Tak… tak… tak…tak tak tak…
Suara sepatu itu berdentam-dentam
menghantam lantai kayu. Kian lama semakin ritmis. Dentamannya memekakkan
telinga. Rasanya panggung kecil itu bisa roboh karena kerasnya goncangan.
Cahaya lampu menyorot satu titik di tengah panggung. Perempuan berpinggang
sangat langsing itu mengangkat roknya. Terlihat sepatu hitam yang membuat suara
bendentam-dentam. Ia terus menari, berputar, sesekali berteriak, “Olee… Olaa…”
Tapi, mengapa wajahnya bergurat
duka?
-----------------
Setelah menghabiskan siang di Estadio
Santiago Bernabéu, sore ini kita melanjutkan perjalanan ke Plaza de Mayor. Salah
satu pusat keramaian di kota Madrid. Sejak abad pertengahan, lokasi ini sudah
difungsikan sebagai tempat berlangsungnya aktivitas sosial, seperti konsep
alun-alun di Jawa. Dari penobatan raja, eksekusi tahanan, hingga pasar,
berlangsung di area yang dibangun kembali oleh arsitek Juan de Villanueva tahun
1790, setelah hancur akibat kebakaran hebat.
Kafe-kafe cantik berderet di
sepanjang jalan. Rata-rata secangkir kopi atau teh dibanderol 5-10 euro. Di
Jakarta, itu setara dengan 3 cangkir cappuccino
ukuran sedang di Starbuck. Seperti kafe-kafe di Eropa pada umumnya, tersedia
tempat duduk di area terbuka. Sambil menyeruput hangatnya kopi, pengunjung bisa
menikmati suasana orang yang berlalu-lalang.
Sore itu kawasan Plaza de Mayor
ramai bukan kepalang, mungkin karena lagi musim sale akhir tahun, atau rebajas
dalam bahasa Spanyol. Salah satu store
brand asal Spanyol, Zara, sesaknya
tak kalah dengan Tanah Abang menjelang Lebaran. Antrean di kasirnya mengular
hingga terlihat dari pintu masuk. Terlihat beberapa orang berwajah Melayu sibuk
memilih barang. Pajak barang mewah yang diberlakukan pemerintah membuat merk-merek
seperti ini lebih murah di luar negeri ketimbang di Jakarta.
Saya dan Lambang punya kebiasaan
jalan ke supermarket lokal saat berada di luar negeri, untuk membeli teh atau
kopi. Beberapa sahabat kami adalah penggemar kopi, sedang saya sangat suka teh
yang beraroma. Oleh-oleh teh atau kopi lokal sangat mereka tunggu. Tidak selalu
enak, sih. Dari negara-negara yang pernah saya kunjungi, saya paling suka
dengan supermarket lokal di Jepang. Barang-barang yang dijual unik-unik. Teh
dan kopinya, sekalipun rasanya biasa saja, tapi kemasannya sangat menarik.
Supermarket yang kita datangi
ternyata terkoneksi dengan stasiun kereta bawah tanah. “Yuk, mau nyobain enggak? Sampai stasiun pertama
saja, lalu balik lagi,” ajak saya. Tapi sepertinya waktunya tidak cukup.
“Enggak ada waktunya,” jawab Lambang. Ya, kita memang harus segera berkumpul
lagi di salah satu kafe yang sudah disepakati di ujung perempatan. “Wah, ngeborong apa, Mbak?” Tanya Pak Rustam
yang telah duduk menunggu. Saya hanya tersenyum kecil.
Usai acara belanja di Plaza de
Mayor, Pak Rustam memberi kejutan untuk makan malam terakhir, setelah tujuh belas
hari kita melakukan perjalanan bersama. Terbaca tulisan yang terpasang di
tembok luar restoran: Flamenco Salvaje
Aqui “El Flamenco Debe Hacer Sentir, No Sold Asombrar”. “Asyik, kita nonton Flamenco
ya?” seru rombongan.
Restoran ini, seperti restoran di
Spanyol pada umumnya, posisinya lebih rendah dari jalan di depannya. Dari pintu
ada beberapa undakan turun ke bawah, lalu belok ke kiri. Di ujung terlihat
panggung kecil. Ruangan sedikit temaram, meja-meja panjang berderet di
depannya. Saya memilih duduk tepat menghadap ke depan, supaya bisa menikmati
pertunjukan.
Menu utama makan malam itu adalah
paella, nasi khas Spanyol. Nasi ini
dimasak dengan seafood, seperti
kerang, udang, cumi, dan dibumbui saffron.
Nasinya tak benar-benar matang, ngletis
kalau orang Jawa bilang. Tapi memang seperti itu rupa paella, konon kalau nasi paella
ini dimasak sampai matang, pembeli akan melempar kuali yang digunakan untuk
menghidangkan masakan itu ke tukang masaknya. Waduh!
Begitu piring-piring di meja
dibereskan, ruangan menjadi gelap. Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan
muncul di panggung. Penonton bertepuk tangan. Gitar berdenting, laki-laki
berkucir itu mulai bernyanyi. Nyanyian itu… mengingatkan saya pada lagu-lagu
Arab, tapi ini berbahasa Spanyol. Tiba-tiba pikiran saya melayang, membayangkan
sosok Ziryab.
Fenomena Ziryab selalu dikaitkan
dengan kehancuran Andalusia. Ia ibarat anai-anai yang menggerogoti tongkat Nabi
Sulaiman hingga jatuh ke bumi. Mulanya, Ziryab adalah seniman dari Baghdad. Persaingan
dengan gurunya yang bernama Ibrahim Al-Mushily, membuatnya terusir dari negeri
itu. Dalam pengembaraannya, ia memilih Andalusia.
Andalusia yang bermandikan cahaya
pengetahuan menyambutnya. Selain syair, dendang, dan tarian, ia mengajarkan
hal-hal yang belum pernah dilakukan manusia sebelumnya, seperti membagi makanan
menjadi 3 bagian; appetizer, main course,
dan dessert. Etika makan seperti ini
masih digunakan hingga kini. Ia juga menciptakan tren fashion berdasar musim; panas, gugur, dingin, dan semi. Kalau
sekarang, ia pastilah mendapat gelar seniman multitalenta. Singkat cerita, ia
mengajarkan tentang gaya hidup hedonis.
DR. Raghib As-Sirjani dalam
bukunya Bangkit dan Runtuhnya Andalusia,
menjelaskan sebuah fakta, Ziryab datang ke Andalusia di masa Abdurrahman
Al-Ausath, sosok pemimpin yang sangat peduli dengan ilmu pengetahuan. Pada masa
itu perekonomian dan peradaban Andalusia sedang berada di puncaknya. Tak ada
yang bisa menjelaskan mengapa ia membiarkan Ziryab mengambil tempat di majelis
ilmu dan menggantinya dengan dendangan yang melenakan. Perlahan, sangat
perlahan, semua itu merasuk ke dalam sanubari umat tanpa seorangpun
menyadarinya.
Hingga terjadilah apa yang
seharusnya bisa dicegah. Senandung Ziryab membuat para pencari ilmu berpaling
dari ulama dan kitab-kitabnya. Masyarakat terlena dengan cerita-cerita anehnya
tentang negeri Persia. Apa yang terjadi bila ayat-ayat Allah ditukar dengan
dendang lagu dan tarian? Saat itulah pendulum kehancuran mulai bergoyang. Tidak
seketika semuanya musnah. Kemunduran Andalusia berlangsung selama 200 tahun, hingga
jejaknya benar-benar sirna. Innalillahi
wa innailaihi roji’un…
Tak… tak… tak…tak tak tak…
Hentakan kaki penari Flamenco itu
terdengar serupa dengan derap kuda pasukan Thariq ibn Ziyad ketika membebaskan
semenanjung Iberia. Kalau pasukan terbaik Sang Pahlawan telah membuka tabir hadirnya
cahaya hidayah, para penari itu menggantang asap, hingga kabut kegelapan
kembali menyelimuti bumi Andalusia. Guratan duka di wajahnya bisa menjelaskan,
betapa dendang dan goyangannya membawa kehancuran.
Tak… tak… tak…tak tak tak…
Dentaman itu kian bertalu-talu. Gelak
tawa Ziryab, muncul tenggelam, berganti dengan derap pasukan Thariq ibn Ziyad
yang mengobarkan jalan jihad. Rabbana,
inikah jawab atas tanya, apa yang terjadi di Andalusia? Sudut mata saya basah. Di
hari terakhir di Andalusia, saya menyaksikan Flamenco, sebuah tarian duka…
Madrid, 8 januari 2015
Uttiek Herlambang
_______________
Alhamdulillahi robbil ‘alamin…
Tulisan Flamenco Tarian Duka ini merupakan tulisan terakhir dari 12 tulisan Journey
to Andalusia. Tepat setahun, saya baru bisa merampungkannya. Ini adalah
kumpulan tulisan terlama yang pernah saya buat. Awalnya, saya tidak tahu mengapa
begitu lama menyelesaikannya.
Jawaban itu saya dapat ketika
melakukan perjalanan umrah akhir tahun ini, dan secara tidak terduga berbelok
ke Turki, dari seharusnya meneruskan perjalanan ke Mesir. Menyaksikan kalimat Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah
yang terpahat kuat di gerbang Topkapi Sarayi atau Istana Topkapi, membuat saya
memahami; sejarah Andalusia adalah senandung kepedihan, sedangkan Istanbul
adalah dendang kemenangan.
Kesedihan yang sangat, membuat
saya merasa berat ketika harus menuliskan tentang Mezquita. Bahkan rasa takjub
saat berada di Alhambra pun tetap menyisakan rasa pedih di hati. Di Turki, saya
menemukan semangat itu kembali. Tulisan ini harus segera selesai.
Salah satu momen yang tak
terlupakan adalah ketika Pak Rustam mengirimkan kabar dari Andalusia, ketika
saya masih berada di Turki. “… Local
guide kami, Abu Bakar, yang lulusan S3 University of Granada, menjelaskan
tentang sejarah Masjid Jami Al-Bayajid. Di tempat ini pada bulan Januari 1492
dilaksanakan shalat Jumat terakhir di Granada. Insya Allah, suatu saat nanti
bangunan ini bisa digunakan kembali untuk shalat. Dan, saya, Mbak Uttiek, serta
Mas Lambang menjadi bagian dari jamaahnya.”
Saya baca pesan yang ditulis
melalui media sosial itu dengan rasa haru. Dua hari sebelum menerima pesan itu,
saya baru mengunjungi Hagia Sophia atau Aya Sophia. Bangunan simbol emperium Byzantium
yang berhasil dibebaskan oleh manusia terbaik dengan pasukan terbaik, Muhammad
Al Fatih. Di bulan Mei 1453, untuk pertama kalinya adzan berkumandang dan shalat
Jumat didirikan di Aya Sophia.
Konstantinopel berhasil
dibebaskan 40 tahun sebelum kejatuhan Andalusia. Tenggelamnya cahaya Islam di
pojok Eropa Barat, bertepatan dengan terbitnya cahaya Allah di Eropa Timur.
Sungguh, rencana Allah selalu sempurna.
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara
manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan agar Allah membedakan orang-orang
yang beriman dengan orang-orang kafir dan agar sebagian kamu dijadikanNya gugur
sebagai syuhada. [QS Ali Imron: 140].