“Eh, tiket kita business class,” kata Lambang
mengejutkan.
Saya hentikan langkah dan melihat
tiket yang terselip di dalam passport.
Betul, ada tulisan business class di
situ. Kita saling berpandangan dan tersenyum lebar. Alhamdulillah, sebuah
kejutan awal yang menyenangkan.
Tak berhenti di situ, perjalanan
lanjutan usai umrah yang seharusnya ke Mesir, ternyata atas izin Allah harus
berbelok ke Istanbul. Dan lagi-lagi, saya dikejutkan dengan tiket business class Saudi Arabia Airlines,
Jeddah-Istanbul.
Ah, kejutan demi kejutan, membuat
perjalanan umrah akhir tahun 2015 ini menjadi perjalanan yang penuh warna.
_____________________
Udara dingin menyambut kedatangan
saya di Atatürk International Airport, Istanbul. Sambil mendorong koper-koper
besar yang berat, saya dan Lambang celingak-celinguk
mengamati deretan para penjemput yang menanti di balik ralling besi.
Seorang perempuan muda
berkacamata membawa kertas bertuliskan Mr. Herlambang. “Itu…,” seru saya sambil
menunjuk ke arahnya. Saya lemparkan senyum dan melambaikan tangan. “Hi, I’m Herlambang,” kata Lambang, yang
disambut perempuan itu dengan ramah, “Bagaimana penerbangan kalian?”
Setelah lebih dekat, baru
terlihat kalau perempuan ini memiliki kecantikan khas Turki Eropa. Kulitnya
putih, rambutnya kemerahan, wajahnya mungil, perawakannya sedang. Sekilas
tampak seperti artis Nikita Willy. “My
name is Nalan…,” katanya memperkenalkan diri. Ia jelaskan kalau seharusnya
kita makan malam di sebuah Chinese
restaurant, tapi karena sudah lewat pukul 21.00 malam, sepertinya waktunya
tidak keburu.
“Is it halal?” potong saya setelah mendengar kata Chinese food.
“Off course,” jawab Nalan, seperti bingung mendengar pertanyaan itu.
Nanti, setelah melakukan perjalan beberapa hari di Turki, barulah saya tahu
jawabnya.
Nalan lalu mengajak kita ke Simit
Sarayi, sebuah franchise bakery yang sangat terkenal di Turki.
Bahkan saya juga sempat melihatnya di Grand Zam-Zam, Mekkah. Makanan yang
paling populer di sini namanya Taptaze simitler, semacam pretzel yang empuk.
Lambang memilih itu, sedang saya meminta sandwich
dan secangkir teh panas.
Malam ini kita langsung ke hotel
Hilton Garden, tempat kita menginap, yang berada di Golden Horn. Nalan meminta
kita segera beristirahat, karena besok pagi akan melakukan perjalanan darat ke
Edirne, sejauh 240 km, yang memakan
waktu kurang lebih tiga jam.
Sepanjang perjalanan dari bandara
ke hotel, saya melihat hiruk pikuk Istanbul yang modern. Gedung-gedung tinggi,
manusia yang sibuk, jalanan yang macet, serta warna-warni signboard mengepung kota. Mendekati selat Bosphorus, Nalan
menunjukkan beberapa bangunan kuno, seperti tembok Konstantinopel. “Besok,
kalian bisa melihatnya lebih jelas,” katanya
Istanbul adalah kepingan sejarah yang
tercatat dengan tinta emas. Daulah Ustmani menorehkannya selama lebih dari 600
tahun. Usman Bey sang pemula, dengan gagah berani menghancurkan pasukan Tartar. Ditaklukkannya
Bursa di tahun 1317, lalu satu per satu negeri-negeri di sekelilingnya.
Perjuangan Usman Bey dan
keturunannya: Orkan I, Murad I, Bayazid, Muhammad I, Murad II, semuanya untuk
mewujudkan nubuwat Rasulullah. Tercatat dalam tarikh, di perang Khandak,
Rasulullah menghentakkan tembilangnya pada sebuah batu. Benturan keras antara
besi dan batu itu memancarkan cahaya sebanyak tiga kali. Sebanyak itu pula
manusia mulia itu bertakbir, hingga para sahabat yang menyaksikan bertanya,
“Ada apa gerangan?” Dijawab, bahwa pada percikan cahaya yang pertama dilihatnya
negeri Yaman, percikan kedua Kisra di Persia dan yang ketiga adalah istana
Konstantinopel. “Sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik pasukan yang akan
menaklukkan Konstantinopel.”
Nubuwat itu menjadi pelecut
semangat bagi siapa saja untuk mewujudkannya. Sejak para sahabat, yang
dibuktikan oleh Abu Ayub Al Anshari yang berjihad hingga tembok Konstantinopel,
sampai Usman Bey dan keturunannya. Sejengkal demi sejengkal negeri di sekitar
Konstantinopel berhasil ditaklukkan. Hingga datanglah Sang Al-Fatih, Muhammad
II Sang Penakluk. Bersama pasukan terbaiknya, setelah mengepung dari hari
Jumat, 6 April 1453 hingga Selasa, 29 Mei 1453, akhirnya ia berhasil mewujudkan
nubuwat itu.
Tak berhenti sampai di situ. Mereka
adalah keturunan darah Turan, bangsa pengembara yang perkasa, tak gentar panas,
tak takut salju. Perlahan, satu per satu negeri-negeri yang jauh disatukannya.
Mesir, Hijaz (Mekkah-Madinah), Yaman, Irak, Palestine, Maroko, Tunisia,
Aljazair, Bulgaria, Hongaria, Polandia, bahkan Sultan Sulaiman Al-Qonuni dua
kali mengirim pasukannya hingga batas kota Wina, Austria.
Dua per tiga wilayah di dunia
tunduk pada Daulah Ustmani. Kekuasaannya ke Timur sampai Malaka dan Nusantara.
Aceh berulang mendapat bantuan dari pasukan Turki Ustmani saat mengusir
Portugis. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah
Umat Islam, menuliskan, pengaruh Daulah Usmani itu sangat terasa. Bahkan
sampai sekarang, di dusun-dusun di Ulu Palembang, Tanah Bugis, Minangkabau,
terutama di Aceh, masih banyak yang menggantung gambar-gambar Sultan Turki dan
para pahlawannya, seperti Anwar Pasha dan Ibrahim Adham Pasha.
Lebih mengejutkan lagi, kalau
sungguh-sungguh mencari, pada khutbah kedua shalat Jumat (Na’at) di surau-surau
di kampung-kampung itu, masih banyak yang mendoakan khalifah Ustmani! Bahkan
salah satu lambang kerajaan Minangkabau adalah sebuah cap Daulah Ustmani yang
bernama Thaghraii. Benda itu masih disimpan oleh anak cucu kerabat kerajaan di
Pagaruyung.
Kegemilangan demi kegemilangan
yang telah ditorehkan, harus berakhir di tangan anak bangsa sendiri. Mustafa
Kemal Atatürk, pada tanggal 29 Oktober 1923 mendirikan Republik Turki yang
berhaluan sekuler. Mencabut panji-panji Islam yang pernah menggetarkan dunia
dan menghapus segala hal yang berbau syariat Islam. Melarang
perempuan-perempuan mengenakan hijabnya ke sekolah atau gedung pemerintahan, mengganti
adzan menggunakan bahasa Turki, menutup madrasah-madrasah, dan sederet
peristiwa memilukan lainnya.
Apakah Islam hilang dari Turki? Tidak!
Saya menyaksikan hangatnya cahaya Illahi di tanah Al-Fatih hari ini.
Assalamualaikum Istanbul
Istanbul, 29 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar