Sabtu, 21 Maret 2015

Assalamualaikum Andalusia

Nama Thariq ibn Ziyad selalu dikaitkan dengan peristiwa pembakaran kapal-kapal di Jabal At-thariq (Gunung Thariq) yang kemudian dilafalkan menjadi Gibraltar. Syahdan setelah berlabuh, kapal-kapal yang membawa pasukannya ia perintahkan untuk dibakar. Hanya ada dua pilihan untuk pasukannya; tenggelam di lautan yang ada di belakangnya, atau menghadapi pasukan musuh yang ada di depan. Peristiwa yang tidak pernah terjadi itu dituturkan dari generasi ke generasi sehingga dipercaya sebagai sebuah kebenaran.

---------------------------------------------
Setahun lebih saya mempersiapkan perjalanan ke Andalusia ini. Tepatnya sepulang dari umrah Ramadhan, saya mulai membaca banyak buku sebagai referensi. Ada satu kebiasaan saat mencari bahan tentang sejarah Islam. Saya selalu memulainya dengan buku “Sejarah Umat Islam” karya Prof. DR. Buya Hamka. Buku setebal 961 halaman ini menurut saya adalah magnum opus Buya, setelah Tafsir Al-Azhar yang termasyur itu. Konon berpeti-peti kitab digunakannya sebagai bahan penulisan. Buku ini ditulis selama 22 tahun, dimulai di Maninjau tahun 1939 dan diselesaikan di Jakarta tahun 1961, selama itu pula peti-peti kitab itu selalu dibawa ke manapun Buya berpindah-pindah tempat.

Sebenarnya saya agak bingung setelah membaca bab Andalusia di buku itu. Bukan saja Buya hanya menulisnya sebanyak 12 halaman, untuk sejarah panjang yang lebih dari 8 abad, tapi tulisannya terasa seperti surat seorang yang sedang “patah hati”. Mindset saya tentang Andalusia adalah negeri sejuta cahaya, tempat segala hal hebat berawal. Tapi mengapa membacanya di buku ini terasa sangat miris? Nanti setiba di Andalusia, barulah saya temukan jawabnya.

Saya bersyukur, di Islamic Book Fair tahun 2014, saya sempat membeli buku “Bangkit dan Runtuhnya Andalusia”, karya DR. Raghib As-Sirjani. Buku setebal 879 halaman ini, seperti sepotong tiramisu yang sayang kalau langsung dihabiskan. Hampir setiap malam, sepulang dari kantor, saya tenggelam membaca berlembar-lembar halaman, sambil menandai dengan stabilo bagian-bagian yang penting. Rasanya dulu waktu mengerjakan skripsi pun saya tidak seserius ini. Saya sangat bersyukur mendapat referensi yang sangat detail dari buku itu.

Perjalanan ke Andalusia sejatinya adalah mengonfirmasi sejarah. Banyak umat Islam, terutama generasi muda, tidak paham bahwa Islam pernah menyinari dengan cahaya terang di wilayah yang sekarang bernama Spanyol, Portugal dan sebagian Prancis. Informasi yang beredar, terutama di internet, banyak yang isinya sampah, alias menyesatkan. Semangat itu semakin terlecut kala membaca bukunya Hanum, “99 Cahaya di Langit Eropa”, “… Kalau ada waktu, wakililah Bapakmu ini menyaksikan Cordoba dan Granada.” Sudut mata saya terasa hangat setiap membaca bagian itu, kalau bisa terucap, mungkin kalimat yang sama akan disampaikan Papi pada saya.   

----------------------------------------------------------

Tak terasa ini adalah hari terakhir di benua Afrika. Pagi ini, setelah menyaksikan pertemuan laut Mediterania dan Samudera Atlantik dari mercusuar, bus melaju perlahan menuruni bukit menuju pelabuhan. Jalanan berkelok-kelok melewati vila-vila cantik dengan deretan pohon pinus di kiri-kanan jalan. Saya membayangkan dari atas bukit itu pula Musa bin Nushair dan Thariq ibn Ziyad mengatur strategi untuk mendaratkan pasukannya di seberang lautan.

Bus berhenti di tempat parkir pelabuhan. Azis menjelaskan beberapa hal sebelum kita melintas di batas imigrasi. Dermaga ini terlihat tidak terlalu luas, kurang lebih seperti Marina-Ancol. Ada beberapa kapal cepat bersandar. Bangunan yang paling besar diperuntukkan sebagai ruang imigrasi, loket penjualan tiket, ruang tunggu, dan café. Ada juga money changer dan toilet umum di dekatnya. Waktu masih cukup longgar, saya dan Lambang memutuskan menunggu di café sambil menyesap teh Maroko.

Rombongan menyeberang dari Tanger menggunakan feri cepat menuju pelabuhan Tarifa. Kita tidak bisa mendarat persis di Gibraltar, karena saat ini Gibraltar berada dalam kekuasaan Inggris. Butuh visa yang berbeda dengan visa Schengen yang saya pegang. Visa Schengen hanya berlaku untuk masuk ke negara-negara Eropa kecuali Inggris. Tapi bukan berarti kota Tarifa ini tidak penting. Pasukan pembuka yang dikirim Musa bin Nushair pertama kali mendarat di tempat ini. Pemimpinnya adalah Tharif bin Malik, namanya diabadikan untuk menandai kota ini hingga sekarang: Tarifa.  

Koper-koper besar disimpan di lambung kapal. Di dalam feri penumpang boleh memilih tempat duduk sendiri. Tidak ada nomer kursi. Saya memilih duduk di dekat jendela. Lambang berbagi tempat duduk dengan serombongan anak muda Maroko. Mereka berbincang dalam bahasa Arab amiah yang sulit diikuti, karena bercampur dengan logat Prancis. Belum lama duduk, masing-masing dari mereka mengeluarkan uang koin dari kantongnya, lalu satu orang mengumpulkannya di atas koran. Jumlah koinnya lumayan banyak. Saya sampai membatin, apa mereka ini semacam "Pak Ogah" atau tukang parkir, kok, punya koin sebanyak itu. Sepertinya uang itu dikumpulkan untuk jajan.

Di dalam feri tersedia cafe yang menjual kopi, teh, soft drink dan aneka camilan. Semua dibanderol dalam Euro. Muffin dan donat dijual €3, sandwich €5,75. Sekalipun belum beranjak dari pelabuhan Tanger, namun mata uang Dirham Maroko sudah tidak bisa digunakan. Tersedia pula business lounge dengan membayar €9. Tak berapa lama terdengar peluit panjang, tanda kapal segera berlayar. Sebelum beranjak, disampaikan instruksi keselamatan dalam bahasa Spanyol, Prancis dan Inggris.

Sepanjang perjalanan terbentang laut yang tenang, makin lama perbukitan yang mengelilingi kota Tanger makin samar terlihat. Saya menikmati pemandangan itu dari jendela kapal. Sekalipun tadi pagi suhu udara di bawah 5 derajat, namun siang ini udara terasa hangat. Awalnya saya berencana minum Antimo, karena biasanya saya mabuk laut. Namun entah kenapa saya tidak merasa mual. Mungkin karena lautnya tidak terlalu berombak, atau hati saya yang sedang riang? Di kejauhan mulai terlihat bayangan perbukitan Gibraltar.

Mungkin pemandangan seperti ini pula yang disaksikan Thariq ibn Ziyad dan pasukannya dari atas kapal. Jumlah mereka sebenarnya tak terlalu banyak, hanya sekitar 12.000. Karenanya Barat membutuhkan pembenaran, bagaimana pasukan yang hanya 12.000 bisa mengalahkan mereka yang berjumlah 100.000, di negeri yang sama sekali asing, dengan kondisi geografis yang sangat berbeda. Tak ada yang lebih tepat dari menghembuskan “dongeng” pembakaran kapal itu, sehingga terasa alamiah sekali kalau pasukan Thariq ibn Ziyad akhirnya menang; karena memang tak punya pilihan!

Padahal sejak kapan para syuhada membutuhkan “penyemangat” seperti itu? Tak ada yang lebih mereka inginkan selain syahid di jalan Allah. Kala itu panggilan jihad layaknya panggilan shalat Jumat. Semua laki-laki berbondong-bondong menyambut seruan itu tanpa keraguan sedikitpun. Mereka adalah manusia-manusia terpilih, di siang hari mereka bertempur seakan tidak ada setitikpun rasa takut. Di malam hari mereka menjelma menjadi ahli ibadah, khusuk bermunajad dalam rekaat-rekaat yang panjang di setiap Tahajudnya. Komandan pasukan yang pertama kali bertemu dengan pasukan Thariq ibn Ziyad dalam suratnya pada Roderic, penguasa Spanyol pada saat itu menuliskan, “Apakah pasukan ini berasal dari penduduk bumi atau penduduk langit?”

Mereka tak pernah berpikir ada pasukan perang sebaik itu, sangat berdisplin, mempunyai kemampuan militer yang andal, namun sangat beradab. Tak seperti penjajah yang pernah dijumpai sebelumnya. Pasukan ini sama sekali tidak merampas atau mengambil kekayaan, tidak menyerang wanita, orangtua dan anak-anak. Tujuannya hanya satu, menegakkan kalimat Lā ʾilāha ʾillā-Allāh, Muḥammadun rasūlullāh. Ketika cahaya terang itu mereka tolak, ditawarkan untuk membayar jizyah dan mereka tetap bisa hidup tenang dengan harta dan keyakinannya. Jizyah tidak sama dengan pajak atau upeti. Jizyah hanya berlaku untuk laki-laki dewasa dan yang mampu. Wanita, anak-anak, orangtua dan orang miskin tidak berkewajiban. Jumlahnya pun jauh lebih kecil dari kewajiban zakat umat Islam yang besarnya 2,5% dari kekayaan yang telah mencapai nisab dan haul. Aturan mulia itulah yang membuat pasukan Thariq ibn Ziyad disambut sebagai pembebas, karena dinilai lebih adil ketimbang penguasa mereka yang lalim.

Setelah terombang-ambing selama 35 menit, kapal mulai mengurangi kecepatan, dan akhirnya berhenti. Saya lemaskan otot kaki sebelum antre keluar. Pelabuhan Tarifa tidak lebih besar dari Pelabuhan Tanger, namun sedikit lebih ramai. Antrean di imigrasi cukup panjang. Berbeda dengan perjalanan di Asia maupun di Afrika, di Eropa kita harus “mandiri”. Tak ada porter di pelabuhan ini, koper-koper besar harus dibawa sendiri sampai ke bus.

Alhamdulillah, akhirnya saya hirup udara Eropa. Rasanya berdebar-debar tak sabar ingin segera memulai perjalanan ini. Apakah Cordoba masih berpendar cahaya? Seperti apa Mezquita? Semolek apa istana Alhambra?

Assalamualaikum Andalusia...



Tanger-Tarifa, 4 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar