“Bisa,
Pak, kita ke sana?”
Sejenak
Pak Rustam terdiam dan terlihat berpikir, “Nanti bisa diusahakan,” jawabnya
sambil tersenyum.
“Tidak
apa-apa, Pak, nanti kami naik taksi.”
Di
itinerary umrah plus Maroko dan
Andalusia ini tidak ada jadwal ke Estadio Santiago Bernabéu. Saya meminta kepastian dari Pak Rustam untuk bisa
ke sana barang sebentar saat berada di Madrid.
------------------------------------------------
Saya
bukan penggemar sepak bola. Bahkan saya tidak tahu Lionel Messi itu pemain dari
mana? Offside itu apa? Dan hal remeh
tentang sepak bola lainnya. Pemain sepak bola yang saya tahu hanya David
Beckham dan Cristiano Ronaldo. Nama pertama karena saya sering mengedit
beritanya sebagai pesohor, bersama istrinya Victoria Beckham. Nama kedua karena
kepeduliannya pada Palestine.
Namun,
Estadio Santiago Bernabéu
mulai terngiang-ngiang sejak saya membaca buku Andrea Hirata yang berjudul Sebelas Patriot. Perjuangannya
mendapatkan selembar kaus bertandatangan asli Luis Figo seharga 250 Euro untuk
ayahnya, sangat membekas di hati. Sekalipun kisah itu dituliskannya dengan gaya
kocak, khas Andrea, tapi buat anak yang cinta mati pada ayahnya seperti saya,
kisah itu sangat menyentuh. Entah kenapa kalimat yang ditulisnya, “Figo…
Bujang, Luis Figo…,” selalu mengingatkan saya untuk memperjuangkan sesuatu demi
membahagiakan Papi.
Pagi
itu, kita mengawali hari dengan mengunjungi Plaza de Toros de las Ventas atau yang
biasa disebut Las Ventas. Bangunan beraksitektur mudejar ini adalah stadion adu
banteng alias tempat pertunjukan matador yang terbesar di Spanyol. Stadion
berkapasitas 25.000 penonton ini mulai dibangun tahun 1922 dan digunakan tahun
1931. Beberapa kali sempat ditutup, sampai akhirnya bangunan bergaya
peninggalan bangsa Arab di Andalusia yang diarsiteki José Espeliú ini digunakan
lagi hingga kini. Tidak ada pertunjukan sepagi itu. Kita hanya berfoto-foto di
area stadion.
Dari
Las Ventas, bus bergerak menuju Estadio Santiago Bernabéu. Saya senang sekali, karena secara khusus Pak Rustam
mengagendakan ke tempat ini, yang semula tidak ada di jadwal tur. Dari luar terlihat
tembok menjulang setinggi Stadion GBK di Senayan. Kita tidak masuk ke dalam
stadion, melainkan turun di depan pintu kafe. Dengan membayar 15 Euro per
orang, pengunjung bisa duduk-duduk di dalam kafe, sambil menikmati secangkir
kopi atau teh. Dan kalau beruntung, bisa menyaksikan Christiano Ronaldo, Karim
Benzema, Mesut Oezil berlatih.
“Katanya
di ruang ganti stadion ini ada mushala yang digunakan Benzema untuk shalat ya?”
tanya Lambang pada Carmen, local guide
kita di Madrid. “Wah, saya tidak punya informasi tentang itu,” jawabnya. Dari
dinding kaca kafe, terlihat pemandangan di dalam stadion. Bangku-bangku
penonton bercat biru, bertuliskan Real Madrid. Beberapa pekerja sibuk melakukan
tugasnya. Ada mesin-mesin besar semacam mesin pemotong rumput berderet di atas
rumput stadion.
Melihat
rapinya rumput stadion, lagi-lagi, saya teringat kisah Andrea. Ia harus
melakukan tiga pekerjaan dalam satu hari demi selembar kaus untuk ayahnya. Pagi,
sebagai tukang cat dan angkut-angkut di toko furnitur, malam sebagai pembantu
umum di stadion, yang tugasnya disuruh-suruh oleh siapa saja, termasuk si
tukang potong rumput. Dan, sesekali ia ikut mengamen bersama para backpacker di Plaza de Catalunya.
Dari
kafe, kita ke Official Real Madrid Store. Toko berlantai dua ini terlihat
gemerlap dengan aneka merchandise
resmi. Mulai jersey, syal, pin, topi,
tas, dan banyak lagi. Di lantai dua, tersedia aneka perlengkapan merk Adidas. Semua
dibanderol dalam euro. Saya membayangkan, di tempat inilah Andrea Hirata
bertemu Adriana, perempuan baik yang menyimpankan kaus Luis Figo untuknya.
Selain
kisah Andrea, alasan lain yang membuat saya ingin mengunjungi Estadio Santiago
Bernabéu
adalah karena adik bungsu saya, Farid, yang biasa dipanggil Dudiz di rumah,
adalah seorang Madridista, sebutan untuk penggemar Real Madrid. Kalau bukan
karena dia, bisa jadi saya tidak akan ngotot ke tempat ini. Saya ambil selembar
jersey putih untuknya, lalu beberapa
barang lain. Semoga ia sesenang ayah Andrea, saat menerima jersey oleh-oleh ini.
Madrid
adalah kota terakhir yang kita kunjungi dalam perjalanan ini. Dari Madrid,
besok pagi kita akan bertolak kembali ke Jakarta, setelah transit di Doha,
Qatar, terlebih dulu. DR. Raghib As-Sirjani di bukunya Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, secara khusus memberikan catatan
pada kota ini. Di sini, tahun 1992 ditandatangani perjanjian antara Palestine
dengan Israel, yang tentu saja, kemudian dilanggar sendiri oleh yahudi-yahudi
itu. Mengapa dipilih kota ini? Padahal perjanjian serupa umumnya dilakukan di
Amerika.
Ternyata
di hari yang sama, di kota ini sedang diselenggarakan perayaan 500 tahun Dia
de la Toma atau jatuhnya Granada, yang menandai dimulainya genosida pada kaum
muslim Andalusia. Sejatinya, apa yang terjadi di Andalusia pada waktu itu
adalah apa yang terjadi di Palestine saat ini. Secara bertahap dan sistematis,
umat islam diusir dari Tanah Airnya. Bom-bom yang dijatuhkan Israel di tanah
Palestine, syahidnya pada syuhada, nestapa berkepanjangan yang dirasakan
saudara-saudara kita, sudah pernah tercatat oleh sejarah Andalusia. Seakan ada
pesan yang ingin disampaikan dalam perjanjian itu, kami pernah melakukannya 500
tahun lalu, kini pun kami akan melakukannya lagi.
Kekejaman yang dilakukan di
Andalusia sungguh tak terbayangkan oleh manusia dan kemanusiaan. Umat Islam
terus diburu, mereka yang ketahuan menyembunyikan ke-Islamannya akan disiksa
dengan alat-alat penyiksaan yang sangat mengerikan. Bukti adanya alat-alat
penyiksaan ini ditemukan oleh pasukan Napoleon ketika menguasai Spanyol. Dalam catatan
harian seorang perwira bernama Kolonel J.J. Lehmanowsky, tubuhnya bergetar
hebat, bahkan nyaris pingsan, saat menemukan sisa-sisa kengerian itu.
Salah satu alat penyiksaan itu
ada yang dinamai Iron Maiden, yang kemudian digunakan sebagai nama band metal
asal Inggris. Alat ini adalah peti berbentuk tubuh manusia, yang di dalamnya terpasang
senjata-senjata yang sangat tajam dalam jumlah banyak. Mereka yang ketahuan
Islam, akan dilempar ke peti ini, lalu ditutup, sehingga tubuhnya terkoyak
seperti daging yang dicincang. Ada juga yang dinamai The Rack, yang digunakan
untuk menghancurkan tulang manusia, dimulai dari tulang kaki, tulang dada,
tangan, kepala, hingga sekujur tubuhnya remuk. Ada lagi The Pillory, The Brank,
The Bastinado, dan masih banyak lagi, yang difungsikan dengan cara yang tak
kalah mengerikannya. Astaghfirullah…
Issabel dan Ferdinand secara
resmi membentuk Dewan Inkuisisi yang tugasnya memburu umat islam. Mereka
memata-matai seluruh penduduk Andalusia. Bahkan yang sekadar ketahuan berdoa
sambil menengadahkan tangan menghadap ke Timur, akan dibunuh; mereka yang
memakai pakain terbaik di hari Jumat, dibunuh; mereka yang ketahuan dikhitan,
dibunuh. Mereka yang sudah tua dan lemah, setelah mengalami penyiksaan
berkepanjangan, akan dibiarkan hidup, namun harus menyaksikan anak dan cucunya
makan babi, minum khamer, hingga mereka meninggal karena nestapa
berkepanjangan. Innalillahi wa innailaihi rojiun…
Islam yang pernah menerangi
Andalusia lebih dari 800 tahun seakan tak berbekas. Bahkan kini tercatat jumlah
penduduk muslim di Spanyol dan Portugal hanya seratus ribu, lebih sedikit dari
jumlah muslim di kota Dallas, Amerika, yang tidak pernah dikuasai daulah Islam.
Muncul pertanyaan, mengapa hal itu tidak terjadi di negara-negara bekas koloni
Barat, seperti Aljazair yang pernah dijajah Prancis selama 330 tahun, Mesir yang dikuasai Inggris selama 70
tahun, atau Indonesia yang pernah dijajah Belanda selama 350 tahun? Cahaya Islam
tetap bersinar di negeri-negeri ini dan tak tergantikan.
Genosida yang terjadi di
Andalusia belum pernah tercatat dalam sejarah manusia sebelumnya. Baik dalam
skala jumlah yang sangat masif, maupun kekejamannya. Salah satu peristiwa
memilukan yang masih “diperingati” hingga kini adalah The April’s Fool Day atau
April Mop. Di tanggal 1 April 1487, penduduk muslim Andalusia ditipu dengan
cara yang sangat licik. Mereka dijanjikan boleh meninggalkan tanah kelahirannya
dan pergi ke kawasan Afrika Utara dengan membawa seluruh keluarga serta harta
bendanya. Begitu sampai di dermaga, ribuan orang tak bersenjata ini harus
menyaksikan kapal-kapal mereka dibakar
habis di depan mata, mereka tak punya kesempatan untuk menyelamatkan diri.
Dengan satu komando, mayoritas perempuan dan anak-anak itu syahid demi
mempertahankan aqidahnya. Karenanya, hari itu dirayakan sebagai The April’s
Fool Day, hari di mana orang boleh menipu dan memperdaya orang lain.
Menyesakkannya, tak banyak umat Islam yang mengetahui sejarah ini dan
ikut-ikutan memperingatinya.
Segala hal yang dilakukan,
membuat penduduk muslim Andalusia berkurang drastis jumlahnya. Di saat
bersamaan, kaum Nasrani dari negeri-negeri yang jauh didatangkan ke Andalusia. Kini,
setelah lebih dari 500 tahun, seakan semua terlupakan. Tidak ada lagi yang
berpikir untuk membebaskan Andalusia dan mengembalikan kehormatan Islam di
sana.
Hal serupa inilah yang sedang
terjadi di Palestine. Umat Islam diteror, diusir, dan coba dilenyapkan. Di saat
bersamaan yahudi dari seluruh dunia didatangkan ke Palestine dengan iming-iming
dan segala fasilitas. Bila umat Islam, terutama generasi mudanya, tak juga
segera disadarkan dari “tidur panjangnya”, bukan tak mungkin apa yang terjadi
di Andalusia akan terjadi di bumi para Nabi, Palestine. Al-aqsa yang telah
diperjuangkan dengan darah dan airmata dari generasi ke generasi, akan bernasib
sepilu Mezquita. Percayalah, di titik itu, tangis kita sudah tak lagi berguna…
------------------------
Bus bergerak perlahan
meninggalkan Estadio Santiago Bernabéu. Tak sampai seratus meter, Juan menghentikan busnya.
Rupanya restoran tempat kita makan siang lokasinya hanya sepelemparan batu dari
stadion. Terbaca signboard bertulisakan
Omar Restaurante, Cocina Turca, C/ Profesor Waksman 11, Madrid, tel: 913 441
237. Restoran ini terlihat cantik dari luar.
Saya
agak terkejut, ternyata ini restoran halal. “Wah, siapa sangka ada restoran
halal di dekat Estadio Santiago Bernabéu?” ucap saya pada Lambang. Menu yang dihidangkan
adalah masakan Turki. Dibuka dengan sup lentil, menu utamanya lagi-lagi ikan,
dan ditutup dessert yang sangat manis
khas Turki. Selama di Spanyol, semua makanan dipesankan bermenu ikan, mungkin biar
lebih aman.
“Yang
tidak menghabiskan makanannya, tidak boleh shalat di sini,” kata manajer
restoran demi melihat banyak dessert
yang tersisa di meja kami. Tentu saja dia hanya bergurau. Namun tak urung saya semakin
terkejut. Ada mushala di basement restoran
halal di dekat Estadio Santiago Bernabéu. Issabel dan Ferdinand pastilah menangis di kuburnya
saat ini! Mereka berdua boleh saja dengan segala cara coba melenyapkan cahaya
Allah dari bumi Andalusia, tapi Allah Sang Pemilik Cahaya, telah menuliskan
takdirNya.
“Aku lihatkan Santiago Bernabéu untukmu, Diz…,” bisik saya dalam hati.
Madrid,
Januari 2015
Uttiek
Herlambang
Masyaallah mbak,jadi pengen jalan² kesana.
BalasHapus