Senin, 02 Maret 2015

Tanger Kota Sang Pengelana

Dari kota ini perjalanan Sang Pengelana Ibn Batutah dimulai: Tanger. Titik tolaknya adalah Kota Suci Mekkah. Terus melangkah hingga melewati Hindustan dan singgah di Samudra Pasai-Aceh. Dalam perjalanannya, beberapa kali ia kembali ke Mekkah. Semua tertuang dalam kitab fenomenal Ar-Rihlah. Perjalanan yang ditempuhnya berkali lipat dari rute Marcopolo. Enam ratus lima puluh tahun sebelumnya, dari tempat ini pula Sang Panglima Thariq ibn Ziyad dilahirkan. Kota ini penuh jejak sejarah. Bahkan Tintin pun sempat mampir ke Tanger.

-------------------------------------------------

Wuuusss… Hembusan udara dingin langsung terasa begitu pintu hidrolik bus terbuka. Malam belum larut, namun gelap telah pekat sempurna. Suara debur ombak terasa sangat dekat. “Sepertinya di depan itu laut, deh, suara ombaknya deket banget,” cetus saya pada Lambang. Perjalanan darat dari Fes ke Tanger cukup melelahkan, hampir lima jam melalui jalan bebas hambatan. Tanger dalam bahasa Prancis, Spanyol dan Portugis, atau Tanjah dalam bahasa Arab, dan Tangier dalam bahasa Inggris, adalah kota terakhir di Afrika yang akan kita lalui sebelum menyeberang ke Eropa melalui selat Gibraltar.

Satu per satu rombongan turun dari bus. Semua merapatkan jaket sambil berlari kecil masuk ke dalam hotel. Di lobby hotel udara terasa hangat. Di sudut lobby ada lemari pajangan yang membuat saya sedikit terkejut, isinya semua hal tentang Tintin. Komik karya Georges Remi (1907–1983) yang dituliskan menjadi RG (dibaca Hergé dalam bahasa Perancis) ini dalam salah satu ceritanya sempat mampir ke Tanger. Tintin à Tanger, judulnya dalam bahasa Prancis. Pastilah kota ini istimewa, batin saya.

Karena sudah lapar, saya dan Lambang memutuskan untuk makan malam dulu sebelum masuk ke kamar. Makanan yang saya suka selama di Maroko adalah roti khubs, semacam roti gandum, tak beragi, bentuknya gepeng bulat besar. Saat digigit terasa renyah, namun setelah dikunyah barulah lembut di lidah. Khubs adalah makanan pokok, ibarat nasi bagi orang Indonesia. Biasanya dihidangkan dengan cara dipotong-potong menjadi beberapa bagian dengan potongan menyerupai pizza. Dimakan begitu saja, tanpa lauk apa pun, rasanya sudah nikmat, apalagi disantap selagi hangat. Hhhmmm… Tak terasa beberapa potong roti khubs beserta pelengkapnya telah berpindah ke perut. Saya harus segera beristirahat karena esok pagi akan melanjutkan perjalanan yang cukup jauh.

-----------------------------------------

Dugaan saya semalam ternyata benar, persis di depan hotel terhampar laut yang biru. Pagi ini sedikit berkabut, dengan udara dingin yang menggigit, sehingga suasana sedikit dramatis. Tanger adalah kota bersejarah. Banyak orang-orang hebat yang berasal dari tempat ini. Termasuk Sang Pengelana Ibn Batutah. Sepanjang hayatnya, putra saudagar kaya ini menghabiskan waktunya dengan berkelana, menjelajah banyak negeri.

Saya membayangkan, enam ratus tahun yang lalu, tepatnya tahun 1325, di pagi yang sedingin ini, di balik kabut itu Ibn Batutah memulai perjalanannya. Meninggalkan negeri dan orang-orang yang dicintainya. Tujuan utamanya adalah kota suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu kakinya terus melangkah, tak kurang 44 negara disinggahinya. Dari Mesir, Syam (Syria-Palestine sekarang), Hijaz, Persia, Turkistan, Hindustan, Tiongkok, hingga Samudra Pasai-Aceh. Total  27 tahun waktu yang dihabiskannya. Semua itu tertuang dalam kitab Tuhfah An-Nuzhzhaar fi Graraa’ib Al Amshaar wa ‘Ajaa’ib Al-Asfaar atau yang dikenal sebagai Ar-Rihlah. Sejatinya bukan ia sendiri yang menuliskan catatan perjalanan itu, namun ia mendiktekan kisahnya pada Muhammad Ibn Juzai Al-Kalbi.

Banyak hal-hal ajaib yang dikisahkannya. Deskripsinya tentang negeri-negeri yang dilalui sangat fantastis. Meski sudah membaca buku terjemahannya setebal 610 halaman, saya masih penasaran dengan kitab aslinya. Saat kursus bahasa Arab di Universitas Al-Azhar Indonesia, salah satu tujuan saya, selain tentu saja bisa bercakap dalam bahasa Arab, saya ingin membaca kitab Ar-Rihlah dalam bahasa aslinya. Saya tak bisa membayangkan, pada masa itu ada seseorang yang bisa menjelajah sedemikian jauhnya. Untuk ukuran sekarang pun, rute yang yang dilaluinya sangat luar biasa. Buat saya, perjalanan ke Maroko ini sangat jauh, padahal naik pesawat. Saya juga pernah ke Aceh, bahkan dari Jakarta pun menurut saya sudah jauh. Dan enam abad yang lalu Ibn Batutah bertualang dari Maroko sampai ke Aceh! Subhanallah…

Tak hanya Ibn Batutah, Sang Pahlawan Thariq ibn Ziyad juga berasal dari Tanger. Ia lahir tahun 670, sebagai putra pemimpin suku Berber. Beberapa literatur menyebutkan, Thariq berparas rupawan, badannya tinggi tegap, berkulit putih bersih dan bermata biru. Laiknya gambaran pria Spanyol sekarang. Namun yang terpenting adalah semangatnya untuk berjihad di jalan Allah. Dia adalah panglima yang memiliki gabungan antara rasa takut pada Allah, sikap wara’,  kecerdasan menyusun strategi militer, dan keinginan untuk syahid di jalan Allah. Tak salah bila Musa bin Nushair memilihnya sebagai panglima pembebaskan Andalusia.

Kemenangan demi kemenangan yang diperolehnya di tanah asing yang sama sekali belum pernah dikenalnya, tak membuatnya lalai akan tujuan semula. Ide untuk membebaskan Andalusia sebenarnya sudah dimulai sejak masa Utsman bin Affan sebagai jalan menuju penaklukan Konstantinopel. Sekalipun telah berhasil mengepungnya, namun Allah belum izinkan Islam mengibarkan benderanya di sana. Konstantinopel tidak bisa ditaklukkan dari laut. Andalusia adalah salah satu jalan yang bisa diretas.

Dalam perjalanan panjang, satu per satu negeri berhasil dibebaskannya, dari Ecija, Granada, Cordoba, Alboera, Malaga, Zaragosa, dan banyak lagi. Pasukan Thariq ibn Ziyad makin lama makin besar dan kuat. Jumlahnya terus berlipat. Namun semua itu tak mengikis kesetiaannya pada Khilafah Ummayah di Damaskus. Saat pasukannya telah mencapai Prancis Barat, Amirul Mukminin Al Walid bin Abdul Malik meminta Musa bin Nushair dan Thariq kembali ke Damaskus. Penarikan pasukan ini bukan tanpa alasan, sebab sang Khalifah mendengar rencana setelah membebaskan seluruh wilayah Eropa, pasukan ini akan melangkah ke Itali, lalu ke Yugoslavia, Rumania, Bulgaria, sampai Konstantinopel dari arah barat. Pergerakan ini terlalu membahayakan, karena bila terjadi sesuatu, bala bantuan dari Damaskus maupun Maroko terlalu jauh untuk menyusul mereka. Sekalipun tidak sampai menaklukkan Konstantinopel, namun percapain mereka telah terukir dalam sejarah dengan tinta emas.

Saya tersadar dari lamunan saat sayup-sayup mendengar suara Azis yang meminta rombongan segera masuk ke dalam bus. Tujuan pertama kita adalah mercusuar di atas bukit untuk menyaksikan batas bertemunya laut Mediterania dan Samudera Atlantik yang memiliki kadar garam yang berbeda, namun keduanya tidak tercampur. Sungguh Allah menunjukkan kekuasanNya pagi itu, batas kedua laut itu terlihat jelas  seperti yang  tertuang dalam QS. Ar-Rahman:19, Dia biarkan air dua laut mengalir, sedang keduanya pula bertemu.

Dari tempat saya berdiri, hamparan birunya laut terlihat sangat tenang. Seakan saya bisa menyaksikan kapal-kapal pasukan Thariq ibn Ziyad membuang sauh menuju Andalusia. Derap kaki kuda, gema takbir yang bertalu-talu, lantunan shalawat yang menderas, rapatnya barisan seperti rapatnya shaf salat. Sudut mata saya terasa hangat. Sungguh saya ingin berada di sana, berada di antara pasukan terbaik itu…


Tanger, 4 Januari 2015


Uttiek Herlambang 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar