yang masih terengah-engah, saya pejamkan mata mengulang memori di kota ini.


Takdir sejarah membuat wilayah yang secara geografis lebih dekat ke Damaskus ketimbang ke Beijing ini harus menjadi bagian dari negara China. Padahal secara tradisi dan budaya semua berbeda. Secara ideologi dan religi.... ah, apalagi!


Catatan sejarah membuktikan, negeri-negeri yang pernah menjadi bagian dari Daulah Islam terjamin keamanan penduduknya, sekalipun berbeda agama.


Piagam Madinah adalah awal sekaligus bukti. Bagaimana sebuah pranata masyarakat madani seharusnya dibangun. Menjamin keadilan untuk semua warganya. Enam abad sebelum Magna Charta yang dianggap kitab suci dibuat manusia.



Kashgar, 6/1/2019


Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com

“YOU SHOULD TAKE OFF YOUR SCARF, MA’AM”


Journey to Uighur-Xinjiang #8


Id Kah Mosque atau Eidgar Mosque. Masjid Agung kota Kahsgar. Di sini saya diminta melepas hijab kalau ingin masuk ke dalam masjid.


I am separated from my husband,” kata saya sambil menunjukkan bording pass dan sedikit panik melihat antrean penumpang mulai bergerak masuk ke dalam pesawat. Berharap petugas di boarding gate itu bisa berbahasa Inggris.


Ia sepertinya paham, lalu memberi isyarat meminta saya menunggu di depan meja boarding. Dihubunginya seseorang melalui penyeranta komunikasi yang digenggamnya. Jangan bayangkan berkomunikasi di bandara international ini seperti bandara international lainnya. Nyaris tak ada yang bisa berbahasa Inggris di sini. Sejak pemeriksaan tadi, saya sudah kesulitan gegara persoalan bahasa ini.


Sekali lagi saya edarkan pandangan, berharap Lambang muncul di antara lalu-lalang orang di ruang tunggu Ürümqi Diwopu International Airport.


Pagi ini kita harus terbang dari kota Urumqi ke kota Kashgar menggunakan penerbangan domestik selama kurang lebih 2 jam.


Kashgar atau Kashi dalam bahasa Mandarin adalah kota paling ujung barat China yang berbatasan langsung dengan negara Kirgizstan dan Tajikistan. Kota kuno ini memiliki jejak sejarah yang berlimpah karena merupakan gerbang Jalur Sutra dari Persia dan Asia Tengah.


Saya terpisah dengan Lambang karena pemeriksaan yang sangat ribet di bandara Urumqi. Di awali dengan pertanyaan, “What’s your religion?” di meja pemeriksaan passport yang membuat saya bengong sejenak.


Ini adalah kali pertama di bandara international saya ditanya tentang agama. “Apa hubungannya dengan perjalanan ini?” batin saya kesal. Ya, sedikitnya saya mulai jengkel karena sejak awal kedatangan, kerudung yang saya kenakan selalu dipermasalahkan oleh petugas.


I’m muslim. Alhamdulillah. I’m covering my head with scarf,” jawab saya mengulang kata-kata yang sama setiap ditanya pertanyaan yang sama. Ia hanya melihat sekilas, lalu dengan isyarat meminta saya melepasnya. Yang langsung saya jawab dengan gelengan kepala, “No,” kata saya tegas.


Dengan muka tetap dingin, ia memberi isyarat sekali lagi. Kali ini saya tarik sedikit kerudung ke belakang. Sekadar memastikan kalau alis saya tidak tertutupi. Karena hanya itu syarat saat pembuatan foto visa. Kerudung tetap boleh dikenakan, tapi alis kelihatan semua dan tanpa senyum.


Alhamdulillah, lolos. Petugas bermuka dingin itu lalu men-scan passport dan memotret saya. Berikutnya saya harus melewati pemindai orang dan barang. Sekali lagi petugas di pemindai memberi isyarat untuk melepas kerudung.


Karena menolak ia langsung meminta passport saya, “Passport,” katanya sambil memanggil seorang petugas lain. Petugas yang membawa passport itu lalu meminta saya mengikutinya.


Saya harus masuk ke ruangan kecil yang tertutup. Ada alat penindai orang yang bentuknya seperti alat untuk rontgen torax di RS. Bagian bawah ada pijakan yang bisa bergeser ke kiri-kanan. Saya diminta naik ke atas pijakan itu. Pelan-pelan alat itu bergeser ke kiri-kanan dua kali.


Lalu petugas itu berseru dalam bahasa China yang tidak saya mengerti. Saya melongok ke celah kecil yang ada di depan, “Finish?” Tanya saya yang dijawab dengan sodoran passport.


Nantinya, di setiap bandara saya harus masuk ke ruangan pemindai khusus itu. Jadilah pemeriksaan saya lebih lama, karena terkadang alat pemindainya juga harus antre. Itu yang menyebabkan saya terpisah dari Lambang.


Allahumma yassir wala tu'assir,” saya deraskan doa dalam hati, supaya Allah mudahkan semua. Bukan apa-apa, jadwal perjalanan ini sangat ketat, kalau sampai ketinggalan pesawat, pasti akan berantakan semua.


Tiba-tiba dari jauh saya melihat langkah Lambang yang sudah sangat saya kenal. Saya berteriak memanggilnya. Berlarian kita masuk dalam antrean boarding, tak lupa saya memberitahu petugas di boarding desk itu, “That’s him, over there. My husband,” seru saya sambil menunjuk Lambang.


“Dari mana saja?” Tanya saya. Rupanya Lambang mencari saya karena tidak melihat lagi setelah saya mengikuti petugas yang membawa passport tadi. Kita bersepakat, nanti kalau terpisah lagi di bandara, karena pasti pemeriksaan saya lebih ribet, titik temunya adalah di boarding desk. Tidak perlu saling mencari kesana-kemari. Siapa yang selesai lebih dulu menunggu di situ.


Sampai di Kashi Airport, lagi-lagi saya disambut dengan pertanyaan, “What’s your religion?” oleh petugas yang memeriksa passport.


Tadinya saya pikir baru akan kena masalah gegara kerudung di Amerika atau di negara mana. Ternyata di Xinjiang, wilayah yang penduduknya 80% muslim, justru kerudung saya bolak-balik dipermasalahkan.


Saya pernah berada di Eropa dua hari setelah kejadian penembakan di kantor redaksi Charlie Hebdo. Saat itu sentimen anti Islam sedang tinggi-tingginya di Eropa. Namun, kerudung saya tidak dipermasalahkan. Di Madrid-Barajas Adolfo Suárez Airport pemeriksaannya wajar saja seperti di bandara pada umumnya.


“Apa yang mereka cari dari balik kerudung saya?” batin saya tak habis pikir dengan para petugas bandara ini. Atau sekadar prejudice karena kerudung yang saya kenakan adalah adalah simbol Islam? Entahlah!


Di pintu keluar bandara, seorang pria berbadan tinggi tegap terlihat menunggu sambil membawa kertas berlogo Khalifah Tour dan nama kita. Segera saya dan Lambang menghampirinya. Untuk alasan keamanan, saya menyebutnya Mr Kashimir.


Mr Kashimir ini seorang pria Uighur berumur awal 30-an yang akan menjadi local guide selama di Kashgar. Sesuai postur tubuhnya, suaranya juga terdengar “menggelegar”. Ia sudah delapan tahun menjadi local guide dan seringkali menjadi mountain guide ke Everest maupun tracking di perlintasan gurun-gurun yang ada di Kashgar ini.


What’s that? Accident?” Tanya saya melihat mobil-mobil berhenti di tengah jalan.
No Ma’am. That’s check poin,” jawabnya singkat sambil menegaskan tidak boleh memotret di check poin, polisi maupun tentara yang sedang bertugas.


Sekalipun sudah beberapa hari di Xinjiang dan “terbiasa” dengan banyaknya check poin, tak urung yang di kota Kashgar ini masih mengejutkan saya. Bagaimana tidak, check poin itu digelar di tengah jalan. Mobil-mobil berderet parkir di tengah jalan, lalu orang-orang nampak berbaris mengantre diperiksa. Saya jadi teringat adegan di film-film berlatar perang dunia, yang juga menampilkan adegan seperti ini.


Saat saya berada di Kashgar rupanya bebarengan dengan kedatangan beberapa lembaga internasional yang akan melakukan investigasi keberadaan kamp-kamp reedukasi. Jadilah suasana di kota ini sensitif sekali.


Setelah beres urusan check-in hotel, menaruh koper, dan shalat di-jama’ Dzuhur-Ashar, kita segera menuju restoran untuk makan siang. Di tengah makan, saya dikejutkan dengan pertanyaan Mr Kashimir, “If they ask you to take off your scarf, are you willing to do it?” yang spontan langsung saya jawab dengan tegas, “No,” sambil menggelengkan kepala.


Raut wajah Mr. Kashimir langsung berubah. Suasana menjadi tidak nyaman. “Is it randomly?” Tanya Lambang yang justru memperkeruh suasana.
I am not comfortable with that question,” jawabnya menutup pembicaraan.


What are the consequences if I disobey?” kejar saya
You are not allowed to enter …,”
It’s okay,” potong saya cepat.


Sudahlah, kalaupun saya tidak bisa masuk ke destinasi yang dituju, toh Lambang tetap bisa masuk. Saya akan tunggu di luar saja. Saya masih coba berargumen kalau saya adalah warga negara asing, pemegang passport Indonesia, sehingga tidak seharusnya saya mengikuti regulasi untuk warga lokal. Namun sepertinya Mr Kashimir tidak ingin membahasnya lagi.


Benar saja. Di depan Id Kah Mosque atau Eidgar Mosque yang merupakan masjid agung kota Kashgar, polisi tidak mengizinkan saya masuk kecuali saya melepaskan hijab.


Innalillahi wa innailaihi rojiun….


Ini di rumah Allah, tapi peraturan mengharuskan membuka aurat. Hati saya menangis pilu. Kemana perginya para mujahid yang harusnya membela tanah Uighur ini?


No,” saya tatap polisi itu dan menjawab dengan suara mantap. Saya ingin Allah menyaksikan keteguhan hati saya.


“Kamu foto sebanyak-banyaknya deh di dalam. Bikin video juga, biar aku bisa dapat gambaran untuk tulisan nanti,” pesan saya pada Lambang.


Can I wait here? It's cold out there,” tawar saya minta diterjemahkan Mr. Kashimir ke petugas yang berjaga.
Tanpa merubah ekspresi muka petugas itu hanya menunjuk pintu gerbang. Pertanda saya harus menunggu di lapangan luar. Semoga ini yang terakhir kali, seorang muslim diusir petugas saat akan memasuki masjid.


Saya anggukkan kepala, “Enggak apa-apa. Aku tunggu di luar. Kamu harus masuk. Lihat di dalam ada apa?” tegas saya, setelah sesaat Lambang mulai ragu.


Mr. Kashimir terlihat sangat tidak enak hati. Ia mengantarkan saya sampai ke gerbang dan menunjuk salah satu bangunan tak jauh dari situ.
You want to go to toilet? There’s toilet and the place is warmer,” katanya seperti memohon maaf.
“Saya mau ke masjid, bukan ke toilet,” jawab saya dalam hati. “No. It’s okay. I will wait here,” kata saya meyakinkan.


Id Kah Mosque didirikan pada 862 H/1442 dan telah mengalami renovasi beberapa kali. Daya tampung masjid berikut lapangannya sekitar 200.000 jamaah. Dahulunya selain sebagai masjid, juga terdapat bangunan yang difungsikan sebagai madrasah di dalamnya.


Rupanya di dalam masjid pun Lambang tidak bisa melakukan apa-apa, karena di dalam masjid dijaga polisi dan tidak diperbolehkan untuk shalat.


Id Kah Square, sore itu bersuhu (minus) -12°C. Patung karavan unta banyak menghiasi kota yang pernah menjadi gerbang Jalur Sutra dari Asia Tengah dan Persia ini. 


Di pinggir Id Kah Square yang sore itu suhunya (minus) -12°C, saya menatap anak-anak kecil yang bermain dan berlarian mengejar burung merpati. Merpati putih adalah simbol perdamaian, yang ironisnya setiap hari harus menyaksikan umat Islam terusir dari masjidnya.


“Nak, suatu hari nanti, kamu harus berjuang membebaskan negerimu dari penguasa lalim ini."


“Nak, suatu hari nanti, kamu harus berjuang membebaskan negerimu dari penguasa lalim ini,” bisik saya yang semoga terbawa angin dan sampai ke telinga anak-anak itu. 


Doa seorang musyafir ijabah. Semoga penduduk langit aminkan doa saya sore ini.



Kashgar, 5/1/2019


Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com