Senin, 17 Agustus 2015

Jatuh Cinta di Alhambra


Laa haula wa laa quwwata illa billaah; tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah.
Hati berdesir, kalimat dzikir yang saya puja itu tertatah dengan indah di setiap sudut, pilar, dinding pualam yang mengelilingi seluruh istana, serupa dengan bordiran halus pada sehelai kain sutra. Subhanallah, bagaimana tangan-tangan terampil itu mengerjakannya, tujuh ratus tujuh puluh tahun yang lalu?

--------------------------------------------------------

Namanya Rodrigo, usianya awal 50-an, badannya tinggi, mengenakan coat panjang dan topi fedora, penampilannya mengingatkan saya pada Inspector Gadget yang diperankan Matthew Broderick. Ia adalah local guide yang akan menemani perjalanan di istana Alhambra pagi ini. Rodrigo meminta kami untuk berkumpul di samping antrean orang-orang yang membeli tiket masuk. Setelah memperkenalkan diri dengan suaranya yang berat dan bahasa Inggris beraksen Spanyol, Rodrigo membagikan earphone, yang nanti akan kita gunakan untuk mendengarkan penjelasannya.

Lambang terlihat merapatkan jaketnya. Ya, hari memang masih pagi, kita meninggalkan hotel pukul 07.00. Pagi hari di musim dingin seperti ini, udara terasa menusuk, apalagi kita berada di alam terbuka. Saya membaca peta yang terletak di depan pintu masuk, terlihat tulisan La Alhambra. Di kejauhan semburat matahari berwarna jingga, perlahan langit mulai terang.

Rodrigo meminta kami berjalan masuk ke gerbang dan menyusuri taman yang jalannya menanjak. Di kanan-kiri terlihat rimbun pepohonan dan parit kecil yang airnya terdengar gemericik. Setelah melalui jalan setapak yang berkelok, sampailah kita di suatu titik yang agak tinggi. Napas saya mulai ngos-ngosan karena jalanan yang menanjak. Rodrigo menunjuk satu tempat dan meminta kita untuk melihatnya. “Subhanallah,” saya terpekik kecil saat di depan mata terhampar istana yang berdiri menjulang, bentengnya yang kokoh berwarna kemerahan. Istana Alhambra, “Alhamdulillah,” batin saya.

Istana Alhambra adalah bagian dari kerajaan Granada, daulah Islam terakhir di bumi Andalusia. Diberi nama Alhamra, yang kemudian dilafalkan oleh orang Spanyol sebagai Alhambra, mengambil nama dari Sultan Muhammad bin Al-Ahmar, pendiri dinasti Al-ahmar. Nama Alhamra juga diambil dari bahasa Arab; hamra’, bentuk jamak dari ahmar yang berarti merah. Saat langit temaram, tembok istana ini memang terlihat berwarna kemerahan, seperti yang saya saksikan pagi itu.

Suara Rodrigo hilang-timbul, tapi saya sudah tidak terlalu memerhatikan penjelasannya. Hati saya terasa ciut menyaksikan keindahan ini. Banyak lengkungan arcade dengan pahatan motif geometris yang menakjubkan di sepanjang jalan yang kita susuri. Patio-patio dengan air yang mengalir adalah refleksi dari keindahan taman surga, yang menjadi ciri landscape taman-taman dalam istana daulah Islam. “… seperti surga dengan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya…” Air ini sangat penting karena terkait dengan ritual wudhu yang harus dilakukan sebelum shalat. Tak heran kalau istana-istana kerajaan Islam selalu dilengkapi dengan air mancur atau kolam air yang sekaligus dijadikan tempat wudhu. Di istana Alhambra, air ini diperoleh dari salju abadi yang ada di puncak pegunungan Sierra Nevada. Dialirkan melalui pipa-pipa yang sangat panjang dan ditampung di dam-dam yang dibangun di beberapa tempat. Sungguh konstruksi bangunan yang sangat canggih, dengan perhitungan matematika dan fisika yang sangat rumit, bahkan untuk ukuran sekarang pun, karena setelah 8 abad, saluran air itu masih berfungsi!

Rodrigo terus menjelaskan bangunan-bangunan yang kita lewati. Cara bicaranya betul-betul mengingatkan saya pada Inspector Gadget. Hingga sampailah kita di bangunan utama yang disebut The Nasrid Palace. Di dalam bangunan ini terdapat paviliun yang digunakan sebagai tempat tinggal istri sultan, aula tempat menerima duta besar, dan sebagainya. Bangunan ini sangat-sangat indah. Sepertinya ini adalah bangunan tercantik yang pernah saya saksikan. Yang membuat hati bergetar adalah dinding pualam dan pilar-pilarnya yang berhias kaligrafi Laa haula wa laa quwwata illa billaah; tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Sudut mata saya terasa hangat, sungguh manusia sangat kerdil, tak ada yang bisa kita lakukan tanpa pertolonganNya.

Alhambra adalah puncak dari teknologi, arsitektur, dan seni yang paripurna. Semua terangkai dalam mahakarya yang sangat indah. Konon Marie Antoinette menginginkan istana serupa saat membangun château de Versailles atau Istana Versailles yang terkenal itu, namun ia tidak mendapatkan yang diinginkannya. Jauh sebelum itu, Charles V, salah satu raja Spanyol mencoba membuat istana yang mirip Alhambra, lokasinya pun dekat sekali, bahkan bisa dikata bersebelahan, namun alih-alih bisa menyamai Alhambra, bangunan itu bahkan tak pernah diselesaikannya sampai ia meninggal, dan pemerintah Spayol merampungkannya di tahun 1990.

Di setiap sudut saya mengambil gambar, Lambang sampai kesal gara-gara saya kebanyakan foto dan tertinggal dari rombongan. Keluar dari bangunan istana The Nasrid Palace, kita berada di The Court of the Myrtles (Patio de los Arrayanes), taman dengan kolam air sepanjang 34 meter. Dari kolam ini kita bisa menyaksikan pantulan istana di dalam air dengan posisi yang presisi. Seakan bangunan istana ini ada dua. Tanpa perhitungan fisika yang rumit, mustahil keindahan itu bisa kita saksikan. Perasaan berdebar-debar menyaksikan keindahan ini membuat saya laiknya orang yang sedang jatuh cinta. Ya, saya, jatuh cinta pada Alhambra!

Istana Alhambra dikelilingi taman yang dinamakan Generalife. Taman ini dulunya adalah kebun sayur. Ada jalan pintas yang menghubungkan istana dengan taman ini. Konon Sang Sultan suka berkuda menikmati keindahan taman. Dari sini saya bisa melihat dengan lebih jelas bangunan istana Alhambra, lengkap dengan bastion yang menjulang. Di bastion itulah Sultan Boabdil, sultan terakhir dari kerajaan Granada menyaksikan pasukan Isabella dan Ferdinand mengepung bentengnya. Tidak ada pilihan lain, ia terpaksa menyerahkan kunci gerbang kota dengan jaminan tidak ada pembunuhan atas rakyatnya dan mereka tetap boleh mempertahankan keimanannya.

Tentu saja janji itu dikhianati oleh Isabella dan Ferdinand yang sejak awal memang berniat menghancurkan umat Islam di Andalusia. Hanya dalam waktu 6 tahun, hampir tak ada yang tersisa. Ada 3 pilihan yang ditawarkan; tetap Islam dan dibunuh, dimurtadkan, atau diusir dari Granada. Mereka yang tebal keimanannya, memilih syahid sebagai syuhada. Para oportunis memilih dimurtadkan asal masih bisa hidup. Dan puluhan ribu lainnya harus dievakuasi ke Maroko, Tunisia dan daerah Afrika Utara lainnya untuk mempertahankan kalimat Tauhid. Pengusiran yang disertai pembunuhan keji, perampasan harta, itu menjadi tragedi yang akan terus tercatat dengan tinta hitam dalam sejarah. Bukan saja sejarah Islam, tapi juga sejarah kemanusiaan.

Sejatinya umat Islam di Granada tak serta-merta menyerah. Kehancuran akibat pertikaian sesama umat membuat daulah Islam di Andalusia yang pernah menyinari dunia dengan peradaban dan pengetahuan tercerai-berai. Satu persatu wilayah berhasil dicaplok pasukan Isabella dan Ferdinand, menyisakan kerajaan-kerajaan kecil yang terpecah belah. Pada kondisi seperti itulah Granada terkepung. Selama tujuh bulan terus terjadi pertempuran. Banyak syuhada yang sahid, namun korban luka dan tewas dari pasukan Isabella dan Ferdinand lebih banyak lagi. Pasukan muslim tetap bersabar sambil berjuang dan berharap pertolongan Allah.

Kondisi ini tidak sama dengan yang dituliskan dalam sejarah Barat, di mana kejatuhan Andalusia digambarkan dengan bobroknya keluarga kerajaan, yang memilih bermaksiat ketimbang memikirkan rakyatnya. Seperti penjelasan Rodrigo, kalau di dalam istana yang indah ini begitu banyak intrik, “Ada salah satu istri sultan yang membunuh puluhan keluarga kerajaan demi mendapat kekuasaan.” Ah, hati kembali perih mengingat Andalusia adalah sejarah yang dibajak dan ditulis semaunya oleh mereka.

Puncak dari perjuangan itu adalah datangnya musim dingin yang berkepanjangan. Umat Islam yang terkepung dalam benteng tidak bisa keluar untuk mendapat suplai makanan. Rakyat kelaparan, banyak yang meninggal karena beratnya musim dingin tanpa pasokan makanan yang cukup. Pada saat itulah qadarullah terjadi, Sultan Boabdil memilih menyerahkan Granada untuk mengakhiri kesengsaraan rakyatnya.

--------------------------------------------------------------

Dari atas bukit, saya melihat jalanan yang berkelok-kelok menuju pegunungan Sierra Nevada. Jalanan itu adalah The Last Moor’s Sigh. Tempat terakhir Sultan Boabdil memandang Alhambra dengan kepedihan yang tak terlukiskan. Dia terpekur sambil berdoa, sampai ibunya yang mendampingi perjalanannya mengeluarkan perkataan yang terkenal itu, “… jangan kau tangisi seperti perempuan untuk sesuatu yang tidak bisa kau pertahankan laiknya laki-laki.”

Qadarullah wama sya'a fa'ala; takdir Allah adalah apa yang dikehendaiNya, dan itu pasti terjadi.

Alhambra, Granada, 5 Januari2015