Nama
Thariq ibn Ziyad selalu dikaitkan dengan peristiwa pembakaran kapal-kapal di
Jabal At-thariq (Gunung Thariq) yang kemudian dilafalkan menjadi Gibraltar.
Syahdan setelah berlabuh, kapal-kapal yang membawa pasukannya ia perintahkan
untuk dibakar. Hanya ada dua pilihan untuk pasukannya; tenggelam di lautan yang
ada di belakangnya, atau menghadapi pasukan musuh yang ada di depan. Peristiwa
yang tidak pernah terjadi itu dituturkan dari generasi ke generasi sehingga dipercaya
sebagai sebuah kebenaran.
---------------------------------------------
Setahun
lebih saya mempersiapkan perjalanan ke Andalusia ini. Tepatnya sepulang dari
umrah Ramadhan, saya mulai membaca banyak buku sebagai referensi. Ada satu
kebiasaan saat mencari bahan tentang sejarah Islam. Saya selalu memulainya
dengan buku “Sejarah Umat Islam” karya Prof. DR. Buya Hamka. Buku setebal 961
halaman ini menurut saya adalah magnum
opus Buya, setelah Tafsir Al-Azhar yang termasyur itu. Konon berpeti-peti
kitab digunakannya sebagai bahan penulisan. Buku ini ditulis selama 22 tahun,
dimulai di Maninjau tahun 1939 dan diselesaikan di Jakarta tahun 1961, selama
itu pula peti-peti kitab itu selalu dibawa ke manapun Buya berpindah-pindah
tempat.
Sebenarnya
saya agak bingung setelah membaca bab Andalusia di buku itu. Bukan saja Buya
hanya menulisnya sebanyak 12 halaman, untuk sejarah panjang yang lebih dari 8
abad, tapi tulisannya terasa seperti surat seorang yang sedang “patah hati”. Mindset saya tentang Andalusia adalah negeri
sejuta cahaya, tempat segala hal hebat berawal. Tapi mengapa membacanya di buku
ini terasa sangat miris? Nanti setiba di Andalusia, barulah saya temukan
jawabnya.
Saya
bersyukur, di Islamic Book Fair tahun 2014, saya sempat membeli buku “Bangkit dan
Runtuhnya Andalusia”, karya DR. Raghib As-Sirjani. Buku setebal 879 halaman
ini, seperti sepotong tiramisu yang sayang kalau langsung dihabiskan. Hampir
setiap malam, sepulang dari kantor, saya tenggelam membaca berlembar-lembar
halaman, sambil menandai dengan stabilo bagian-bagian yang penting. Rasanya
dulu waktu mengerjakan skripsi pun saya tidak seserius ini. Saya sangat
bersyukur mendapat referensi yang sangat detail dari buku itu.
Perjalanan
ke Andalusia sejatinya adalah mengonfirmasi sejarah. Banyak umat Islam,
terutama generasi muda, tidak paham bahwa Islam pernah menyinari dengan cahaya
terang di wilayah yang sekarang bernama Spanyol, Portugal dan sebagian Prancis.
Informasi yang beredar, terutama di internet, banyak yang isinya sampah, alias
menyesatkan. Semangat itu semakin terlecut kala membaca bukunya Hanum, “99
Cahaya di Langit Eropa”, “… Kalau ada waktu, wakililah Bapakmu ini menyaksikan
Cordoba dan Granada.” Sudut mata saya terasa hangat setiap membaca bagian itu, kalau
bisa terucap, mungkin kalimat yang sama akan disampaikan Papi pada saya.
----------------------------------------------------------
Tak
terasa ini adalah hari terakhir di benua Afrika. Pagi ini, setelah menyaksikan
pertemuan laut Mediterania dan Samudera Atlantik dari mercusuar, bus melaju perlahan
menuruni bukit menuju pelabuhan. Jalanan berkelok-kelok melewati vila-vila
cantik dengan deretan pohon pinus di kiri-kanan jalan. Saya membayangkan dari
atas bukit itu pula Musa bin Nushair dan Thariq ibn Ziyad mengatur strategi
untuk mendaratkan pasukannya di seberang lautan.
Bus
berhenti di tempat parkir pelabuhan. Azis menjelaskan beberapa hal sebelum kita
melintas di batas imigrasi. Dermaga ini terlihat tidak terlalu luas, kurang
lebih seperti Marina-Ancol. Ada beberapa kapal cepat bersandar. Bangunan yang
paling besar diperuntukkan sebagai ruang imigrasi, loket penjualan tiket, ruang
tunggu, dan café. Ada juga money changer
dan toilet umum di dekatnya. Waktu masih cukup longgar, saya dan Lambang
memutuskan menunggu di café sambil menyesap teh Maroko.
Rombongan
menyeberang dari Tanger menggunakan feri cepat menuju pelabuhan Tarifa. Kita
tidak bisa mendarat persis di Gibraltar, karena saat ini Gibraltar berada dalam
kekuasaan Inggris. Butuh visa yang berbeda dengan visa Schengen yang saya
pegang. Visa Schengen hanya berlaku untuk masuk ke negara-negara Eropa kecuali
Inggris. Tapi bukan berarti kota Tarifa ini tidak penting. Pasukan pembuka yang
dikirim Musa bin Nushair pertama kali mendarat di tempat ini. Pemimpinnya
adalah Tharif bin Malik, namanya diabadikan untuk menandai kota ini hingga
sekarang: Tarifa.
Koper-koper
besar disimpan di lambung kapal. Di dalam feri penumpang boleh memilih tempat
duduk sendiri. Tidak ada nomer kursi. Saya memilih duduk di dekat jendela.
Lambang berbagi tempat duduk dengan serombongan anak muda Maroko. Mereka berbincang
dalam bahasa Arab amiah yang sulit diikuti, karena bercampur dengan logat
Prancis. Belum lama duduk, masing-masing dari mereka mengeluarkan uang koin
dari kantongnya, lalu satu orang mengumpulkannya di atas koran. Jumlah koinnya
lumayan banyak. Saya sampai membatin, apa mereka ini semacam "Pak
Ogah" atau tukang parkir, kok, punya koin sebanyak itu. Sepertinya uang
itu dikumpulkan untuk jajan.
Di
dalam feri tersedia cafe yang menjual kopi, teh, soft drink dan aneka camilan. Semua dibanderol dalam Euro. Muffin
dan donat dijual €3, sandwich €5,75. Sekalipun belum beranjak dari pelabuhan
Tanger, namun mata uang Dirham Maroko sudah tidak bisa digunakan. Tersedia pula
business lounge dengan membayar €9. Tak
berapa lama terdengar peluit panjang, tanda kapal segera berlayar. Sebelum beranjak,
disampaikan instruksi keselamatan dalam bahasa Spanyol, Prancis dan Inggris.
Sepanjang
perjalanan terbentang laut yang tenang, makin lama perbukitan yang mengelilingi
kota Tanger makin samar terlihat. Saya menikmati pemandangan itu dari jendela
kapal. Sekalipun tadi pagi suhu udara di bawah 5 derajat, namun siang ini udara
terasa hangat. Awalnya saya berencana minum Antimo, karena biasanya saya mabuk
laut. Namun entah kenapa saya tidak merasa mual. Mungkin karena lautnya tidak
terlalu berombak, atau hati saya yang sedang riang? Di kejauhan mulai terlihat
bayangan perbukitan Gibraltar.
Mungkin
pemandangan seperti ini pula yang disaksikan Thariq ibn Ziyad dan pasukannya
dari atas kapal. Jumlah mereka sebenarnya tak terlalu banyak, hanya sekitar
12.000. Karenanya Barat membutuhkan pembenaran, bagaimana pasukan yang hanya
12.000 bisa mengalahkan mereka yang berjumlah 100.000, di negeri yang sama
sekali asing, dengan kondisi geografis yang sangat berbeda. Tak ada yang lebih
tepat dari menghembuskan “dongeng” pembakaran kapal itu, sehingga terasa
alamiah sekali kalau pasukan Thariq ibn Ziyad akhirnya menang; karena memang
tak punya pilihan!
Padahal
sejak kapan para syuhada membutuhkan “penyemangat” seperti itu? Tak ada yang
lebih mereka inginkan selain syahid di jalan Allah. Kala itu panggilan jihad
layaknya panggilan shalat Jumat. Semua laki-laki berbondong-bondong menyambut
seruan itu tanpa keraguan sedikitpun. Mereka adalah manusia-manusia terpilih, di
siang hari mereka bertempur seakan tidak ada setitikpun rasa takut. Di malam
hari mereka menjelma menjadi ahli ibadah, khusuk bermunajad dalam rekaat-rekaat
yang panjang di setiap Tahajudnya. Komandan pasukan yang pertama kali bertemu
dengan pasukan Thariq ibn Ziyad dalam suratnya pada Roderic, penguasa Spanyol
pada saat itu menuliskan, “Apakah pasukan ini berasal dari penduduk bumi atau
penduduk langit?”
Mereka
tak pernah berpikir ada pasukan perang sebaik itu, sangat berdisplin, mempunyai
kemampuan militer yang andal, namun sangat beradab. Tak seperti penjajah yang
pernah dijumpai sebelumnya. Pasukan ini sama sekali tidak merampas atau
mengambil kekayaan, tidak menyerang wanita, orangtua dan anak-anak. Tujuannya
hanya satu, menegakkan kalimat Lā ʾilāha
ʾillā-Allāh, Muḥammadun rasūlullāh. Ketika cahaya terang itu mereka tolak,
ditawarkan untuk membayar jizyah dan
mereka tetap bisa hidup tenang dengan harta dan keyakinannya. Jizyah tidak sama dengan pajak atau
upeti. Jizyah hanya berlaku untuk
laki-laki dewasa dan yang mampu. Wanita, anak-anak, orangtua dan orang miskin
tidak berkewajiban. Jumlahnya pun jauh lebih kecil dari kewajiban zakat umat
Islam yang besarnya 2,5% dari kekayaan yang telah mencapai nisab dan haul. Aturan
mulia itulah yang membuat pasukan Thariq ibn Ziyad disambut sebagai pembebas,
karena dinilai lebih adil ketimbang penguasa mereka yang lalim.
Setelah
terombang-ambing selama 35 menit, kapal mulai mengurangi kecepatan, dan
akhirnya berhenti. Saya lemaskan otot kaki sebelum antre keluar. Pelabuhan
Tarifa tidak lebih besar dari Pelabuhan Tanger, namun sedikit lebih ramai.
Antrean di imigrasi cukup panjang. Berbeda dengan perjalanan di Asia maupun di
Afrika, di Eropa kita harus “mandiri”. Tak ada porter di pelabuhan ini, koper-koper
besar harus dibawa sendiri sampai ke bus.
Alhamdulillah,
akhirnya saya hirup udara Eropa. Rasanya berdebar-debar tak sabar ingin segera
memulai perjalanan ini. Apakah Cordoba masih berpendar cahaya? Seperti apa
Mezquita? Semolek apa istana Alhambra?
Assalamualaikum
Andalusia...
Tanger-Tarifa,
4 Januari 2015