Sabtu, 24 Oktober 2015

Cordoba Kota Sejuta Cahaya


Dari rahim Cordoba lahir para pemikir yang belum tertandingi hingga kini. Sebutlah Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi (930-1013) atau di Barat dikenal sebagai Abulcasis. Lebih dari 1.000 tahun yang lalu, ia sudah mampu menghentikan perdarahan saat melakukan operasi pembedahan tengkorak manusia! Selanjutnya, Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurthubi Al-Andalusi (1126-1198) atau Ibn Rusyd yang di Barat dikenal sebagai Aviroes. Kalau di abad modern ini nama Albert Einstein sering dipadankan dengan kata jenius, sejatinya, apa yang dihasilkan belum ada apa-apanya dibanding torehan sejarah Ibn Rusyd. Tanpa buah pikirnya, bisa jadi Eropa sekarang masih berada dalam belenggu kebodohan dan kegelapan.

-------------------------------------------------------

Juan terdengar menggerutu. Tapi karena diucapkan dalam bahasa Spanyol, jadi tidak ada yang paham. Hari itu sepertinya kita agak kesorean memasuki kota Cordoba. Di sepanjang jalan orang berduyun-duyun menuju satu tempat. Bus berputar-putar beberapa kali, Juan pun sempat menghentikan bus dan bertanya sesuatu pada polisi.
“Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju hotel,” katanya dengan bahasa Inggris terpatah-patah  pada Pak Rustam.
“Ada apa?” Pak Rustam balik bertanya.
Saya dan Lambang yang kebetulan duduk di bangku terdepan dapat mendengar percakapan itu.
 “Gimana, Pak?” tanya Lambang
“Ini parade akan dimulai. Semua jalan menuju hotel sudah ditutup. Saya akan turunkan rombongan di seberang taman, kalian harus berjalan melintasi taman. Tidak jauh, kok,” jawab Juan.

Dan benar saja, rombongan diturunkan di pinggir sebuah taman, lengkap dengan koper-koper besar kita. Semua bergegas melintasi taman yang rupanya sangat ramai karena sedang ada semacam pasar malam.
“Ini perayaan apa sih? Kok semua orang tumpah ruah di jalan?” tanya saya.
Seorang bule yang sepertinya kasihan melihat rombongan orang Asia menggeret-geret koper besar memberi tahu, “Kalian harus segera menyeberang jalan itu. Setengah jam lagi parade akan lewat, dan kalian bisa tertahan sampai jam 9 malam.”
Jadilah kita semua mempercepat langkah, bahkan setengah berlari  sambil membawa bawaan masing-masing yang sangat berat. 

Hari ini kita memasuki kota Cordoba bertepatan dengan perayaan Dia de la Toma yang digelar setiap awal Januari. Setelah kembali ke Jakarta, saya baru tahu kalau perayaan Dia de la Toma adalah untuk menandai peristiwa jatuhnya Kota Granada ke tangan Kristen pada 2 Januari 1492. Perayaan itu masih terus diselenggarakan selama 523 tahun. Meski Dewan Islam di Spanyol sudah meminta supaya perayaan itu dihentikan, namun pemerintah Spanyol tidak memenuhinya.

Setelah berhasil menyeberang jalan dan menyibak kerumunan, terlihat tembok tinggi menyerupai benteng kota tua. Di depannya ada taman yang cukup luas dengan plaza penuh orang yang sedang duduk-duduk menikmati sore. “Posisi hotel kita di dalam tembok itu,” jelas Pak Rustam sambil terus melihat GPS. Jalanan di balik tembok tinggi itu menyerupai labirin, tak seberapa lebar, berkelok-kelok dan beralas conblock. Ada getar aneh yang berdenyut di hati menyaksikan senja yang mulai lindap di dalam kota tua itu.

Di kiri-kanan terdapat rumah-rumah kuno yang sudah dialihfungsikan sebagai toko souvenir, kafe, spa, hingga hotel. Rumah-rumah itu sangat cantik, berpagar besi tinggi, lengkap dengan taman bergaya abad pertengahan di depannya. Saya bagai terlempar ke masa silam. Tiba-tiba langkah saya terhenti menyaksikan sebuah patung besar, sesosok pria mengenakan gamis khas Arab lengkap dengan surban, duduk sambil memegang buku yang diletakkan di pangkuannya. Saya baca keterangan di bawahnya, tertulis Moses Maimonides 1135-1204. “Maimonides itu bukannya Ibn Maymon, teolog Yahudi yang belajar di Universitas Al Qarawiyyin, di Kota Fes, Maroko yang sempat saya kunjungi sebelumnya?” batin saya. Sesampai di hotel saya segera browsing, dan ternyata benar. Pada masa itu segala hal tentang Islam menjadi tren dan lambang kemajuan, tak heran kalau cara berpakaian pun ditiru oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi.

nH Collection Hotel tempat saya menginap letaknya tak terlalu jauh dari patung itu. Serupa dengan bangunan di sekitarnya, hotel ini juga menempati rumah kuno yang sangat besar. Tak hanya taman cantik di bagian depan, di tengah bangunan terdapat patio, lengkap dengan kursi taman dan bunga aneka warna. Saya membayangkan, di patio seperti inilah dulu para ilmuwan Cordoba berdiskusi dan menghasilkan karya cemerlang yang mereka sumbangkan pada dunia.

Dalam keremangan senja, dari jendela kamar, saya bisa menyaksikan pemandangan di dalam tembok kota tua. Cordoba adalah sebuah nama, namun bagi bangsa Eropa, Cordoba bagaikan alunan nada-nada indah. Dari sinilah kebangkitan peradaban bermula. Kota yang terletak di tepi sungai Al-Wadi al-Kabir, yang dilafalkan orang Spanyol sebagai Guadalquivir ini, mempunyai 70 perpustakaan, 50 rumah sakit, 3.837 masjid, 900 pemandian umum, 80.455 pertokoan, 213.077 rumah rakyat, dan sekolah yang tak terhitung jumlahnya. Dengan jumlah penduduk yang hanya 500.000 jiwa, kesejahteraan mereka sangat berlimpah, pendidikan gratis, semua dapat mengakses fasilitas kesehatan yang sangat maju di zamannya. Tak ada satu pun penduduk Cordoba yang buta aksara, semua bisa membaca dan menulis, bandingkan dengan bangsa Eropa yang kala itu hanya 1-2 orang bangsawan atau tokoh agamanya yang bisa membaca.

Ibn Al-Wardi dalam kitabnya Kharidah Al-Aja’ib menjelaskan, “Keistimewaan kota ini lebih hebat dari yang pernah dijelaskan oleh siapapun. Penduduknya adalah tokoh-tokoh terpandang di dunia, orang-orang terdepan dalam ilmu, pengetahuan, dan cita-cita tertinggi. Di sana berkumpul para ulama, pemimpin yang adil, dan pasukan yang dibanggakan.”

Dari rahim Cordoba lahir para pemikir yang belum tertandingi hingga kini. Sebutlah Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi (930-1013) atau di Barat dikenal sebagai Abulcasis. Kitab Al-Tastif Liman Ajiz’an Al-Ta’lif yang ditulisnya sebanyak 30 jilid, berisi kumpulan praktik kedokteran menjadi rujukan utama di sekolah-sekolah kedokteran hingga abad ke-17. Lebih dari 1.000 tahun yang lalu, ia sudah mampu menghentikan perdarahan saat melakukan operasi pembedahan tengkorak manusia!

Nama lain yang mengubah sejarah dunia adalah Abu Abdullah Muhammad al-Idrisi al-Qurtubi al-Hasani al-Sabti (1100-1165) atau yang sering disebut Al-Idrisi. Dari tangannya lah tercipta peta dunia yang rumit dan paling akurat. Selama berabad-abad petanya terus disalin tanpa ada perubahan. Karyanya ini menjadi rujukan Christopher Columbus dan Vasco Da Gama sebelum melakukan pelayarannya, sekaligus menjadi bukti, pelaut muslim Andalusia telah mencapai benua Amerika, jauh sebelum Columbus. Astronomi dan geografi adalah pengetahuan yang lekat dengan umat Islam. Ilmu astronomi dibutuhkan untuk menentukan arah Kiblat dari negeri-negeri yang jauh. Sedangkan pembuatan peta menjadi kebutuhan untuk menunjukkan arah ke Baitullah.

Di abad modern ini nama Albert Einstein sering dipadankan dengan kata jenius. Padahal apa yang dihasilkannya belum ada apa-apanya dibanding torehan sejarah Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurthubi Al-Andalusi (1126-1198) atau Ibn Rusyd yang di Barat dikenal sebagai Aviroes. Tanpa buah pikirnya, bisa jadi Eropa sekarang masih berada dalam belenggu kebodohan dan kegelapan. “Ibn Rusyd adalah bapak renaissance sejati,” kata Hanum di bukunya 99 Cahaya di Langit Eropa. Kebalikan dari ilmuwan modern yang semakin tinggi ilmunya semakin meniadakan keberadaan Tuhan, Ibn Rusyd bisa menjelaskan dengan sangat jernih, bagaimana pengetahuan mengantarkan manusia tunduk pada kekuasaan Allah. Betapa kerdil manusia dibanding keluasaan ilmu Allah. Sebagai bentuk penghormatan kepadanya, bekas rumah Ibn Rusyd hingga saat ini masih digunakan sebagai pusat kajian Islam di Spanyol.

--------------------------------------

“Mau makan malam sekarang?” tanya Lambang menyadarkan saya dari lamunan.
Saya memberi isyarat dengan anggukan. Sebelum menutup tirai jendela, saya seperti menyaksikan keriuhan Cordoba. Para pencari ilmu hilir mudik membawa kitab-kitab. Para alim duduk di kelilingi murid-muridnya. Cahaya pengetahuan berpendar terang dari bumi Cordoba, kota sejuta cahaya.

Rabbi zidni ilman, warzuqni fahman,
Ya Allah tambahkan kami ilmu dan rezekikan kami pemahaman darinya.


Cordoba, 6 Januari 2015

Uttiek Herlambang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar