“Kok
enggak ada ya?”
“Ini
mungkin, Mas, Thé à la Menthe.”
“Iya,
kalau bahasa Prancisnya ini memang mint
tea. Pesen aja dulu, kalau salah,
ya nanti pesan lagi.”
-------------------------------------------------------------
Malam
belum terlalu larut ketika saya, Lambang dan Pak Rustam janjian untuk ngopi
bareng setiba di Cassablanca-Maroko. Ya, perjalanan ke Andalusia setelah umroh
ini memang melintasi Maroko, karena saya ingin menapaktilasi jejak perjuangan
Musa bin Nushair dan panglimanya Thariq ibn Ziyad saat menaklukkan semenanjung
Iberia. Dari Madinah kami transit di Doha, lalu mendarat di Cassablanca. Dari
kota ini perjalanan dilanjutkan menggunakan jalan darat menuju
Rabat-Fes-Tangier. Dari Tangier baru menyeberang selat Gibraltar ke Tarifa, lalu
masuk Andalusia.
Tadi
sewaktu sholat Isya di masjid, Lambang dan Pak Rustam sudah berencana akan
ngopi di salah satu coffee shop dekat Imperial Cassablanca, hotel tempat kami menginap. Tapi ternyata kedai kopi itu sudah tutup saat
kita ke sana. Jadilah kita ngopi di kedai kopi seberang rel trem yang masih
buka. Di sepanjang Cassablanca dan kota-kota lain di Maroko, sangat mudah
menemukan kedai kopi, atau yang dalam bahasa Arab amiyah disebut makha. Menurut Azis, local guide selama saya di Maroko,
nongkrong di kedai kopi sebenarnya bukan kebiasaan asli penduduk Maroko, namun
tradisi yang ditinggalkan kolonial Prancis saat menjajah negeri-negeri Maghribi
(Maroko, Tunisia, Aljazair). Hampir di sepanjang jalan di setiap kota yang saya
lintasi, terlihat berderet kedai-kedai kopi tua nan cantik.
Thé à la menthe yang dipesan Lambang ternyata memang Maroccan mint tea yang dimaksud. Teh Maroko ini
tidak dihidangkan menggunakan cangkir, melainkan memakai gelas yang agak besar,
seukuran gelas es teh kalau di Indonesia. Tak seperti teh pada umumnya,
penyajian Thé à la menthe cukup
unik. Gelas besar itu dipenuhi dengan daun mint
atau mereka menyebutnya daun na’na,
baru kemudian disiram dengan seduhan air teh yang sangat panas. Tersedia gula
batu sebagai pemanis. Karena daun mint-nya
sangat banyak, jadilah aroma minuman ini terasa segar, rasanya pun tak lagi
seperti teh, namun lebih kuat rasa mentholnya. Sangat cocok untuk menemani
perbincangan di tengah udara dingin seperti ini.
Saya
dan Pak Rustam memesan cappuccino.
Sebenarnya saya bukan penikmat kopi. Asam lambung saya tak cukup ramah dengan
aroma kopi. Saya hanya minum kopi saat berbincang seperti ini. Ngopi-ngopi
cantik kalau istilah orang Jakarta. Karena khawatir perut akan perih, saya juga
memesan omelette aux champignons,
dadar telur dengan jamur champignons
dan keju yang meleleh saat digigit. Saya tidak menyesali pesanan ini,
benar-benar perpaduan yang pas.
Si
mbak waitress cantik yang hanya bisa
berbahasa Arab dan Prancis terlihat hilir mudik melayani pengunjung. Sungguh
saya menikmati suasana seperti ini. Ini adalah kali ketiga saya dan Lambang traveling dengan Pak Rustam, pemilik
Khalifah Tour, travel yang membawa saya umroh dan ke Andalusia kali ini. Saya
jadi ingat beberapa bulan lalu, hampir saja tidak jadi berangkat karena peserta
tidak memenuhi quota. Sebenarnya bukan masalah juga kalau saya dan Lambang
tetap pergi sendiri ke Andalusia, tapi kami memang menginginkan melakukan
perjalanan bersama Pak Rustam. Traveling
dengannya selalu terasa menyenangkan, karena banyak obrolan dan diskusi yang
kita lakukan. Perspektif keislaman kita jadi bertambah luas.
Saya
sangat bersemangat berbincang tentang Andalusia. Bertukar pendapat dan
menganalisa mengapa peradaban yang sangat besar ini bisa runtuh? Bagaimana
Barat “mengakuisisi” kegemilangan itu tanpa menyebutkan, atau setidaknya
menyamarkan, bahwa semua ini bersumber dari Islam. Andalusia adalah sejarah
yang terampas. “Pak, nanti kita di sana akan dapat local guide yang memberikan penjelasan dari ‘sisi kita’, kan?”
tanya saya. Terlihat Pak Rustam terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan.
“Biasanya memang local guide, sih,
Mbak.” Jawaban itu membuat saya agak bimbang, dan barulah nanti di Andalusia
saya menemukan jawabnya.
Obrolan
lalu bergeser pada banyak hal, tentang sepak terjang dan keberanian walikota
Surabaya, Bu Risma, yang kebetulan belum lama saya temui. Tentang PKL di kota
Bandung dan walikotanya Kang Emil. Tentang seluk-beluk menjalankan bisnis
travel umroh, tentang para ustaz yang banyak banyak godaannya. Seperti yang
sudah-sudah, sangat menyenangkan.
Tak
terasa jarum jam mulai bergeser ke angka 12, si mbak waitress mulai berbenah akan menutup kedainya. Setelah membayar,
kita bertiga berjalan pelan menuju hotel sambil terus ngobrol. Sesekali berpapasan
dengan anak-anak muda yang masih kelayapan di tengah malam.
Saya
hirup dinginnya udara Afrika di bulan Januari sambil membayangkan perjuangan
Musa bin Nushair saat menaklukkan negeri ini. Sejatinya sejak zaman Khalifah
Umar ibn Khatab, cahaya Islam telah sampai negeri Maghribi. Namun penduduknya yang
berasal dari suku Berber dengan cepat kembali murtad. Ketika Musa bin Nushair
datang, bukan hanya pasukan yang ia bawa, melainkan juga para tabi’in dari Syam
dan Hijaz untuk mengajarkan dan mengenalkan Islam pada mereka. Musa bin Nushair
tak akan melangkah memperluas wilayah, kalau keimanan penduduknya belum
benar-benar tegak. Hasilnya sungguh luar biasa, dari tempat ini lahir para
prajurit-prajurit Islam yang kemudian menaklukkan Andalusia, termasuk sang
panglima Thariq ibn Ziyad. Tak hanya itu, kekuatan iman yang telah tertancap
kuat dari generasi ke generasi, membuat mereka tetap teguh dalam cahaya Allah,
sekalipun pada masa kolonial, Prancis yang menjajah wilayah ini berusaha
membuat mereka berpaling. Usaha itu tak pernah berhasil hingga kini.
Terima kasih, Pak Rustam, untuk
perbincangan yang menyenangkan.
Cassablanca,
2 Januari 2015
Uttiek
Herlambang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar