Selasa, 22 Desember 2015

Mencari Lembah Barbate


Sejarah mencatat, pertempuran di Lembah Barbate adalah pertempuran terhebat setelah Perang Yarmuk. Pasukan Thariq ibn Ziyad yang hanya 12.000 berhasil mengalahkan pasukan Roderic yang berjumlah 100.000 tepat di gerbang rumah mereka.

----------------------------------------------------------

Bulu kuduk saya terasa meremang. Pemandangan di sore yang gelap ini terasa seperti déjà vu. Jembatan kokoh dengan bastion menjulang, rongga-rongga pemecah arus sungai, udara dingin yang berkabut. Di mana saya pernah menyaksikan pemandangan seperti ini? Saya berusaha keras untuk mengingat, tapi tidak berhasil. Mungkinkah saya pernah ke sini sebelumnya? Tentu saja tidak! Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Eropa. Batin saya terus berbantahan.

Sore belumlah terlalu tua, namun cuaca di musim dingin seperti ini membuat langit lebih cepat gelap. Seorang perempuan jangkung, berambut keriting kemerahan, berdiri di depan pintu bus. Tak lama terdengar suara pintu hidrolik yang dibuka Juan. Keduanya lalu bercakap dalam bahasa Spanyol yang cepat. “Si…si,” kata perempuan itu sambil menghidupkan mic dan mulai memperkenalkan diri. Namanya Carmen, ia yang akan menjadi local guide selama di Toledo sampai Madrid.

Anyone wants to toilet?” katanya sambil menunjuk kafe di seberang jalan yang bisa digunakan. Sekalipun tidak ingin ke toilet, tapi saya tetap turun dari bus dan berdiri di pinggir jembatan. Saya masih penasaran, mengapa rasanya saya pernah berada di sini? Memori ini masih lekat hingga kini dan menyisakan tanya yang tak terjawab. Mungkinkah karena saya sedang mencari Lembah Barbate?

Ya, Lembah Barbate atau Lembah Lakka (Lacca) adalah lokasi pertempuran Sang Pahlawan Thariq ibn Ziyad dengan Roderic penguasa kerajaan Ghotic. Lembah itu posisinya sebelum kota Toledo yang menjadi ibukota kerajaan sekaligus kota terbesar pada masa itu. Sejarah mencatat, pertempuran di Lembah Barbate adalah pertempuran terhebat setelah Perang Yarmuk. Pasukan Thariq ibn Ziyad yang hanya 12.000 berhasil mengalahkan pasukan Roderic yang berjumlah 100.000 tepat di gerbang rumah mereka.

Pertempuran yang berlangsung sejak 28 Ramadhan 92H/19 Juli 711 M itu tak terlukiskan kedahsyatannya. Tiga ribu syuhada menjemput kesyahidannya dengan senyum. Takdir Allah atas kemenangan pasukan muslim seiring suara takbir menyambut datangnya hari raya Idul Fitri, hari kemenangan. Jatuhnya kota Toledo menandai lapangnya jalan pembebasan semenanjung Iberia. Di sinikah Lembah Barbate? Inikah tanah yang disuburkan dengan darah para syuhada?

Saya mencoba mencari tahu dengan bertanya pada Carmen tentang keberadaan Lembah Barbate. Ia mengernyitkan dahi tanda tidak tahu. Ia hanya membenarkan bahwa Toledo, kota yang akan segera kita masuki sore ini adalah bekas kerajaan Roderic. Saya tersenyum kecut, pengalaman di Granada dan Cordoba kemarin menyadarkan saya, bahwa segala hal yang berbau sejarah Islam coba untuk dikaburkan di sini. Apalagi ini adalah sejarah kemenangan Islam.

--------------------------------------------------

Sekarang ini Toledo hanyalah kota tua yang tak terlalu “penting”, setelah ibukota Spanyol dipindahkan ke Madrid. Namun kota kecil ini ibarat Yogyakarta, lekat dengan jejak sejarah dan sangat indah. Bus terus melaju membelah bukit, jalanan berkelok-kelok naik turun, Carmen menjelaskan bangunan-bangunan yang kita lewati, hingga sampailah di depan benteng kota tua. Ia lalu meminta kita semua turun dari bus.

“Subhanallah. Salju,” saya terpekik kecil. Lambang menoleh lalu melihat ke arah rumput yang ada di depan. Terlihat kristal es yang membeku di atas tanah dan bebatuan. Ini adalah kali pertama saya melihat salju sungguhan. Ada desiran aneh tiba-tiba muncul di hati. Sejak lama saya bercita-cita ingin melihat salju pertama kali di Lebanon, namun ternyata Allah pilihkan Toledo. Tapi Biidznillah, suatu hari nanti saya akan melihat salju di Lebanon. Lalu terdengar komentar, “Wah, sudah ada salju.” “Ayo foto dulu di atas salju.” Dingin semakin menusuk tulang.

Carmen mengajak rombongan memasuki gerbang kota tua. Di depan ada escalator yang sangat tinggi, rasanya setinggi bangunan tiga atau empat lantai. Pastilah dulunya ini perjalanan mendaki bukit, tapi sekarang sudah dipermudah dengan escalator. “Ini nanti kalau kita turunnya lewat sini juga, lalu escalatornya pas mati, keren banget nih,” celetuk saya pada Lambang.

Di ujung escalator terlihat plaza yang luas. Banyak orang berkumpul dan menikmati pemandangan di bawah. Jalanan dilapisi bebatuan rapi, sekilas seperti jalanan di film Les Misérables. Carmen terus berjalan cepat sambil menjelaskan ini-itu. Saya berusaha menjajari langkahnya. Ini benar-benar seperti film Les Misérables, jalanan gelap, dingin, dengan bangunan tua di kiri-kanan. Suasana bertambah “seram” karena rata-rata bentuk bangunan di kota tua ini berarsitektur Gothic, laiknya di film-film horor.

“Di Toledo ini dulunya banyak sekali gereja, namun kini sudah banyak yang dialihfungsikan karena kosong, tidak ada yang menggunakan,” tuturnya. Ini adalah fenomena yang jamak di Eropa, rumah ibadah itu ditinggal umatnya dan menyisakan bangunan yang mangkrak, hingga akhirnya harus dialihfungsikan. Tiba-tiba tergelitik tanya, “Carmen, tadi kamu bercerita kalau di kota ini dulu umat Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai? Benar, kan? Lalu mengapa Issabel dan Ferdinand memaksa mereka untuk mengubah keyakinannya, bahkan dibunuh atau diusir dari kota ini kalau tetap memilih menjadi muslim atau yahudi?” Hening sesaat. “This young women have a good question,” katanya meminta perhatian rombongan. Saya merasa tidak enak karena semua melihat ke arah kami. “Kenapa, sih, dari kemarin mempermasalahkan hal ini terus?” Mungkin begitu batin mereka.

“It’s all about politic,” lanjut Carmen. Menurutnya, sebagai penguasa, Issabel dan Ferdinand akan mendapat penghormatan lebih ketika bisa menyatukan semua rakyatnya dalam ideologi dan keyakinan yang sama. Saya masih mau protes, tapi mengapa harus dengan cara genosida? Tapi pertanyaan itu urung terucap. Saya sudah bisa menebak arah jawabannya, dan rasanya itu hanya akan menambah kepedihan di hati. Saya coba tersenyum dan mengangguk pada Carmen sebagai respons atas penjelasannya.

Rombongan terus berjalan dan sampailah di deretan toko-toko yang menjual souvenir. Suasananya mungkin sengaja dibuat seperti abad pertengahan. Carmen lalu menarik tangan saya untuk melihat sebuah etalase toko. “Lihat, boneka-boneka itu menggambarkan bagaimana Bangsa Moor mengolah berbagai macam bahan masakan menjadi makanan lezat,” katanya. Sekilas saya melihat diorama boneka yang ada di etalase toko kue itu. “Tentu saja. Bangsa Moor mengajarkan kalian banyak hal. Tanpa itu rasanya kalian tak mungkin semaju sekarang,” tanggap saya yang dibalas dengan senyum kecut Carmen.

Dari toko roti, Carmen menunjuk toko souvenir yang memajang pedang dalam berbagai ukuran. Dari yang sangat kecil yang umumnya digunakan sebagai tusukan buah, hingga yang panjangnya lebih dari satu meter. “Apakah itu benar-benar tajam?” tanya saya penasaran. “Ha ha ha, saya juga tidak tahu,” jawabnya dengan kerlingan lucu. Pada zaman dulu, Toledo juga dikenal sebagai kota penghasil pedang yang berkualitas. Mungkin seperti Cimande di Jawa Barat yang terkenal sebagai penghasil golok.

Rombongan terlihat sudah berpencar. Pemandangan yang sama tiap kali berada di pusat pertokoan. Carmen lalu mendekati saya dan bercerita kalau di Toledo ini dulunya banyak universitas dan menjadi pusat penerjemahan buku-buku dalam berbagai bahasa. Tiba-tiba muncul tanya di hati, seandainya waktu itu kitab-kitab ilmuwan Andalusia tidak diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin, akankah cahaya Islam tetap menerangi Eropa saat ini? Akankah pengetahuan dan kemajuan hanya berada dalam genggaman Islam?

Ah, tentu saja tidak. Para alim itu menghasilkan temuan-temuannya semata untuk membuktikan keagungan Allah. Untuk menunjukkan betapa kerdilnya manusia dibanding keluasan ilmu Allah. Pastilah tidak ada sedikitpun keinginan di benak mereka untuk menyimpan rapat atau memiliki sendiri tanpa mau berbagi dengan yang lain. Mereka akan mengajarkan pada siapa pun yang menginginkan, bukan karena ingin termasyur dan diakui kehebatannya, namun semata mereka mengimani, setelah meninggal, semua amalan anak Adam akan terputus, keculi 3 perkara. Salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Terbukti, ilmu mereka masih dimanfaatkan manusia hingga berabad kemudian.

Malam semakin gelap. Dingin kian menggigit. Carmen meminta rombongan bergegas mengikutinya karena Juan segera menjemput untuk melanjutkan perjalanan ke Madrid. Di tepi jalan, saat menunggu bus, sebuah pikiran melintas. Jangan-jangan benar, lembah di dekat jembatan yang rasanya sudah sangat saya kenal itu adalah Lembah Barbate.


Toledo, 8 Januari 2015

Uttiek Herlambang


Sabtu, 24 Oktober 2015

Menangis di Mezquita


Telah kusaksikan Cordoba untukmu, Pi,
Di sana banyak luka sejarah, rasa pedih yang tak tersembuhkan, bahkan setelah ribuan tahun lamanya.
Islam meninggalkan jejak yg tak terhapuskan: Ilmu pengetahuan, peradaban, dan kemanusiaan.
Tapi pendulum sejarah tak bisa diubah,
Mihrab itu kini berada di balik jeruji besi,
Suara adzan tergantikan dentang lonceng,
Aku menangis di Mezquita...

------------------------------------

“Nanti kita keluar melewati patung Ibn Rusyd,” kata Pak Rustam membuka percakapan saat sarapan.
“Lokasinya dekat dengan hotel kita, Pak?” tanya saya. Semalam saya sempat melihat peta di buku Hanum 99 Cahaya di langit Eropa, sepertinya lokasi patung Ibn Rusyd itu tidak dekat dengan patung Maimonides yang ada di sekitar nH Collection Hotel, tempat kita menginap.
“Iya, tadi saya sudah melihatnya,” jelas Pak Rustam.

Pagi ini saya sarapan berlauk rendang Uda Gembul yang dibawa dari Jakarta. Tiap bepergian ke luar negeri, saya selalu membawa “amunisi” cukup. Sulitnya mencari makanan halal, atau setidaknya untuk menghilangkan keraguan, saya memilih membawa rendang atau gudeg kalengan Bu Tjitro. Dalam satu kemasan rendang Uda Gembul ada 2 potong daging yang empuk dengan tingkat kepedasan bumbu dari Level 0-10. Saya memilih Level 5. Pedasnya cukup nendang untuk sarapan di tengah udara dingin seperti pagi ini. Gudeg kalengan Bu Tjitro pun tak kalah nikmat. Dalam satu kaleng yang mudah dibuka, terdapat gudeg, sambel goreng krecek, sepotong kecil ayam dan telur bacem utuh. Saya selalu memilih rasa pedas, untuk mengurangi dominasi rasa manis gudeg Yogya. Saya sangat rewel soal makanan, dalam artian halal-haramnya. Di negara-negara yang mayoritas penduduknya non Muslim, kalau tidak menyantap bekal yang dibawa dari Jakarta, saya hanya mau makan seafood.

Selesai breakfast, rombongan beriringan keluar hotel. Pagi masih agak berkabut, di musim dingin seperti ini, tiap kali membuka mulut, akan disertai asap yang keluar. Jadilah kita berjalan sambil berlari kecil untuk menghalau dingin. Benar saja, di ujung tembok kota tua, terlihat patung pria berjubah dan memakai surban. “Itu ya, pak?“ tanya saya, yang dijawab anggukan kepala oleh Pak Rustam.

Duh, saya senang sekali. Seperti anak kecil yang mendapat hadiah Lego untuk pertama kali. Sewaktu menonton film 99 Cahaya, saya begitu terkesan dengan adegan Hanum dan rangga yang bergandengan tangan di depan patung ini. Bukan karena melihat patungnya, namun berada di tanah yang pernah dipijak oleh Ibn Rusyd, menyaksikan bukti sejarah betapa dunia berhutang pada Islam, membuat hati dipenuhi rasa syukur. Alhamdulillah, Engkau izinkan untuk melihat bumi-Mu yang begitu luas.

---------------------------------------

Dari patung ibn Rusyd, rombongan terus melangkah hingga terlihat jembatan Cordoba yang membelah sungai Al-Wadi al-Kabir, yang dilafalkan orang Spanyol sebagai Guadalquivir. Jembatan yang dikenal dengan nama Al-Jisr dan Qantharah Ad-Dahr ini terlihat sangat kokoh. Panjangnya sekitar 400 meter, lebarnya 40 meter dan tingginya 30 meter. Dalam bukunya Kharidah Al-Aja’ib wa faridah Al-Ghara’ib, Ibn Al-Wardi memberikan kesaksian, jembatan ini tak terbayangkan oleh manusia sebelumnya, dari segi konstruksi, kemegahan dan kecanggihannya.

Jembatan itu dibangun pada masa As Samh bin Malijk Al-Khaulani, yang sezaman dengan Umar bin Abdul Aziz. Artinya jembatan itu dibangun ketika manusia belum mengenal sarana transportasi, kecuali keledai, unta, kuda, dan bighal. Jembatan itu menjadi bukti tingginya peradaban Islam di Andalusia, kekokohannya tak tertandingi. Itu terbukti setelah lebih dari 1.400 tahun, saya masih bisa menyaksikannya pagi ini.

Dari jembatan Al-Jisr, rombongan berjalan menyusuri tembok tebal yang tinggi menjulang. Rupanya tadi dari hotel kita harus keluar dulu dari tembok kota tua, dan masuk lagi dari pintu yang berbeda. Tujuan utama pagi ini adalah Masjid Agung Cordoba atau yang dikenal dengan nama Mezquita, yang dalam bahasa Spanyol berarti masjid. Meski kini difungsikan sebagai katedral, namun nama Mezquita masih disematkan padanya. Sebelum memasuki gerbang Mezquita, rombongan berkumpul dulu di toko souvenir, barangkali ada yang mau ke toilet atau membeli secangkir kopi.

Di toko souvenir ini untuk kesekian kalinya saya menyaksikan jamon, atau paha babi asap yang dijual dengan cara digantung. Jamon ini ada di mana-mana, di restoran, toko souvenir, bahkan kedai kecil di pom bensin. Ada sejarah panjang mengiringi kehadiran jamon di Andalusia. Awalnya, saat Cordoba jatuh ke tangan Issabel dan Ferdinand, hanya ada 3 pilihan bagi umat Islam, dibunuh, dimurtadkan, atau diusir ke Afrika Utara (Maroko, Tunisia, Aljazair, dan sekitarnya). Sejak saat itu Issabel dan Ferdinand membuat peraturan, setiap penduduk harus menggantung paha babi di depan rumahnya, sebagai bukti bahwa tidak ada umat Islam yang tersisa. Tradisi menggantung paha babi itu terus berlanjut hingga kini. Tak hanya paha babi sungguhan, aneka souvenir seperti gantungan kunci, magnet kulkas, bahkan cokelat, banyak yang ditawarkan dalam bentuk seperti jamon.

Dari toko souvenir, kita berjalan memasuki gerbang Mezquita. Kebetulan di selasar sedang ada pameran foto, jadilah sejenak saya melihat foto-foto yang dipamerkan. Masjid ini memang indah sekali. Di halaman depan terdapat sebuah taman yang sangat luas, dengan pohon-pohon jeruk dan delima yang tumbuh rindang. Di tengah taman, sebuah fountain berdiri kokoh. Seperti bangunan Islam pada umumnya, selalu ada fountain yang juga difungsikan sebagai tempat wudhu.

Masjid Agung Cordoba dibangun oleh Abdurrahman Ad-Dakhil tahun 786 M, tak lama setelah ia tiba di Andalusia. Pembangunan kemudian diteruskan oleh putranya Hisyam dan para pemimpin setelahnya. Setiap pemimpin berusaha meninggalkan “jejaknya” di masjid ini. Tak ayal masjid ini terus berkembang, bertambah luas, dan semakin indah. Dalam kitab Ar-raudh Al-Mi’thar, disebutkan bahwa Masjid Agung Cordoba merupakan masjid terbesar, tercanggih, dengan ornamen bercita rasa seni tinggi yang nyaris tanpa cela.

Panjang masjid ini 180 depa, terdapat 14 lengkungan yang disangga 1000 pilar. Penerangannya terdiri dari  13 lentera, di mana setiap lentera memuat 1000 lampu. Seluruh kayunya berasal dari pohon cemara Thurthusy. Atapnya dipenuhi seni ukir yang masing-masing tidak sama, susunannya dibuat sebaik mungkin dengan warna-warna merah, putih, hijau, biru dan hitam. Keindahan ini membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa takjub sekaligus bahagia.

Keindahan mihrab masjid ini tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Tekniknya mencengangkan siapa saja, bahkan hingga saat ini. Terdapat mozaik berlapis emas dan kristal. Di dalam mihrab terdapat empat tiang, dua berwarna hijau, dua lagi berwarna violet. Di bagian ujung dipasang marmer, emas dan lazuardi yang tak ternilai harganya. Keindahan mimbar yang ada di sisi mihrab tak kalah menakjubkan, terbuat dari kayu ebony dan kayu wewangian lainnya. Tujuh orang arsitek secara khusus mengerjakan mimbar itu selama 7 tahun.

Terdapat sebuat ruangan kecil tempat menyimpan bejana yang berisi minyak yang terbuat dari emas, perak dan besi. Semuanya akan dinyalakan pada malam ke-27 Ramadhan. Di tempat ini juga tersimpan mushaf Ustman bin Affan yang ditulis dengan tangannya sendiri. Bekas tetesan darah Ustman terlihat di mushaf itu. Mushaf itu berhias sampul dengan ornamen yang kerumitannya bak dikerjakan menggunakan komputer. Setiap pagi, mushaf ini dikeluarkan dari ruangan dan dibaca oleh sang imam.

Lengkung-lengkung dalam masjid ini mengingatkan pada lengkung masjid Nabawi saat ini. Namun hati menjadi ciut saat melangkah ke dalamnya, ruangan dalam masjid ini kini terlihat sangat temaram, tak ada lagi benderang lentera. Di setiap sudut kini berhias patung dengan altar besar di salah satu sisinya. Penjelasan Christopher, local guide kita pagi itu membuat kegelisahan saya kian menjadi. Mana pahatan ayat-ayat Allah yang pernah memenuhi bangunan ini? Mengapa sekarang yang terlihat adalah gambar-gambar dan patung? “Is that the Mihrab?” tanya saya begitu melihat sebuah bangunan yang sangat identik dengan Islam. “Yes, Mam,” jawabnya.

Sudut mata saya hangat, hati saya terluka, mihrab itu kini berada di balik terali besi. Sebuah penghalang yang sengaja dipasang supaya orang tidak bisa shalat lagi di area itu. Bukannya tanpa insiden, beberapa kali orang-orang Islam yang datang mencoba shalat di tempat itu, namun ditangkap oleh petugas keamanan dengan alasan membuat onar. Mihrab itu masih menyisakan keindahannya. “Di mana kaligrafi yang terpasang di sekitar mihrab itu?” gugat saya pada Christopher, “Mereka melepaskannya ya?” Suasana hati saya sungguh tidak enak siang itu. Penjelasan Christopher terdengar seperti angin lalu.

Ya Rabb, apa yang terjadi di bumi Andalusia waktu itu? Bagaimana kegemilangan dan sumbangsih mereka pada dunia kini tercampakkan seperti ini? Mezquita adalah masjid. Bangunan ini secara keseluruhan masih terlihat sebagai masjid. Mihrab itu adalah buktinya, kaligrafi kalimat syahadat masih terbaca di atasnya. Saya tergugu sambil memegang teralis mihrab. Kalau sebelumnya saya hanya membaca di buku Hanum 99 Cahaya di Eropa, bagaimana ia bersitegang dengan petugas keamanan saat mencoba sujud di depan mihrab, kini saya merasakan sakit yang sama. Harapan yang sama saya panjatnya, semoga ada pengusaha Muslim yang sangat kaya, yang bisa membeli seluruh bangunan ini dari negeri yang hampir bangkrut karena resesi ini, lalu memfungsikannya kembali menjadi masjid. Amiinn…

Christopher meminta rombongan segera keluar dari Mezquita karena perjalanan masih panjang. Saya melangkah dengan gontai. Keluar dari gerbang, terdengar lonceng yang berdentang dari atas menara. Hati saya bertambah gundah, titik air mata tak dapat saya bendung. Saya mendongak memandang minaret itu. Dulunya bangunan setinggi 100 hasta itu adalah tempat muadzin mengumandangkan adzan. Teknik pembangunan minaret itu sangat mengherankan. Terdapat dua tangga menuju ke atas, dari sisi barat dan timur. Jika ada dua orang yang menaikinya, maka keduanya tidak akan pernah bertemu, sebelum sampai di bagian paling atas. Ukiran indah di minaret itu memenuhi seluruh bangunan, dari atas hingga puncaknya. Kini tak terdengar lagi panggilan muadzin dari atas minaret itu.

Keluar dari kompleks Mezquita saya tidak lagi bisa menikmati pemandangan Calleja de las Flores atau  Flower Street, di mana terdapat deretan rumah-rumah dengan hiasan bunga-bunga cantik, seperti gambar yang sering muncul di postcard. Emosi saya telah terkuras habis. Saya membayangkan majelis-majelis ilmu dan orang-orang yang menderas ayat-ayat Allah yang dulunya selalu memenuhi Masjid Cordoba. Semoga Allah izinkan sejarah kembali berulang.

... Engkau berikan kerajaan kepada yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. [QS. Ali Imran: 26].

Saya menangis di Mezquita…

Mezquita, 7 Januari 2015

Uttiek Herlambang



Cordoba Kota Sejuta Cahaya


Dari rahim Cordoba lahir para pemikir yang belum tertandingi hingga kini. Sebutlah Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi (930-1013) atau di Barat dikenal sebagai Abulcasis. Lebih dari 1.000 tahun yang lalu, ia sudah mampu menghentikan perdarahan saat melakukan operasi pembedahan tengkorak manusia! Selanjutnya, Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurthubi Al-Andalusi (1126-1198) atau Ibn Rusyd yang di Barat dikenal sebagai Aviroes. Kalau di abad modern ini nama Albert Einstein sering dipadankan dengan kata jenius, sejatinya, apa yang dihasilkan belum ada apa-apanya dibanding torehan sejarah Ibn Rusyd. Tanpa buah pikirnya, bisa jadi Eropa sekarang masih berada dalam belenggu kebodohan dan kegelapan.

-------------------------------------------------------

Juan terdengar menggerutu. Tapi karena diucapkan dalam bahasa Spanyol, jadi tidak ada yang paham. Hari itu sepertinya kita agak kesorean memasuki kota Cordoba. Di sepanjang jalan orang berduyun-duyun menuju satu tempat. Bus berputar-putar beberapa kali, Juan pun sempat menghentikan bus dan bertanya sesuatu pada polisi.
“Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju hotel,” katanya dengan bahasa Inggris terpatah-patah  pada Pak Rustam.
“Ada apa?” Pak Rustam balik bertanya.
Saya dan Lambang yang kebetulan duduk di bangku terdepan dapat mendengar percakapan itu.
 “Gimana, Pak?” tanya Lambang
“Ini parade akan dimulai. Semua jalan menuju hotel sudah ditutup. Saya akan turunkan rombongan di seberang taman, kalian harus berjalan melintasi taman. Tidak jauh, kok,” jawab Juan.

Dan benar saja, rombongan diturunkan di pinggir sebuah taman, lengkap dengan koper-koper besar kita. Semua bergegas melintasi taman yang rupanya sangat ramai karena sedang ada semacam pasar malam.
“Ini perayaan apa sih? Kok semua orang tumpah ruah di jalan?” tanya saya.
Seorang bule yang sepertinya kasihan melihat rombongan orang Asia menggeret-geret koper besar memberi tahu, “Kalian harus segera menyeberang jalan itu. Setengah jam lagi parade akan lewat, dan kalian bisa tertahan sampai jam 9 malam.”
Jadilah kita semua mempercepat langkah, bahkan setengah berlari  sambil membawa bawaan masing-masing yang sangat berat. 

Hari ini kita memasuki kota Cordoba bertepatan dengan perayaan Dia de la Toma yang digelar setiap awal Januari. Setelah kembali ke Jakarta, saya baru tahu kalau perayaan Dia de la Toma adalah untuk menandai peristiwa jatuhnya Kota Granada ke tangan Kristen pada 2 Januari 1492. Perayaan itu masih terus diselenggarakan selama 523 tahun. Meski Dewan Islam di Spanyol sudah meminta supaya perayaan itu dihentikan, namun pemerintah Spanyol tidak memenuhinya.

Setelah berhasil menyeberang jalan dan menyibak kerumunan, terlihat tembok tinggi menyerupai benteng kota tua. Di depannya ada taman yang cukup luas dengan plaza penuh orang yang sedang duduk-duduk menikmati sore. “Posisi hotel kita di dalam tembok itu,” jelas Pak Rustam sambil terus melihat GPS. Jalanan di balik tembok tinggi itu menyerupai labirin, tak seberapa lebar, berkelok-kelok dan beralas conblock. Ada getar aneh yang berdenyut di hati menyaksikan senja yang mulai lindap di dalam kota tua itu.

Di kiri-kanan terdapat rumah-rumah kuno yang sudah dialihfungsikan sebagai toko souvenir, kafe, spa, hingga hotel. Rumah-rumah itu sangat cantik, berpagar besi tinggi, lengkap dengan taman bergaya abad pertengahan di depannya. Saya bagai terlempar ke masa silam. Tiba-tiba langkah saya terhenti menyaksikan sebuah patung besar, sesosok pria mengenakan gamis khas Arab lengkap dengan surban, duduk sambil memegang buku yang diletakkan di pangkuannya. Saya baca keterangan di bawahnya, tertulis Moses Maimonides 1135-1204. “Maimonides itu bukannya Ibn Maymon, teolog Yahudi yang belajar di Universitas Al Qarawiyyin, di Kota Fes, Maroko yang sempat saya kunjungi sebelumnya?” batin saya. Sesampai di hotel saya segera browsing, dan ternyata benar. Pada masa itu segala hal tentang Islam menjadi tren dan lambang kemajuan, tak heran kalau cara berpakaian pun ditiru oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi.

nH Collection Hotel tempat saya menginap letaknya tak terlalu jauh dari patung itu. Serupa dengan bangunan di sekitarnya, hotel ini juga menempati rumah kuno yang sangat besar. Tak hanya taman cantik di bagian depan, di tengah bangunan terdapat patio, lengkap dengan kursi taman dan bunga aneka warna. Saya membayangkan, di patio seperti inilah dulu para ilmuwan Cordoba berdiskusi dan menghasilkan karya cemerlang yang mereka sumbangkan pada dunia.

Dalam keremangan senja, dari jendela kamar, saya bisa menyaksikan pemandangan di dalam tembok kota tua. Cordoba adalah sebuah nama, namun bagi bangsa Eropa, Cordoba bagaikan alunan nada-nada indah. Dari sinilah kebangkitan peradaban bermula. Kota yang terletak di tepi sungai Al-Wadi al-Kabir, yang dilafalkan orang Spanyol sebagai Guadalquivir ini, mempunyai 70 perpustakaan, 50 rumah sakit, 3.837 masjid, 900 pemandian umum, 80.455 pertokoan, 213.077 rumah rakyat, dan sekolah yang tak terhitung jumlahnya. Dengan jumlah penduduk yang hanya 500.000 jiwa, kesejahteraan mereka sangat berlimpah, pendidikan gratis, semua dapat mengakses fasilitas kesehatan yang sangat maju di zamannya. Tak ada satu pun penduduk Cordoba yang buta aksara, semua bisa membaca dan menulis, bandingkan dengan bangsa Eropa yang kala itu hanya 1-2 orang bangsawan atau tokoh agamanya yang bisa membaca.

Ibn Al-Wardi dalam kitabnya Kharidah Al-Aja’ib menjelaskan, “Keistimewaan kota ini lebih hebat dari yang pernah dijelaskan oleh siapapun. Penduduknya adalah tokoh-tokoh terpandang di dunia, orang-orang terdepan dalam ilmu, pengetahuan, dan cita-cita tertinggi. Di sana berkumpul para ulama, pemimpin yang adil, dan pasukan yang dibanggakan.”

Dari rahim Cordoba lahir para pemikir yang belum tertandingi hingga kini. Sebutlah Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi (930-1013) atau di Barat dikenal sebagai Abulcasis. Kitab Al-Tastif Liman Ajiz’an Al-Ta’lif yang ditulisnya sebanyak 30 jilid, berisi kumpulan praktik kedokteran menjadi rujukan utama di sekolah-sekolah kedokteran hingga abad ke-17. Lebih dari 1.000 tahun yang lalu, ia sudah mampu menghentikan perdarahan saat melakukan operasi pembedahan tengkorak manusia!

Nama lain yang mengubah sejarah dunia adalah Abu Abdullah Muhammad al-Idrisi al-Qurtubi al-Hasani al-Sabti (1100-1165) atau yang sering disebut Al-Idrisi. Dari tangannya lah tercipta peta dunia yang rumit dan paling akurat. Selama berabad-abad petanya terus disalin tanpa ada perubahan. Karyanya ini menjadi rujukan Christopher Columbus dan Vasco Da Gama sebelum melakukan pelayarannya, sekaligus menjadi bukti, pelaut muslim Andalusia telah mencapai benua Amerika, jauh sebelum Columbus. Astronomi dan geografi adalah pengetahuan yang lekat dengan umat Islam. Ilmu astronomi dibutuhkan untuk menentukan arah Kiblat dari negeri-negeri yang jauh. Sedangkan pembuatan peta menjadi kebutuhan untuk menunjukkan arah ke Baitullah.

Di abad modern ini nama Albert Einstein sering dipadankan dengan kata jenius. Padahal apa yang dihasilkannya belum ada apa-apanya dibanding torehan sejarah Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurthubi Al-Andalusi (1126-1198) atau Ibn Rusyd yang di Barat dikenal sebagai Aviroes. Tanpa buah pikirnya, bisa jadi Eropa sekarang masih berada dalam belenggu kebodohan dan kegelapan. “Ibn Rusyd adalah bapak renaissance sejati,” kata Hanum di bukunya 99 Cahaya di Langit Eropa. Kebalikan dari ilmuwan modern yang semakin tinggi ilmunya semakin meniadakan keberadaan Tuhan, Ibn Rusyd bisa menjelaskan dengan sangat jernih, bagaimana pengetahuan mengantarkan manusia tunduk pada kekuasaan Allah. Betapa kerdil manusia dibanding keluasaan ilmu Allah. Sebagai bentuk penghormatan kepadanya, bekas rumah Ibn Rusyd hingga saat ini masih digunakan sebagai pusat kajian Islam di Spanyol.

--------------------------------------

“Mau makan malam sekarang?” tanya Lambang menyadarkan saya dari lamunan.
Saya memberi isyarat dengan anggukan. Sebelum menutup tirai jendela, saya seperti menyaksikan keriuhan Cordoba. Para pencari ilmu hilir mudik membawa kitab-kitab. Para alim duduk di kelilingi murid-muridnya. Cahaya pengetahuan berpendar terang dari bumi Cordoba, kota sejuta cahaya.

Rabbi zidni ilman, warzuqni fahman,
Ya Allah tambahkan kami ilmu dan rezekikan kami pemahaman darinya.


Cordoba, 6 Januari 2015

Uttiek Herlambang


Senin, 17 Agustus 2015

Jatuh Cinta di Alhambra


Laa haula wa laa quwwata illa billaah; tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah.
Hati berdesir, kalimat dzikir yang saya puja itu tertatah dengan indah di setiap sudut, pilar, dinding pualam yang mengelilingi seluruh istana, serupa dengan bordiran halus pada sehelai kain sutra. Subhanallah, bagaimana tangan-tangan terampil itu mengerjakannya, tujuh ratus tujuh puluh tahun yang lalu?

--------------------------------------------------------

Namanya Rodrigo, usianya awal 50-an, badannya tinggi, mengenakan coat panjang dan topi fedora, penampilannya mengingatkan saya pada Inspector Gadget yang diperankan Matthew Broderick. Ia adalah local guide yang akan menemani perjalanan di istana Alhambra pagi ini. Rodrigo meminta kami untuk berkumpul di samping antrean orang-orang yang membeli tiket masuk. Setelah memperkenalkan diri dengan suaranya yang berat dan bahasa Inggris beraksen Spanyol, Rodrigo membagikan earphone, yang nanti akan kita gunakan untuk mendengarkan penjelasannya.

Lambang terlihat merapatkan jaketnya. Ya, hari memang masih pagi, kita meninggalkan hotel pukul 07.00. Pagi hari di musim dingin seperti ini, udara terasa menusuk, apalagi kita berada di alam terbuka. Saya membaca peta yang terletak di depan pintu masuk, terlihat tulisan La Alhambra. Di kejauhan semburat matahari berwarna jingga, perlahan langit mulai terang.

Rodrigo meminta kami berjalan masuk ke gerbang dan menyusuri taman yang jalannya menanjak. Di kanan-kiri terlihat rimbun pepohonan dan parit kecil yang airnya terdengar gemericik. Setelah melalui jalan setapak yang berkelok, sampailah kita di suatu titik yang agak tinggi. Napas saya mulai ngos-ngosan karena jalanan yang menanjak. Rodrigo menunjuk satu tempat dan meminta kita untuk melihatnya. “Subhanallah,” saya terpekik kecil saat di depan mata terhampar istana yang berdiri menjulang, bentengnya yang kokoh berwarna kemerahan. Istana Alhambra, “Alhamdulillah,” batin saya.

Istana Alhambra adalah bagian dari kerajaan Granada, daulah Islam terakhir di bumi Andalusia. Diberi nama Alhamra, yang kemudian dilafalkan oleh orang Spanyol sebagai Alhambra, mengambil nama dari Sultan Muhammad bin Al-Ahmar, pendiri dinasti Al-ahmar. Nama Alhamra juga diambil dari bahasa Arab; hamra’, bentuk jamak dari ahmar yang berarti merah. Saat langit temaram, tembok istana ini memang terlihat berwarna kemerahan, seperti yang saya saksikan pagi itu.

Suara Rodrigo hilang-timbul, tapi saya sudah tidak terlalu memerhatikan penjelasannya. Hati saya terasa ciut menyaksikan keindahan ini. Banyak lengkungan arcade dengan pahatan motif geometris yang menakjubkan di sepanjang jalan yang kita susuri. Patio-patio dengan air yang mengalir adalah refleksi dari keindahan taman surga, yang menjadi ciri landscape taman-taman dalam istana daulah Islam. “… seperti surga dengan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya…” Air ini sangat penting karena terkait dengan ritual wudhu yang harus dilakukan sebelum shalat. Tak heran kalau istana-istana kerajaan Islam selalu dilengkapi dengan air mancur atau kolam air yang sekaligus dijadikan tempat wudhu. Di istana Alhambra, air ini diperoleh dari salju abadi yang ada di puncak pegunungan Sierra Nevada. Dialirkan melalui pipa-pipa yang sangat panjang dan ditampung di dam-dam yang dibangun di beberapa tempat. Sungguh konstruksi bangunan yang sangat canggih, dengan perhitungan matematika dan fisika yang sangat rumit, bahkan untuk ukuran sekarang pun, karena setelah 8 abad, saluran air itu masih berfungsi!

Rodrigo terus menjelaskan bangunan-bangunan yang kita lewati. Cara bicaranya betul-betul mengingatkan saya pada Inspector Gadget. Hingga sampailah kita di bangunan utama yang disebut The Nasrid Palace. Di dalam bangunan ini terdapat paviliun yang digunakan sebagai tempat tinggal istri sultan, aula tempat menerima duta besar, dan sebagainya. Bangunan ini sangat-sangat indah. Sepertinya ini adalah bangunan tercantik yang pernah saya saksikan. Yang membuat hati bergetar adalah dinding pualam dan pilar-pilarnya yang berhias kaligrafi Laa haula wa laa quwwata illa billaah; tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Sudut mata saya terasa hangat, sungguh manusia sangat kerdil, tak ada yang bisa kita lakukan tanpa pertolonganNya.

Alhambra adalah puncak dari teknologi, arsitektur, dan seni yang paripurna. Semua terangkai dalam mahakarya yang sangat indah. Konon Marie Antoinette menginginkan istana serupa saat membangun château de Versailles atau Istana Versailles yang terkenal itu, namun ia tidak mendapatkan yang diinginkannya. Jauh sebelum itu, Charles V, salah satu raja Spanyol mencoba membuat istana yang mirip Alhambra, lokasinya pun dekat sekali, bahkan bisa dikata bersebelahan, namun alih-alih bisa menyamai Alhambra, bangunan itu bahkan tak pernah diselesaikannya sampai ia meninggal, dan pemerintah Spayol merampungkannya di tahun 1990.

Di setiap sudut saya mengambil gambar, Lambang sampai kesal gara-gara saya kebanyakan foto dan tertinggal dari rombongan. Keluar dari bangunan istana The Nasrid Palace, kita berada di The Court of the Myrtles (Patio de los Arrayanes), taman dengan kolam air sepanjang 34 meter. Dari kolam ini kita bisa menyaksikan pantulan istana di dalam air dengan posisi yang presisi. Seakan bangunan istana ini ada dua. Tanpa perhitungan fisika yang rumit, mustahil keindahan itu bisa kita saksikan. Perasaan berdebar-debar menyaksikan keindahan ini membuat saya laiknya orang yang sedang jatuh cinta. Ya, saya, jatuh cinta pada Alhambra!

Istana Alhambra dikelilingi taman yang dinamakan Generalife. Taman ini dulunya adalah kebun sayur. Ada jalan pintas yang menghubungkan istana dengan taman ini. Konon Sang Sultan suka berkuda menikmati keindahan taman. Dari sini saya bisa melihat dengan lebih jelas bangunan istana Alhambra, lengkap dengan bastion yang menjulang. Di bastion itulah Sultan Boabdil, sultan terakhir dari kerajaan Granada menyaksikan pasukan Isabella dan Ferdinand mengepung bentengnya. Tidak ada pilihan lain, ia terpaksa menyerahkan kunci gerbang kota dengan jaminan tidak ada pembunuhan atas rakyatnya dan mereka tetap boleh mempertahankan keimanannya.

Tentu saja janji itu dikhianati oleh Isabella dan Ferdinand yang sejak awal memang berniat menghancurkan umat Islam di Andalusia. Hanya dalam waktu 6 tahun, hampir tak ada yang tersisa. Ada 3 pilihan yang ditawarkan; tetap Islam dan dibunuh, dimurtadkan, atau diusir dari Granada. Mereka yang tebal keimanannya, memilih syahid sebagai syuhada. Para oportunis memilih dimurtadkan asal masih bisa hidup. Dan puluhan ribu lainnya harus dievakuasi ke Maroko, Tunisia dan daerah Afrika Utara lainnya untuk mempertahankan kalimat Tauhid. Pengusiran yang disertai pembunuhan keji, perampasan harta, itu menjadi tragedi yang akan terus tercatat dengan tinta hitam dalam sejarah. Bukan saja sejarah Islam, tapi juga sejarah kemanusiaan.

Sejatinya umat Islam di Granada tak serta-merta menyerah. Kehancuran akibat pertikaian sesama umat membuat daulah Islam di Andalusia yang pernah menyinari dunia dengan peradaban dan pengetahuan tercerai-berai. Satu persatu wilayah berhasil dicaplok pasukan Isabella dan Ferdinand, menyisakan kerajaan-kerajaan kecil yang terpecah belah. Pada kondisi seperti itulah Granada terkepung. Selama tujuh bulan terus terjadi pertempuran. Banyak syuhada yang sahid, namun korban luka dan tewas dari pasukan Isabella dan Ferdinand lebih banyak lagi. Pasukan muslim tetap bersabar sambil berjuang dan berharap pertolongan Allah.

Kondisi ini tidak sama dengan yang dituliskan dalam sejarah Barat, di mana kejatuhan Andalusia digambarkan dengan bobroknya keluarga kerajaan, yang memilih bermaksiat ketimbang memikirkan rakyatnya. Seperti penjelasan Rodrigo, kalau di dalam istana yang indah ini begitu banyak intrik, “Ada salah satu istri sultan yang membunuh puluhan keluarga kerajaan demi mendapat kekuasaan.” Ah, hati kembali perih mengingat Andalusia adalah sejarah yang dibajak dan ditulis semaunya oleh mereka.

Puncak dari perjuangan itu adalah datangnya musim dingin yang berkepanjangan. Umat Islam yang terkepung dalam benteng tidak bisa keluar untuk mendapat suplai makanan. Rakyat kelaparan, banyak yang meninggal karena beratnya musim dingin tanpa pasokan makanan yang cukup. Pada saat itulah qadarullah terjadi, Sultan Boabdil memilih menyerahkan Granada untuk mengakhiri kesengsaraan rakyatnya.

--------------------------------------------------------------

Dari atas bukit, saya melihat jalanan yang berkelok-kelok menuju pegunungan Sierra Nevada. Jalanan itu adalah The Last Moor’s Sigh. Tempat terakhir Sultan Boabdil memandang Alhambra dengan kepedihan yang tak terlukiskan. Dia terpekur sambil berdoa, sampai ibunya yang mendampingi perjalanannya mengeluarkan perkataan yang terkenal itu, “… jangan kau tangisi seperti perempuan untuk sesuatu yang tidak bisa kau pertahankan laiknya laki-laki.”

Qadarullah wama sya'a fa'ala; takdir Allah adalah apa yang dikehendaiNya, dan itu pasti terjadi.

Alhambra, Granada, 5 Januari2015


Minggu, 17 Mei 2015

Berjumpa Antonia di Malaga




... Menginjakkan kaki di Andalusia,
Mulai merasai sederet kepedihan,
Di Malaga, bertemu Antonia, "Tidak ada satu pun masjid yang tersisa. Semua sudah dihancurkan."
Di Granada, melihat bir yang dinamai Alhambra Mezquita (Masjid Al Hambra) dijual seharga €3.
"Ummati...Ummati… -Umatku, umatku-," kata Rasulullah jelang ajal. Mungkin ini yang diresahkannya.
Sungguh, saya gelisah...

-------------------------------------------------------------

Saya hirup dinginnya udara Eropa dalam-dalam. Terasa sejuk dan segar. Kota Tarifa hanya kita lintasi untuk urusan imigrasi dan makan siang. Setelah itu bus kembali melaju membelah jalan beraspal mulus sejauh 152 km, dengan kincir angin berderet di sepanjang kiri-kanan jalan. Sesekali terlihat apartemen-apartemen bercat putih yang tertata rapi. Lalu-lintas terlihat sepi siang itu. Orang Spanyol mempunyai kebiasaan istirahat siang yang disebut siesta. Kebiasaan itu masih berlangsung hingga sekarang. Tak heran kalau waktu istirahat siang jalanan terasa lengang.

Malaga adalah kota tujuan pertama. Kota yang tertulis dalam memoar Ibn Batutah saat melakukan perjalanan ke Andalusia ini dulunya adalah pelabuhan penting bagi Kesultanan Granada. Posisinya berbatasan langsung dengan Cordoba di sebelah utara dan Granada di timur. Menjelang sore kita tiba di Calle Marqués de Larios, salah satu pusat perbelanjaan yang ada. Sepotong jalan yang ramai ini dipenuhi café dan butik-butik brand ternama.  Juan, supir bus yang menemani selama perjalanan di Spanyol, dengan bahasa Inggris terpatah-patah menjelaskan kalau local guide yang bernama Antonia akan menemui kita di ujung perempatan.

Lima menit berlalu, Juan terlihat gelisah memandang handphone-nya. Ia hanya bisa menghentikan bus tak lebih dari lima menit di pinggir jalan itu. Saya memandang keramaian dari dalam bus. Terlihat beberapa patung yang berdiri gagah di kiri-kanan jalan. Spanyol, seperti halnya kota- kota di Eropa lainnya, banyak memajang patung di sepanjang jalan. Senja mulai lindap, kota kelahiran seniman Pablo Picasso ini terlihat cantik.

Perempuan gemuk berambut pirang itu tergopoh-gopoh berlari menuju bus. Juan membuka pintu hidrolik dan membiarkannya masuk. Setelah bicara dengan cepat ke Juan dan dijawab, “Si…si –ya, ya,” berulang kali, ia memperkenalkan diri dan meminta kita segera turun dari bus. “Anyone want to toilet?” Tanyanya memulai percakapan. Hampir semua menjawab, ”Yes.” Ia lalu menunjuk salah satu café yang ada di ujung jalan dan meminta kita untuk ke lantai duanya, di sana ada toilet yang bisa digunakan.

Sambil menunggu yang lain berkumpul, Antonia memulai penjelasannya. Suaranya ceria, mimik mukanya ikut bergerak mengikuti intonasi suaranya. Sesekali ia mengangkat tangan, menggerakkan bahunya untuk mempertegas sesuatu. Diawali dengan sejarah kota Malaga, para tokohnya, sampai kemudian Daulah Umayyah Andalusia. Saya terkesiap ketika mendengar ia mengatakan, Abdurahman I karena dendamnya pada Bani Abbasiyah lalu membuat kiblat Masjid Cordoba tidak menghadap ke Ka’bah yang ada di kota Mekkah, melainkan agak menyerong, supaya tidak sama dengan yang dilakukan Daulah Abbasiyah di Baghdad.

Saya langsung angkat suara dan mendebatnya. Tidak seperti itu sejarahnya. Ketika masjid itu dibangun, ada gereja kecil di dekatnya. Bila seluruh bangunan akan dibuat menghadap ke arah Mekkah, maka gereja itu harus dihancurkan. Abdurrahman Ad-Dakil tidak menginginkan itu. Ia membiarkan gereja itu tetap di tempatnya. Meskipun bangunan masjid dari luar tidak lurus ke arah Mekkah, namun mihrab maupun shaf di dalamnya tetap menghadap kiblat. Abdurrahman Ad-Dakil atau Abdurrahman I adalah pemimpin yang adil. Bahkan, sekalipun Islam dengan segala cara coba dilenyapkan dari Spanyol, tapi masyarakat di sana mempunyai satu perayaan untuk menghormati Abdurrahman I yang masih diselenggarakan hingga kini.

“Enggak asyik ah, orang ini, memberikan informasi banyak yang salah,” kata saya pada Lambang.
Semakin saya pancing dengan beragam pertanyaan, semakin banyak jawaban Antonia yang tidak sesuai. “Sepertinya kamu banyak tahu tentang Daulah Umayyah,” cetus Antonia.
“Kalau tentang arah kiblat Masjid Cordoba, ini bukan sekadar tentang sejarah Daulah Umayyah, tapi ini masalah prinsip. Kami tidak mungkin salat menghadap bukan ke arah Ka’bah. Itu prinsip,” tegas saya.

Rombongan terus berjalan menyusuri jalan-jalan kecil di belakang pusat perbelanjaan. Rupaya di balik bangunan-bangunan modern itu tersembunyi kota tua. Beberapa peninggalan bersejarah, sejak zaman Romawi hingga masa Islam ada di sana.
It was a mosque,” seru Antonia pada rombongan.
Deeengg… Deengg
Langkah saya terhenti. Jantung saya berdegup kencang. Saya mendongak ke atas, menatap ke minaret di mana lonceng itu berdentang. Hati terasa perih. Dulu, dari atas minaret itu pastilah sang muadzin mengumandangkan adzan lima kali sehari.
“Ada berapa masjid di sini, Antonia?” Tanya saya.
“Tak ada satupun. Semua sudah dihancurkan atau digunakan sebagai gereja, seperti yang ada di depan kita,” jawabnya.

-----------------------------------------------

“Kapan kita bisa belanja?”, “Rebajas itu sale, kan?” Satu dua rombongan mulai bersuara. Antonia lalu memberi waktu untuk berbelanja dan menunjuk satu tempat sebagai meeting point. Sekaligus ia mengingatkan rombongan untuk on time, karena Juan nanti akan menjemput di pinggir jalan, dan bus tidak bisa berhenti lama di tempat itu. Semua berpencar. Saya sudah kehilangan selera. Bersama Antonia saya tetap berdiri di depan tembok sisa bangunan masa Islam yang di bawahnya adalah reruntuhan bangunan Romawi.

I knew you’re journalist,” katanya tiba-tiba, “Your husband told me,” lanjutnya saat melihat saya mengerutkan dahi. Saya tersenyum.
Dia pasti tahu, banyak hal yang saya tidak sepaham dengan penjelasannya. Dari sini pula saya mulai mengerti bahwa sejarah Andalusia secara sistematis dibelokkan. Informasi yang diterima Antonia adalah informasi yang diterima orangtuanya, kakek-neneknya, buyutnya, dan seterusnya. Itu yang ia tahu, dan itu yang ia sampaikan pada orang-orang, pada anaknya, cucunya, mungkin buyutnya. Informasi itu pula yang akhirnya sampai pada generasi muda muslim. Tanpa coba menggali, lalu dipercaya sebagai kebenaran. Oh, Andalusia…

“Saya percaya, Tuhan tidak menyuruh manusia untuk saling memusuhi. Itu kerjaan manusia saja yang membuat permusuhan di sana-sini,” katanya lagi, seperti mengerti suasana hati saya yang tidak nyaman.
Saya tersenyum, “Kamu beragama, Antonia?” Tanya saya.
“Saya percaya Tuhan, tapi saya tidak memilih satu agama pun,” jawabnya. “Selama saya berbuat baik, saya yakin Tuhan pasti mengerti.”

Sekali lagi saya tertegun. Perbincangan dengan Antonia ini mengingatkan saya pada salah satu adegan di film “99 Cahaya di Langit Eropa” saat Rangga mencoba mendamaikan temannya, Steven yang ateis dengan Khan, seorang muslim yang taat. “Yang kalian butuhkan adalah dialog. Saling bicara. Coba mengerti,” katanya. Sepertinya kata-kata Rangga itu pas betul untuk situasi saya dengan Antonia. Lalu saya mengulang kalimat itu, “What we need is dialog, understanding each other and we’ll living in harmony,” cetus saya.
Yes, I’m agree, Dear,” jawabnya.

Matahari sudah beranjak ke peraduan, ketika Antonia meminta rombongan segera bergegas menuju meeting point untuk menunggu bus. Saya berjalan bersisihan dengannya. Obrolan dan perdebatan membuat saya dan Antonia menjadi akrab. Ia lalu bercerita tentang pengalamannya membawa turis dari berbagai negara. Turis Korea selalu terburu-buru melakukan semua hal, namun tak pernah lupa mengucapkan “Ahnyong haseo” sambil berlari-lari ke sana-ke mari. Atau turis Jepang yang selalu membatasi semua kegiatan dalam waktu 5 menit. Ia menceritakannya dengan gaya yang sangat kocak. Saya dibuatnya tertawa terbahak-bahak.

Ia lalu berhenti di tukang kacang yang berjualan di pinggir jalan. Diambilnya dua kantong. Salah satunya disodorkan pada saya sambil mengatakan, “Almond bersalut gula ini adalah tradisi Bangsa Moors (sebutan untuk Bangsa Arab di Andalusia). Mereka mewariskan pada kami bagaimana memasak yang enak dan banyak hal lainnya. Beberapa bahkan masih terus digunakan sampai saat ini. Seperti cara mengolah almond ini,” katanya. Saya menerima kantong kacang darinya sambil mengucapkan, “Gracias.” Saya tersenyum, sepertinya Antonia tak sekadar menawarkan kacang, tapi juga pertemanan.

“Antonia, saya punya buku tentang Andalusia yang sangat lengkap. Apa yang ditulis di buku itu banyak yang tidak sama dengan penjelasanmu. Kalau saya menemukan terjemahannya dalam Bahasa Inggris, saya akan mengirimkannya untukmu. Mungkin bisa menjadi pembanding. Boleh saya minta alamat e-mailmu?”
Sure,” jawabnya sambil menuliskan alamat e-mail di notes yang saya sodorkan.

Maka, saya akan terus menulis tentang Andalusia. Bukan sekadar mencatat perjalanan ini, namun informasi ini harus terus ada yang menuturkannya.


Malaga, 4 Januari 2015

Uttiek Herlambang

Sabtu, 21 Maret 2015

Assalamualaikum Andalusia

Nama Thariq ibn Ziyad selalu dikaitkan dengan peristiwa pembakaran kapal-kapal di Jabal At-thariq (Gunung Thariq) yang kemudian dilafalkan menjadi Gibraltar. Syahdan setelah berlabuh, kapal-kapal yang membawa pasukannya ia perintahkan untuk dibakar. Hanya ada dua pilihan untuk pasukannya; tenggelam di lautan yang ada di belakangnya, atau menghadapi pasukan musuh yang ada di depan. Peristiwa yang tidak pernah terjadi itu dituturkan dari generasi ke generasi sehingga dipercaya sebagai sebuah kebenaran.

---------------------------------------------
Setahun lebih saya mempersiapkan perjalanan ke Andalusia ini. Tepatnya sepulang dari umrah Ramadhan, saya mulai membaca banyak buku sebagai referensi. Ada satu kebiasaan saat mencari bahan tentang sejarah Islam. Saya selalu memulainya dengan buku “Sejarah Umat Islam” karya Prof. DR. Buya Hamka. Buku setebal 961 halaman ini menurut saya adalah magnum opus Buya, setelah Tafsir Al-Azhar yang termasyur itu. Konon berpeti-peti kitab digunakannya sebagai bahan penulisan. Buku ini ditulis selama 22 tahun, dimulai di Maninjau tahun 1939 dan diselesaikan di Jakarta tahun 1961, selama itu pula peti-peti kitab itu selalu dibawa ke manapun Buya berpindah-pindah tempat.

Sebenarnya saya agak bingung setelah membaca bab Andalusia di buku itu. Bukan saja Buya hanya menulisnya sebanyak 12 halaman, untuk sejarah panjang yang lebih dari 8 abad, tapi tulisannya terasa seperti surat seorang yang sedang “patah hati”. Mindset saya tentang Andalusia adalah negeri sejuta cahaya, tempat segala hal hebat berawal. Tapi mengapa membacanya di buku ini terasa sangat miris? Nanti setiba di Andalusia, barulah saya temukan jawabnya.

Saya bersyukur, di Islamic Book Fair tahun 2014, saya sempat membeli buku “Bangkit dan Runtuhnya Andalusia”, karya DR. Raghib As-Sirjani. Buku setebal 879 halaman ini, seperti sepotong tiramisu yang sayang kalau langsung dihabiskan. Hampir setiap malam, sepulang dari kantor, saya tenggelam membaca berlembar-lembar halaman, sambil menandai dengan stabilo bagian-bagian yang penting. Rasanya dulu waktu mengerjakan skripsi pun saya tidak seserius ini. Saya sangat bersyukur mendapat referensi yang sangat detail dari buku itu.

Perjalanan ke Andalusia sejatinya adalah mengonfirmasi sejarah. Banyak umat Islam, terutama generasi muda, tidak paham bahwa Islam pernah menyinari dengan cahaya terang di wilayah yang sekarang bernama Spanyol, Portugal dan sebagian Prancis. Informasi yang beredar, terutama di internet, banyak yang isinya sampah, alias menyesatkan. Semangat itu semakin terlecut kala membaca bukunya Hanum, “99 Cahaya di Langit Eropa”, “… Kalau ada waktu, wakililah Bapakmu ini menyaksikan Cordoba dan Granada.” Sudut mata saya terasa hangat setiap membaca bagian itu, kalau bisa terucap, mungkin kalimat yang sama akan disampaikan Papi pada saya.   

----------------------------------------------------------

Tak terasa ini adalah hari terakhir di benua Afrika. Pagi ini, setelah menyaksikan pertemuan laut Mediterania dan Samudera Atlantik dari mercusuar, bus melaju perlahan menuruni bukit menuju pelabuhan. Jalanan berkelok-kelok melewati vila-vila cantik dengan deretan pohon pinus di kiri-kanan jalan. Saya membayangkan dari atas bukit itu pula Musa bin Nushair dan Thariq ibn Ziyad mengatur strategi untuk mendaratkan pasukannya di seberang lautan.

Bus berhenti di tempat parkir pelabuhan. Azis menjelaskan beberapa hal sebelum kita melintas di batas imigrasi. Dermaga ini terlihat tidak terlalu luas, kurang lebih seperti Marina-Ancol. Ada beberapa kapal cepat bersandar. Bangunan yang paling besar diperuntukkan sebagai ruang imigrasi, loket penjualan tiket, ruang tunggu, dan café. Ada juga money changer dan toilet umum di dekatnya. Waktu masih cukup longgar, saya dan Lambang memutuskan menunggu di café sambil menyesap teh Maroko.

Rombongan menyeberang dari Tanger menggunakan feri cepat menuju pelabuhan Tarifa. Kita tidak bisa mendarat persis di Gibraltar, karena saat ini Gibraltar berada dalam kekuasaan Inggris. Butuh visa yang berbeda dengan visa Schengen yang saya pegang. Visa Schengen hanya berlaku untuk masuk ke negara-negara Eropa kecuali Inggris. Tapi bukan berarti kota Tarifa ini tidak penting. Pasukan pembuka yang dikirim Musa bin Nushair pertama kali mendarat di tempat ini. Pemimpinnya adalah Tharif bin Malik, namanya diabadikan untuk menandai kota ini hingga sekarang: Tarifa.  

Koper-koper besar disimpan di lambung kapal. Di dalam feri penumpang boleh memilih tempat duduk sendiri. Tidak ada nomer kursi. Saya memilih duduk di dekat jendela. Lambang berbagi tempat duduk dengan serombongan anak muda Maroko. Mereka berbincang dalam bahasa Arab amiah yang sulit diikuti, karena bercampur dengan logat Prancis. Belum lama duduk, masing-masing dari mereka mengeluarkan uang koin dari kantongnya, lalu satu orang mengumpulkannya di atas koran. Jumlah koinnya lumayan banyak. Saya sampai membatin, apa mereka ini semacam "Pak Ogah" atau tukang parkir, kok, punya koin sebanyak itu. Sepertinya uang itu dikumpulkan untuk jajan.

Di dalam feri tersedia cafe yang menjual kopi, teh, soft drink dan aneka camilan. Semua dibanderol dalam Euro. Muffin dan donat dijual €3, sandwich €5,75. Sekalipun belum beranjak dari pelabuhan Tanger, namun mata uang Dirham Maroko sudah tidak bisa digunakan. Tersedia pula business lounge dengan membayar €9. Tak berapa lama terdengar peluit panjang, tanda kapal segera berlayar. Sebelum beranjak, disampaikan instruksi keselamatan dalam bahasa Spanyol, Prancis dan Inggris.

Sepanjang perjalanan terbentang laut yang tenang, makin lama perbukitan yang mengelilingi kota Tanger makin samar terlihat. Saya menikmati pemandangan itu dari jendela kapal. Sekalipun tadi pagi suhu udara di bawah 5 derajat, namun siang ini udara terasa hangat. Awalnya saya berencana minum Antimo, karena biasanya saya mabuk laut. Namun entah kenapa saya tidak merasa mual. Mungkin karena lautnya tidak terlalu berombak, atau hati saya yang sedang riang? Di kejauhan mulai terlihat bayangan perbukitan Gibraltar.

Mungkin pemandangan seperti ini pula yang disaksikan Thariq ibn Ziyad dan pasukannya dari atas kapal. Jumlah mereka sebenarnya tak terlalu banyak, hanya sekitar 12.000. Karenanya Barat membutuhkan pembenaran, bagaimana pasukan yang hanya 12.000 bisa mengalahkan mereka yang berjumlah 100.000, di negeri yang sama sekali asing, dengan kondisi geografis yang sangat berbeda. Tak ada yang lebih tepat dari menghembuskan “dongeng” pembakaran kapal itu, sehingga terasa alamiah sekali kalau pasukan Thariq ibn Ziyad akhirnya menang; karena memang tak punya pilihan!

Padahal sejak kapan para syuhada membutuhkan “penyemangat” seperti itu? Tak ada yang lebih mereka inginkan selain syahid di jalan Allah. Kala itu panggilan jihad layaknya panggilan shalat Jumat. Semua laki-laki berbondong-bondong menyambut seruan itu tanpa keraguan sedikitpun. Mereka adalah manusia-manusia terpilih, di siang hari mereka bertempur seakan tidak ada setitikpun rasa takut. Di malam hari mereka menjelma menjadi ahli ibadah, khusuk bermunajad dalam rekaat-rekaat yang panjang di setiap Tahajudnya. Komandan pasukan yang pertama kali bertemu dengan pasukan Thariq ibn Ziyad dalam suratnya pada Roderic, penguasa Spanyol pada saat itu menuliskan, “Apakah pasukan ini berasal dari penduduk bumi atau penduduk langit?”

Mereka tak pernah berpikir ada pasukan perang sebaik itu, sangat berdisplin, mempunyai kemampuan militer yang andal, namun sangat beradab. Tak seperti penjajah yang pernah dijumpai sebelumnya. Pasukan ini sama sekali tidak merampas atau mengambil kekayaan, tidak menyerang wanita, orangtua dan anak-anak. Tujuannya hanya satu, menegakkan kalimat Lā ʾilāha ʾillā-Allāh, Muḥammadun rasūlullāh. Ketika cahaya terang itu mereka tolak, ditawarkan untuk membayar jizyah dan mereka tetap bisa hidup tenang dengan harta dan keyakinannya. Jizyah tidak sama dengan pajak atau upeti. Jizyah hanya berlaku untuk laki-laki dewasa dan yang mampu. Wanita, anak-anak, orangtua dan orang miskin tidak berkewajiban. Jumlahnya pun jauh lebih kecil dari kewajiban zakat umat Islam yang besarnya 2,5% dari kekayaan yang telah mencapai nisab dan haul. Aturan mulia itulah yang membuat pasukan Thariq ibn Ziyad disambut sebagai pembebas, karena dinilai lebih adil ketimbang penguasa mereka yang lalim.

Setelah terombang-ambing selama 35 menit, kapal mulai mengurangi kecepatan, dan akhirnya berhenti. Saya lemaskan otot kaki sebelum antre keluar. Pelabuhan Tarifa tidak lebih besar dari Pelabuhan Tanger, namun sedikit lebih ramai. Antrean di imigrasi cukup panjang. Berbeda dengan perjalanan di Asia maupun di Afrika, di Eropa kita harus “mandiri”. Tak ada porter di pelabuhan ini, koper-koper besar harus dibawa sendiri sampai ke bus.

Alhamdulillah, akhirnya saya hirup udara Eropa. Rasanya berdebar-debar tak sabar ingin segera memulai perjalanan ini. Apakah Cordoba masih berpendar cahaya? Seperti apa Mezquita? Semolek apa istana Alhambra?

Assalamualaikum Andalusia...



Tanger-Tarifa, 4 Januari 2015

Senin, 02 Maret 2015

Tanger Kota Sang Pengelana

Dari kota ini perjalanan Sang Pengelana Ibn Batutah dimulai: Tanger. Titik tolaknya adalah Kota Suci Mekkah. Terus melangkah hingga melewati Hindustan dan singgah di Samudra Pasai-Aceh. Dalam perjalanannya, beberapa kali ia kembali ke Mekkah. Semua tertuang dalam kitab fenomenal Ar-Rihlah. Perjalanan yang ditempuhnya berkali lipat dari rute Marcopolo. Enam ratus lima puluh tahun sebelumnya, dari tempat ini pula Sang Panglima Thariq ibn Ziyad dilahirkan. Kota ini penuh jejak sejarah. Bahkan Tintin pun sempat mampir ke Tanger.

-------------------------------------------------

Wuuusss… Hembusan udara dingin langsung terasa begitu pintu hidrolik bus terbuka. Malam belum larut, namun gelap telah pekat sempurna. Suara debur ombak terasa sangat dekat. “Sepertinya di depan itu laut, deh, suara ombaknya deket banget,” cetus saya pada Lambang. Perjalanan darat dari Fes ke Tanger cukup melelahkan, hampir lima jam melalui jalan bebas hambatan. Tanger dalam bahasa Prancis, Spanyol dan Portugis, atau Tanjah dalam bahasa Arab, dan Tangier dalam bahasa Inggris, adalah kota terakhir di Afrika yang akan kita lalui sebelum menyeberang ke Eropa melalui selat Gibraltar.

Satu per satu rombongan turun dari bus. Semua merapatkan jaket sambil berlari kecil masuk ke dalam hotel. Di lobby hotel udara terasa hangat. Di sudut lobby ada lemari pajangan yang membuat saya sedikit terkejut, isinya semua hal tentang Tintin. Komik karya Georges Remi (1907–1983) yang dituliskan menjadi RG (dibaca Hergé dalam bahasa Perancis) ini dalam salah satu ceritanya sempat mampir ke Tanger. Tintin à Tanger, judulnya dalam bahasa Prancis. Pastilah kota ini istimewa, batin saya.

Karena sudah lapar, saya dan Lambang memutuskan untuk makan malam dulu sebelum masuk ke kamar. Makanan yang saya suka selama di Maroko adalah roti khubs, semacam roti gandum, tak beragi, bentuknya gepeng bulat besar. Saat digigit terasa renyah, namun setelah dikunyah barulah lembut di lidah. Khubs adalah makanan pokok, ibarat nasi bagi orang Indonesia. Biasanya dihidangkan dengan cara dipotong-potong menjadi beberapa bagian dengan potongan menyerupai pizza. Dimakan begitu saja, tanpa lauk apa pun, rasanya sudah nikmat, apalagi disantap selagi hangat. Hhhmmm… Tak terasa beberapa potong roti khubs beserta pelengkapnya telah berpindah ke perut. Saya harus segera beristirahat karena esok pagi akan melanjutkan perjalanan yang cukup jauh.

-----------------------------------------

Dugaan saya semalam ternyata benar, persis di depan hotel terhampar laut yang biru. Pagi ini sedikit berkabut, dengan udara dingin yang menggigit, sehingga suasana sedikit dramatis. Tanger adalah kota bersejarah. Banyak orang-orang hebat yang berasal dari tempat ini. Termasuk Sang Pengelana Ibn Batutah. Sepanjang hayatnya, putra saudagar kaya ini menghabiskan waktunya dengan berkelana, menjelajah banyak negeri.

Saya membayangkan, enam ratus tahun yang lalu, tepatnya tahun 1325, di pagi yang sedingin ini, di balik kabut itu Ibn Batutah memulai perjalanannya. Meninggalkan negeri dan orang-orang yang dicintainya. Tujuan utamanya adalah kota suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu kakinya terus melangkah, tak kurang 44 negara disinggahinya. Dari Mesir, Syam (Syria-Palestine sekarang), Hijaz, Persia, Turkistan, Hindustan, Tiongkok, hingga Samudra Pasai-Aceh. Total  27 tahun waktu yang dihabiskannya. Semua itu tertuang dalam kitab Tuhfah An-Nuzhzhaar fi Graraa’ib Al Amshaar wa ‘Ajaa’ib Al-Asfaar atau yang dikenal sebagai Ar-Rihlah. Sejatinya bukan ia sendiri yang menuliskan catatan perjalanan itu, namun ia mendiktekan kisahnya pada Muhammad Ibn Juzai Al-Kalbi.

Banyak hal-hal ajaib yang dikisahkannya. Deskripsinya tentang negeri-negeri yang dilalui sangat fantastis. Meski sudah membaca buku terjemahannya setebal 610 halaman, saya masih penasaran dengan kitab aslinya. Saat kursus bahasa Arab di Universitas Al-Azhar Indonesia, salah satu tujuan saya, selain tentu saja bisa bercakap dalam bahasa Arab, saya ingin membaca kitab Ar-Rihlah dalam bahasa aslinya. Saya tak bisa membayangkan, pada masa itu ada seseorang yang bisa menjelajah sedemikian jauhnya. Untuk ukuran sekarang pun, rute yang yang dilaluinya sangat luar biasa. Buat saya, perjalanan ke Maroko ini sangat jauh, padahal naik pesawat. Saya juga pernah ke Aceh, bahkan dari Jakarta pun menurut saya sudah jauh. Dan enam abad yang lalu Ibn Batutah bertualang dari Maroko sampai ke Aceh! Subhanallah…

Tak hanya Ibn Batutah, Sang Pahlawan Thariq ibn Ziyad juga berasal dari Tanger. Ia lahir tahun 670, sebagai putra pemimpin suku Berber. Beberapa literatur menyebutkan, Thariq berparas rupawan, badannya tinggi tegap, berkulit putih bersih dan bermata biru. Laiknya gambaran pria Spanyol sekarang. Namun yang terpenting adalah semangatnya untuk berjihad di jalan Allah. Dia adalah panglima yang memiliki gabungan antara rasa takut pada Allah, sikap wara’,  kecerdasan menyusun strategi militer, dan keinginan untuk syahid di jalan Allah. Tak salah bila Musa bin Nushair memilihnya sebagai panglima pembebaskan Andalusia.

Kemenangan demi kemenangan yang diperolehnya di tanah asing yang sama sekali belum pernah dikenalnya, tak membuatnya lalai akan tujuan semula. Ide untuk membebaskan Andalusia sebenarnya sudah dimulai sejak masa Utsman bin Affan sebagai jalan menuju penaklukan Konstantinopel. Sekalipun telah berhasil mengepungnya, namun Allah belum izinkan Islam mengibarkan benderanya di sana. Konstantinopel tidak bisa ditaklukkan dari laut. Andalusia adalah salah satu jalan yang bisa diretas.

Dalam perjalanan panjang, satu per satu negeri berhasil dibebaskannya, dari Ecija, Granada, Cordoba, Alboera, Malaga, Zaragosa, dan banyak lagi. Pasukan Thariq ibn Ziyad makin lama makin besar dan kuat. Jumlahnya terus berlipat. Namun semua itu tak mengikis kesetiaannya pada Khilafah Ummayah di Damaskus. Saat pasukannya telah mencapai Prancis Barat, Amirul Mukminin Al Walid bin Abdul Malik meminta Musa bin Nushair dan Thariq kembali ke Damaskus. Penarikan pasukan ini bukan tanpa alasan, sebab sang Khalifah mendengar rencana setelah membebaskan seluruh wilayah Eropa, pasukan ini akan melangkah ke Itali, lalu ke Yugoslavia, Rumania, Bulgaria, sampai Konstantinopel dari arah barat. Pergerakan ini terlalu membahayakan, karena bila terjadi sesuatu, bala bantuan dari Damaskus maupun Maroko terlalu jauh untuk menyusul mereka. Sekalipun tidak sampai menaklukkan Konstantinopel, namun percapain mereka telah terukir dalam sejarah dengan tinta emas.

Saya tersadar dari lamunan saat sayup-sayup mendengar suara Azis yang meminta rombongan segera masuk ke dalam bus. Tujuan pertama kita adalah mercusuar di atas bukit untuk menyaksikan batas bertemunya laut Mediterania dan Samudera Atlantik yang memiliki kadar garam yang berbeda, namun keduanya tidak tercampur. Sungguh Allah menunjukkan kekuasanNya pagi itu, batas kedua laut itu terlihat jelas  seperti yang  tertuang dalam QS. Ar-Rahman:19, Dia biarkan air dua laut mengalir, sedang keduanya pula bertemu.

Dari tempat saya berdiri, hamparan birunya laut terlihat sangat tenang. Seakan saya bisa menyaksikan kapal-kapal pasukan Thariq ibn Ziyad membuang sauh menuju Andalusia. Derap kaki kuda, gema takbir yang bertalu-talu, lantunan shalawat yang menderas, rapatnya barisan seperti rapatnya shaf salat. Sudut mata saya terasa hangat. Sungguh saya ingin berada di sana, berada di antara pasukan terbaik itu…


Tanger, 4 Januari 2015


Uttiek Herlambang