Journey to Uighur-Xinjiang #2
Boarding CZ 6070
"Your baggage cheked through
urumuqi, Madame. Nothing can do, unless you cancel the ticket," jawab
petugas cantik di bagian baggage claim Dubai Int'l Airport yang seketika
membuat saya lemas.
Tadi sewaktu di Jeddah, ada petugas
dari Khalifah Tour yang mengurus check-in. Saya dan Lambang menunggu di ruang
tunggu, tidak ikut check-in. Sehingga tidak bisa mastikan kalau bagasi
seharusnya ikut keluar dulu di Dubai.
Bukan apa-apa, beberapa hari lalu,
Mas Reggy Kartawidjaja dari Khalifah Tour memforward email yang isinya membuat
saya gelisah: aturan memakai penutup kepala di Xinjiang. Bila tidak sesuai,
saya harus melepas hijab yang saya kenakan. Innalillahi wa innailaihi rojiun.
Dan saat ini, karena baru
meninggalkan Madinah, saya memakai coat yang menyerupai gamis panjang serta
kerudung lebar sampai betis. Meski warnanya bukan hitam atau putih, dua warna
yang secara tegas dilarang dalam aturan tersebut, namun tetap saja saya
khawatir akan muncul masalah.
"Aku nanti minta Abdul bawain
scarf istrinya. Kalau sampai enggak ketemu toko yang jual hijab, sementara bisa
pakai itu," kata Lambang menyebut nama temannya yang bekerja sebagai
ekspatriat di Dubai dan akan kita temui siang nanti.
Pesawat yang membawa kita ke Xinjiang
memang harus transit di Dubai, karena tidak ada direct flight dari Jeddah.
Begitu tahu harus transit, sejak dari Jakarta kita putuskan sekalian urus visa
Dubai supaya bisa keluar dari bandara dan bertemu dengan teman-teman di sini.
Sebelum mendapat email tentang aturan
penutup kepala, lebih dulu saya diingatkan untuk tidak membawa mushaf Alqur'an.
Meski di handphone saya ada aplikasi Muslim Pro yang juga ada Alqur'an 30 juz
di dalamnya, namun tetap saja saya merasa tidak nyaman pergi menginap tanpa
membawa mushaf.
Ini adalah kali kedua perjalan saya
menuju negara yang mempermasalahkan mushaf. Sebelumnya, tahun 2012 lalu saat
akan ke Palestine, saya harus melintas border Israel dari Jordan.
Meski tidak ada larangan tertulis,
namun cerita perempuan dari Singapore yang duduk di sebelah saya di Masjid
Nabawi tak urung membuat saya mempertimbangkan banyak hal.
Waktu itu ia masuk bersamaan dengan
rombongan dari Malaysia. Ternyata ada satu peserta yang membawa mushaf di
kopernya. Jadilah seluruh rombongan tertahan di border sampai 7 jam. Dengan
berbagai pertimbangan, karena waktu itu saya pergi bersama rombongan, daripada
menyusahkan yang lain, saya putuskan mushaf saya masukkan ke koper yang
ditinggal di Jordan.
Kali ini mushaf saya pun sudah ikut
terbang dengan koper umrah pulang ke Jakarta lebih dulu. Satu masalah sudah
bisa diantisipasi, muncul masalah lain. Hijab saya mungkin terlalu menyolok dan
tidak sesuai dengan aturan mereka.
Alhamdulillah, di Dubai Abdul dan
Manal Alhaddad, istrinya, datang membawakan scarf dan mengajak kita ke Madinat
Souq untuk makan siang. Menyenangkan sekali bertemu mereka berdua, mendengar
banyak cerita tentang kehidupannya sebagai ekspatriat di Dubai, serta
"bayangan" orang Indonesia tentang ekspatriat di Dubai.
Saya sungguh terkejut mendengar
cerita betapa sulitnya mendapat SIM Dubai serta besarnya biaya yang harus
dikeluarkan. Sekitar 2000 Diram UEA/paket (sekitar Rp8 juta) dan minimal mereka
harus mengambil 6 paket untuk bisa sampai ujian. Wah, kalau saya, sudah pasti
tidak akan lolos.... selamanya!
Dubai International Airport yang
super besar membuat kita tak bisa berlama-lama jalan-jalan di pusat kota Dubai.
Kita harus segera check-in.
Sebelum berangkat, sahabat saya Mas
Kaji Wisnu Aji sempat bertanya, "Sudah pernah terbang dengan maskapai
China?" Begitu saya jawab belum, "siap-siap bawa headset saja.
Berisik sekali" lanjutnya.
Dan benar saja, sejak antrean
check-in CZ 6070 Dubai-Urumqi, kehebohan sudah terjadi. Semua orang dalam
antrean bicara dengan suara keras seakan tak ada orang lain di situ. Kalau
hanya satu-dua orang, pastilah tidak masalah. Tapi kalau seratusan orang secara
bersamaan? Saya yang sudah lelah hanya bisa menutup mata.
Kejutan berikutnya, semua orang
membawa barang ke cabin dalam jumlah yang sangat banyak. Sepertinya tidak ada
aturan tas cabin hanya 1 buah. Bermacam gembolan mereka tenteng. Dan
surprisenya, barang bawaan itu berbungkus tas-tas kresek besar. Saya jadi inget
belanjaan kalau pulang dari Tanah Abang.
Kehebohan kembali terjadi saat mereka
berebut tempat di kompartemen pesawat untuk menaruh barang-barangnya. Karena
semua membawa banyak barang, jadilah kompartemen yang ada tidak cukup. Tapi
sepertinya awak cabin sudah sangat paham. Dengan cekatan mereka mengatur
tas-tas bawaan itu sehingga kompartemen bisa ditutup.
Penerbangan Dubai-Urumqi ditempuh
dalam waktu 7 jam. Saya betul-betul dibuat takjub dengan kemampuan bicara
mereka yang seakan tidak ada berhentinya. Semua orang bicara dengan suara
keras. Bersahut-sahutan. Berisik sekali.
Saya yang sudah lelah karena
melakukan perjalanan tanpa henti, dari Madinah-Jeddah-Dubai-Urumqi, akhirnya
betul-betul ketiduran. Dalam lelap, saya melihat gerbang kota Kashgar yang
menanti.
Assalamualaykum Urumqi
Urumqi, 2/1/2019
Uttiek
Follow me on
IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar