Dari
kota ini perjalanan Sang Pengelana Ibn Batutah dimulai: Tanger. Titik tolaknya
adalah Kota Suci Mekkah. Terus melangkah hingga melewati Hindustan dan singgah
di Samudra Pasai-Aceh. Dalam perjalanannya, beberapa kali ia kembali ke Mekkah.
Semua tertuang dalam kitab fenomenal Ar-Rihlah. Perjalanan yang ditempuhnya
berkali lipat dari rute Marcopolo. Enam ratus lima puluh tahun sebelumnya, dari
tempat ini pula Sang Panglima Thariq ibn Ziyad dilahirkan. Kota ini penuh jejak
sejarah. Bahkan Tintin pun sempat mampir ke Tanger.
-------------------------------------------------
Wuuusss… Hembusan udara dingin langsung terasa begitu pintu
hidrolik bus terbuka. Malam belum larut, namun gelap telah pekat sempurna.
Suara debur ombak terasa sangat dekat. “Sepertinya di depan itu laut, deh,
suara ombaknya deket banget,” cetus
saya pada Lambang. Perjalanan darat dari Fes ke Tanger cukup melelahkan, hampir
lima jam melalui jalan bebas hambatan. Tanger dalam bahasa Prancis, Spanyol dan
Portugis, atau Tanjah dalam bahasa Arab, dan Tangier dalam bahasa Inggris,
adalah kota terakhir di Afrika yang akan kita lalui sebelum menyeberang ke
Eropa melalui selat Gibraltar.
Satu
per satu rombongan turun dari bus. Semua merapatkan jaket sambil berlari kecil
masuk ke dalam hotel. Di lobby hotel udara terasa hangat. Di sudut lobby ada
lemari pajangan yang membuat saya sedikit terkejut, isinya semua hal tentang
Tintin. Komik karya Georges Remi (1907–1983) yang dituliskan menjadi RG (dibaca
Hergé dalam bahasa Perancis) ini dalam salah satu ceritanya sempat mampir ke
Tanger. Tintin à
Tanger, judulnya dalam bahasa Prancis. Pastilah kota ini istimewa, batin saya.
Karena
sudah lapar, saya dan Lambang memutuskan untuk makan malam dulu sebelum masuk
ke kamar. Makanan yang saya suka selama di Maroko adalah roti khubs, semacam roti gandum, tak beragi,
bentuknya gepeng bulat besar. Saat digigit terasa renyah, namun setelah
dikunyah barulah lembut di lidah. Khubs
adalah makanan pokok, ibarat nasi bagi orang Indonesia. Biasanya dihidangkan
dengan cara dipotong-potong menjadi beberapa bagian dengan potongan menyerupai
pizza. Dimakan begitu saja, tanpa lauk apa pun, rasanya sudah nikmat, apalagi disantap
selagi hangat. Hhhmmm… Tak terasa
beberapa potong roti khubs beserta
pelengkapnya telah berpindah ke perut. Saya harus segera beristirahat karena
esok pagi akan melanjutkan perjalanan yang cukup jauh.
-----------------------------------------
Dugaan
saya semalam ternyata benar, persis di depan hotel terhampar laut yang biru.
Pagi ini sedikit berkabut, dengan udara dingin yang menggigit, sehingga suasana
sedikit dramatis. Tanger adalah kota bersejarah. Banyak orang-orang hebat yang
berasal dari tempat ini. Termasuk Sang Pengelana Ibn Batutah. Sepanjang
hayatnya, putra saudagar kaya ini menghabiskan waktunya dengan berkelana,
menjelajah banyak negeri.
Saya
membayangkan, enam ratus tahun yang lalu, tepatnya tahun 1325, di pagi yang
sedingin ini, di balik kabut itu Ibn Batutah memulai perjalanannya.
Meninggalkan negeri dan orang-orang yang dicintainya. Tujuan utamanya adalah
kota suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu kakinya terus
melangkah, tak kurang 44 negara disinggahinya. Dari Mesir, Syam
(Syria-Palestine sekarang), Hijaz, Persia, Turkistan, Hindustan, Tiongkok,
hingga Samudra Pasai-Aceh. Total 27
tahun waktu yang dihabiskannya. Semua itu tertuang dalam kitab Tuhfah An-Nuzhzhaar fi Graraa’ib Al Amshaar
wa ‘Ajaa’ib Al-Asfaar atau yang dikenal sebagai Ar-Rihlah. Sejatinya bukan ia
sendiri yang menuliskan catatan perjalanan itu, namun ia mendiktekan kisahnya
pada Muhammad Ibn Juzai Al-Kalbi.
Banyak
hal-hal ajaib yang dikisahkannya. Deskripsinya tentang negeri-negeri yang
dilalui sangat fantastis. Meski sudah membaca buku terjemahannya setebal 610
halaman, saya masih penasaran dengan kitab aslinya. Saat kursus bahasa Arab di
Universitas Al-Azhar Indonesia, salah satu tujuan saya, selain tentu saja bisa
bercakap dalam bahasa Arab, saya ingin membaca kitab Ar-Rihlah dalam bahasa
aslinya. Saya tak bisa membayangkan, pada masa itu ada seseorang yang bisa
menjelajah sedemikian jauhnya. Untuk ukuran sekarang pun, rute yang yang
dilaluinya sangat luar biasa. Buat saya, perjalanan ke Maroko ini sangat jauh, padahal
naik pesawat. Saya juga pernah ke Aceh, bahkan dari Jakarta pun menurut saya
sudah jauh. Dan enam abad yang lalu Ibn Batutah bertualang dari Maroko sampai ke
Aceh! Subhanallah…
Tak
hanya Ibn Batutah, Sang Pahlawan Thariq ibn Ziyad juga berasal dari Tanger. Ia
lahir tahun 670, sebagai putra pemimpin suku Berber. Beberapa literatur
menyebutkan, Thariq berparas rupawan, badannya tinggi tegap, berkulit putih
bersih dan bermata biru. Laiknya gambaran pria Spanyol sekarang. Namun yang terpenting
adalah semangatnya untuk berjihad di jalan Allah. Dia adalah panglima yang memiliki
gabungan antara rasa takut pada Allah, sikap wara’, kecerdasan menyusun
strategi militer, dan keinginan untuk syahid di jalan Allah. Tak salah bila
Musa bin Nushair memilihnya sebagai panglima pembebaskan Andalusia.
Kemenangan
demi kemenangan yang diperolehnya di tanah asing yang sama sekali belum pernah dikenalnya,
tak membuatnya lalai akan tujuan semula. Ide untuk membebaskan Andalusia
sebenarnya sudah dimulai sejak masa Utsman bin Affan sebagai jalan menuju
penaklukan Konstantinopel. Sekalipun telah berhasil mengepungnya, namun Allah
belum izinkan Islam mengibarkan benderanya di sana. Konstantinopel tidak bisa
ditaklukkan dari laut. Andalusia adalah salah satu jalan yang bisa diretas.
Dalam
perjalanan panjang, satu per satu negeri berhasil dibebaskannya, dari Ecija,
Granada, Cordoba, Alboera, Malaga, Zaragosa, dan banyak lagi. Pasukan Thariq
ibn Ziyad makin lama makin besar dan kuat. Jumlahnya terus berlipat. Namun semua
itu tak mengikis kesetiaannya pada Khilafah Ummayah di Damaskus. Saat
pasukannya telah mencapai Prancis Barat, Amirul Mukminin Al Walid bin Abdul
Malik meminta Musa bin Nushair dan Thariq kembali ke Damaskus. Penarikan
pasukan ini bukan tanpa alasan, sebab sang Khalifah mendengar rencana setelah
membebaskan seluruh wilayah Eropa, pasukan ini akan melangkah ke Itali, lalu ke
Yugoslavia, Rumania, Bulgaria, sampai Konstantinopel dari arah barat. Pergerakan
ini terlalu membahayakan, karena bila terjadi sesuatu, bala bantuan dari
Damaskus maupun Maroko terlalu jauh untuk menyusul mereka. Sekalipun tidak
sampai menaklukkan Konstantinopel, namun percapain mereka telah terukir dalam
sejarah dengan tinta emas.
Saya
tersadar dari lamunan saat sayup-sayup mendengar suara Azis yang meminta
rombongan segera masuk ke dalam bus. Tujuan pertama kita adalah mercusuar di
atas bukit untuk menyaksikan batas bertemunya laut Mediterania dan Samudera Atlantik
yang memiliki kadar garam yang berbeda, namun keduanya tidak tercampur. Sungguh
Allah menunjukkan kekuasanNya pagi itu, batas kedua laut itu terlihat jelas seperti yang tertuang dalam QS. Ar-Rahman:19, Dia biarkan air dua laut mengalir, sedang
keduanya pula bertemu.
Dari
tempat saya berdiri, hamparan birunya laut terlihat sangat tenang. Seakan saya
bisa menyaksikan kapal-kapal pasukan Thariq ibn Ziyad membuang sauh menuju
Andalusia. Derap kaki kuda, gema takbir yang bertalu-talu, lantunan shalawat yang
menderas, rapatnya barisan seperti rapatnya shaf salat. Sudut mata saya terasa
hangat. Sungguh saya ingin berada di sana, berada di antara pasukan terbaik itu…
Tanger,
4 Januari 2015
Uttiek
Herlambang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar