Kamis, 26 April 2012

Que Viva Intifada




Sekali lagi saya membuka koper merah berukuran besar itu. Sewaktu membelinya untuk umroh tahun 2009, Lambang sempat bertanya apa koper itu tidak terlalu besar? “Sekalian saja beli koper besar untuk ke Aqsa nanti, jadi enggak usah beli-beli lagi,” jawab saya waktu itu. Dan benar saja, koper merah bermerk Delsey ini yang kita bawa untuk umroh dan ke Aqsa tiga tahun kemudian.

Kain ihram, kerudung, baju, sendal karet... Satu per satu saya centang notes kecil berisi catatan apa saja yang harus saya bawa. Tas hitam kecil itu saya buka, lakban, karet, spidol kecil, spidol besar. Ah, ini penting, jangan sampai tertinggal, batin saya sambil merapikan lagi tas kecil itu dan memasukkan ke dalam koper. Setelah yakin tidak ada yang terlupa, nomer kombinasi saya acak. Gembok tambahan terpasang. Bismillahirrohmannirrohim.

----------

“Betul di tempat itu ada, Pak?” tanya saya
“Seingat saya iya ada. Di depan salah satu restoran tempat makan siang kita,” jawab Pak Rustam.
Grafiti. Itu yang saya cari.
Selain sholat dan mendengar kumdandang adzan dari Masjidil Aqsa, saya juga ingin melihat benteng Salahudin Al Ayyubi dan grafiti. Simbol perlawanan rakyat Palestine. Ketika mereka tidak punya senjata, ketika hanya batu dan pena yang tersisa, grafiti menunjukkan pada dunia, rakyat Palestine akan terus berjuang. Tidak pernah ada kata menyerah, sampai datang takdir Allah, seluruh tanah Palestine terbebaskan dari penjajah yang dzalim.

Grafiti pertama yang saya lihat ada di dinding suatu sekolah saat berjalan kaki dari makam Rabi'ah Al-Adawiyah ke makam Salman Al Farisi di sekitar Mt Olive. Bergambar bendera Palestine dengan tulisan Arab, Filistin. Setelah itu berturut-turut ada beberapa grafiti lainnya, banyak yang menuliskan kalimat Allahu Akbar: Allah Maha Besar. Semua saya foto. Supaya tidak tertinggal rombongan, saya tidak membaca lagi apa tulisannya, yang penting ada grafiti saya foto dulu. Foto-foto grafiti di lokasi ini ada yang membuat saya tertawa setelah melihatnya lagi di Jakarta. Rupanya tanpa sadar saya memotret tulisan tentang tata cara sholat jenazah! Tulisan ini sengaja dibuat di dinding Masjid Salman Al-Farisi, mungkin lokasi itu memang sering dijadikan tempat sholat jenazah.

---------

Reporter dari channel TLC itu berjalan bergegas, dengan cepat ia melaporkan apa yang dilihatnya. Tepat saat berhenti di depan sebuah dinding, ia mengatakan, “Tembok penuh coretan ini simbol penindasan,” katanya. Tembok itu terlihat sangat tinggi. Bercat abu-abu dengan kawat berduri yang melintang di atasnya.

Dari dalam bus yang bergerak menuju Bayt Lahym saya melihatnya. Benar. Tembok itu seperti yang saya lihat di teve. Ternyata lebih tinggi dari yang saya kira. Tembok itu lebih tinggi dari atap-atap bangunan yang ada di seberangnya. Rombongan berjalan masuk ke restoran untuk makan siang. Saya dan Lambang berjalan cepat untuk memotret dulu. Tembok ini sangat panjang. Sejauh mata memandang masih terlihat warna abu-abu yang penuh grafiti dengan kawat berduri melintang di atasnya. Konon kawat itu beraliran listrik. Sebuah grafiti membuat langkah saya berhenti. Que Viva Intifada. Hidup Intifada, dalam Bahasa Spanyol.

Saya bergantian dengan Lambang berfoto di depannya. Ah, tiba-tiba saya teringat, spidol besar yang sudah saya siapkan itu, ternyata tidak terbawa. Grafiti itu ditulis dalam berbagai bahasa, supaya siapa yang datang kemudian bisa menyaksikan dan membaca bahwa mereka mendukung perjuangan saudara-saudara kita di Palestine, seperti Que Viva Intifada, kalimat dalam Bahasa Spanyol itu. Saya ingin menulis beberapa kalimat dalam Bahasa Indonesia, sehingga siapa pun orang Indonesia yang berkesempatan melihatnya, akan tahu bahwa mereka tidak sendiri mendukung perjuangan saudara-saudara kita di Palestine.

Intifada. Kata itu begitu lekat dalam benak saya. Teringat sekitar tahun 2003, salah seorang adik saya, Anis, sedang menyusun skripsi yang mengangkat tema tentang Palestine. Beberapa kali saya mengantarkannya ke lembaga-lembaga yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan Palestine untuk mengambil data. Saya ingat, di salah satu lembaga yang kita datangi, terpajang banyak foto anak-anak Palestine. Ada yang membawa bendera, ada yang melempar batu di depan tank, ada wajah suci yang syahid dengan darah yang belum mengering. Dalam perbincangan yang panjang, saya sempat menanyakan mengapa anak-anak itu tidak diadopsi saja oleh keluarga-keluarga di Indonesia atau setidaknya dibawa sementara ke sini untuk bersekolah. Sambil tersenyum, seorang pria yang saya tidak ingat namanya menjawab, “Mereka memang harus berada di tanah Palestine. Untuk meneruskan perjuangan ayahnya, kakeknya, pamannya...”

“Palestine adalah tanah waqaf, tidak boleh berkurang se-inchi pun. Seluruh umat Islam berkewajiban menjaganya,” kalimat itu diucapkan Syech Ahmad Yassin, pendiri Hamas. Intifada adalah bukti perjuangan mereka yang diamanahi menjaga tanah waqaf itu. Intifada secara bahasa artinya melepas diri atau perlawanan. Intifada pertama terjadi antara tahun 1987-1993. Seorang bocah Palestine syahid ditembak tentara Israel pada tanggal 9 Desember 1987, peristiwa itu memicu perlawanan atas segala kekejian yang dilakukan Israel. Tua, muda, bahkan anak-anak turun ke jalan.

Hanya berbekal batu (intifada juga sering diterjemahkan sebagai perang batu) mereka berjuang mempertahankan setiap jengkal tanah waqaf yang diamanahkan. Selama 6 tahun itu 1.100 orang Palestine syahid, tercatat 13.000 anak-anak di penjara, nyaris tanpa melalui proses pengadilan. Israel gentar dengan militansi mereka, para pemuda ini menyongsong kesyahidannya dengan senyum. Tahun 1993 mereka meminta perjanjian damai yang ditandatangi di Oslo, atau dikenal dengan nama Perjanjian Oslo. Dan seperti yang telah tercatat dalam sejarah, berkali-kali yahudi-yahudi itu menghianati perjanjian yang mereka minta sendiri.

Intifada seperti ruh yang masuk dalam tiap sanubari rakyat Palestine. 7 tahun setelah ditandatanganinya Perjanjian Oslo, untuk kesekian kalinya Israel kembali berulah. Kali ini Perdana Menteri Ariel Sharon dan 1.000 tentara bersenjata lengkap masuk ke lingkungan Masjidil Aqsa. Tempat yang terlarang bagi mereka. Panggilan jihad kembali berkumandang, 29 September 2000 meletuslah Intifada kedua. Para syuhada itu, saya jadi teringat buku “Jalan Jihad Sang Dokter” yang menceritakan perjalanan dr. Joserizal Jurnalis di Gaza. Bagaimana ruangan berisi ratusan korban bersimbah darah yang sama sekali tidak berbau anyir. Seorang pejuang yang sedang dioperasi dalam keadaan dibius total, mulutnya masih bisa melantunkan ayat-ayat tentang jihad. Subhanallah... Intifada kedua terus berlangsung sampai 8 Februari 2005.

Selesai mengambil beberapa gambar, saya dan Lambang bergegas masuk ke restoran. “Ketemu, Mbak, yang dicari?” tanya Pak Rustam sambil tersenyum. “Iya, Pak, seperti yang saya lihat di teve,” jawab saya. Makanan Asia yang terhidang di depan saya seharusnya sangat lezat, tapi entah mengapa di mulut terasa hambar mengingat perjuangan saudara-saudara kita di Palestine. Apa yang sudah saya lakukan untuk meringankan perjuangan mereka? Kewajiban menjaga tanah waqaf ini adalah kewajiban bersama. Seperti isi surat yang ditulis Syech Ahmad Yassin untuk para pemimpin Liga Arab, beberapa hari sebelum syahid diserang 3 roket Israel di atas kursi rodanya seusai sholat subuh, 22 Maret 2004. “Aku akan berjuang bersama saudaraku ketika mereka merampas rumahnya. Aku tidak melawan yahudi karena mereka yahudi. Aku melawan karena mereka merampas tanah kami. Mereka menyampakkan rakyatku pada kesengsaraan yang berkepanjangan.”

Bus bergerak perlahan meninggalkan restoran, saya mendengar semangat mereka meneriakkan, “Ihna Kulluna Ahmad Yassin. Ihna Kulluna Ahmad Yassin. Kami semua Ahmad Yassin sekarang. Kami semua Ahmad Yassin sekarang.” Yaa Rabb, izinkan kami menjadi bagian dari mereka.





Uttiek Herlambang

Bayt Lahym, Palestine, 2012





Tidak ada komentar:

Posting Komentar