Sabtu, 13 Februari 2016

Assalamualaikum Istanbul


“Eh, tiket kita business class,” kata Lambang mengejutkan.
Saya hentikan langkah dan melihat tiket yang terselip di dalam passport. Betul, ada tulisan business class di situ. Kita saling berpandangan dan tersenyum lebar. Alhamdulillah, sebuah kejutan awal yang menyenangkan.

Tak berhenti di situ, perjalanan lanjutan usai umrah yang seharusnya ke Mesir, ternyata atas izin Allah harus berbelok ke Istanbul. Dan lagi-lagi, saya dikejutkan dengan tiket business class Saudi Arabia Airlines, Jeddah-Istanbul.

Ah, kejutan demi kejutan, membuat perjalanan umrah akhir tahun 2015 ini menjadi perjalanan yang penuh warna.
_____________________

Udara dingin menyambut kedatangan saya di Atatürk International Airport, Istanbul. Sambil mendorong koper-koper besar yang berat, saya dan Lambang celingak-celinguk mengamati deretan para penjemput yang menanti di balik ralling besi.

Seorang perempuan muda berkacamata membawa kertas bertuliskan Mr. Herlambang. “Itu…,” seru saya sambil menunjuk ke arahnya. Saya lemparkan senyum dan melambaikan tangan. “Hi, I’m Herlambang,” kata Lambang, yang disambut perempuan itu dengan ramah, “Bagaimana penerbangan kalian?”

Setelah lebih dekat, baru terlihat kalau perempuan ini memiliki kecantikan khas Turki Eropa. Kulitnya putih, rambutnya kemerahan, wajahnya mungil, perawakannya sedang. Sekilas tampak seperti artis Nikita Willy. “My name is Nalan…,” katanya memperkenalkan diri. Ia jelaskan kalau seharusnya kita makan malam di sebuah Chinese restaurant, tapi karena sudah lewat pukul 21.00 malam, sepertinya waktunya tidak keburu.
Is it halal?” potong saya setelah mendengar kata Chinese food.
Off course,” jawab Nalan, seperti bingung mendengar pertanyaan itu. Nanti, setelah melakukan perjalan beberapa hari di Turki, barulah saya tahu jawabnya.

Nalan lalu mengajak kita ke Simit Sarayi, sebuah franchise bakery yang sangat terkenal di Turki. Bahkan saya juga sempat melihatnya di Grand Zam-Zam, Mekkah. Makanan yang paling populer di sini namanya Taptaze simitler, semacam pretzel yang empuk. Lambang memilih itu, sedang saya meminta sandwich dan secangkir teh panas.

Malam ini kita langsung ke hotel Hilton Garden, tempat kita menginap, yang berada di Golden Horn. Nalan meminta kita segera beristirahat, karena besok pagi akan melakukan perjalanan darat ke Edirne, sejauh 240 km,  yang memakan waktu kurang lebih tiga jam.

Sepanjang perjalanan dari bandara ke hotel, saya melihat hiruk pikuk Istanbul yang modern. Gedung-gedung tinggi, manusia yang sibuk, jalanan yang macet, serta warna-warni signboard mengepung kota. Mendekati selat Bosphorus, Nalan menunjukkan beberapa bangunan kuno, seperti tembok Konstantinopel. “Besok, kalian bisa melihatnya lebih jelas,” katanya

Istanbul adalah kepingan sejarah yang tercatat dengan tinta emas. Daulah Ustmani menorehkannya selama lebih dari 600 tahun. Usman Bey sang pemula, dengan gagah berani  menghancurkan pasukan Tartar. Ditaklukkannya Bursa di tahun 1317, lalu satu per satu negeri-negeri di sekelilingnya.

Perjuangan Usman Bey dan keturunannya: Orkan I, Murad I, Bayazid, Muhammad I, Murad II, semuanya untuk mewujudkan nubuwat Rasulullah. Tercatat dalam tarikh, di perang Khandak, Rasulullah menghentakkan tembilangnya pada sebuah batu. Benturan keras antara besi dan batu itu memancarkan cahaya sebanyak tiga kali. Sebanyak itu pula manusia mulia itu bertakbir, hingga para sahabat yang menyaksikan bertanya, “Ada apa gerangan?” Dijawab, bahwa pada percikan cahaya yang pertama dilihatnya negeri Yaman, percikan kedua Kisra di Persia dan yang ketiga adalah istana Konstantinopel. “Sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik pasukan yang akan menaklukkan Konstantinopel.”

Nubuwat itu menjadi pelecut semangat bagi siapa saja untuk mewujudkannya. Sejak para sahabat, yang dibuktikan oleh Abu Ayub Al Anshari yang berjihad hingga tembok Konstantinopel, sampai Usman Bey dan keturunannya. Sejengkal demi sejengkal negeri di sekitar Konstantinopel berhasil ditaklukkan. Hingga datanglah Sang Al-Fatih, Muhammad II Sang Penakluk. Bersama pasukan terbaiknya, setelah mengepung dari hari Jumat, 6 April 1453 hingga Selasa, 29 Mei 1453, akhirnya ia berhasil mewujudkan nubuwat itu.

Tak berhenti sampai di situ. Mereka adalah keturunan darah Turan, bangsa pengembara yang perkasa, tak gentar panas, tak takut salju. Perlahan, satu per satu negeri-negeri yang jauh disatukannya. Mesir, Hijaz (Mekkah-Madinah), Yaman, Irak, Palestine, Maroko, Tunisia, Aljazair, Bulgaria, Hongaria, Polandia, bahkan Sultan Sulaiman Al-Qonuni dua kali mengirim pasukannya hingga batas kota Wina, Austria.

Dua per tiga wilayah di dunia tunduk pada Daulah Ustmani. Kekuasaannya ke Timur sampai Malaka dan Nusantara. Aceh berulang mendapat bantuan dari pasukan Turki Ustmani saat mengusir Portugis. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam, menuliskan, pengaruh Daulah Usmani itu sangat terasa. Bahkan sampai sekarang, di dusun-dusun di Ulu Palembang, Tanah Bugis, Minangkabau, terutama di Aceh, masih banyak yang menggantung gambar-gambar Sultan Turki dan para pahlawannya, seperti Anwar Pasha dan Ibrahim Adham Pasha.

Lebih mengejutkan lagi, kalau sungguh-sungguh mencari, pada khutbah kedua shalat Jumat (Na’at) di surau-surau di kampung-kampung itu, masih banyak yang mendoakan khalifah Ustmani! Bahkan salah satu lambang kerajaan Minangkabau adalah sebuah cap Daulah Ustmani yang bernama Thaghraii. Benda itu masih disimpan oleh anak cucu kerabat kerajaan di Pagaruyung.

Kegemilangan demi kegemilangan yang telah ditorehkan, harus berakhir di tangan anak bangsa sendiri. Mustafa Kemal Atatürk, pada tanggal 29 Oktober 1923 mendirikan Republik Turki yang berhaluan sekuler. Mencabut panji-panji Islam yang pernah menggetarkan dunia dan menghapus segala hal yang berbau syariat Islam. Melarang perempuan-perempuan mengenakan hijabnya ke sekolah atau gedung pemerintahan, mengganti adzan menggunakan bahasa Turki, menutup madrasah-madrasah, dan sederet peristiwa memilukan lainnya.

Apakah Islam hilang dari Turki? Tidak! Saya menyaksikan hangatnya cahaya Illahi di tanah Al-Fatih hari ini.

Assalamualaikum Istanbul


Istanbul, 29 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar