... Menginjakkan kaki di
Andalusia,
Mulai merasai sederet kepedihan,
Di Malaga, bertemu Antonia,
"Tidak ada satu pun masjid yang tersisa. Semua sudah dihancurkan."
Di Granada, melihat bir yang
dinamai Alhambra Mezquita (Masjid Al Hambra) dijual seharga €3.
"Ummati...Ummati… -Umatku,
umatku-," kata Rasulullah jelang ajal. Mungkin ini yang diresahkannya.
Sungguh, saya gelisah...
-------------------------------------------------------------
Saya hirup dinginnya udara Eropa
dalam-dalam. Terasa sejuk dan segar. Kota Tarifa hanya kita lintasi untuk
urusan imigrasi dan makan siang. Setelah itu bus kembali melaju membelah jalan
beraspal mulus sejauh 152 km, dengan kincir angin berderet di sepanjang
kiri-kanan jalan. Sesekali terlihat apartemen-apartemen bercat putih yang
tertata rapi. Lalu-lintas terlihat sepi siang itu. Orang Spanyol mempunyai
kebiasaan istirahat siang yang disebut siesta.
Kebiasaan itu masih berlangsung hingga sekarang. Tak heran kalau waktu
istirahat siang jalanan terasa lengang.
Malaga adalah kota tujuan
pertama. Kota yang tertulis dalam memoar Ibn Batutah saat melakukan perjalanan
ke Andalusia ini dulunya adalah pelabuhan penting bagi Kesultanan Granada.
Posisinya berbatasan langsung dengan Cordoba di sebelah utara dan Granada di
timur. Menjelang sore kita tiba di Calle Marqués de Larios, salah satu pusat perbelanjaan
yang ada. Sepotong jalan yang ramai ini dipenuhi café dan butik-butik brand
ternama. Juan, supir bus yang menemani
selama perjalanan di Spanyol, dengan bahasa Inggris terpatah-patah menjelaskan
kalau local guide yang bernama
Antonia akan menemui kita di ujung perempatan.
Lima menit berlalu, Juan terlihat
gelisah memandang handphone-nya. Ia hanya bisa menghentikan bus tak lebih dari
lima menit di pinggir jalan itu. Saya memandang keramaian dari dalam bus.
Terlihat beberapa patung yang berdiri gagah di kiri-kanan jalan. Spanyol,
seperti halnya kota- kota di Eropa lainnya, banyak memajang patung di sepanjang
jalan. Senja mulai lindap, kota kelahiran seniman Pablo Picasso ini terlihat cantik.
Perempuan gemuk berambut pirang
itu tergopoh-gopoh berlari menuju bus. Juan membuka pintu hidrolik dan
membiarkannya masuk. Setelah bicara dengan cepat ke Juan dan dijawab, “Si…si –ya, ya,” berulang kali, ia memperkenalkan
diri dan meminta kita segera turun dari bus. “Anyone want to toilet?” Tanyanya memulai percakapan. Hampir semua
menjawab, ”Yes.” Ia lalu menunjuk
salah satu café yang ada di ujung jalan dan meminta kita untuk ke lantai
duanya, di sana ada toilet yang bisa digunakan.
Sambil menunggu yang lain
berkumpul, Antonia memulai penjelasannya. Suaranya ceria, mimik mukanya ikut
bergerak mengikuti intonasi suaranya. Sesekali ia mengangkat tangan,
menggerakkan bahunya untuk mempertegas sesuatu. Diawali dengan sejarah kota
Malaga, para tokohnya, sampai kemudian Daulah Umayyah Andalusia. Saya terkesiap
ketika mendengar ia mengatakan, Abdurahman I karena dendamnya pada Bani
Abbasiyah lalu membuat kiblat Masjid Cordoba tidak menghadap ke Ka’bah yang ada
di kota Mekkah, melainkan agak menyerong, supaya tidak sama dengan yang
dilakukan Daulah Abbasiyah di Baghdad.
Saya langsung angkat suara dan
mendebatnya. Tidak seperti itu sejarahnya. Ketika masjid itu dibangun, ada
gereja kecil di dekatnya. Bila seluruh bangunan akan dibuat menghadap ke arah
Mekkah, maka gereja itu harus dihancurkan. Abdurrahman Ad-Dakil tidak
menginginkan itu. Ia membiarkan gereja itu tetap di tempatnya. Meskipun
bangunan masjid dari luar tidak lurus ke arah Mekkah, namun mihrab maupun shaf di
dalamnya tetap menghadap kiblat. Abdurrahman Ad-Dakil atau Abdurrahman I adalah
pemimpin yang adil. Bahkan, sekalipun Islam dengan segala cara coba dilenyapkan
dari Spanyol, tapi masyarakat di sana mempunyai satu perayaan untuk menghormati
Abdurrahman I yang masih diselenggarakan hingga kini.
“Enggak asyik ah, orang ini,
memberikan informasi banyak yang salah,” kata saya pada Lambang.
Semakin saya pancing dengan beragam
pertanyaan, semakin banyak jawaban Antonia yang tidak sesuai. “Sepertinya kamu
banyak tahu tentang Daulah Umayyah,” cetus Antonia.
“Kalau tentang arah kiblat Masjid
Cordoba, ini bukan sekadar tentang sejarah Daulah Umayyah, tapi ini masalah
prinsip. Kami tidak mungkin salat menghadap bukan ke arah Ka’bah. Itu prinsip,”
tegas saya.
Rombongan terus berjalan
menyusuri jalan-jalan kecil di belakang pusat perbelanjaan. Rupaya di balik
bangunan-bangunan modern itu tersembunyi kota tua. Beberapa peninggalan
bersejarah, sejak zaman Romawi hingga masa Islam ada di sana.
“It was a mosque,” seru Antonia pada rombongan.
Deeengg… Deengg…
Langkah saya terhenti. Jantung
saya berdegup kencang. Saya mendongak ke atas, menatap ke minaret di mana lonceng
itu berdentang. Hati terasa perih. Dulu, dari atas minaret itu pastilah sang
muadzin mengumandangkan adzan lima kali sehari.
“Ada berapa masjid di sini,
Antonia?” Tanya saya.
“Tak ada satupun. Semua sudah
dihancurkan atau digunakan sebagai gereja, seperti yang ada di depan kita,”
jawabnya.
-----------------------------------------------
“Kapan kita bisa belanja?”, “Rebajas itu sale, kan?” Satu dua rombongan mulai bersuara. Antonia lalu memberi
waktu untuk berbelanja dan menunjuk satu tempat sebagai meeting point. Sekaligus ia mengingatkan rombongan untuk on time, karena Juan nanti akan
menjemput di pinggir jalan, dan bus tidak bisa berhenti lama di tempat itu. Semua
berpencar. Saya sudah kehilangan selera. Bersama Antonia saya tetap berdiri di
depan tembok sisa bangunan masa Islam yang di bawahnya adalah reruntuhan
bangunan Romawi.
“I knew you’re journalist,” katanya tiba-tiba, “Your husband told me,” lanjutnya saat melihat saya mengerutkan
dahi. Saya tersenyum.
Dia pasti tahu, banyak hal yang
saya tidak sepaham dengan penjelasannya. Dari sini pula saya mulai mengerti
bahwa sejarah Andalusia secara sistematis dibelokkan. Informasi yang diterima Antonia
adalah informasi yang diterima orangtuanya, kakek-neneknya, buyutnya, dan
seterusnya. Itu yang ia tahu, dan itu yang ia sampaikan pada orang-orang, pada
anaknya, cucunya, mungkin buyutnya. Informasi itu pula yang akhirnya sampai
pada generasi muda muslim. Tanpa coba menggali, lalu dipercaya sebagai
kebenaran. Oh, Andalusia…
“Saya percaya, Tuhan tidak
menyuruh manusia untuk saling memusuhi. Itu kerjaan manusia saja yang membuat
permusuhan di sana-sini,” katanya lagi, seperti mengerti suasana hati saya yang
tidak nyaman.
Saya tersenyum, “Kamu beragama,
Antonia?” Tanya saya.
“Saya percaya Tuhan, tapi saya
tidak memilih satu agama pun,” jawabnya. “Selama saya berbuat baik, saya yakin
Tuhan pasti mengerti.”
Sekali lagi saya tertegun.
Perbincangan dengan Antonia ini mengingatkan saya pada salah satu adegan di
film “99 Cahaya di Langit Eropa” saat Rangga mencoba mendamaikan temannya,
Steven yang ateis dengan Khan, seorang muslim yang taat. “Yang kalian butuhkan
adalah dialog. Saling bicara. Coba mengerti,” katanya. Sepertinya kata-kata Rangga
itu pas betul untuk situasi saya dengan Antonia. Lalu saya mengulang kalimat
itu, “What we need is dialog,
understanding each other and we’ll living in harmony,” cetus saya.
“Yes, I’m agree, Dear,” jawabnya.
Matahari sudah beranjak ke
peraduan, ketika Antonia meminta rombongan segera bergegas menuju meeting point untuk menunggu bus. Saya
berjalan bersisihan dengannya. Obrolan dan perdebatan membuat saya dan Antonia
menjadi akrab. Ia lalu bercerita tentang pengalamannya membawa turis dari
berbagai negara. Turis Korea selalu terburu-buru melakukan semua hal, namun tak
pernah lupa mengucapkan “Ahnyong haseo”
sambil berlari-lari ke sana-ke mari. Atau turis Jepang yang selalu membatasi
semua kegiatan dalam waktu 5 menit. Ia menceritakannya dengan gaya yang sangat
kocak. Saya dibuatnya tertawa terbahak-bahak.
Ia lalu berhenti di tukang kacang
yang berjualan di pinggir jalan. Diambilnya dua kantong. Salah satunya
disodorkan pada saya sambil mengatakan, “Almond bersalut gula ini adalah tradisi
Bangsa Moors (sebutan untuk Bangsa Arab di Andalusia). Mereka mewariskan pada
kami bagaimana memasak yang enak dan banyak hal lainnya. Beberapa bahkan masih
terus digunakan sampai saat ini. Seperti cara mengolah almond ini,” katanya. Saya
menerima kantong kacang darinya sambil mengucapkan, “Gracias.” Saya tersenyum,
sepertinya Antonia tak sekadar menawarkan kacang, tapi juga pertemanan.
“Antonia, saya punya buku tentang
Andalusia yang sangat lengkap. Apa yang ditulis di buku itu banyak yang tidak
sama dengan penjelasanmu. Kalau saya menemukan terjemahannya dalam Bahasa
Inggris, saya akan mengirimkannya untukmu. Mungkin bisa menjadi pembanding.
Boleh saya minta alamat e-mailmu?”
“Sure,” jawabnya sambil menuliskan alamat e-mail di notes yang saya sodorkan.
Maka, saya akan terus menulis tentang Andalusia. Bukan sekadar mencatat
perjalanan ini, namun informasi ini harus terus ada yang menuturkannya.
Malaga, 4 Januari 2015
Uttiek Herlambang