"Al-Azhar di Mesir adalah
tempat orang-orang paling pintar menuntut ilmu." Ucap Papi saat saya masih
sangat belia. Sejak itu tertanam di hati, kalau mau pintar, harus bersekolah di
Al-Azhar, atau setidaknya pernah berada di sana. Merasakan dan menyerap
semangat para pencari ilmu.
Sudah selangkah menuju gerbang
Al-Azhar, takdir Allah membawa saya harus berbelok lebih dulu ke tanah
Al-Fatih, Istanbul. Tapi rencana Allah selalu paling sempurna. Mesir adalah
bumi Allah, begitu pun Turki.
--------------------------------------------------
Menjelajah bumi Allah dan shalat
di sebanyak-banyak masjidNya adalah impian yang sedang saya dan Lambang
wujudkan. Dan perjalanan hari ini dimulai dari Edirne, kota indah bekas ibu kota
salah satu periode Daulah Utsmani. Dari tempat ini Sang Al Fatih mengatur
strategi dan menyiapkan pasukannya untuk membebaskan Konstantinopel.
Badan masih terasa sedikit penat,
karena semalam kita baru mendarat di Istanbul. Rasanya masih tidak percaya, saya kini berada
di Benua Eropa, padahal kalau sesuai rencana, harusnya pagi ini saya terbangun
di Benua Afrika. Nalan meminta kita bertemu di restoran hotel pukul 6.30.
Jangan bayangkan pukul 6.30 seperti di Indonesia, karena di Istanbul, jam segitu
hanya berselang beberapa menit setelah adzan Subuh berkumandang.
Di hari pertama ini, Lambang
mencoba shalat Subuh di masjid terdekat. Setelah menembus dinginnya udara di musim
salju, berjalan menanjak menaiki tangga dengan kemiringan 30 derajat, sampailah
ia di masjid yang ternyata tutup karena sedang direnovasi! Saya terheran, dia
sudah sampai lagi di hotel saat saya baru mengucapkan salam usai shalat Subuh. “Masjidnya
tutup. Lagi direnovasi,” katanya sambil membenamkan muka ke bantal untuk
menghalau dingin.
Setelah bersiap, kami segera
turun. Nalan rupanya sudah menunggu di pintu restoran. Saya menyapanya dan
memujinya karena on time. Dengan
memasang muka serius, ia mengatakan kalau ia selalu siap 15-30 menit sebelum
waktu yang dijanjikan. Oh, baiklah. Dengan sedikit malu, dalam hati saya
membatin, sebagai orang Jakarta, saya masih menganggap on time adalah prestasi.
Mobil bergerak perlahan meninggalkan
hotel. Suasana masih terlihat sepi sepagi ini. Mobil melaju dengan kecepatan
sedang menuju jalan tol. Kita melintasi jembatan yang menghubungkan wilayah
Turki yang berada di Benua Eropa dengan Turki yang berada di Asia, atau yang
sering disebut Anatolia.
Gedung-gedung tinggi, rel kereta,
semakin menghilang di kejauhan, berganti dengan ladang gandum dan perkebunan chery.
Beberapa kali terlihat di kejauhan gundukan tanah menyerupai bukit kecil yang
tertutup rumput. Dari cerita Nalan, gundukan tanah seperti itu adalah makam
kuno. Banyak para pemburu harta karun yang menggali dan menemukan kepingan uang
emas, tembikar dan barang-barang berharga lainnya. Makam kuno itu peninggalan
era Byzantium atau sebelumnya.
Tiba-tiba Nalan berseru, “Lihat signboard hijau itu, itu arah ke desa
saya. Orangtua saya masih tinggal di sana,” serunya dengan gembira. Ia lalu menceritakan
kehidupannya di desa yang menyenangkan, sebelum ia merantau ke Izmir untuk
kuliah dan pindah ke Istanbul setelah menikah. Saya tertawa geli waktu ia
bercerita tentang neneknya yang takjub melihat turis yang dipandunya tidak
shalat dan berpuasa di bulan Ramadhan. “Apakah mereka manusia?” tanya sang
nenek. Sekalipun Republik Turki berhaluan sekuler, namun bagi generasi tua,
terutama yang masih hidup di desa-desa, menjalankan syariat Islam adalah
satu-satunya haluan hidup yang mereka pahami dan pegang teguh hingga akhir
hayat.
Memasuki kota Edirne, pemandangan
kian menawan. Perbukitan yang menghijau, ladang yang tertata rapi, sungai
dengan air yang jernih, jembatan tua bergaya Roman, minaret-minaret masjid yang
menjulang. Tak heran kalau Habiburrahman
El Shirazy atau yang lebih dikenal dengan panggilan Kang Abik memilih kota ini
sebagai salah satu setting novelnya
yang berjudul Api Tauhid.
Di kota ini pula Muhammad Al
Fatih dilahirkan pada 29 maret 1432. Konon menjelang kelahirannya, Sang ayah,
Sultan Murad II sedang menderas Alquran dan sampai pada Surat al-Fath, yang
berisi janji Allah akan kemenangan kaum muslimin. Qadarullah, sebutan Al Fatih
lalu tersemat di belakang namanya.
Muhammad Al Fatih tak pernah
diproyeksikan menjadi pengganti ayahnya, karena ia mempunyai dua kakak
laki-laki, Ahmed dan Ali. Seperti putra-putra sultan sebelumnya, di usia 2
tahun ia dan Ahmed kakaknya dikirim ke kota Amasya untuk belajar. Di usia 6
tahun, ia diangkat menjadi gubernur Amasya menggantikan Ahmed yang meninggal mendadak.
Dua tahun memimpin Amasya, ia
bertukar tempat dengan kakak keduanya, Ali, untuk meminpin kota Manisa. Takdir Allah,
Ali kemudian terbunuh. Peristiwa ini sangat memukul Murad II, karena Ali adalah
anak kesayangan yang digadang-gadang akan menggantikannya kelak. Itu pula yang
menjadi salah satu penyebab, ia memilih mundur dari posisinya sebagai sultan,
untuk lebih banyak berkhalwat dengan Allah, dan menyerahkan tampuk kekuasaan
pada Muhammad Al Fatih di usianya yang masih 11 tahun.
Diangkatnya sultan yang masih
sangat belia ini membuat Paus Eugene IV membujuk Ladislas menghianati
perjanjian damai selama 12 tahun yang telah disepakati bersama Sultan Murad II.
Keadaan menjadi kacau dan membuat Muhammad Al Fatih menuliskan surat yang
sangat terkenal itu, seperti yang dikutip Ust Felix Siauw dalam bukunya Muhammad Al-Fatih 1453.
“Siapakah yang menjadi sultan saat ini, saya atau ayahanda? Bila
ayahanda yang menjadi sultan, datanglah kemari dan pimpin pasukanmu. Tapi bila
ayahanda menganggap saya sebagai sultan, dengan ini saya meminta ayahanda
segera kemari dan memimpin pasukan saya.”
Demikianlah sejarah mencatat.
Setelah Sultan Murad II berhasil mengalahkan musuh, ia kembali didaulat menjadi
sultan Utsmani dan Muhammad Al Fatih kembali menjadi gubernur di Manisa. Ia baru
kembali ke Edirne saat sang ayah, Sultan Murad II, mangkat. Ia adalah satu-satunya
anak laki-laki yang tersisa. Kepindahannya ke Edirne pada 18 Februari 1451 ini untuk
memangku jabatan sultan kali kedua.
Kota indah ini awalnya berhasil
dibebaskan oleh kakek buyutnya, Sultan Murad I pada tahun 1361. Kota yang
sebelumnya bernama Adrianopel ini kemudian diganti namanya menjadi Edirne. Nama
yang masih digunakan hingga saat ini. Sejak itu pula, Sultan Murad I menjadikan
kota Edirne sebagai basis untuk menaklukkan Eropa dan menjadikan kota Bursa
untuk mengatur pemerintahan di Asia dengan Selat Dardanela sebagai penghubung
keduanya.
Tak banyak peninggal masa Murad
II maupun Muhammad Al Fatih di kota ini. Karena setelah membebaskan Konstantinopel,
ia memindahkan ibukota kerajaan ke kota yang sekarang bernama Istanbul. Tujuan
pertama kita adalah kompleks Sultan II Bayezid Kulliyesi Saglik Muzesi. Tempat
ini dulunya adalah madrasah atau sekolah dan rumah sakit. Di tempat ini
terlihat jelas bagaimana ilmu pengetahuan sudah sangat maju kala itu. Di saat
Barat masih menganggap penderita gangguan jiwa adalah penyihir yang harus
dibakar hidup-hidup, di sini sudah ada rumah sakit khusus untuk mereka. Selain
menggunakan obat-obatan, Al Farabi juga melakukan penyembuhan menggunakan
terapi musik, aromatherapi, bahkan diet makanan tertentu. Berabad kemudian,
teknik ini masih digunakan.
Masjid di dalam kompleks ini
tidak terlalu besar, namun berarsitektur cantik khas Utsmani. "Ini belum
waktunya shalat, kan?" Tanya Nalan melihat saya dan Lambang bersiap untuk
shalat. "Ya, saya akan shalat Tahiyatul Masjid. Saya ingin shalat sebanyak
mungkin di masjid-masjid yang saya jumpai." Ruangan di dalam masjid terasa
hangat dibanding suhu di luar yang minus satu derajat.
Tiba waktu Dzuhur, saya dan
Lambang sudah berada di masjid berikutnya, yakni Ezki Mosque. Masjid ini kental
dengan nuansa "mistik-nya", karena Islam di Turki mengenal banyak
tarekat dan "menyukai" hal-hal seperti itu. Syahdan diceritakan
Nalan, kalau Nabi Khidir masih sering shalat di sini. "Coba kamu lihat
baik-baik orang yang shalat di sebelah kamu ya," pesan saya pada Lambang.
Usai shalat Dzuhur, kita
menikmati makan siang di salah satu restoran yang menyajikan hidangan khas
Edirne yang sangat terkenal: Hati sapi goreng atau tava ciger dalam bahsa Turki. Sebelumnya Nalan memastikan apakah
kita mau makan hati sapi, sebab kalau tidak, kita bisa memilih menu yang lebih “aman”,
yakni olahan daging sapi. Ah, andai dia tahu, orang Solo memakan semua bagian
dari tubuh sapi. Jangankan hati, otak dan mata pun kita makan!
Tava ciger ini berupa potongan hati sapi yang diiris tipis
memanjang, dibumbui tepung sebelum digoreng kering. Hidangan ini aslinya
disajikan dengan roti, namun karena tahu kita dari Indonesia, Nalan sengaja
memesankannya dengan nasi. Rasanya…hhmmm,
lumer di lidah.
Di musim dingin seperti sekarang,
hari sudah gelap sekitar pukul 16.00. Sehingga adzan Dzuhur pukul 12.30, masuk
waktu Ashar pukul 14.38, hanya berselang 2 jam saja. Alhamdulillah, Allah
izinkan saya shalat Ashar di masjid yang diarsiteki oleh si jenius Mimar Sinan.
Masjid Selimiye yang termahsyur itu. Secara konstruksi, arsitektur dan desain
interiornya, bangunan ini sangat mencengangkan. Bahkan hal ini diakui oleh
orang-orang Jepang modern yang sangat paham dengan konstruksi bangunan tahan
gempa. Lokasi masjid ini dan wilayah Turki pada umumnya adalah daerah rawan
gempa. Namun berabad lamanya masjid ini masih utuh sekalipun diguncang gempa
berkali-kali.
Subhanallah. Nikmat ini tidak
terkira. Sekalipun Allah belum izinkan saya shalat di Masjid Al-Azhar, Kairo,
namun Allah ganti dengan yang lebih banyak masjid yang bisa saya shalati hari
ini.
Alhamdulillah...
Edirne, 30 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar