“Dan masa
(kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka
mendapat pelajaran) dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan
orang-orang kafir dan agar sebagian kamu dijadikanNya gugur sebagai syuhada.
[QS Ali Imron: 140]
------------------------------------------------------------------------------------
Semua berawal
dari hal sederhana: Dongeng pengantar tidur.
Setiap malam
menjelang tidur, papi selalu mendongengkan banyak kisah untuk saya dan
adik-adik. Favorit saya adalah perjuangan Salahudin Al Ayyubi membebaskan Al
Quds (Yerusahlaim). Bahkan saya sudah punya bayangan seperti apa benteng yang
berhasil ditaklukannya jauh sebelum saya bisa membaca dengan lancar. Papi dapat
menceritakan dengan sangat heroik, bagaimana pasukan berkuda Salahudin memasuki
gerbang kota.
Cerita lain yang
menarik buat saya adalah kecerdikan Abu Nawas dan bijaksananya Raja Harun Al
Rasyid. Saya selalu tertawa terpingkal-pingkal dengan ulahnya. Sampai sekarang pun
saya masih bisa mengingat detailnya. Sayup-sayup saya juga masih ingat beberapa
kali papi bercerita tentang Andalusia, penaklukan semenanjung Iberia oleh
Thariq ibn Ziyad, istana Alhambra, dan Cordoba.
Dari kebiasaan
sederhana itu muncullah satu mimpi: Suatu saat nanti saya ingin mengunjungi
negeri-negeri itu. Melihat benteng Salahudin Al Ayyubi, istana Harun Al Rasyid,
keindahan Cordoba, dan kemegahan Alhambra.
Tahun 2012 Allah
izinkan saya mengunjungi tanah Palestine, bumi para nabi. Damascus Gate,
gerbang kota yang dimasuki Salahudin Al Ayyubi saat membebaskan Al Quds
(Yerusahlaim) masih berdiri kokoh. Tapi kita tak lagi leluasa memasukinya.
Tentara Israel menjaganya sepanjang waktu, mencurigai setiap muslim yang
melintas, dan merasa berhak mengintograsi siapa saja yang dikehendaki. Banyak
hal menyakitkan yang saya saksikan, namun itu justru melecutkan semangat
keislaman.
Impian berikutnya
Andalusia. Negeri sejuta cahaya, tempat segala hal hebat berawal. Mengapa
Andalusia? Islam pernah menyinari negeri itu dengan ilmu pengetahuan, peradaban,
dan kemanusiaan selama 800 tahun (711-1492). Lebih dari 2/3 sejarah Islam ada
di sana. Andalusia adalah sejarah yang paripurna, bagaimana para syuhada
terbaik pilihan Allah menyuburkan tanahnya dengan darah mereka. Dimulai dari
perjuangan Musa bin Nushair dan panglimanya Thariq ibn Ziyad memasuki negeri
yang tidak dikenalnya sama sekali. Jalan jihad ini bukan untuk mencari harta
rampasan perang apalagi kemasyuran, semua semata-mata untuk menegakkan kalimat
Allah.
Allah lalu
tunjukkan bagaimana manusia-manusia terbaik itu membangun peradaban. Di saat
Barat masih menganggap penyakit sebagai kutukan, dokter-dokter muslim di
Andalusia telah berhasil melakukan pembedahan, mengklasifikasi penyakit
berdasar symtoms (gejala), meracik obat, bahkan mendirikan rumah sakit. Di sisi
lain, para geographer muslim berhasil membuat peta dunia yang rumit dan detail,
mengukur radius bumi, menemukan istilah mil untuk menunjuk jarak yang masih digunakan
hingga saat ini. Berkat globe yang mereka buat, beberapa abad kemudian kolonial
Barat bisa menemukan sumber rempah-rempah dan emas di belahan bumi lain. Tak
hanya itu, kalkulus, algoritma, trigonometri, aljabar, adalah hasil pemikiran
ilmuwan muslim yang tak ternilai bagi kemajuan peradaban. Tanpa
penemuan-penemuan di bidang matematika itu, tak akan ada revolusi digital yang
kita nikmati saat ini.
Delapan ratus tahun bukan waktu yang singkat.
Perlahan benderang itu mulai memudar. Hingga akhirnya sirna seakan tak
berbekas. Dunia Barat berhutang banyak pada Islam. Mereka “mencuri”pengetahuan
dan peradaban itu tanpa pernah mengakui Islam sebagai sumbernya. "Bagaikan
bulan yang cahayanya hasil meminjam dari umat Islam," tulis Stanley Lane
Poole di bukunya The Moors in Spain. Apa
yang terjadi? Ketika manusia-manusia terbaik tergantikan mereka yang terlena
dengan gemerlap dunia, ketika ayat-ayat Allah ditukar dengan dendang lagu dan
tarian, ketika tadabur Alquran yang mengasilkan ilmu pengetahuan ditinggalkan, ketika
shaf salat tak lagi rapat, apalagi jalan jihad? Saat itulah kehancuran terjadi.
Ibarat fragmen, Andalusia adalah episode yang lengkap. Semua telah disaksikan
di sana.
Ah, saya jadi ingat ketika berpamitan pada seorang teman dan
mengatakan setelah umroh akan melanjutkan perjalanan ke Andalusia. “Andalusia
itu di Turki ya?” tanyanya. Maka saya menuliskan perjalanan ini, bukan sekadar
menjelaskan bahwa Islam pernah berada di Andalusia: Spanyol, Portugal, dan
sebagian Prancis –bukan di Turki-, tapi juga mengingatkan bahwa benderang itu
bersumber dari Islam.
Assalamualaikum Andalusia,
Madinah, 30 Desember 2014
Uttiek Herlambang