Jumat, 22 Januari 2016

Aku Lihatkan Santiago Bernabéu Untukmu, Diz

“Bisa, Pak, kita ke sana?”
Sejenak Pak Rustam terdiam dan terlihat berpikir, “Nanti bisa diusahakan,” jawabnya sambil tersenyum.
“Tidak apa-apa, Pak, nanti kami naik taksi.”
Di itinerary umrah plus Maroko dan Andalusia ini tidak ada jadwal ke Estadio Santiago Bernabéu. Saya meminta kepastian dari Pak Rustam untuk bisa ke sana barang sebentar saat berada di Madrid.

------------------------------------------------
Saya bukan penggemar sepak bola. Bahkan saya tidak tahu Lionel Messi itu pemain dari mana? Offside itu apa? Dan hal remeh tentang sepak bola lainnya. Pemain sepak bola yang saya tahu hanya David Beckham dan Cristiano Ronaldo. Nama pertama karena saya sering mengedit beritanya sebagai pesohor, bersama istrinya Victoria Beckham. Nama kedua karena kepeduliannya pada Palestine.

Namun, Estadio Santiago Bernabéu mulai terngiang-ngiang sejak saya membaca buku Andrea Hirata yang berjudul Sebelas Patriot. Perjuangannya mendapatkan selembar kaus bertandatangan asli Luis Figo seharga 250 Euro untuk ayahnya, sangat membekas di hati. Sekalipun kisah itu dituliskannya dengan gaya kocak, khas Andrea, tapi buat anak yang cinta mati pada ayahnya seperti saya, kisah itu sangat menyentuh. Entah kenapa kalimat yang ditulisnya, “Figo… Bujang, Luis Figo…,” selalu mengingatkan saya untuk memperjuangkan sesuatu demi membahagiakan Papi.

Pagi itu, kita mengawali hari dengan mengunjungi Plaza de Toros de las Ventas atau yang biasa disebut Las Ventas. Bangunan beraksitektur mudejar ini adalah stadion adu banteng alias tempat pertunjukan matador yang terbesar di Spanyol. Stadion berkapasitas 25.000 penonton ini mulai dibangun tahun 1922 dan digunakan tahun 1931. Beberapa kali sempat ditutup, sampai akhirnya bangunan bergaya peninggalan bangsa Arab di Andalusia yang diarsiteki José Espeliú ini digunakan lagi hingga kini. Tidak ada pertunjukan sepagi itu. Kita hanya berfoto-foto di area stadion.

Dari Las Ventas, bus bergerak menuju Estadio Santiago Bernabéu. Saya senang sekali, karena secara khusus Pak Rustam mengagendakan ke tempat ini, yang semula tidak ada di jadwal tur. Dari luar terlihat tembok menjulang setinggi Stadion GBK di Senayan. Kita tidak masuk ke dalam stadion, melainkan turun di depan pintu kafe. Dengan membayar 15 Euro per orang, pengunjung bisa duduk-duduk di dalam kafe, sambil menikmati secangkir kopi atau teh. Dan kalau beruntung, bisa menyaksikan Christiano Ronaldo, Karim Benzema, Mesut Oezil berlatih.

“Katanya di ruang ganti stadion ini ada mushala yang digunakan Benzema untuk shalat ya?” tanya Lambang pada Carmen, local guide kita di Madrid. “Wah, saya tidak punya informasi tentang itu,” jawabnya. Dari dinding kaca kafe, terlihat pemandangan di dalam stadion. Bangku-bangku penonton bercat biru, bertuliskan Real Madrid. Beberapa pekerja sibuk melakukan tugasnya. Ada mesin-mesin besar semacam mesin pemotong rumput berderet di atas rumput stadion.

Melihat rapinya rumput stadion, lagi-lagi, saya teringat kisah Andrea. Ia harus melakukan tiga pekerjaan dalam satu hari demi selembar kaus untuk ayahnya. Pagi, sebagai tukang cat dan angkut-angkut di toko furnitur, malam sebagai pembantu umum di stadion, yang tugasnya disuruh-suruh oleh siapa saja, termasuk si tukang potong rumput. Dan, sesekali ia ikut mengamen bersama para backpacker di Plaza de Catalunya.

Dari kafe, kita ke Official Real Madrid Store. Toko berlantai dua ini terlihat gemerlap dengan aneka merchandise resmi. Mulai jersey, syal, pin, topi, tas, dan banyak lagi. Di lantai dua, tersedia aneka perlengkapan merk Adidas. Semua dibanderol dalam euro. Saya membayangkan, di tempat inilah Andrea Hirata bertemu Adriana, perempuan baik yang menyimpankan kaus Luis Figo untuknya.  

Selain kisah Andrea, alasan lain yang membuat saya ingin mengunjungi Estadio Santiago Bernabéu adalah karena adik bungsu saya, Farid, yang biasa dipanggil Dudiz di rumah, adalah seorang Madridista, sebutan untuk penggemar Real Madrid. Kalau bukan karena dia, bisa jadi saya tidak akan ngotot ke tempat ini. Saya ambil selembar jersey putih untuknya, lalu beberapa barang lain. Semoga ia sesenang ayah Andrea, saat menerima jersey oleh-oleh ini.

Madrid adalah kota terakhir yang kita kunjungi dalam perjalanan ini. Dari Madrid, besok pagi kita akan bertolak kembali ke Jakarta, setelah transit di Doha, Qatar, terlebih dulu. DR. Raghib As-Sirjani di bukunya Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, secara khusus memberikan catatan pada kota ini. Di sini, tahun 1992 ditandatangani perjanjian antara Palestine dengan Israel, yang tentu saja, kemudian dilanggar sendiri oleh yahudi-yahudi itu. Mengapa dipilih kota ini? Padahal perjanjian serupa umumnya dilakukan di Amerika.

Ternyata di hari yang sama, di kota ini sedang diselenggarakan perayaan 500 tahun Dia de la Toma atau jatuhnya Granada, yang menandai dimulainya genosida pada kaum muslim Andalusia. Sejatinya, apa yang terjadi di Andalusia pada waktu itu adalah apa yang terjadi di Palestine saat ini. Secara bertahap dan sistematis, umat islam diusir dari Tanah Airnya. Bom-bom yang dijatuhkan Israel di tanah Palestine, syahidnya pada syuhada, nestapa berkepanjangan yang dirasakan saudara-saudara kita, sudah pernah tercatat oleh sejarah Andalusia. Seakan ada pesan yang ingin disampaikan dalam perjanjian itu, kami pernah melakukannya 500 tahun lalu, kini pun kami akan melakukannya lagi.

Kekejaman yang dilakukan di Andalusia sungguh tak terbayangkan oleh manusia dan kemanusiaan. Umat Islam terus diburu, mereka yang ketahuan menyembunyikan ke-Islamannya akan disiksa dengan alat-alat penyiksaan yang sangat mengerikan. Bukti adanya alat-alat penyiksaan ini ditemukan oleh pasukan Napoleon ketika menguasai Spanyol. Dalam catatan harian seorang perwira bernama Kolonel J.J. Lehmanowsky, tubuhnya bergetar hebat, bahkan nyaris pingsan, saat menemukan sisa-sisa kengerian itu.

Salah satu alat penyiksaan itu ada yang dinamai Iron Maiden, yang kemudian digunakan sebagai nama band metal asal Inggris. Alat ini adalah peti berbentuk tubuh manusia, yang di dalamnya terpasang senjata-senjata yang sangat tajam dalam jumlah banyak. Mereka yang ketahuan Islam, akan dilempar ke peti ini, lalu ditutup, sehingga tubuhnya terkoyak seperti daging yang dicincang. Ada juga yang dinamai The Rack, yang digunakan untuk menghancurkan tulang manusia, dimulai dari tulang kaki, tulang dada, tangan, kepala, hingga sekujur tubuhnya remuk. Ada lagi The Pillory, The Brank, The Bastinado, dan masih banyak lagi, yang difungsikan dengan cara yang tak kalah mengerikannya. Astaghfirullah…

Issabel dan Ferdinand secara resmi membentuk Dewan Inkuisisi yang tugasnya memburu umat islam. Mereka memata-matai seluruh penduduk Andalusia. Bahkan yang sekadar ketahuan berdoa sambil menengadahkan tangan menghadap ke Timur, akan dibunuh; mereka yang memakai pakain terbaik di hari Jumat, dibunuh; mereka yang ketahuan dikhitan, dibunuh. Mereka yang sudah tua dan lemah, setelah mengalami penyiksaan berkepanjangan, akan dibiarkan hidup, namun harus menyaksikan anak dan cucunya makan babi, minum khamer, hingga mereka meninggal karena nestapa berkepanjangan. Innalillahi wa innailaihi rojiun…

Islam yang pernah menerangi Andalusia lebih dari 800 tahun seakan tak berbekas. Bahkan kini tercatat jumlah penduduk muslim di Spanyol dan Portugal hanya seratus ribu, lebih sedikit dari jumlah muslim di kota Dallas, Amerika, yang tidak pernah dikuasai daulah Islam. Muncul pertanyaan, mengapa hal itu tidak terjadi di negara-negara bekas koloni Barat, seperti Aljazair yang pernah dijajah Prancis selama  330  tahun, Mesir yang dikuasai Inggris selama 70 tahun, atau Indonesia yang pernah dijajah Belanda selama 350 tahun? Cahaya Islam tetap bersinar di negeri-negeri ini dan tak tergantikan.

Genosida yang terjadi di Andalusia belum pernah tercatat dalam sejarah manusia sebelumnya. Baik dalam skala jumlah yang sangat masif, maupun kekejamannya. Salah satu peristiwa memilukan yang masih “diperingati” hingga kini adalah The April’s Fool Day atau April Mop. Di tanggal 1 April 1487, penduduk muslim Andalusia ditipu dengan cara yang sangat licik. Mereka dijanjikan boleh meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi ke kawasan Afrika Utara dengan membawa seluruh keluarga serta harta bendanya. Begitu sampai di dermaga, ribuan orang tak bersenjata ini harus menyaksikan kapal-kapal mereka  dibakar habis di depan mata, mereka tak punya kesempatan untuk menyelamatkan diri. Dengan satu komando, mayoritas perempuan dan anak-anak itu syahid demi mempertahankan aqidahnya. Karenanya, hari itu dirayakan sebagai The April’s Fool Day, hari di mana orang boleh menipu dan memperdaya orang lain. Menyesakkannya, tak banyak umat Islam yang mengetahui sejarah ini dan ikut-ikutan memperingatinya.

Segala hal yang dilakukan, membuat penduduk muslim Andalusia berkurang drastis jumlahnya. Di saat bersamaan, kaum Nasrani dari negeri-negeri yang jauh didatangkan ke Andalusia. Kini, setelah lebih dari 500 tahun, seakan semua terlupakan. Tidak ada lagi yang berpikir untuk membebaskan Andalusia dan mengembalikan kehormatan Islam di sana.

Hal serupa inilah yang sedang terjadi di Palestine. Umat Islam diteror, diusir, dan coba dilenyapkan. Di saat bersamaan yahudi dari seluruh dunia didatangkan ke Palestine dengan iming-iming dan segala fasilitas. Bila umat Islam, terutama generasi mudanya, tak juga segera disadarkan dari “tidur panjangnya”, bukan tak mungkin apa yang terjadi di Andalusia akan terjadi di bumi para Nabi, Palestine. Al-aqsa yang telah diperjuangkan dengan darah dan airmata dari generasi ke generasi, akan bernasib sepilu Mezquita. Percayalah, di titik itu, tangis kita sudah tak lagi berguna…

------------------------

Bus bergerak perlahan meninggalkan Estadio Santiago Bernabéu. Tak sampai seratus meter, Juan menghentikan busnya. Rupanya restoran tempat kita makan siang lokasinya hanya sepelemparan batu dari stadion. Terbaca signboard bertulisakan Omar Restaurante, Cocina Turca, C/ Profesor Waksman 11, Madrid, tel: 913 441 237. Restoran ini terlihat cantik dari luar.

Saya agak terkejut, ternyata ini restoran halal. “Wah, siapa sangka ada restoran halal di dekat Estadio Santiago Bernabéu?” ucap saya pada Lambang. Menu yang dihidangkan adalah masakan Turki. Dibuka dengan sup lentil, menu utamanya lagi-lagi ikan, dan ditutup dessert yang sangat manis khas Turki. Selama di Spanyol, semua makanan dipesankan bermenu ikan, mungkin biar lebih aman.

“Yang tidak menghabiskan makanannya, tidak boleh shalat di sini,” kata manajer restoran demi melihat banyak dessert yang tersisa di meja kami. Tentu saja dia hanya bergurau. Namun tak urung saya semakin terkejut. Ada mushala di basement restoran halal di dekat Estadio Santiago Bernabéu. Issabel dan Ferdinand pastilah menangis di kuburnya saat ini! Mereka berdua boleh saja dengan segala cara coba melenyapkan cahaya Allah dari bumi Andalusia, tapi Allah Sang Pemilik Cahaya, telah menuliskan takdirNya.

 “Aku lihatkan Santiago Bernabéu untukmu, Diz…,” bisik saya dalam hati.


Madrid, Januari 2015


Uttiek Herlambang

1 komentar: