Telah kusaksikan Cordoba untukmu, Pi,
Di sana banyak luka sejarah, rasa pedih yang tak
tersembuhkan, bahkan setelah ribuan tahun lamanya.
Islam meninggalkan jejak yg tak terhapuskan: Ilmu
pengetahuan, peradaban, dan kemanusiaan.
Tapi pendulum sejarah tak bisa diubah,
Mihrab itu kini berada di balik jeruji besi,
Suara adzan tergantikan dentang lonceng,
Aku menangis di Mezquita...
------------------------------------
“Nanti kita keluar melewati
patung Ibn Rusyd,” kata Pak Rustam membuka percakapan saat sarapan.
“Lokasinya dekat dengan hotel
kita, Pak?” tanya saya. Semalam saya sempat melihat peta di buku Hanum 99 Cahaya di langit Eropa, sepertinya
lokasi patung Ibn Rusyd itu tidak dekat dengan patung Maimonides yang ada di sekitar
nH Collection Hotel, tempat kita menginap.
“Iya, tadi saya sudah melihatnya,”
jelas Pak Rustam.
Pagi ini saya sarapan berlauk rendang
Uda Gembul yang dibawa dari Jakarta. Tiap bepergian ke luar negeri, saya selalu
membawa “amunisi” cukup. Sulitnya mencari makanan halal, atau setidaknya untuk
menghilangkan keraguan, saya memilih membawa rendang atau gudeg kalengan Bu
Tjitro. Dalam satu kemasan rendang Uda Gembul ada 2 potong daging yang empuk
dengan tingkat kepedasan bumbu dari Level 0-10. Saya memilih Level 5. Pedasnya
cukup nendang untuk sarapan di tengah udara dingin seperti pagi ini. Gudeg
kalengan Bu Tjitro pun tak kalah nikmat. Dalam satu kaleng yang mudah dibuka,
terdapat gudeg, sambel goreng krecek, sepotong kecil ayam dan telur bacem utuh.
Saya selalu memilih rasa pedas, untuk mengurangi dominasi rasa manis gudeg
Yogya. Saya sangat rewel soal makanan, dalam artian halal-haramnya. Di
negara-negara yang mayoritas penduduknya non Muslim, kalau tidak menyantap
bekal yang dibawa dari Jakarta, saya hanya mau makan seafood.
Selesai breakfast, rombongan beriringan keluar hotel. Pagi masih agak
berkabut, di musim dingin seperti ini, tiap kali membuka mulut, akan disertai
asap yang keluar. Jadilah kita berjalan sambil berlari kecil untuk menghalau
dingin. Benar saja, di ujung tembok kota tua, terlihat patung pria berjubah dan
memakai surban. “Itu ya, pak?“ tanya saya, yang dijawab anggukan kepala oleh
Pak Rustam.
Duh, saya senang sekali. Seperti
anak kecil yang mendapat hadiah Lego untuk pertama kali. Sewaktu menonton film 99 Cahaya, saya begitu terkesan dengan
adegan Hanum dan rangga yang bergandengan tangan di depan patung ini. Bukan karena
melihat patungnya, namun berada di tanah yang pernah dipijak oleh Ibn Rusyd,
menyaksikan bukti sejarah betapa dunia berhutang pada Islam, membuat hati
dipenuhi rasa syukur. Alhamdulillah, Engkau izinkan untuk melihat bumi-Mu yang
begitu luas.
---------------------------------------
Dari patung ibn Rusyd, rombongan
terus melangkah hingga terlihat jembatan Cordoba yang membelah sungai Al-Wadi
al-Kabir, yang dilafalkan orang Spanyol sebagai Guadalquivir. Jembatan yang
dikenal dengan nama Al-Jisr dan Qantharah Ad-Dahr ini terlihat sangat kokoh.
Panjangnya sekitar 400 meter, lebarnya 40 meter dan tingginya 30 meter. Dalam
bukunya Kharidah Al-Aja’ib wa faridah
Al-Ghara’ib, Ibn Al-Wardi memberikan kesaksian, jembatan ini tak
terbayangkan oleh manusia sebelumnya, dari segi konstruksi, kemegahan dan
kecanggihannya.
Jembatan itu dibangun pada masa
As Samh bin Malijk Al-Khaulani, yang sezaman dengan Umar bin Abdul Aziz.
Artinya jembatan itu dibangun ketika manusia belum mengenal sarana
transportasi, kecuali keledai, unta, kuda, dan bighal. Jembatan itu menjadi bukti
tingginya peradaban Islam di Andalusia, kekokohannya tak tertandingi. Itu terbukti
setelah lebih dari 1.400 tahun, saya masih bisa menyaksikannya pagi ini.
Dari jembatan Al-Jisr, rombongan
berjalan menyusuri tembok tebal yang tinggi menjulang. Rupanya tadi dari hotel
kita harus keluar dulu dari tembok kota tua, dan masuk lagi dari pintu yang
berbeda. Tujuan utama pagi ini adalah Masjid Agung Cordoba atau yang dikenal
dengan nama Mezquita, yang dalam bahasa Spanyol berarti masjid. Meski kini
difungsikan sebagai katedral, namun nama Mezquita masih disematkan padanya. Sebelum
memasuki gerbang Mezquita, rombongan berkumpul dulu di toko souvenir,
barangkali ada yang mau ke toilet atau membeli secangkir kopi.
Di toko souvenir ini untuk
kesekian kalinya saya menyaksikan jamon, atau paha babi asap yang dijual dengan
cara digantung. Jamon ini ada di mana-mana, di restoran, toko souvenir, bahkan
kedai kecil di pom bensin. Ada sejarah panjang mengiringi kehadiran jamon di
Andalusia. Awalnya, saat Cordoba jatuh ke tangan Issabel dan Ferdinand, hanya
ada 3 pilihan bagi umat Islam, dibunuh, dimurtadkan, atau diusir ke Afrika
Utara (Maroko, Tunisia, Aljazair, dan sekitarnya). Sejak saat itu Issabel dan
Ferdinand membuat peraturan, setiap penduduk harus menggantung paha babi di
depan rumahnya, sebagai bukti bahwa tidak ada umat Islam yang tersisa. Tradisi
menggantung paha babi itu terus berlanjut hingga kini. Tak hanya paha babi
sungguhan, aneka souvenir seperti gantungan kunci, magnet kulkas, bahkan
cokelat, banyak yang ditawarkan dalam bentuk seperti jamon.
Dari toko souvenir, kita berjalan
memasuki gerbang Mezquita. Kebetulan di selasar sedang ada pameran foto,
jadilah sejenak saya melihat foto-foto yang dipamerkan. Masjid ini memang indah
sekali. Di halaman depan terdapat sebuah taman yang sangat luas, dengan
pohon-pohon jeruk dan delima yang tumbuh rindang. Di tengah taman, sebuah fountain berdiri kokoh. Seperti bangunan
Islam pada umumnya, selalu ada fountain
yang juga difungsikan sebagai tempat wudhu.
Masjid Agung Cordoba dibangun
oleh Abdurrahman Ad-Dakhil tahun 786 M, tak lama setelah ia tiba di Andalusia.
Pembangunan kemudian diteruskan oleh putranya Hisyam dan para pemimpin
setelahnya. Setiap pemimpin berusaha meninggalkan “jejaknya” di masjid ini. Tak
ayal masjid ini terus berkembang, bertambah luas, dan semakin indah. Dalam
kitab Ar-raudh Al-Mi’thar, disebutkan
bahwa Masjid Agung Cordoba merupakan masjid terbesar, tercanggih, dengan ornamen
bercita rasa seni tinggi yang nyaris tanpa cela.
Panjang masjid ini 180 depa,
terdapat 14 lengkungan yang disangga 1000 pilar. Penerangannya terdiri dari 13 lentera, di mana setiap lentera memuat 1000
lampu. Seluruh kayunya berasal dari pohon cemara Thurthusy. Atapnya dipenuhi
seni ukir yang masing-masing tidak sama, susunannya dibuat sebaik mungkin
dengan warna-warna merah, putih, hijau, biru dan hitam. Keindahan ini membuat
siapa saja yang melihatnya akan merasa takjub sekaligus bahagia.
Keindahan mihrab masjid ini tak
dapat dijelaskan dengan kata-kata. Tekniknya mencengangkan siapa saja, bahkan
hingga saat ini. Terdapat mozaik berlapis emas dan kristal. Di dalam mihrab
terdapat empat tiang, dua berwarna hijau, dua lagi berwarna violet. Di bagian
ujung dipasang marmer, emas dan lazuardi yang tak ternilai harganya. Keindahan
mimbar yang ada di sisi mihrab tak kalah menakjubkan, terbuat dari kayu ebony
dan kayu wewangian lainnya. Tujuh orang arsitek secara khusus mengerjakan
mimbar itu selama 7 tahun.
Terdapat sebuat ruangan kecil
tempat menyimpan bejana yang berisi minyak yang terbuat dari emas, perak dan
besi. Semuanya akan dinyalakan pada malam ke-27 Ramadhan. Di tempat ini juga
tersimpan mushaf Ustman bin Affan yang ditulis dengan tangannya sendiri. Bekas
tetesan darah Ustman terlihat di mushaf itu. Mushaf itu berhias sampul dengan ornamen
yang kerumitannya bak dikerjakan menggunakan komputer. Setiap pagi, mushaf ini
dikeluarkan dari ruangan dan dibaca oleh sang imam.
Lengkung-lengkung dalam masjid
ini mengingatkan pada lengkung masjid Nabawi saat ini. Namun hati menjadi ciut
saat melangkah ke dalamnya, ruangan dalam masjid ini kini terlihat sangat
temaram, tak ada lagi benderang lentera. Di setiap sudut kini berhias patung
dengan altar besar di salah satu sisinya. Penjelasan Christopher, local guide kita pagi itu membuat
kegelisahan saya kian menjadi. Mana pahatan ayat-ayat Allah yang pernah
memenuhi bangunan ini? Mengapa sekarang yang terlihat adalah gambar-gambar dan
patung? “Is that the Mihrab?” tanya
saya begitu melihat sebuah bangunan yang sangat identik dengan Islam. “Yes,
Mam,” jawabnya.
Sudut mata saya hangat, hati saya
terluka, mihrab itu kini berada di balik terali besi. Sebuah penghalang yang
sengaja dipasang supaya orang tidak bisa shalat lagi di area itu. Bukannya
tanpa insiden, beberapa kali orang-orang Islam yang datang mencoba shalat di
tempat itu, namun ditangkap oleh petugas keamanan dengan alasan membuat onar.
Mihrab itu masih menyisakan keindahannya. “Di mana kaligrafi yang terpasang di
sekitar mihrab itu?” gugat saya pada Christopher, “Mereka melepaskannya ya?”
Suasana hati saya sungguh tidak enak siang itu. Penjelasan Christopher
terdengar seperti angin lalu.
Ya Rabb, apa yang terjadi di bumi
Andalusia waktu itu? Bagaimana kegemilangan dan sumbangsih mereka pada dunia
kini tercampakkan seperti ini? Mezquita adalah masjid. Bangunan ini secara
keseluruhan masih terlihat sebagai masjid. Mihrab itu adalah buktinya, kaligrafi
kalimat syahadat masih terbaca di atasnya. Saya tergugu sambil memegang teralis
mihrab. Kalau sebelumnya saya hanya membaca di buku Hanum 99 Cahaya di Eropa, bagaimana ia bersitegang dengan petugas
keamanan saat mencoba sujud di depan mihrab, kini saya merasakan sakit yang
sama. Harapan yang sama saya panjatnya, semoga ada pengusaha Muslim yang sangat
kaya, yang bisa membeli seluruh bangunan ini dari negeri yang hampir bangkrut
karena resesi ini, lalu memfungsikannya kembali menjadi masjid. Amiinn…
Christopher meminta rombongan
segera keluar dari Mezquita karena perjalanan masih panjang. Saya melangkah
dengan gontai. Keluar dari gerbang, terdengar lonceng yang berdentang dari atas
menara. Hati saya bertambah gundah, titik air mata tak dapat saya bendung. Saya
mendongak memandang minaret itu. Dulunya bangunan setinggi 100 hasta itu adalah
tempat muadzin mengumandangkan adzan. Teknik pembangunan minaret itu sangat
mengherankan. Terdapat dua tangga menuju ke atas, dari sisi barat dan timur.
Jika ada dua orang yang menaikinya, maka keduanya tidak akan pernah bertemu,
sebelum sampai di bagian paling atas. Ukiran indah di minaret itu memenuhi
seluruh bangunan, dari atas hingga puncaknya. Kini tak terdengar lagi panggilan
muadzin dari atas minaret itu.
Keluar dari kompleks Mezquita
saya tidak lagi bisa menikmati pemandangan Calleja de las Flores atau Flower Street, di mana terdapat deretan
rumah-rumah dengan hiasan bunga-bunga cantik, seperti gambar yang sering muncul
di postcard. Emosi saya telah
terkuras habis. Saya membayangkan majelis-majelis ilmu dan orang-orang yang
menderas ayat-ayat Allah yang dulunya selalu memenuhi Masjid Cordoba. Semoga
Allah izinkan sejarah kembali berulang.
... Engkau berikan kerajaan kepada yang Engkau kehendaki, dan Engkau
cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang
Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
[QS. Ali Imran: 26].
Saya menangis di Mezquita…
Mezquita, 7 Januari 2015
Uttiek Herlambang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar