Senin, 25 Januari 2016

Flamenco Tarian Duka


Tak… tak… tak…tak tak tak
Suara sepatu itu berdentam-dentam menghantam lantai kayu. Kian lama semakin ritmis. Dentamannya memekakkan telinga. Rasanya panggung kecil itu bisa roboh karena kerasnya goncangan. Cahaya lampu menyorot satu titik di tengah panggung. Perempuan berpinggang sangat langsing itu mengangkat roknya. Terlihat sepatu hitam yang membuat suara bendentam-dentam. Ia terus menari, berputar, sesekali berteriak, “Olee… Olaa…”

Tapi, mengapa wajahnya bergurat duka?

-----------------
Setelah menghabiskan siang di Estadio Santiago Bernabéu, sore ini kita melanjutkan perjalanan ke Plaza de Mayor. Salah satu pusat keramaian di kota Madrid. Sejak abad pertengahan, lokasi ini sudah difungsikan sebagai tempat berlangsungnya aktivitas sosial, seperti konsep alun-alun di Jawa. Dari penobatan raja, eksekusi tahanan, hingga pasar, berlangsung di area yang dibangun kembali oleh arsitek Juan de Villanueva tahun 1790, setelah hancur akibat kebakaran hebat.

Kafe-kafe cantik berderet di sepanjang jalan. Rata-rata secangkir kopi atau teh dibanderol 5-10 euro. Di Jakarta, itu setara dengan 3 cangkir cappuccino ukuran sedang di Starbuck. Seperti kafe-kafe di Eropa pada umumnya, tersedia tempat duduk di area terbuka. Sambil menyeruput hangatnya kopi, pengunjung bisa menikmati suasana orang yang berlalu-lalang.

Sore itu kawasan Plaza de Mayor ramai bukan kepalang, mungkin karena lagi musim sale akhir tahun, atau rebajas dalam bahasa Spanyol. Salah satu store brand asal Spanyol, Zara, sesaknya tak kalah dengan Tanah Abang menjelang Lebaran. Antrean di kasirnya mengular hingga terlihat dari pintu masuk. Terlihat beberapa orang berwajah Melayu sibuk memilih barang. Pajak barang mewah yang diberlakukan pemerintah membuat merk-merek seperti ini lebih murah di luar negeri ketimbang di Jakarta.

Saya dan Lambang punya kebiasaan jalan ke supermarket lokal saat berada di luar negeri, untuk membeli teh atau kopi. Beberapa sahabat kami adalah penggemar kopi, sedang saya sangat suka teh yang beraroma. Oleh-oleh teh atau kopi lokal sangat mereka tunggu. Tidak selalu enak, sih. Dari negara-negara yang pernah saya kunjungi, saya paling suka dengan supermarket lokal di Jepang. Barang-barang yang dijual unik-unik. Teh dan kopinya, sekalipun rasanya biasa saja, tapi kemasannya sangat menarik.

Supermarket yang kita datangi ternyata terkoneksi dengan stasiun kereta bawah tanah. “Yuk, mau nyobain enggak? Sampai stasiun pertama saja, lalu balik lagi,” ajak saya. Tapi sepertinya waktunya tidak cukup. “Enggak ada waktunya,” jawab Lambang. Ya, kita memang harus segera berkumpul lagi di salah satu kafe yang sudah disepakati di ujung perempatan. “Wah, ngeborong apa, Mbak?” Tanya Pak Rustam yang telah duduk menunggu. Saya hanya tersenyum kecil.

Usai acara belanja di Plaza de Mayor, Pak Rustam memberi kejutan untuk makan malam terakhir, setelah tujuh belas hari kita melakukan perjalanan bersama. Terbaca tulisan yang terpasang di tembok luar restoran:  Flamenco Salvaje Aqui “El Flamenco Debe Hacer Sentir, No Sold Asombrar”. “Asyik, kita nonton Flamenco ya?” seru rombongan.

Restoran ini, seperti restoran di Spanyol pada umumnya, posisinya lebih rendah dari jalan di depannya. Dari pintu ada beberapa undakan turun ke bawah, lalu belok ke kiri. Di ujung terlihat panggung kecil. Ruangan sedikit temaram, meja-meja panjang berderet di depannya. Saya memilih duduk tepat menghadap ke depan, supaya bisa menikmati pertunjukan.

Menu utama makan malam itu adalah paella, nasi khas Spanyol. Nasi ini dimasak dengan seafood, seperti kerang, udang, cumi, dan dibumbui saffron. Nasinya tak benar-benar matang, ngletis kalau orang Jawa bilang. Tapi memang seperti itu rupa paella, konon kalau nasi paella ini dimasak sampai matang, pembeli akan melempar kuali yang digunakan untuk menghidangkan masakan itu ke tukang masaknya. Waduh!

Begitu piring-piring di meja dibereskan, ruangan menjadi gelap. Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan muncul di panggung. Penonton bertepuk tangan. Gitar berdenting, laki-laki berkucir itu mulai bernyanyi. Nyanyian itu… mengingatkan saya pada lagu-lagu Arab, tapi ini berbahasa Spanyol. Tiba-tiba pikiran saya melayang, membayangkan sosok Ziryab.

Fenomena Ziryab selalu dikaitkan dengan kehancuran Andalusia. Ia ibarat anai-anai yang menggerogoti tongkat Nabi Sulaiman hingga jatuh ke bumi. Mulanya, Ziryab adalah seniman dari Baghdad. Persaingan dengan gurunya yang bernama Ibrahim Al-Mushily, membuatnya terusir dari negeri itu. Dalam pengembaraannya, ia memilih Andalusia.

Andalusia yang bermandikan cahaya pengetahuan menyambutnya. Selain syair, dendang, dan tarian, ia mengajarkan hal-hal yang belum pernah dilakukan manusia sebelumnya, seperti membagi makanan menjadi 3 bagian; appetizer, main course, dan dessert. Etika makan seperti ini masih digunakan hingga kini. Ia juga menciptakan tren fashion berdasar musim; panas, gugur, dingin, dan semi. Kalau sekarang, ia pastilah mendapat gelar seniman multitalenta. Singkat cerita, ia mengajarkan tentang gaya hidup hedonis.

DR. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, menjelaskan sebuah fakta, Ziryab datang ke Andalusia di masa Abdurrahman Al-Ausath, sosok pemimpin yang sangat peduli dengan ilmu pengetahuan. Pada masa itu perekonomian dan peradaban Andalusia sedang berada di puncaknya. Tak ada yang bisa menjelaskan mengapa ia membiarkan Ziryab mengambil tempat di majelis ilmu dan menggantinya dengan dendangan yang melenakan. Perlahan, sangat perlahan, semua itu merasuk ke dalam sanubari umat tanpa seorangpun menyadarinya.

Hingga terjadilah apa yang seharusnya bisa dicegah. Senandung Ziryab membuat para pencari ilmu berpaling dari ulama dan kitab-kitabnya. Masyarakat terlena dengan cerita-cerita anehnya tentang negeri Persia. Apa yang terjadi bila ayat-ayat Allah ditukar dengan dendang lagu dan tarian? Saat itulah pendulum kehancuran mulai bergoyang. Tidak seketika semuanya musnah. Kemunduran Andalusia berlangsung selama 200 tahun, hingga jejaknya benar-benar sirna. Innalillahi wa innailaihi roji’un…

Tak… tak… tak…tak tak tak…
Hentakan kaki penari Flamenco itu terdengar serupa dengan derap kuda pasukan Thariq ibn Ziyad ketika membebaskan semenanjung Iberia. Kalau pasukan terbaik Sang Pahlawan telah membuka tabir hadirnya cahaya hidayah, para penari itu menggantang asap, hingga kabut kegelapan kembali menyelimuti bumi Andalusia. Guratan duka di wajahnya bisa menjelaskan, betapa dendang dan goyangannya membawa kehancuran.

Tak… tak… tak…tak tak tak…  
Dentaman itu kian bertalu-talu. Gelak tawa Ziryab, muncul tenggelam, berganti dengan derap pasukan Thariq ibn Ziyad yang mengobarkan jalan jihad. Rabbana, inikah jawab atas tanya, apa yang terjadi di Andalusia? Sudut mata saya basah. Di hari terakhir di Andalusia, saya menyaksikan Flamenco, sebuah tarian duka…


Madrid, 8 januari 2015

Uttiek Herlambang

_______________

Alhamdulillahi robbil ‘alamin…

Tulisan Flamenco Tarian Duka ini merupakan tulisan terakhir dari  12 tulisan Journey to Andalusia. Tepat setahun, saya baru bisa merampungkannya. Ini adalah kumpulan tulisan terlama yang pernah saya buat. Awalnya, saya tidak tahu mengapa begitu lama menyelesaikannya.

Jawaban itu saya dapat ketika melakukan perjalanan umrah akhir tahun ini, dan secara tidak terduga berbelok ke Turki, dari seharusnya meneruskan perjalanan ke Mesir. Menyaksikan kalimat Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah yang terpahat kuat di gerbang Topkapi Sarayi atau Istana Topkapi, membuat saya memahami; sejarah Andalusia adalah senandung kepedihan, sedangkan Istanbul adalah dendang kemenangan.

Kesedihan yang sangat, membuat saya merasa berat ketika harus menuliskan tentang Mezquita. Bahkan rasa takjub saat berada di Alhambra pun tetap menyisakan rasa pedih di hati. Di Turki, saya menemukan semangat itu kembali. Tulisan ini harus segera selesai.

Salah satu momen yang tak terlupakan adalah ketika Pak Rustam mengirimkan kabar dari Andalusia, ketika saya masih berada di Turki. “… Local guide kami, Abu Bakar, yang lulusan S3 University of Granada, menjelaskan tentang sejarah Masjid Jami Al-Bayajid. Di tempat ini pada bulan Januari 1492 dilaksanakan shalat Jumat terakhir di Granada. Insya Allah, suatu saat nanti bangunan ini bisa digunakan kembali untuk shalat. Dan, saya, Mbak Uttiek, serta Mas Lambang menjadi bagian dari jamaahnya.”

Saya baca pesan yang ditulis melalui media sosial itu dengan rasa haru. Dua hari sebelum menerima pesan itu, saya baru mengunjungi Hagia Sophia atau Aya Sophia. Bangunan simbol emperium Byzantium yang berhasil dibebaskan oleh manusia terbaik dengan pasukan terbaik, Muhammad Al Fatih. Di bulan Mei 1453, untuk pertama kalinya adzan berkumandang dan shalat Jumat didirikan di Aya Sophia.

Konstantinopel berhasil dibebaskan 40 tahun sebelum kejatuhan Andalusia. Tenggelamnya cahaya Islam di pojok Eropa Barat, bertepatan dengan terbitnya cahaya Allah di Eropa Timur. Sungguh, rencana Allah selalu sempurna.


“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir dan agar sebagian kamu dijadikanNya gugur sebagai syuhada. [QS Ali Imron: 140].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar