Laa haula wa laa quwwata illa billaah; tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah.
Hati
berdesir, kalimat dzikir yang saya puja itu tertatah dengan indah di setiap
sudut, pilar, dinding pualam yang mengelilingi seluruh istana, serupa dengan bordiran
halus pada sehelai kain sutra. Subhanallah,
bagaimana tangan-tangan terampil itu mengerjakannya, tujuh ratus tujuh puluh
tahun yang lalu?
--------------------------------------------------------
Namanya
Rodrigo, usianya awal 50-an, badannya tinggi, mengenakan coat panjang dan topi fedora, penampilannya mengingatkan saya pada
Inspector Gadget yang diperankan Matthew Broderick. Ia adalah local guide yang akan menemani perjalanan
di istana Alhambra pagi ini. Rodrigo meminta kami untuk berkumpul di samping
antrean orang-orang yang membeli tiket masuk. Setelah memperkenalkan diri
dengan suaranya yang berat dan bahasa Inggris beraksen Spanyol, Rodrigo
membagikan earphone, yang nanti akan
kita gunakan untuk mendengarkan penjelasannya.
Lambang
terlihat merapatkan jaketnya. Ya, hari memang masih pagi, kita meninggalkan hotel
pukul 07.00. Pagi hari di musim dingin seperti ini, udara terasa menusuk,
apalagi kita berada di alam terbuka. Saya membaca peta yang terletak di depan
pintu masuk, terlihat tulisan La Alhambra. Di kejauhan semburat matahari
berwarna jingga, perlahan langit mulai terang.
Rodrigo
meminta kami berjalan masuk ke gerbang dan menyusuri taman yang jalannya
menanjak. Di kanan-kiri terlihat rimbun pepohonan dan parit kecil yang airnya
terdengar gemericik. Setelah melalui jalan setapak yang berkelok, sampailah
kita di suatu titik yang agak tinggi. Napas saya mulai ngos-ngosan karena
jalanan yang menanjak. Rodrigo menunjuk satu tempat dan meminta kita untuk
melihatnya. “Subhanallah,” saya terpekik kecil saat di depan mata terhampar istana
yang berdiri menjulang, bentengnya yang kokoh berwarna kemerahan. Istana
Alhambra, “Alhamdulillah,” batin saya.
Istana
Alhambra adalah bagian dari kerajaan Granada, daulah Islam terakhir di bumi
Andalusia. Diberi nama Alhamra, yang kemudian dilafalkan oleh orang Spanyol
sebagai Alhambra, mengambil nama dari Sultan Muhammad bin Al-Ahmar, pendiri
dinasti Al-ahmar. Nama Alhamra juga diambil dari bahasa Arab; hamra’, bentuk jamak dari ahmar yang berarti merah. Saat langit
temaram, tembok istana ini memang terlihat berwarna kemerahan, seperti yang saya
saksikan pagi itu.
Suara
Rodrigo hilang-timbul, tapi saya sudah tidak terlalu memerhatikan
penjelasannya. Hati saya terasa ciut menyaksikan keindahan ini. Banyak lengkungan
arcade dengan pahatan motif geometris
yang menakjubkan di sepanjang jalan yang kita susuri. Patio-patio dengan air
yang mengalir adalah refleksi dari keindahan taman surga, yang menjadi ciri landscape taman-taman dalam istana
daulah Islam. “… seperti surga dengan
sungai-sungai yang mengalir di bawahnya…” Air ini sangat penting karena
terkait dengan ritual wudhu yang harus dilakukan sebelum shalat. Tak heran
kalau istana-istana kerajaan Islam selalu dilengkapi dengan air mancur atau
kolam air yang sekaligus dijadikan tempat wudhu. Di istana Alhambra, air ini diperoleh
dari salju abadi yang ada di puncak pegunungan Sierra Nevada. Dialirkan melalui
pipa-pipa yang sangat panjang dan ditampung di dam-dam yang dibangun di
beberapa tempat. Sungguh konstruksi bangunan yang sangat canggih, dengan
perhitungan matematika dan fisika yang sangat rumit, bahkan untuk ukuran
sekarang pun, karena setelah 8 abad, saluran air itu masih berfungsi!
Rodrigo
terus menjelaskan bangunan-bangunan yang kita lewati. Cara bicaranya
betul-betul mengingatkan saya pada Inspector Gadget. Hingga sampailah kita di bangunan
utama yang disebut The Nasrid Palace. Di dalam bangunan ini terdapat paviliun
yang digunakan sebagai tempat tinggal istri sultan, aula tempat menerima duta besar, dan sebagainya. Bangunan ini sangat-sangat
indah. Sepertinya ini adalah bangunan tercantik yang pernah saya saksikan. Yang
membuat hati bergetar adalah dinding pualam dan pilar-pilarnya yang berhias
kaligrafi Laa haula wa laa quwwata illa billaah;
tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Sudut mata saya terasa
hangat, sungguh manusia sangat kerdil, tak ada yang bisa kita lakukan tanpa
pertolonganNya.
Alhambra
adalah puncak dari teknologi, arsitektur, dan seni yang paripurna. Semua
terangkai dalam mahakarya yang sangat indah. Konon Marie Antoinette menginginkan
istana serupa saat membangun château de Versailles atau Istana Versailles yang
terkenal itu, namun ia tidak mendapatkan yang diinginkannya. Jauh sebelum itu, Charles
V, salah satu raja Spanyol mencoba membuat istana yang mirip Alhambra, lokasinya
pun dekat sekali, bahkan bisa dikata bersebelahan, namun alih-alih bisa
menyamai Alhambra, bangunan itu bahkan tak pernah diselesaikannya sampai ia
meninggal, dan pemerintah Spayol merampungkannya di tahun 1990.
Di
setiap sudut saya mengambil gambar, Lambang sampai kesal gara-gara saya
kebanyakan foto dan tertinggal dari rombongan. Keluar dari bangunan istana The
Nasrid Palace, kita berada di The Court of the Myrtles (Patio de los Arrayanes),
taman dengan kolam air sepanjang 34 meter. Dari kolam ini kita bisa menyaksikan
pantulan istana di dalam air dengan posisi yang presisi. Seakan bangunan istana
ini ada dua. Tanpa perhitungan fisika yang rumit, mustahil keindahan itu bisa
kita saksikan. Perasaan berdebar-debar menyaksikan keindahan ini membuat saya laiknya
orang yang sedang jatuh cinta. Ya, saya, jatuh cinta pada Alhambra!
Istana
Alhambra dikelilingi taman yang dinamakan Generalife. Taman ini dulunya adalah
kebun sayur. Ada jalan pintas yang menghubungkan istana dengan taman ini. Konon
Sang Sultan suka berkuda menikmati keindahan taman. Dari sini saya bisa melihat
dengan lebih jelas bangunan istana Alhambra, lengkap dengan bastion yang
menjulang. Di bastion itulah Sultan Boabdil, sultan terakhir dari kerajaan
Granada menyaksikan pasukan Isabella dan Ferdinand mengepung bentengnya. Tidak
ada pilihan lain, ia terpaksa menyerahkan kunci gerbang kota dengan jaminan tidak
ada pembunuhan atas rakyatnya dan mereka tetap boleh mempertahankan
keimanannya.
Tentu
saja janji itu dikhianati oleh Isabella dan Ferdinand yang sejak awal memang
berniat menghancurkan umat Islam di Andalusia. Hanya dalam waktu 6 tahun,
hampir tak ada yang tersisa. Ada 3 pilihan yang ditawarkan; tetap Islam dan
dibunuh, dimurtadkan, atau diusir dari Granada. Mereka yang tebal keimanannya,
memilih syahid sebagai syuhada. Para oportunis memilih dimurtadkan asal masih
bisa hidup. Dan puluhan ribu lainnya harus dievakuasi ke Maroko, Tunisia dan
daerah Afrika Utara lainnya untuk mempertahankan kalimat Tauhid. Pengusiran
yang disertai pembunuhan keji, perampasan harta, itu menjadi tragedi yang akan
terus tercatat dengan tinta hitam dalam sejarah. Bukan saja sejarah Islam, tapi
juga sejarah kemanusiaan.
Sejatinya
umat Islam di Granada tak serta-merta menyerah. Kehancuran akibat pertikaian sesama
umat membuat daulah Islam di Andalusia yang pernah menyinari dunia dengan peradaban
dan pengetahuan tercerai-berai. Satu persatu wilayah berhasil dicaplok pasukan Isabella
dan Ferdinand, menyisakan kerajaan-kerajaan kecil yang terpecah belah. Pada
kondisi seperti itulah Granada terkepung. Selama tujuh bulan terus terjadi
pertempuran. Banyak syuhada yang sahid, namun korban luka dan tewas dari
pasukan Isabella dan Ferdinand lebih banyak lagi. Pasukan muslim tetap bersabar
sambil berjuang dan berharap pertolongan Allah.
Kondisi
ini tidak sama dengan yang dituliskan dalam sejarah Barat, di mana kejatuhan
Andalusia digambarkan dengan bobroknya keluarga kerajaan, yang memilih
bermaksiat ketimbang memikirkan rakyatnya. Seperti penjelasan Rodrigo, kalau di
dalam istana yang indah ini begitu banyak intrik, “Ada salah satu istri sultan
yang membunuh puluhan keluarga kerajaan demi mendapat kekuasaan.” Ah, hati
kembali perih mengingat Andalusia adalah sejarah yang dibajak dan ditulis
semaunya oleh mereka.
Puncak
dari perjuangan itu adalah datangnya musim dingin yang berkepanjangan. Umat Islam
yang terkepung dalam benteng tidak bisa keluar untuk mendapat suplai makanan.
Rakyat kelaparan, banyak yang meninggal karena beratnya musim dingin tanpa
pasokan makanan yang cukup. Pada saat itulah qadarullah terjadi, Sultan Boabdil memilih menyerahkan Granada
untuk mengakhiri kesengsaraan rakyatnya.
--------------------------------------------------------------
Dari
atas bukit, saya melihat jalanan yang berkelok-kelok menuju pegunungan Sierra
Nevada. Jalanan itu adalah The Last Moor’s Sigh. Tempat terakhir Sultan Boabdil
memandang Alhambra dengan kepedihan yang tak terlukiskan. Dia terpekur sambil
berdoa, sampai ibunya yang mendampingi perjalanannya mengeluarkan perkataan
yang terkenal itu, “… jangan kau tangisi seperti perempuan untuk sesuatu yang
tidak bisa kau pertahankan laiknya laki-laki.”
Qadarullah wama sya'a fa'ala; takdir Allah adalah apa yang dikehendaiNya, dan itu
pasti terjadi.
Alhambra,
Granada, 5 Januari2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar