-------------
Kumandang adzan Dzuhur terdengar nyaring. Setengah berlari rombongan keluar dari toko kain dan bergegas menyusuri labirin Old Madina yang riuh. Sesekali bersenggolan dengan orang-orang di jalan sempit. Madina dalam bahasa Arab berarti kota, Old Madina adalah kota tua. Di situlah dulu denyut kehidupan kota Fes terpusat. Perumahan penduduk, pasar, masjid, madrasah, semuanya di sana. Jalanan yang sempit dan berkelok-kelok didesain untuk keamanan penduduknya. Siapa saja yang tidak mengenal medan, pastilah akan tersesat dan tidak bisa keluar, termasuk para penjahat. Bahkan sampai saat ini, pengunjung yang datang ke Old Madina haruslah menggunakan jasa local guide sebagai penunjuk arah. Kalau tidak, dipastikan tidak bisa keluar dari dalam labirin itu.
Bangunan di dalam Old Madina rata-rata terdiri dari dua lantai. Bagian bawah digunakan sebagai tempat usaha dan di atasnya untuk tempat tinggal, mirip konsep ruko zaman sekarang. Bangunan yang relatif tinggi dan jalanan yang sempit sengaja dirancang khusus, mengingat matahari di Afrika pada musim panas sangat menyengat. Jadilah jalan-jalan itu ternaungi bayangan bangunan di sisi kanan-kirinya, sehingga lebih teduh untuk dilalui. Sungguh konsep arsitektur kota yang cerdas.
Old Madina terbagi dalam beberapa bagian, seperti area perajin kayu, perajin tembaga, pedagang kain, rempah-rempah, sayuran, daging. Di salah satu los, saya sempat dikejutkan dengan deretan pedagang ayam. Mereka menjual ayam hidup, bila ada pembeli, ayam itu diambil dan ditimbang. Setelah sepakat, langsung disembelih di depan pembeli dan ayam-ayam dagangan lainnya yang belum laku. Saya bayangkan ayam-ayam yang menanti giliran itu pastilah stres. Di kios daging, pedagang menjual kepala kambing dan sapi dengan cara menggantungnya di bagian depan. Azis bercerita dengan bangga bahwa kepala kambing dan sapi itu bisa diolah menjadi makanan yang lezat bagi orang Maroko. Sebagai orang Solo pemakan tengkleng, hal itu tentulah bukan prestasi.
Sebelum memasuki kota tua, Azis berpesan, kalau terdengar orang berseru, “Balak… balak,” kita harus menepi, karena akan ada keledai atau kuda yang sarat muatan lewat. Benar saja, beberapa kali saya mendengar orang berteriak, “Balak… balak,” dan tiba-tiba di lorong yang sempit itu muncullah keledai yang sangat dekat, bahkan dengus napasnya pun terasa menempel di telinga. Beberapa kali saya berteriak kaget, takut lebih tepatnya, karena terjepit di antara orang yang lalu lalang dan kuda sarat muatan.
Setelah beberapa kali berbelok, melewati suasana pasar yang menyenangkan, dan beberapa kali berhenti karena ada keledai atau kuda yang lewat, tiba-tiba jalan di depan tertutup kerumunan orang. Azis menyapa seseorang di dalam gerbang. Ia mengatakan sesuatu dalam bahasa Arab yang cepat. Konon dialek Arab Maroko paling sulit diikuti karena bercampur dengan bahasa Prancis. Tak lama pintu kecil di sebelah kanan dibuka. "This way, Madame," serunya sambil melambaikan tangan.
Saya segera melangkah masuk. Pria yang memakai jelaba (pakaian khas Maroko, berupa jubah panjang dengan capucone/hoods di kepala) yang tadi membukakan pintu mengambilkan rak sepatu. "Put your shoes here," katanya sambil menunjuk rak yang dibawanya. "That's way, Madame," lanjutnya sambil menunjuk ke bawah, tempat wudhu perempuan. “Merci,” jawab saya sambil tersenyum mendengarnya menyapa dengan sebutan Madame. Saya jadi teringat sekian tahun lalu ketika kursus bahasa Prancis di Centre Culturel Francais de Jakarta (CCF)-Salemba, semua saling menyapa dengan sebutan Madame dan Mademoiselle.
Melewati gerbang tempat orang-orang berkerumum tadi dari sisi dalam bangunan, mereka masih ada di sana. Selintas saya lihat kebanyakan bule. Rupanya orang-orang itu tidak diperkenankan masuk, karena masjid ini hanya untuk muslim, apalagi waktunya bertepatan dengan adzan Dzuhur. Seorang perempuan di ruang wudhu memberi isyarat supaya saya memakai sendal yang tersedia dan mengambil air wudhu di kolam yang tengahnya terdapat air mancur. Nyeeesss, airnya dingin sekali. Segera saya mengambil wudhu dan mengenakan kembali coat untuk menghalau dinginnya udara siang itu. Ia lalu menunjuk tempat salat perempuan yang terletak di mezanin.
Ada beberapa undakan untuk naik ke atas. Subhanallah. Dari tempat sholat perempuan itu saya baru menyadari betapa indahnya bangunan yang ada di depan. Sebuah plaza yang luas dengan tiga air mancur yang masing-masing berada di tengah, kiri dan kanan. Hampir seluruh lantai dan dindingnya tertutup mozaik yang sangat indah. Apalagi tempat wudhu yang ada di sisi kanan saya. Ada semacam gazebo kecil yang menaungi air mancur untuk wudhu itu, di belakanganya terlihat minaret yang menjulang. Indah sekali.
Lurus dari arah gerbang, terdapat tembok mozaik yang menawan. Rupaya mozaik itu yang membuat kerumunan turis di luar tak henti memotret. Ruang salat perempuan sangat unik. Letaknya di mezanin dengan bagian depan hanya berbatas pagar rendah, sehingga bisa menyaksikan dengan leluasa aktivitas di plaza utama. Layaknya rumah gadang di Padang, dengan jendela-jendelanya yang besar. Masjid ini mampu menampung 20.000 jamaah sekaligus.
Usai salat, saya berlama-lama menikmati keindahan itu. Tak terbayangkan bangunan kokoh ini telah berdiri lebih dari seribu tahun yang lalu dan menjadi sumber cahaya keilmuan di dunia. Universitas Al Qarawiyyin (Jami'ah Al Qarawiyyin) tercatat di Guinness Book of World Records sebagai universitas tertua di dunia. Pada masanya, mereka yang ingin kuliah di sini jumlahnya membludak, karenanya diberlakukan seleksi ketat. Setelah diterima, para mahasiswa ini diharuskan mempelajari seluruh isi Alquran dan menguasai bahasa Arab sebelum belajar ilmu-ilmu umum, seperti kedokteran, matematika, astronomi, kimia dan sebagainya.
Sungguh kurikulum yang sempurna, mengingat murid universitas ini berasal dari seluruh penjuru dunia. Banyak ilmuwan termasyur yang mencicipi pendidikan di sini, seperti Al Idrisi sang kartografer (pembuat peta), Ibn Khaldun, Al Arabi. Tak hanya orang Islam, Gebert of Aurillac, yang kelak dikenal sebagai Paus Sylvester II, hingga filsuf yahudi Maimonides, pernah mengenyam pendidikan di tempat ini. Perpustakaan universitas ini pun menyimpan karya-karya fenomenal seperti salinan asli kitab Al-Ibar yang ditulis oleh Ibn Khaldun. Semua mahasiswa dibebaskan dari biaya pendidikan. Selama berabad-abad, sekalipun penguasa silih berganti, mereka selalu menjamin kelangsungan pendidikan di tempat ini.
"Madame... Madame," saya menoleh mendengar seruan itu. Melalui lambaian tangan, Azis memberi isyarat untuk segera meninggalkan tempat ini. Rasanya saya belum puas, bukan karena tempat ini indah, namun membayangkan menjadi bagian dari para pencari ilmu di sini membuat saya bangga sebagai orang Islam. Universitas Al Qarawiyyin adalah bukti pemahaman yang benar atas surat pertama yang turun. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmuyang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (pengetahuan). Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya. [Q.S 'Al-Alaq 1-5]. Sebelum beranjak, sekali lagi saya menatap ke arah plaza di depan, seekor burung merpati terbang rendah, lalu hinggap di air mancur tempat wudhu. Burung itu mematukkan paruhnya ke dalam air untuk minum.
Ya, tempat ini bagaikan oase untuk semua mahluk. Oase pengetahuan yang menjadi obor penerang manusia.
Al Qarawiyyin-Fes, 3 Januari 2015
Uttiek Herlambang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar