Selasa, 22 Desember 2015

Mencari Lembah Barbate


Sejarah mencatat, pertempuran di Lembah Barbate adalah pertempuran terhebat setelah Perang Yarmuk. Pasukan Thariq ibn Ziyad yang hanya 12.000 berhasil mengalahkan pasukan Roderic yang berjumlah 100.000 tepat di gerbang rumah mereka.

----------------------------------------------------------

Bulu kuduk saya terasa meremang. Pemandangan di sore yang gelap ini terasa seperti déjà vu. Jembatan kokoh dengan bastion menjulang, rongga-rongga pemecah arus sungai, udara dingin yang berkabut. Di mana saya pernah menyaksikan pemandangan seperti ini? Saya berusaha keras untuk mengingat, tapi tidak berhasil. Mungkinkah saya pernah ke sini sebelumnya? Tentu saja tidak! Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Eropa. Batin saya terus berbantahan.

Sore belumlah terlalu tua, namun cuaca di musim dingin seperti ini membuat langit lebih cepat gelap. Seorang perempuan jangkung, berambut keriting kemerahan, berdiri di depan pintu bus. Tak lama terdengar suara pintu hidrolik yang dibuka Juan. Keduanya lalu bercakap dalam bahasa Spanyol yang cepat. “Si…si,” kata perempuan itu sambil menghidupkan mic dan mulai memperkenalkan diri. Namanya Carmen, ia yang akan menjadi local guide selama di Toledo sampai Madrid.

Anyone wants to toilet?” katanya sambil menunjuk kafe di seberang jalan yang bisa digunakan. Sekalipun tidak ingin ke toilet, tapi saya tetap turun dari bus dan berdiri di pinggir jembatan. Saya masih penasaran, mengapa rasanya saya pernah berada di sini? Memori ini masih lekat hingga kini dan menyisakan tanya yang tak terjawab. Mungkinkah karena saya sedang mencari Lembah Barbate?

Ya, Lembah Barbate atau Lembah Lakka (Lacca) adalah lokasi pertempuran Sang Pahlawan Thariq ibn Ziyad dengan Roderic penguasa kerajaan Ghotic. Lembah itu posisinya sebelum kota Toledo yang menjadi ibukota kerajaan sekaligus kota terbesar pada masa itu. Sejarah mencatat, pertempuran di Lembah Barbate adalah pertempuran terhebat setelah Perang Yarmuk. Pasukan Thariq ibn Ziyad yang hanya 12.000 berhasil mengalahkan pasukan Roderic yang berjumlah 100.000 tepat di gerbang rumah mereka.

Pertempuran yang berlangsung sejak 28 Ramadhan 92H/19 Juli 711 M itu tak terlukiskan kedahsyatannya. Tiga ribu syuhada menjemput kesyahidannya dengan senyum. Takdir Allah atas kemenangan pasukan muslim seiring suara takbir menyambut datangnya hari raya Idul Fitri, hari kemenangan. Jatuhnya kota Toledo menandai lapangnya jalan pembebasan semenanjung Iberia. Di sinikah Lembah Barbate? Inikah tanah yang disuburkan dengan darah para syuhada?

Saya mencoba mencari tahu dengan bertanya pada Carmen tentang keberadaan Lembah Barbate. Ia mengernyitkan dahi tanda tidak tahu. Ia hanya membenarkan bahwa Toledo, kota yang akan segera kita masuki sore ini adalah bekas kerajaan Roderic. Saya tersenyum kecut, pengalaman di Granada dan Cordoba kemarin menyadarkan saya, bahwa segala hal yang berbau sejarah Islam coba untuk dikaburkan di sini. Apalagi ini adalah sejarah kemenangan Islam.

--------------------------------------------------

Sekarang ini Toledo hanyalah kota tua yang tak terlalu “penting”, setelah ibukota Spanyol dipindahkan ke Madrid. Namun kota kecil ini ibarat Yogyakarta, lekat dengan jejak sejarah dan sangat indah. Bus terus melaju membelah bukit, jalanan berkelok-kelok naik turun, Carmen menjelaskan bangunan-bangunan yang kita lewati, hingga sampailah di depan benteng kota tua. Ia lalu meminta kita semua turun dari bus.

“Subhanallah. Salju,” saya terpekik kecil. Lambang menoleh lalu melihat ke arah rumput yang ada di depan. Terlihat kristal es yang membeku di atas tanah dan bebatuan. Ini adalah kali pertama saya melihat salju sungguhan. Ada desiran aneh tiba-tiba muncul di hati. Sejak lama saya bercita-cita ingin melihat salju pertama kali di Lebanon, namun ternyata Allah pilihkan Toledo. Tapi Biidznillah, suatu hari nanti saya akan melihat salju di Lebanon. Lalu terdengar komentar, “Wah, sudah ada salju.” “Ayo foto dulu di atas salju.” Dingin semakin menusuk tulang.

Carmen mengajak rombongan memasuki gerbang kota tua. Di depan ada escalator yang sangat tinggi, rasanya setinggi bangunan tiga atau empat lantai. Pastilah dulunya ini perjalanan mendaki bukit, tapi sekarang sudah dipermudah dengan escalator. “Ini nanti kalau kita turunnya lewat sini juga, lalu escalatornya pas mati, keren banget nih,” celetuk saya pada Lambang.

Di ujung escalator terlihat plaza yang luas. Banyak orang berkumpul dan menikmati pemandangan di bawah. Jalanan dilapisi bebatuan rapi, sekilas seperti jalanan di film Les Misérables. Carmen terus berjalan cepat sambil menjelaskan ini-itu. Saya berusaha menjajari langkahnya. Ini benar-benar seperti film Les Misérables, jalanan gelap, dingin, dengan bangunan tua di kiri-kanan. Suasana bertambah “seram” karena rata-rata bentuk bangunan di kota tua ini berarsitektur Gothic, laiknya di film-film horor.

“Di Toledo ini dulunya banyak sekali gereja, namun kini sudah banyak yang dialihfungsikan karena kosong, tidak ada yang menggunakan,” tuturnya. Ini adalah fenomena yang jamak di Eropa, rumah ibadah itu ditinggal umatnya dan menyisakan bangunan yang mangkrak, hingga akhirnya harus dialihfungsikan. Tiba-tiba tergelitik tanya, “Carmen, tadi kamu bercerita kalau di kota ini dulu umat Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai? Benar, kan? Lalu mengapa Issabel dan Ferdinand memaksa mereka untuk mengubah keyakinannya, bahkan dibunuh atau diusir dari kota ini kalau tetap memilih menjadi muslim atau yahudi?” Hening sesaat. “This young women have a good question,” katanya meminta perhatian rombongan. Saya merasa tidak enak karena semua melihat ke arah kami. “Kenapa, sih, dari kemarin mempermasalahkan hal ini terus?” Mungkin begitu batin mereka.

“It’s all about politic,” lanjut Carmen. Menurutnya, sebagai penguasa, Issabel dan Ferdinand akan mendapat penghormatan lebih ketika bisa menyatukan semua rakyatnya dalam ideologi dan keyakinan yang sama. Saya masih mau protes, tapi mengapa harus dengan cara genosida? Tapi pertanyaan itu urung terucap. Saya sudah bisa menebak arah jawabannya, dan rasanya itu hanya akan menambah kepedihan di hati. Saya coba tersenyum dan mengangguk pada Carmen sebagai respons atas penjelasannya.

Rombongan terus berjalan dan sampailah di deretan toko-toko yang menjual souvenir. Suasananya mungkin sengaja dibuat seperti abad pertengahan. Carmen lalu menarik tangan saya untuk melihat sebuah etalase toko. “Lihat, boneka-boneka itu menggambarkan bagaimana Bangsa Moor mengolah berbagai macam bahan masakan menjadi makanan lezat,” katanya. Sekilas saya melihat diorama boneka yang ada di etalase toko kue itu. “Tentu saja. Bangsa Moor mengajarkan kalian banyak hal. Tanpa itu rasanya kalian tak mungkin semaju sekarang,” tanggap saya yang dibalas dengan senyum kecut Carmen.

Dari toko roti, Carmen menunjuk toko souvenir yang memajang pedang dalam berbagai ukuran. Dari yang sangat kecil yang umumnya digunakan sebagai tusukan buah, hingga yang panjangnya lebih dari satu meter. “Apakah itu benar-benar tajam?” tanya saya penasaran. “Ha ha ha, saya juga tidak tahu,” jawabnya dengan kerlingan lucu. Pada zaman dulu, Toledo juga dikenal sebagai kota penghasil pedang yang berkualitas. Mungkin seperti Cimande di Jawa Barat yang terkenal sebagai penghasil golok.

Rombongan terlihat sudah berpencar. Pemandangan yang sama tiap kali berada di pusat pertokoan. Carmen lalu mendekati saya dan bercerita kalau di Toledo ini dulunya banyak universitas dan menjadi pusat penerjemahan buku-buku dalam berbagai bahasa. Tiba-tiba muncul tanya di hati, seandainya waktu itu kitab-kitab ilmuwan Andalusia tidak diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin, akankah cahaya Islam tetap menerangi Eropa saat ini? Akankah pengetahuan dan kemajuan hanya berada dalam genggaman Islam?

Ah, tentu saja tidak. Para alim itu menghasilkan temuan-temuannya semata untuk membuktikan keagungan Allah. Untuk menunjukkan betapa kerdilnya manusia dibanding keluasan ilmu Allah. Pastilah tidak ada sedikitpun keinginan di benak mereka untuk menyimpan rapat atau memiliki sendiri tanpa mau berbagi dengan yang lain. Mereka akan mengajarkan pada siapa pun yang menginginkan, bukan karena ingin termasyur dan diakui kehebatannya, namun semata mereka mengimani, setelah meninggal, semua amalan anak Adam akan terputus, keculi 3 perkara. Salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Terbukti, ilmu mereka masih dimanfaatkan manusia hingga berabad kemudian.

Malam semakin gelap. Dingin kian menggigit. Carmen meminta rombongan bergegas mengikutinya karena Juan segera menjemput untuk melanjutkan perjalanan ke Madrid. Di tepi jalan, saat menunggu bus, sebuah pikiran melintas. Jangan-jangan benar, lembah di dekat jembatan yang rasanya sudah sangat saya kenal itu adalah Lembah Barbate.


Toledo, 8 Januari 2015

Uttiek Herlambang