Senin, 02 Februari 2015

Thé à la Menthe


“Kok enggak ada ya?”
“Ini mungkin, Mas, Thé à la Menthe.”
“Iya, kalau bahasa Prancisnya ini memang mint tea. Pesen aja dulu, kalau salah, ya nanti pesan lagi.”

-------------------------------------------------------------

Malam belum terlalu larut ketika saya, Lambang dan Pak Rustam janjian untuk ngopi bareng setiba di Cassablanca-Maroko. Ya, perjalanan ke Andalusia setelah umroh ini memang melintasi Maroko, karena saya ingin menapaktilasi jejak perjuangan Musa bin Nushair dan panglimanya Thariq ibn Ziyad saat menaklukkan semenanjung Iberia. Dari Madinah kami transit di Doha, lalu mendarat di Cassablanca. Dari kota ini perjalanan dilanjutkan menggunakan jalan darat menuju Rabat-Fes-Tangier. Dari Tangier baru menyeberang selat Gibraltar ke Tarifa, lalu masuk Andalusia.

Tadi sewaktu sholat Isya di masjid, Lambang dan Pak Rustam sudah berencana akan ngopi di salah satu coffee shop dekat Imperial Cassablanca, hotel tempat kami menginap. Tapi ternyata kedai kopi itu sudah tutup saat kita ke sana. Jadilah kita ngopi di kedai kopi seberang rel trem yang masih buka. Di sepanjang Cassablanca dan kota-kota lain di Maroko, sangat mudah menemukan kedai kopi, atau yang dalam bahasa Arab amiyah disebut makha. Menurut Azis, local guide selama saya di Maroko, nongkrong di kedai kopi sebenarnya bukan kebiasaan asli penduduk Maroko, namun tradisi yang ditinggalkan kolonial Prancis saat menjajah negeri-negeri Maghribi (Maroko, Tunisia, Aljazair). Hampir di sepanjang jalan di setiap kota yang saya lintasi, terlihat berderet kedai-kedai kopi tua nan cantik.

Thé à la menthe yang dipesan Lambang ternyata memang Maroccan mint tea yang dimaksud. Teh Maroko ini tidak dihidangkan menggunakan cangkir, melainkan memakai gelas yang agak besar, seukuran gelas es teh kalau di Indonesia. Tak seperti teh pada umumnya, penyajian Thé à la menthe cukup unik. Gelas besar itu dipenuhi dengan daun mint atau mereka menyebutnya daun na’na, baru kemudian disiram dengan seduhan air teh yang sangat panas. Tersedia gula batu sebagai pemanis. Karena daun mint-nya sangat banyak, jadilah aroma minuman ini terasa segar, rasanya pun tak lagi seperti teh, namun lebih kuat rasa mentholnya. Sangat cocok untuk menemani perbincangan di tengah udara dingin seperti ini.

Saya dan Pak Rustam memesan cappuccino. Sebenarnya saya bukan penikmat kopi. Asam lambung saya tak cukup ramah dengan aroma kopi. Saya hanya minum kopi saat berbincang seperti ini. Ngopi-ngopi cantik kalau istilah orang Jakarta. Karena khawatir perut akan perih, saya juga memesan omelette aux champignons, dadar telur dengan jamur champignons dan keju yang meleleh saat digigit. Saya tidak menyesali pesanan ini, benar-benar perpaduan yang pas.

Si mbak waitress cantik yang hanya bisa berbahasa Arab dan Prancis terlihat hilir mudik melayani pengunjung. Sungguh saya menikmati suasana seperti ini. Ini adalah kali ketiga saya dan Lambang traveling dengan Pak Rustam, pemilik Khalifah Tour, travel yang membawa saya umroh dan ke Andalusia kali ini. Saya jadi ingat beberapa bulan lalu, hampir saja tidak jadi berangkat karena peserta tidak memenuhi quota. Sebenarnya bukan masalah juga kalau saya dan Lambang tetap pergi sendiri ke Andalusia, tapi kami memang menginginkan melakukan perjalanan bersama Pak Rustam. Traveling dengannya selalu terasa menyenangkan, karena banyak obrolan dan diskusi yang kita lakukan. Perspektif keislaman kita jadi bertambah luas.

Saya sangat bersemangat berbincang tentang Andalusia. Bertukar pendapat dan menganalisa mengapa peradaban yang sangat besar ini bisa runtuh? Bagaimana Barat “mengakuisisi” kegemilangan itu tanpa menyebutkan, atau setidaknya menyamarkan, bahwa semua ini bersumber dari Islam. Andalusia adalah sejarah yang terampas. “Pak, nanti kita di sana akan dapat local guide yang memberikan penjelasan dari ‘sisi kita’, kan?” tanya saya. Terlihat Pak Rustam terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. “Biasanya memang local guide, sih, Mbak.” Jawaban itu membuat saya agak bimbang, dan barulah nanti di Andalusia saya menemukan jawabnya.

Obrolan lalu bergeser pada banyak hal, tentang sepak terjang dan keberanian walikota Surabaya, Bu Risma, yang kebetulan belum lama saya temui. Tentang PKL di kota Bandung dan walikotanya Kang Emil. Tentang seluk-beluk menjalankan bisnis travel umroh, tentang para ustaz yang banyak banyak godaannya. Seperti yang sudah-sudah, sangat menyenangkan.

Tak terasa jarum jam mulai bergeser ke angka 12, si mbak waitress mulai berbenah akan menutup kedainya. Setelah membayar, kita bertiga berjalan pelan menuju hotel sambil terus ngobrol. Sesekali berpapasan dengan anak-anak muda yang masih kelayapan di tengah malam.

Saya hirup dinginnya udara Afrika di bulan Januari sambil membayangkan perjuangan Musa bin Nushair saat menaklukkan negeri ini. Sejatinya sejak zaman Khalifah Umar ibn Khatab, cahaya Islam telah sampai negeri Maghribi. Namun penduduknya yang berasal dari suku Berber dengan cepat kembali murtad. Ketika Musa bin Nushair datang, bukan hanya pasukan yang ia bawa, melainkan juga para tabi’in dari Syam dan Hijaz untuk mengajarkan dan mengenalkan Islam pada mereka. Musa bin Nushair tak akan melangkah memperluas wilayah, kalau keimanan penduduknya belum benar-benar tegak. Hasilnya sungguh luar biasa, dari tempat ini lahir para prajurit-prajurit Islam yang kemudian menaklukkan Andalusia, termasuk sang panglima Thariq ibn Ziyad. Tak hanya itu, kekuatan iman yang telah tertancap kuat dari generasi ke generasi, membuat mereka tetap teguh dalam cahaya Allah, sekalipun pada masa kolonial, Prancis yang menjajah wilayah ini berusaha membuat mereka berpaling. Usaha itu tak pernah berhasil hingga kini.


Terima kasih, Pak Rustam, untuk perbincangan yang menyenangkan.

Cassablanca, 2 Januari 2015


Uttiek Herlambang 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar