Setahun lalu saat melakukan
perjalanan ke Andalusia seusai umrah, saya merasakan kesedihan yang mendalam.
Andalusia adalah senandung kepedihan. Semua diambil dari kita, tanpa ada yang
disisakan. Rasa sedih berkepanjangan itu yang membuat tulisan-tulisan tentang
Andalusia tak kunjung selesai, hingga berganti tahun.
Namun, Allah selalu punya rencana
rahasia yang pasti sempurna. Saya yang seharusnya berada di Mesir, kini atas
izinNya berbelok ke Turki dengan cara yang tidak terduga.
Rupanya ini adalah caraNya untuk
menghapus kesedihan itu. Jejak sejarah Islam di Turki adalah dendang
kemenangan. Manusia terbaik, dengan pasukan terbaik, berhasil mewujudkan nubuwat
Rasulullah akan penaklukan Konstantinopel. Sebuah imperium yang sepertinya tak
tersentuh kala itu. Perjuangan ini berlangsung dari generasi ke generasi,
hingga terpilihlah sang Al-Fatih.
Getar itu masih saya rasakan saat
melihat kalimat Allah tegak tergurat di atas gerbang Topkapi Sarayi atau Istana
Topkapi. Laa Illa hailallah Muhammad
darusulullah...
--------------------------------------------
“Wah, hujan salju!” seru saya
pada Lambang saat membuka tirai jendela kamar hotel. Terlihat butiran putih yang
berhamburan di udara. Meski ini bukan kali pertama saya melihat salju, tapi
membayangkan akan menyusuri jejak Al Fatih dan shalat sebanyak mungkin di
masjid yang kita jumpai hari ini di bawah guyuran salju, pastilah akan menjadi
kenangan tak terlupakan.
Lambang yang pada dasarnya memang
tidak tahan dengan udara dingin, menatap ke jendela sambil meringis seperti menahan
dingin. “Sebentar, aku pakai satu lapis baju lagi,” katanya sambil mengenakan sweater, sebelum memakai coat tebalnya, mengalungkan syal, serta
memasang sarung tangan.
Keluar dari kamar, terlihat taman
dari balik kaca yang seluruhnya telah berwarna putih. “Wah, tebal sekali
saljunya,” ujar Lambang. Pagi itu ketebalan salju sekitar 20-30 cm. Saya
menatap sepatu boots yang baru kemarin dibeli di Edirne Bazaar, sambil
membatin, alhamdulillah, kemarin sempat membelinya, karena saya memang tidak mempersiapkan
perjalanan untuk bertemu salju. Apa jadinya kalau harus berjalan menembus salju
setebal ini tanpa memakai sepatu boots?
Hotel Hilton Garden Inn tempat
kita menginap posisinya di atas. Karena jalanan tertutup salju, mobil tidak
bisa naik. Jadilah Nalan mengajak kita untuk turun ke bawah, ke tempat mobil
menunggu. Seorang pegawai hotel menemani, untuk memastikan kami turun dengan
selamat. Beberapa kali saya terpeleset, karena jalan yang tertutup salju licin
sekali.
Pagi itu dingin terasa mengingit,
karena salju turun kian lebat. Saya agak terkejut, ternyata guyuran salju tidak
membuat kita basah seperti halnya kalau kehujanan. Dengan sekali kibas, salju
yang menempel di coat akan berjatuhan,
tanpa ada sisa air yang menempel.
Setelah hampir 30 menit berkendara,
sampailah kita di area kota tua. Saya, Lambang dan Nalan, harus turun dari
mobil kurang lebih setengah kilometer dari lokasi parkir, karena jalanan stuck akibat tertutup salju. Jalan yang
licin, membuat saya lagi-lagi nyaris terpeleset beberapa kali. "Aku lewat
tengah salju sajalah, licin kalau lewat jalan yang saljunya sudah dibersihkan
dengan taburan garam," kata saya pada Lambang.
Jalan yang kita lalui terus
mendaki. Topkapi Sarayi berada di atas bukit. Ada tujuh bukit di seluruh
Istanbul, salah satunya adalah lokasi ini. Dipilihnya tempat di atas
ketinggian, tentu bukan tanpa alasan. Dari sini, setiap pergerakan di Selat
Bosphorus dan Laut Marmara dapat terlihat dengan jelas.
Semua rasa lelah, ngos-ngosan karena berjalan jauh,
mendaki di bawah guyuran salju, seketika hilang saat terlihat gerbang yang
sangat terkenal itu. Di sinilah Muhammad Al-Fatih mengibarkan panji kemenangan,
lalu menyebarkan cahaya Islam ke dua per tiga wilayah di dunia, selama lebih
dari enam ratus tahun. Subhanallah, tak terasa sudut mata saya terasa hangat.
Topkapi Sarayi kini difungsikan
sebagai museum yang menyimpan peninggalan sejarah tak ternilai harganya. Bukan
karena banyaknya barang yang terbuat dari emas maupun berbalut batu mulia, tapi
karena jejak sejarah yang ditinggalkannya.
Gerbang pertama yang kita masuki
adalah Bab Al Humain. Saya agak terkejut sebenarnya melihat sarayi atau istana
"penguasa" dunia "sesederhana" ini. Saya pernah menyaksikan
istana Al Hambra yang luar biasa indahnya, padahal Granada hanyalah sebuah
keemiran kecil sekaligus yang terakhir di Andalusia, sangat jauh dibanding
kekuasaan Daulah Utsmani.
Tak banyak ornamen di dalam
istana. Motif geometris maupun gambar-gambar bunga sebagai dekorasi pun
terlihat sangat sederhana. Tidak serumit di Al Hambra. Inikah bentuk
ketawadhuk-an Al Fatih? Atau mungkinkah menciptakan bangunan yang megah bukan
prioritas? Mereka lebih memilih menciptakan alat-alat perang yang belum pernah
digunakan manusia sebelumnya?
Ada yang khas dari istana ini,
yakni banyaknya air mancur. Selain difungsikan sebagai hiasan, sumber air ini
sekaligus digunakan sebagai tempat wudhu. Di pintu istana terdapat satu tonggak
untuk menancapkan bendera. Pada masa itu digunakan sebagai penanda, apakah
sultan sedang berada di istana atau sedang berjihad.
Pada kesempatan tertentu, kalau sedang
beruntung, pengunjung bisa menyaksikan upacara pasukan Jeniseri (Inkisyariyah).
Sekalipun saat ini pasukan kebanggaan itu sudah tidak ada, dan upacara ini
sekadar pertunjukan budaya, namun tak kurang kegemilangannya masih dirasakan
oleh mereka yang melihat. Di abad ke-15, pasukan Utsmani adalah pasukan tempur
yang paling modern dan terorganisir. Terdiri dari divisi infanteri Jeniseri,
kavaleri Sipahi, pasukan ireguler Akinci, militer sukarela Bashi-bazouk. Dan tak ada yang dapat menandingi kehebatan
Jeniseri pada masa itu.
Sejarah mencatat, pasukan elite
ini dibentuk pada masa Murad I dan Bezayid, di akhir abad ke-14. Tidak seperti kebiasaan
pasukan Eropa yang membunuh para tawanan perang dan laki-laki yang mereka temui
di daerah taklukan, Sultan Murad I mempunyai ide jenius dengan memanfaatkan anak-anak
laki-laki Kristen dari wilayah yang berhasil dibebaskan.
Anak-anak ini dididik dengan
disiplin yang luar biasa sehingga terbentuklah armada militer yang tangguh.
Tidak ada pemaksaan untuk memeluk agama Islam, meski akhirnya hampir seluruhnya
mendapat cahaya hidayah setelah menyaksikan keadilan dan keagungan agama Tauhid
ini.
Pasukan ini dipimpin oleh seorang
jenderal yang disebut Aga yang memimpin beberapa brigade; brigade Cemaat
(pasukan depan), brigade Boluk (pengawal sultan), dan brigade Sekban.
Masing-masing brigade terdiri dari beberapa orta
atau batalion yang dipimpin seorang Corbaci atau kolonel. Pada saat membebaskan
Konstantinopel, jumlah pasukan Jeniseri kurang lebih 165-196 orta atau sekitar 10.000-12.000 pasukan.
Muhammad Al-Fatih acap kali
mengimami pasukan ini shalat berjamaah. Dalam khubah Jumatnya, ia selalu mengingatkan
akan nubuwat Rasulullah akan kemuliaan pasukan yang bisa membebaskan
Konstantinopel. Sultan juga menempatkan para ulama di setiap barak untuk
menjaga lurusnya niat dan kedekatan pada Yang Maha Memberi Kemenangan. Pengondisian
seperti ini tak ayal membuat pasukan Jeniseri tak ada yang menandingi.
Kemenangan demi kemenangan yang
ditorehkan pasukan Utsmani tak hanya karena ketangguhan pasukannya. Tapi, juga
kehebatan senjata yang berhasil mereka ciptakan. Salah satu ahli senjata itu
bernama Orban. Ia berhasil menciptakan meriam sepanjang 8 m, berdiameter lebih
dari 0,7 m, dengan tebal bibir meriam 20 cm, yang terbuat dari logam padat. Di
ujung moncong meriam, Sultan memerintahkan untuk mengukirnya dengan tulisan “Tolonglah ya Allah. Sultan Muhammad Khan bin
Murad.” Betapapun hebatnya senjata ini pada zamannya, Al-Fatih tetap
berkeyakinan bahwa pertolongan Allah lah yang akan menghantarkannya pada
kemenangan.
Sebagai bayangan betapa besarnya
senjata ini, seorang pria dewasa dapat masuk ke meriam ini dengan berlulut di
dalamnya. Peluru yang digunakan seberat 700 kg. Meriam inilah yang akhirnya,
atas izin Allah, dapat menjebol tembok kokoh Konstantinopel. Seolah menjawab penantian
panjang, jihad yang terus dikobarkan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan,
sejak masa Muawiyah mengirim pasukannya di tahun 669 hingga kemenangan itu
diperoleh tahun 1453, atau 784 tahun!
-----------------------------
Hari ini Topkapi Sarayi sejauh
mata memandang terlihat putih berselimut salju. Nalan mengajak kita masuk ke
bagian lain dari museum yang menyimpan benda-benda bersejarah, seperti pedang
yang digunakan Rasulullah dan para sahabat, rambut dan jubah Rasulullah, gamis
yang dikenakan Fatimah, bahkan benda-benda dari zaman Nabi Ibrahim. Hati saya
tergetar waktu melihat pedang Khalid ibn Walid, benda inikah yang digunakan
berjihad sehingga membuatnya digelari Syaifullah atau pedang Allah?
Peninggalan Daulah Ustmani
diletakkan di ruang terpisah. Ada berlian 86 carat (!), yang kilauannya sangat
menyilaukan, juga pedang yang digunakan Al Fatih yang di tengahnya terdapat
ukiran ayat-ayat jihad.
Di bagian lain, terdapat ruangan
yang digunakan untuk audiensi dengan rakyat maupun para duta besar. Lagi-lagi
saya terkesan dengan kesederhanaan bangunan ini. Keluar dari ruangan, terdapat
taman yang luas. Di dekat pagar pembatas terlihat gazebo kecil. Di gazebo
inilah sultan menanti adzan Maghrib berkumandang di bulan Ramadhan. Indah
sekali pemandangan dari tempat ini. Bayangkan minum seteguk zam-zam untuk menghapus
dahaga setelah puasa seharian sambil menatap senja yang lindap di atas Selat
Bosphorus.
Hati saya terasa ringan. Sejarah
Utsmani adalah kegemilangan. Saat melangkah keluar dari Topkapi Sarayi,
terdengar kumandang adzan Dzuhur dari kejauhan. "Shall we go to Blue Mosque now?" Tanya saya. "Sure," jawab Nalan.
Kalimat, "Hayya
'ala sholah..." terdengar
sangat indah, di bawah guyuran salju, di depan Istana Topkapi. Allah selalu
punya cara untuk membuat bunga tulip kembali bermekaran di hati saya...
Istanbul, 31 Desember 2015
Uttiek Herlambang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar