Kamis, 24 Januari 2019

“AKIMA, APAKAH ENGKAU MERINDUKAN SUARA ADZAN?”


Journey to Uighur-Xinjiang #4


Pohon-pohon meranggas di musim dingin yang beku di Turpan, Xinjiang


Pohon-pohon terlihat meranggas tanpa daun dan bunga, menyisakan pemandangan dramatis di sepanjang jalan yang saya lalui. Udara dingin terasa menggigit. Orang-orang berjalan cepat untuk menghalau dinginnya.

“Lihat, rumah-rumah di sini berbeda. Atapnya datar. Tidak seperti atap rumah khas Tiongkok,” jelas Mr. Chang memecah kesunyian.

Rumah di negara tropis umumnya beratap pelana seperti yang sering dilihat di Indonesia. Salah satu fungsinya adalah untuk mengalirkan air hujan. Bangunan di China umumnya juga beratap seperti itu dengan hiasan dan warna yang berbeda untuk menunjukkan status sosial.

Namun, rumah-rumah di Xinjiang berbeda. Deretan bangunan yang kita lewati lebih mirip arsitektur di Timur Tengah. Berbentuk kubus dan beratap datar. Rasanya seperti sedang berada di Jeddah ketimbang di China.



Rumah-rumah berbentuk kubus, beratap datar di Xinjiang. Lebih mirip bangunan di Timur Tengah ketimbang rumah-rumah di China.


“Itu bangunan apa?” Tanya saya pada Mr.Chang saat melihat bangunan menyerupai pabrik dengan cerobong asap.
“Itu pabrik,” jawabnya singkat.
“Pabrik apa?’ kejar saya.
“Pabrik kain.”

Jawaban singkat itu mengingatkan saya pada berita tentang penangkapan orang-orang Uighur dan setelah menyelesaikan “pendidikan” di kamp mereka dipekerjakan sebagai buruh pabrik kain dengan bayaran yang sangat murah.

Ah, jangan-jangan….

Mr. Chang sepertinya tidak ingin melanjutkan obrolan tentang pabrik itu dan mengalihkan pembicaraan tentang Tuyoq Valley. Sebuah desa yang menjadi pemukiman muslim Uighur sejak ratusan tahun lalu yang akan menjadi tujuan perjalanan selanjutnya.

“Ini memang sepi karena musim dingin atau desa ini memang sepi?” Tanya saya heran karena sedikitnya manusia yang terlihat lalu-lalang di jalan.

“Karena musim dingin dan karena penduduk desa ini sebagian besar sudah pindah ke pemukiman baru yang dibangun pemerintah,” jawabnya.

Mr. Chang lalu menjelaskan kalau rumah-rumah tua itu sudah tidak layak ditinggali, karena rawan rubuh serta korsleting listrik yang bisa menyebabkan kebakaran. Sebagai gantinya pemerintah menyediakan rumah-rumah baru dengan harga disubsidi sampai setengahnya.

“Ada di mana pemukiman baru itu?”
“Di sana,” tunjuknya. Yang entah di mana itu.

Saya tercenung sejenak. Benarkah penduduk desa yang mayoritas muslim Uighur ini pindah ke tempat lain? Ataukah berita itu benar, kalau sekitar satu juta muslim Uighur telah ditangkap dan dimasukkan ke kamp-kamp untuk menjalani “pendidikan”?

Banyak hal yang saya lihat di Xinjiang ini mengingatkan saya pada tanah Palestine. Rumah dan tanah yang dibeli. Perpindahan penduduk desa dalam jumlah masif. Persis seperti yang terjadi di sana.

Awalnya penduduk Palestine juga ditawarkan uang dalam jumlah tidak terbatas untuk menjual rumah dan tanah mereka pada Israel. Berapapun akan dibayar. Setelah tinggal sedikit yang tersisa, maka upaya represif berupa pemutusan listrik dan air mulai diberlakukan. Terakhir, kalau masih bertahan juga, bulldozer akan meratakan rumah itu dengan tanah. Akankah hal serupa terjadi di desa ini kelak?

“Boleh berhenti di sini sebentar? Saya ingin memotret,” pinta saya.
“Sure!” jawab Mr. Chan santai.

Saya dan Lambang lalu turun dan memotret beberapa bangunan kosong di desa yang telah ditinggal penghuninya itu. Tiba-tiba terdengar pengeras suara seperti menyiarkan sesuatu dalam bahasa China yang tidak saya mengerti.
“Apa itu?” Tanya saya.
“Itu seperti ajakan supaya orang-orang desa bersemangat bekerja,” jawab Mr. Chang. Propaganda seperti itu memang lazim di negara-negara komunis.

Selesai memotret, kita lanjutkan perjalanan. Tuyoq Valley berjarak sekitar 55 km dari pusat kota Turpan. Tak lama Mr. Chang menghentikan mobilnya di sebuah pekarangan yang diportal. Seorang petugas keamanan yang berjaga menanyakan sesuatu sebelum membuka portal itu. Turun dari mobil, saya dan Lambang harus melalui penindai orang dan barang seperti di bandara, juga pemeriksaan pasport.

Beres urusan pemeriksaan, Mr. Chang mengajak kita berjalan menyusuri jalan desa yang sempit. Desa ini telah ditempati muslim Uighur sejak tahun 1.700. Dari kejauhan terlihat Tuyog Mazar Aldi, masjid pertama yang dibangun di tempat ini. Penduduk setempat menyebutnya sebagai “little Mecca”.

Konon dalam tradisi setempat, sebelum berangkat haji, muslim Uighur harus menziarahi Tuyog Mazar Aldi lebih dulu. Masjid ini tidak difungsikan lagi karena bangunannya sudah terlalu tua.


Masjid yang sudah ditutup dan tidak boleh dipergunakan lagi di Tuyoq Valley, Turpan, Xinjiang.


Tak jauh dari Tuyog Mazar Aldi ada masjid yang lebih baru yang didirikan. Tapi pintu masjid itu juga tertutup rapat. “Kita tidak bisa masuk?” Tanya saya yang dijawab Mr. Chang dengan gelengan kepala.
“Sesuai peraturan baru pemerintah, masjid ini tidak lagi dipergunakan. Tapi kalau mau memotret di depannya, boleh.”

Innalillahi wa innailaihi rojiun…

Ini adalah informasi penutupan masjid yang pertama saya dengar. Ternyata kabar itu benar. Masjid-masjid di Xinjiang sudah tidak boleh lagi dipergunakan. (tulisan tentang masjid-masjid yang ditutup dan tidak boleh dipergunakan akan saya lanjutkan di tulisan berikutnya: Journey to Uighur-Xinjiang #5 EMIN MINARET DAN SHALAT JUMAT YANG HILANG).

Perempuan Uighur sedang membuat perapian dari ranting pohon anggur.


Saya dan Lambang hanya bisa saling pandang. Di depan masjid terlihat seorang perempuan tengah membuat perapian dari ranting pohon anggur. Saya lemparkan senyum yang disambutnya dengan senyum.

Setelah dekat, setengah berbisik supaya tidak terdengar yang lain, saya ucapkan salam, “Assalamualaykum.” Perempuan itu melihat saya sekilas dengan pandangan yang sulit diartikan, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Entah takut. Entah apa.

Tak lama ia keluar lagi dan menyelesaikan perapian yang tadi ditinggalkan dengan tergesa. Kita bertiga menumpang menghangatkan badan. Saya minta Mr. Chang menanyakan siapa namanya? Yang dijawab, “Akima.”

Rupanya Akima ini adalah pedagang kismis atau anggur yang dikeringkan. Dagangannya digelar di pengkolan dekat rumahnya. Mr. Chang lalu membeli beberapa kantong untuk anak laki-lakinya yang katanya sangat suka kismis. Kismis adalah salah satu produk unggulan Xinjiang yang terkenal sebagai sentra perkebunan anggur yang buahnya sangat manis.

Saat Akima menimbang kismis, saya menatapnya lama. “Akima, kalau kamu mendengar, saya ingin bertanya, apakah kamu merindukan suara adzan dari masjid di depan rumahmu?” Tanya saya dalam hati.

Shall we go now?” Tiba-tiba suara Mr. Chang mengejutkan saya.
“Oke,” jawab saya sambil sekali lagi menatap Akima menunggu jawabannya. Ia mengangguk dan melempar senyum bergurat duka. Saya menganggap anggukan itu adalah jawaban pertanyaan saya.

Biidznillah, saudaraku. Dengan izin Allah, suatu saat nanti masjid itu akan dibuka lagi dan engkau akan kembali mendengar kumandang adzan dari sana.

Turpan, 3/1/2019

Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang |FB @uttiek_mpanjiastuti


MELINTASI GURUN GOBI DAN CHECK POIN


Journey to Uighur-Xinjiang #3


Perjalanan Urumqi-Turpan melintasi Gurun Gobi.


Barisan pegunungan berselimut salju itu kian jelas terlihat. Bukan berwarna hijau seperti yang sering saya lihat dalam penerbangan di Indonesia. Tapi cokelat berlapis putih yang menyuguhkan pemandangan dramatis seperti yang sering muncul di majalah National Geographic.

Sesekali terasa goncangan. Sepertinya pesawat akan segera mendarat, karena terdengar pengumuman dari awak kabin dalam bahasa China yang tidak saya mengerti. Orang-orang berdiri membuka kompartemen yang membuat saya kembali terheran-heran. Mengapa penumpang pesawat ini suka heboh sendiri? (Baca: Journey to Xinjiang #2 "YOUR BAGGAGE THROUGH URUMQI, MADAME" ). Pramugari berteriak-teriak mengingatkan mereka supaya kembali duduk. Satu-dua ada yang berhasil mengambil coat yang disimpan di kompartemen. "Pastilah di luar sana dingin sekali," batin saya.

Benar saja. Dalam bahasa Inggris awak kabin menjelaskan kalau pesawat akan segera mendarat, dan suhu di luar sana -15 derajat! Saya dan Lambang saling pandang. Bukan apa-apa, karena bagasi tidak bisa keluar di Dubai, maka semua perlengkapan musim dingin kita masih ada di dalam koper. Lambang sudah memakai coat tebalnya. Sedang saya masih memakai pakaian untuk ke padang pasir dan sekarang harus berjumpa salju.

Kejutan berikutnya, karena bandara Urumqi ini tidak terlalu besar, penumpang tidak turun menggunakan garbarata melainkan tangga pesawat dan naik bus ke terminal kedatangan. Wuuusss.... udara dingin langsung menampar muka begitu keluar dari pesawat. Saya segera berlari menuruni tangga dan masuk ke dalam feeder bus untuk menghalau dingin.

Ruang imigrasi Urumqi Int'l Airport tidak seberapa luas. Langsung dipisahkan antrean untuk pemegang paspor China dan warga negara asing. Hanya ada 4 orang perempuan yang mengantre di line Foreigners. Dan saya satu-satunya yang mengenakan kerudung. "Bismillah," batin saya. "Lihat, kayaknya seruangan ini cuma aku yang berkerudung," kata saya ke Lambang yang hanya dijawab dengan senyum.

Antrean bergerak sangat lambat. Semua paspor warga negara asing diperiksa dengan sangat teliti. Selama ini saya agak khawatir kalau harus memeriksa sidik jari. Bukan apa-apa, sidik jari saya sering tidak terbaca. Sewaktu ke London pun saya harus menunggu di ruangan khusus di Heathrow International Airport untuk mengonfirmasi sidik jari. Di King Abdulazis Int'l Airport kemarin juga sama.

Segera saya oleskan hand body ke ujung-ujung jari. Karena sudah sering, jadi saya selalu mengantisipasi dengan membawa hand body ukuran travelling di tas. Paling sulit kalau datang untuk umrah dan sudah miqat (mengambil niat) di Yalamlam, karena sudah tidak bisa memakai hand body yang berpewangi lagi.

Alhamdulillah, sidik jari saya tidak bermasalah di sini. Saat ditanya mau ke mana? Dan saya jawab, "Urumqi, Turpan..." petugas imigrasi menanyakan sesuatu dalam bahasa China yang tidak saya mengerti. Sekali lagi saya ulangi perkataan saya lebih keras, yang disambutnya, "Tu-lu-fan... oo, tu-lu-fan." Rupanya pelafalan nama daerah di sini dalam bahasa Inggris dan China ada perbedaan. Nantinya saya juga baru tahu kalau orang Xinjiang tidak menyebut kota Kashgar dengan nama Kashgar.

Hampir terakhir saya dan Lambang keluar dari ruang imigrasi. Di samping conveyor belt tinggal tersisa beberapa koper yang belum diambil pemiliknya. "I want to take my coat. Can I open my lugage here?" Tanya saya pada petugas. Sepertinya dia tidak bisa berbahasa Inggris. Lalu seorang perempuan tinggi semampai yang berpakaian sangat ketat membantu menerjemahkannya dan memberikan jawaban kalau boleh membuka koper di situ. Dia menjawab kalau bekerja di Dubai Int'l Airport saat saya berterima kasih dan memujinya bisa berbahasa Inggris dengan baik.

Nyaris tak ada penumpang tersisa selain saya dan Lambang, perempuan yang bekerja di Dubai dan seorang pria warga negara Filipina. "Itu," kata Lambang sambil melambaikan tangan pada seorang pemuda umur 30-an yang membawa kertas bertuliskan logo Khalifah Tour dan nama kami. Untuk alasan keamanan saya akan menyebutnya Mr. Chang, nama lokal guide yang akan menemani perjalanan ini. Ia seorang China Han yang telah bekerja sebagai lokal guide selama 10 tahun.

"Kenapa kalian lama sekali keluar dari imigrasi? Apa ada masalah di dalam?" Tanyanya ramah setelah saya selesai mencuci muka, sikat gigi dan berganti kerudung di toilet. "Tidak. Antreannya memang lama sekali di dalam," jawab saya.

Mr. Chang lalu meminta saya dan Lambang menunggu di lobi. Ia akan memanaskan heater di mobilnya dulu, baru menjemput kita. Menurutnya, di dalam mobil akan dingin sekali kalau heater belum dinyalakan. Butuh waktu supaya ruang dalam mobil jadi hangat.

Pagi ini, dari bandara kita akan langsung jalan darat menuju kota Turpan sejauh 150 km, yang akan ditempuh selama 3,5 jam melewati jalan tol. Kita akan melintasi gurun Gobi yang menjadi rute utama Jalur Sutra di masa lalu. Bedanya, jalan ini sekarang sudah beraspal mulus. Gurun Gobi merupakan gurun terluas ketiga di Asia. Tak kurang luasnya mencapai 1,3 juta km persegi, membentang dari Asia Tengah, China hingga Mongolia bagian selatan.

Jalanan masih sepi. Di musim dingin seperti ini Subuh di kota Urumqi dan Turpan sekitar pukul 7.00, dan matahari baru akan bersinar terang menjelang pukul 10.00 pagi. Sesekali mobil kita berpapasan dengan truk-truk besar pengangkut segala rupa. Geliat pertumbuhan ekonomi di China terasa sampai ke pelosok desa-desa. Kalau dulu rute ini ramai dengan caravan unta milik para kabilah yang membawa dagangan menuju Grand Bazaar, Istanbul, kini aneka truk dan kontainer sarat muatan yang membawa aneka rupa barang-barang produksi China ke seluruh dunia.

Di sepanjang rute Jalur Sutra yang sudah pernah saya singgahi dari Samarkand, Bukhara, di Uzbekistan, Istanbul di Turki, hingga Fes di Maroko, selalu ada jejak bangunan peninggalan sejarah berupa caravansarai, yakni tempat singgah para kabilah dagang (baca buku ke-3 Serial Jelajah Tiga Daulah: Journey to Samarkand, -segera hadir). Namun di sepanjang jalur Gurun Gobi ini saya tak melihatnya. Mr. Chang pun tidak mengetahui apa itu caravansarai dan apakah masih ada yang tersisa hingga ini.

Seketika saya merasa sedih. Caravansarai tidak sekadar bangunan peninggalan sejarah, melainkan bagian dari peradaban Islam. Bagaimana perdagangan lintas benua terjamin keamanan dan pasokan barangnya melalui fasilitas caravansarai yang dijamin oleh daulah-daulah yang memimpin negeri itu.

Di sini, mungkin segala hal yang berbau Islam harus dieliminir dalam upaya menghapus ingatan kolektif warga setempat atas tradisi, budaya dan agamanya. Yang terlihat sepanjang seratusan kilometer adalah pasir gurun berwarna cokelat yang berselimut salju di sana-sini. Mata saya menjadi berat, lalu terlelap.

Saya terbangun karena hempasan udara dingin dari kaca mobil yang dibuka. "Ada apa?" Tanya saya. "Check poin," jawab Mr. Chang singkat. Di depan terlihat semacam deretan gerbang pintu tol yang dijaga aparat bersenjata lengkap. Setiap mobil harus berhenti dan membuka jendela untuk diperiksa. Mr. Chang menjawab pertanyaan polisi dengan singkat, lalu mobil terus melaju. Dia tertawa sambil berkata, "Sepertinya polisi mengira kita semua warga lokal," seraya menambahkan kalau muka Lambang terlihat seperti orang China, karena matanya sipit.

"Keberuntungan" muka China Lambang ini berlanjut di dua check poin berikutnya. Di check poin keempat, polisi meminta kita turun dan memeriksa paspor. Beberapa pertanyaan standar diajukan yang dijawab Mr. Chang dalam bahasa China yang saya tidak mengerti. Lalu kita berdua bergantian difoto menggunakan handphone dan diminta nomer telepon yang digunakan.

Saya tersenyum karena ingat pesan seorang rekan wartawan yang pernah meliput ke Xinjiang sebelum berangkat, "Pokoknya loe diem aja Mbak. Diem aja. Sejak di pesawat. Semua awak kabin itu intel. Orang yang duduk di sebelah loe, bisa jadi intel juga. Lokal guide loe di sana, intel juga. Pokoknya loe diem aja." Waktu itu saya tertawa, "Dari tadi ngomongnya, loe diem aja melulu, jadi gw gak ngapa-ngapain dan gak kemana-mana dong. Kan, diem aja," balas saya bercanda.

Rupanya saran itu memang yang harus dilakukan. Selama pemeriksaan sebaiknya diam saja, kecuali menjawab sesingkatnya kalau ditanya. Tidak perlu beramah-tamah ala orang Indonesia. Karena polisi dan tentara yang berjaga semua memasang muka tegang laiknya seorang kamerad dari Korea Utara yang sering muncul di drama Korea.

Sebelum berangkat, saya sudah membaca dan mendapat informasi tentang banyaknya check poin di Xinjiang yang diberlakukan semenjak tragedi Xinjiang di 2014. Di semua tempat, polisi akan memeriksa, utamanya warga Uighur dan orang asing. Tak hanya identitas yang akan dicek, namun juga barang bawaan. Tak jarang mereka meminta membuka tas seperti di bandara. Beruntung, saya dan Lambang tidak pernah sampai diminta membongkar koper untuk diperiksa. Karena, pastilah akan merepotkan sekali. Apalagi saya membawa sajadah dan mukena travelling berwarna putih, yang secara tegas kerudung berwarna putih dilarang di sini.

Sepanjang Urumqi sampai Turpan ada 5 check poin yang kita lewati. Ada 3 check poin yang lolos begitu saja karena "muka China" Lambang, sedang 2 lainnya kita harus turun dan diperiksa. Pemeriksaan di check poin seperti ini sudah pernah saya alami sebelumnya saat ke Palestine tahun 2012 lalu. Bedanya, kalau di Palestine jelas siapa kawan dan lawan, sehingga kalau terjadi sesuatu tahu harus kemana, sedang di sini tidak. Semua terlihat sama.

Berkali-kali Mr. Chang mewanti-wanti, tidak boleh memotret check poin dan polisi atau tentara yang bertugas. Saya juga tidak ingin memotret check poin, secara kamera CCTV ada di mana-mana. Tapi kalau polisi atau tentara, satu-dua sih, dapatlah.

Setelah check poin terakhir, sampailah kita di pusat kota Turpan, "Guys, are you hungry?" Tanya Mr. Chang ramah, yang ternyata sudah menghentikan mobilnya di depan sebuah restoran terkenal bernama Harembag. Pemiliknya adalah seorang Uighur yang sukses. Restoran ini ada di beberapa kota, bahkan punya cabang di Amerika.



 Semua papan petunjuk jalan, nama toko, pengumuman apapun, bahkan daftar menu, ditulis dalam aksara Arab, China dan beberapa ada yang ditambah bahasa Inggris. 


Turun dari mobil saya edarkan pandangan ke sekeliling. Semua papan petunjuk jalan, nama toko, pengumuman apapun, bahkan daftar menu, ditulis dalam aksara Arab, China dan beberapa ada yang ditambah bahasa Inggris. Ironisnya, mereka tidak tahu kalau itu adalah aksara Arab. "No, this is not Arabic. This is Uighur's language," jawab Mr. Chang. Mereka tidak tahu kalau yang disebut aksara Uighur itu adalah aksara Arab berbahasa Uighur. Seperti kalau di Indonesia kita mengenal istilah Arab Pegon atau Arab Melayu, bahasa Melayu atau bahasa Jawa yang ditulis dalam aksara Arab.


Salah satu prasasti yang ditulis dengan aksara Arab berbahasa Uighur.


Mencabut akar suatu bangsa selalu diawali dari budayanya. Karena, bisa jadi agama terlalu sulit. Seperti keprihatinan yang disuarakan Buya Hamka sekian puluh tahun lalu saat anak-anak sekolah tak lagi diajarkan Arab Melayu atau Arab Pegon. Terbukti, belasan tahun kemudian angka buta aksara Alquran melonjak drastis. Di Xinjiang, mereka tidak tahu kalau aksara yang digunakan adalah aksara yang sama untuk menuliskan kalam Allah. Sehingga hampir bisa dipastikan, mereka pun telah berhasil dijauhkan dari Alquran. Innalillahi wa innailaihi rojiun.



Turpan, 3/1/2019


Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti

"YOUR BAGGAGE THROUGH URUMQI, MADAME"


Journey to Uighur-Xinjiang #2


Boarding CZ 6070


"Your baggage cheked through urumuqi, Madame. Nothing can do, unless you cancel the ticket," jawab petugas cantik di bagian baggage claim Dubai Int'l Airport yang seketika membuat saya lemas.

Tadi sewaktu di Jeddah, ada petugas dari Khalifah Tour yang mengurus check-in. Saya dan Lambang menunggu di ruang tunggu, tidak ikut check-in. Sehingga tidak bisa mastikan kalau bagasi seharusnya ikut keluar dulu di Dubai.

Bukan apa-apa, beberapa hari lalu, Mas Reggy Kartawidjaja dari Khalifah Tour memforward email yang isinya membuat saya gelisah: aturan memakai penutup kepala di Xinjiang. Bila tidak sesuai, saya harus melepas hijab yang saya kenakan. Innalillahi wa innailaihi rojiun.

Dan saat ini, karena baru meninggalkan Madinah, saya memakai coat yang menyerupai gamis panjang serta kerudung lebar sampai betis. Meski warnanya bukan hitam atau putih, dua warna yang secara tegas dilarang dalam aturan tersebut, namun tetap saja saya khawatir akan muncul masalah.

"Aku nanti minta Abdul bawain scarf istrinya. Kalau sampai enggak ketemu toko yang jual hijab, sementara bisa pakai itu," kata Lambang menyebut nama temannya yang bekerja sebagai ekspatriat di Dubai dan akan kita temui siang nanti.

Pesawat yang membawa kita ke Xinjiang memang harus transit di Dubai, karena tidak ada direct flight dari Jeddah. Begitu tahu harus transit, sejak dari Jakarta kita putuskan sekalian urus visa Dubai supaya bisa keluar dari bandara dan bertemu dengan teman-teman di sini.

Sebelum mendapat email tentang aturan penutup kepala, lebih dulu saya diingatkan untuk tidak membawa mushaf Alqur'an. Meski di handphone saya ada aplikasi Muslim Pro yang juga ada Alqur'an 30 juz di dalamnya, namun tetap saja saya merasa tidak nyaman pergi menginap tanpa membawa mushaf.

Ini adalah kali kedua perjalan saya menuju negara yang mempermasalahkan mushaf. Sebelumnya, tahun 2012 lalu saat akan ke Palestine, saya harus melintas border Israel dari Jordan.

Meski tidak ada larangan tertulis, namun cerita perempuan dari Singapore yang duduk di sebelah saya di Masjid Nabawi tak urung membuat saya mempertimbangkan banyak hal.

Waktu itu ia masuk bersamaan dengan rombongan dari Malaysia. Ternyata ada satu peserta yang membawa mushaf di kopernya. Jadilah seluruh rombongan tertahan di border sampai 7 jam. Dengan berbagai pertimbangan, karena waktu itu saya pergi bersama rombongan, daripada menyusahkan yang lain, saya putuskan mushaf saya masukkan ke koper yang ditinggal di Jordan.

Kali ini mushaf saya pun sudah ikut terbang dengan koper umrah pulang ke Jakarta lebih dulu. Satu masalah sudah bisa diantisipasi, muncul masalah lain. Hijab saya mungkin terlalu menyolok dan tidak sesuai dengan aturan mereka.


Pemandangan Burj Al Arab dari Souk Madinat Jumeirah, Dubai


Alhamdulillah, di Dubai Abdul dan Manal Alhaddad, istrinya, datang membawakan scarf dan mengajak kita ke Madinat Souq untuk makan siang. Menyenangkan sekali bertemu mereka berdua, mendengar banyak cerita tentang kehidupannya sebagai ekspatriat di Dubai, serta "bayangan" orang Indonesia tentang ekspatriat di Dubai.

Saya sungguh terkejut mendengar cerita betapa sulitnya mendapat SIM Dubai serta besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Sekitar 2000 Diram UEA/paket (sekitar Rp8 juta) dan minimal mereka harus mengambil 6 paket untuk bisa sampai ujian. Wah, kalau saya, sudah pasti tidak akan lolos.... selamanya!


Jadwal penerbangan dari Dubai International Airport yang sangat padat.


Dubai International Airport yang super besar membuat kita tak bisa berlama-lama jalan-jalan di pusat kota Dubai. Kita harus segera check-in.

Sebelum berangkat, sahabat saya Mas Kaji Wisnu Aji sempat bertanya, "Sudah pernah terbang dengan maskapai China?" Begitu saya jawab belum, "siap-siap bawa headset saja. Berisik sekali" lanjutnya.

Dan benar saja, sejak antrean check-in CZ 6070 Dubai-Urumqi, kehebohan sudah terjadi. Semua orang dalam antrean bicara dengan suara keras seakan tak ada orang lain di situ. Kalau hanya satu-dua orang, pastilah tidak masalah. Tapi kalau seratusan orang secara bersamaan? Saya yang sudah lelah hanya bisa menutup mata.

Kejutan berikutnya, semua orang membawa barang ke cabin dalam jumlah yang sangat banyak. Sepertinya tidak ada aturan tas cabin hanya 1 buah. Bermacam gembolan mereka tenteng. Dan surprisenya, barang bawaan itu berbungkus tas-tas kresek besar. Saya jadi inget belanjaan kalau pulang dari Tanah Abang.

Kehebohan kembali terjadi saat mereka berebut tempat di kompartemen pesawat untuk menaruh barang-barangnya. Karena semua membawa banyak barang, jadilah kompartemen yang ada tidak cukup. Tapi sepertinya awak cabin sudah sangat paham. Dengan cekatan mereka mengatur tas-tas bawaan itu sehingga kompartemen bisa ditutup.

Penerbangan Dubai-Urumqi ditempuh dalam waktu 7 jam. Saya betul-betul dibuat takjub dengan kemampuan bicara mereka yang seakan tidak ada berhentinya. Semua orang bicara dengan suara keras. Bersahut-sahutan. Berisik sekali.

Saya yang sudah lelah karena melakukan perjalanan tanpa henti, dari Madinah-Jeddah-Dubai-Urumqi, akhirnya betul-betul ketiduran. Dalam lelap, saya melihat gerbang kota Kashgar yang menanti.


Assalamualaykum Urumqi


Urumqi, 2/1/2019

Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti


XINJIANG YANG DIRUNDUNG MALANG


Journey to Uighur-Xinjiang #1




Setelah menyelesaikan ibadah umrah dan berziarah ke Madinah, Januari 2019 ini saya meneruskan langkah ke Urumqi, Turpan dan Kashgar. Ketiga kota itu berada di Xinjiang province, China.

Nama Xinjiang mungkin tidak begitu familiar di Tanah Air. Namun kalau menyebut Uighur, hampir semua orang tahu. Uighur adalah salah satu etnis muslim yang tinggal di wiliyah Xinjiang. Ibaratnya, Xinjiang adalah provinsi Jawa Tengah, kota Urumqi adalah ibu kota provinsi, seperti halnya Semarang, dan Uighur adalah etnis Jawa yang mayoritas tinggal di daerah tersebut.

Mengapa Xinjiang? Selain saya ingin bertemu dan menyapa saudara-saudara muslim Uighur di tanah kelahirannya, tempat ini adalah rute penting pada periode Silk Road atau Jalur Sutra. Perjalanan ini juga akan menjadi bagian dari buku ke-4 Serial Jelajah Tiga Daulah: Journey to Silk Road. InsyaAllah.

Mengatur perjalanan ke Xinjiang tidaklah mudah. Adalah Pak Rustam Ade Rustam, pemilik Khalifah Tour yang membantu mewujudkan mimpi-mimpi saya menyusuri kota-kota dengan jejak sejarah Islam. Termasuk perjalanan ke Xinjiang kali ini.

Di awal, Mas Reggy Kartawidjaja yang ditugaskan untuk membantu saya menginformasikan kalau saya tidak bisa berangkat Desember ini, “Freezing, Bu, suhunya minus 25 di sana,” infonya. “Tapi saya tetap akan usahakan. Saya akan carikan mitra di sana yang bisa membantu,” lanjutnya.

Berikutnya adalah isu keamanan. Xinjiang sedang tidak aman. Ramainya pemberitaan tentang muslim Uighur membuat kunjungan ke kota ini tidak direkomendasikan. Kalaupun tetap akan melakukan perjalanan, akan berakibat pada tingginya biaya insurance keamanan.

Waktu terus berjalan dan semakin mepet dengan jadwal umrah, saya sempat memberikan alternatif destinasi, “Kalau tidak bisa masuk Xinjiang, tolong diatur untuk ke Esfahan.”

Alhamdulillah, awal Desember ada titik terang, “Ini ada mitra di Beijing yang bersedia operate, Bu,” kabar Mas Reggy sembari meminta saya segera melengkapi dokumen yang dibutuhkan untuk pengurusan visa.

Biidznillah, dengan izin Allah, akhirnya saya bisa melangkahkan kaki di Xinjiang. Menyusuri kota Urumqi, Turpan, Kashgar dan menyapa saudara-saudaramuslim Uighur di tanah kelahirannya.

Banyak hal tak terduga, haru biru, seru, juga lucu yang terjadi sepanjang perjalanan. Termasuk, ini adalah kali pertama saya mendapat pertanyaan “What's your religion?” saat pemeriksaan di bandara di luar negeri. Serta permintaan, “Madame, you should take off your scarf.” Iya, permintaan melepas hijab. Lambang juga pernah panik setengah mati gegara mengira saya diculik.

Catatan perjalanan ini bisa diikuti di blog saya www.uttiek.blogspot.com dan di akun media sosial saya @uttiek_mpanjiastuti, serta foto-foto yang akan saya posting di akun IG @uttiek.herlambang.


Mari saya temani memunguti hikmah yang berserak sepanjang perjalanan ini.


Kb Jeruk, 10/1/2019

Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti
------------------------------------------------------------

AKU INGIN MENYAPAMU SAUDARAKU





I understand that, according to Chinese law, applicant may be refused entry into China even if a visa is granted.

Saya baca sekali lagi tulisan kecil yang tercetak di bagian bawah lembaran Visa Application Form of the People’s Republic of China. Notifikasi itu menegaskan, apa pun bisa terjadi sekalipun visa sudah tertempel di passport. “Bismillah. Allahumma yassir wa la tuassir,” bisik saya sebelum membubuhkan tanda tangan.

Setiap akan melakukan perjalanan di akhir tahun usai umrah, bagian yang paling membuat deg-degan adalah pengajuan visa. Seperti tahun lalu, visa Uzbekistan baru keluar sehari menjelang keberangkatan. Bahkan di tahun 2016 sekalipun sudah mengantongi manifes visa Mesir dari Jakarta, namun manisfes visa itu tetap ditolak di Bandara King Abd Azis, Jeddah.

Perjalanan akhir tahun kali ini istimewa, karena setelah umrah saya akan meneruskan langkah ke Urumqi, Turpan dan Kashgar di Xinjiang-China. InsyaAllah, saya akan bertemu dan menyapa saudara-saudara Muslim Uighur di sana.

Bertemu dengan saudara Muslim Uighur di negerinya sudah lama saya rindukan. Rasanya hampir sama sewaktu saya akan melakukan perjalan ke Palestine tahun 2012 lalu. Ada kerinduan yang tak bisa dijelaskan. Saya tidak mengenal mereka, pun mereka tidak mengenal saya. Namun ikatan Tauhid menyatukan hati kita.

Saya sungguh ingin melihat apa yang terjadi. Tentu, saya tidak bisa membasuh luka yang mereka alami. Namun, uluran tangan, pelukan hangat dan doa tulus yang akan saya bisikkan, semoga bisa menguatkan mereka.

"La takqaf wa la tahzan. Innallaha ma ana. Jangan takut dan jangan besedih saudaraku, sesungguhnya Allah bersama kita."

"Xinjiang sedang tidak aman. Kamu tidak khawatir?" Tanya seorang sahabat saat mendengar jawaban saya akan meneruskan langkah ke Xinjiang usai umrah.

Sekelebat bermunculan berita-berita yang terus saya ikuti beberapa hari terakhir ini. Kalau sebelumnya hanya sosial media yang dibatasi, kini akses internet pun diputus seiring meningkatnya sorotan media asing tentang situasi di sana.

Hasbunallah wanikmal wakil nikmal maula wanikman nasir
Cukup Allah pelindungku, dan Allah sebaik-baik pelindung.

"Makanya, cariin kita, ya, kalau nanti belum kembali," jawab saya.

Sahabat, doakan saya dan Lambang, semoga Allah berkahi dan mudahkan perjalanan ini.



Pd Gede, 20 Desember 2018

Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti

MENYUSURI LANGKAH, MEMUNGUTI HIKMAH YANG BERSERAK






Saya sudah sering menulis betapa saya sangat kagum dengan kitab Ar-Rihlah yang berisi memoar perjalanan Sang Pengelana Ibn Bathutah.

Tak terbayangkan sulitnya melakukan perjalanan sejauh itu di zaman alat transportasi hanya ada kuda dan hewan tunggangan lainnya. Alat navigasi pun masih sangat terbatas hanya mengandalkan bintang di langit.

Manusia modern tentu tak bisa membayangkan perjalanan tanpa bantuan GPS dan semacamnya.

Satu lagi yang membuat saya percaya bahwa bahasa Arab pernah menjadi bahasa Internasional kelompok intelektual dibuktikan dengan grand journey Ibn Bathutah ini.

Betapa tidak, dari nun jauh di dusun Tangier, Maroko, ia menyusuri rute yang berlipat dari perjalanan Marcopolo. Tanpa adanya bahasa yang menyatukan tempat-tempat yang disinggahinya, mustahil ada catatan perjalanan sepanjang miliknya.

Beberapa kali saya on-off-on-off kursus bahasa Arab, salah satu tujuannya adalah untuk membaca kitab Ar-Rihlah dalam bahasa aslinya. Karena kosa kata bahasa Arab sangat kaya, pasti tulisan aslinya jauuuh lebih indah dari terjemahannya.

Seperti halnya Ibn Bathutah yang memulai langkah dari Baitullah. Hari ini pun saya akan meneruskan perjalanan setelah menyelesaikan umrah dan menuntaskan kerinduan di tanah Madinah.

Saya akan menyusuri Xinjiang-Urumqi-Turpan dan Khasgar untuk menyapa saudara-saudara Uighur di sana.

Doakan perjalanannya lancar. Banyak hikmah berserak yang bisa saya punguti di sepanjang rute yang dilalui. Yang akan saya tuliskan untuk siapa saja yang mau membacanya. Dengan berbagai pertimbangan, cerita perjalanan ini akan saya bagikan setelah kembali ke Jakarta.



King Abd Azis Int'l Airport, Jedah, 1/1/2019

Uttiek
Follow me on IG@uttiek.herlambang |FB @uttiek_mpanjiastuti