Dari rahim Cordoba lahir para
pemikir yang belum tertandingi hingga kini. Sebutlah Abul Qasim Khalaf ibn
al-Abbas az-Zahrawi (930-1013) atau di Barat dikenal sebagai Abulcasis. Lebih
dari 1.000 tahun yang lalu, ia sudah mampu menghentikan perdarahan saat melakukan
operasi pembedahan tengkorak manusia! Selanjutnya, Abu Walid Muhammad bin Ahmad
bin Rusyd Al-Qurthubi Al-Andalusi (1126-1198) atau Ibn Rusyd yang di Barat
dikenal sebagai Aviroes. Kalau di abad modern ini nama Albert Einstein sering
dipadankan dengan kata jenius, sejatinya, apa yang dihasilkan belum ada
apa-apanya dibanding torehan sejarah Ibn Rusyd. Tanpa buah pikirnya, bisa jadi
Eropa sekarang masih berada dalam belenggu kebodohan dan kegelapan.
-------------------------------------------------------
Juan terdengar menggerutu. Tapi
karena diucapkan dalam bahasa Spanyol, jadi tidak ada yang paham. Hari itu
sepertinya kita agak kesorean memasuki kota Cordoba. Di sepanjang jalan orang
berduyun-duyun menuju satu tempat. Bus berputar-putar beberapa kali, Juan pun
sempat menghentikan bus dan bertanya sesuatu pada polisi.
“Sepertinya kita tidak bisa
melanjutkan perjalanan menuju hotel,” katanya dengan bahasa Inggris
terpatah-patah pada Pak Rustam.
“Ada apa?” Pak Rustam balik bertanya.
Saya dan Lambang yang kebetulan
duduk di bangku terdepan dapat mendengar percakapan itu.
“Gimana, Pak?” tanya Lambang
“Ini parade akan dimulai. Semua
jalan menuju hotel sudah ditutup. Saya akan turunkan rombongan di seberang
taman, kalian harus berjalan melintasi taman. Tidak jauh, kok,” jawab Juan.
Dan benar saja, rombongan
diturunkan di pinggir sebuah taman, lengkap dengan koper-koper besar kita. Semua
bergegas melintasi taman yang rupanya sangat ramai karena sedang ada semacam
pasar malam.
“Ini perayaan apa sih? Kok semua
orang tumpah ruah di jalan?” tanya saya.
Seorang bule yang sepertinya
kasihan melihat rombongan orang Asia menggeret-geret koper besar memberi tahu,
“Kalian harus segera menyeberang jalan itu. Setengah jam lagi parade akan
lewat, dan kalian bisa tertahan sampai jam 9 malam.”
Jadilah kita semua mempercepat
langkah, bahkan setengah berlari sambil
membawa bawaan masing-masing yang sangat berat.
Hari ini kita memasuki kota
Cordoba bertepatan dengan perayaan Dia de la Toma yang digelar setiap awal
Januari. Setelah kembali ke Jakarta, saya baru tahu kalau perayaan Dia de la
Toma adalah untuk menandai peristiwa jatuhnya Kota Granada ke tangan Kristen
pada 2 Januari 1492. Perayaan itu masih terus diselenggarakan selama 523 tahun.
Meski Dewan Islam di Spanyol sudah meminta supaya perayaan itu dihentikan,
namun pemerintah Spanyol tidak memenuhinya.
Setelah berhasil menyeberang
jalan dan menyibak kerumunan, terlihat tembok tinggi menyerupai benteng kota
tua. Di depannya ada taman yang cukup luas dengan plaza penuh orang yang sedang
duduk-duduk menikmati sore. “Posisi hotel kita di dalam tembok itu,” jelas Pak
Rustam sambil terus melihat GPS. Jalanan di balik tembok tinggi itu menyerupai
labirin, tak seberapa lebar, berkelok-kelok dan beralas conblock. Ada getar aneh yang berdenyut di hati menyaksikan senja
yang mulai lindap di dalam kota tua itu.
Di kiri-kanan terdapat
rumah-rumah kuno yang sudah dialihfungsikan sebagai toko souvenir, kafe, spa,
hingga hotel. Rumah-rumah itu sangat cantik, berpagar besi tinggi, lengkap
dengan taman bergaya abad pertengahan di depannya. Saya bagai terlempar ke masa
silam. Tiba-tiba langkah saya terhenti menyaksikan sebuah patung besar, sesosok
pria mengenakan gamis khas Arab lengkap dengan surban, duduk sambil memegang
buku yang diletakkan di pangkuannya. Saya baca keterangan di bawahnya, tertulis
Moses Maimonides 1135-1204. “Maimonides itu bukannya Ibn Maymon, teolog Yahudi
yang belajar di Universitas Al Qarawiyyin, di Kota Fes, Maroko yang sempat saya
kunjungi sebelumnya?” batin saya. Sesampai di hotel saya segera browsing, dan ternyata benar. Pada masa
itu segala hal tentang Islam menjadi tren dan lambang kemajuan, tak heran kalau
cara berpakaian pun ditiru oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi.
nH Collection Hotel tempat saya
menginap letaknya tak terlalu jauh dari patung itu. Serupa dengan bangunan di
sekitarnya, hotel ini juga menempati rumah kuno yang sangat besar. Tak hanya
taman cantik di bagian depan, di tengah bangunan terdapat patio, lengkap dengan
kursi taman dan bunga aneka warna. Saya membayangkan, di patio seperti inilah
dulu para ilmuwan Cordoba berdiskusi dan menghasilkan karya cemerlang yang
mereka sumbangkan pada dunia.
Dalam keremangan senja, dari
jendela kamar, saya bisa menyaksikan pemandangan di dalam tembok kota tua. Cordoba
adalah sebuah nama, namun bagi bangsa Eropa, Cordoba bagaikan alunan nada-nada
indah. Dari sinilah kebangkitan peradaban bermula. Kota yang terletak di tepi
sungai Al-Wadi al-Kabir, yang dilafalkan orang Spanyol sebagai Guadalquivir
ini, mempunyai 70 perpustakaan, 50 rumah sakit, 3.837 masjid, 900 pemandian
umum, 80.455 pertokoan, 213.077 rumah rakyat, dan sekolah yang tak terhitung
jumlahnya. Dengan jumlah penduduk yang hanya 500.000 jiwa, kesejahteraan mereka
sangat berlimpah, pendidikan gratis, semua dapat mengakses fasilitas kesehatan
yang sangat maju di zamannya. Tak ada satu pun penduduk Cordoba yang buta
aksara, semua bisa membaca dan menulis, bandingkan dengan bangsa Eropa yang
kala itu hanya 1-2 orang bangsawan atau tokoh agamanya yang bisa membaca.
Ibn Al-Wardi dalam kitabnya
Kharidah Al-Aja’ib menjelaskan, “Keistimewaan kota ini lebih hebat dari yang
pernah dijelaskan oleh siapapun. Penduduknya adalah tokoh-tokoh terpandang di
dunia, orang-orang terdepan dalam ilmu, pengetahuan, dan cita-cita tertinggi.
Di sana berkumpul para ulama, pemimpin yang adil, dan pasukan yang
dibanggakan.”
Dari rahim Cordoba lahir para
pemikir yang belum tertandingi hingga kini. Sebutlah Abul Qasim Khalaf ibn
al-Abbas az-Zahrawi (930-1013) atau di Barat dikenal sebagai Abulcasis. Kitab Al-Tastif
Liman Ajiz’an Al-Ta’lif yang ditulisnya sebanyak 30 jilid, berisi kumpulan
praktik kedokteran menjadi rujukan utama di sekolah-sekolah kedokteran hingga
abad ke-17. Lebih dari 1.000 tahun yang lalu, ia sudah mampu menghentikan
perdarahan saat melakukan operasi pembedahan tengkorak manusia!
Nama lain yang mengubah sejarah dunia
adalah Abu Abdullah Muhammad al-Idrisi al-Qurtubi al-Hasani al-Sabti
(1100-1165) atau yang sering disebut Al-Idrisi. Dari tangannya lah tercipta peta
dunia yang rumit dan paling akurat. Selama berabad-abad petanya terus disalin
tanpa ada perubahan. Karyanya ini menjadi rujukan Christopher Columbus dan
Vasco Da Gama sebelum melakukan pelayarannya, sekaligus menjadi bukti, pelaut
muslim Andalusia telah mencapai benua Amerika, jauh sebelum Columbus. Astronomi
dan geografi adalah pengetahuan yang lekat dengan umat Islam. Ilmu astronomi
dibutuhkan untuk menentukan arah Kiblat dari negeri-negeri yang jauh. Sedangkan
pembuatan peta menjadi kebutuhan untuk menunjukkan arah ke Baitullah.
Di abad modern ini nama Albert Einstein
sering dipadankan dengan kata jenius. Padahal apa yang dihasilkannya belum ada
apa-apanya dibanding torehan sejarah Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd
Al-Qurthubi Al-Andalusi (1126-1198) atau Ibn Rusyd yang di Barat dikenal
sebagai Aviroes. Tanpa buah pikirnya, bisa jadi Eropa sekarang masih berada
dalam belenggu kebodohan dan kegelapan. “Ibn Rusyd adalah bapak renaissance sejati,” kata Hanum di
bukunya 99 Cahaya di Langit Eropa.
Kebalikan dari ilmuwan modern yang semakin tinggi ilmunya semakin meniadakan
keberadaan Tuhan, Ibn Rusyd bisa menjelaskan dengan sangat jernih, bagaimana
pengetahuan mengantarkan manusia tunduk pada kekuasaan Allah. Betapa kerdil
manusia dibanding keluasaan ilmu Allah. Sebagai bentuk penghormatan kepadanya,
bekas rumah Ibn Rusyd hingga saat ini masih digunakan sebagai pusat kajian
Islam di Spanyol.
--------------------------------------
“Mau makan malam sekarang?” tanya
Lambang menyadarkan saya dari lamunan.
Saya memberi isyarat dengan
anggukan. Sebelum menutup tirai jendela, saya seperti menyaksikan keriuhan
Cordoba. Para pencari ilmu hilir mudik membawa kitab-kitab. Para alim duduk di
kelilingi murid-muridnya. Cahaya pengetahuan berpendar terang dari bumi Cordoba,
kota sejuta cahaya.
Rabbi zidni ilman, warzuqni fahman,
Ya Allah tambahkan kami ilmu dan
rezekikan kami pemahaman darinya.
Cordoba, 6 Januari 2015
Uttiek Herlambang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar