Jumat, 25 Maret 2016

Topkapi Sarayi Pelipur Lara


Setahun lalu saat melakukan perjalanan ke Andalusia seusai umrah, saya merasakan kesedihan yang mendalam. Andalusia adalah senandung kepedihan. Semua diambil dari kita, tanpa ada yang disisakan. Rasa sedih berkepanjangan itu yang membuat tulisan-tulisan tentang Andalusia tak kunjung selesai, hingga berganti tahun.

Namun, Allah selalu punya rencana rahasia yang pasti sempurna. Saya yang seharusnya berada di Mesir, kini atas izinNya berbelok ke Turki dengan cara yang tidak terduga.

Rupanya ini adalah caraNya untuk menghapus kesedihan itu. Jejak sejarah Islam di Turki adalah dendang kemenangan. Manusia terbaik, dengan pasukan terbaik, berhasil mewujudkan nubuwat Rasulullah akan penaklukan Konstantinopel. Sebuah imperium yang sepertinya tak tersentuh kala itu. Perjuangan ini berlangsung dari generasi ke generasi, hingga terpilihlah sang Al-Fatih.

Getar itu masih saya rasakan saat melihat kalimat Allah tegak tergurat di atas gerbang Topkapi Sarayi atau Istana Topkapi. Laa Illa hailallah Muhammad darusulullah...

--------------------------------------------
“Wah, hujan salju!” seru saya pada Lambang saat membuka tirai jendela kamar hotel. Terlihat butiran putih yang berhamburan di udara. Meski ini bukan kali pertama saya melihat salju, tapi membayangkan akan menyusuri jejak Al Fatih dan shalat sebanyak mungkin di masjid yang kita jumpai hari ini di bawah guyuran salju, pastilah akan menjadi kenangan tak terlupakan.

Lambang yang pada dasarnya memang tidak tahan dengan udara dingin, menatap ke jendela sambil meringis seperti menahan dingin. “Sebentar, aku pakai satu lapis baju lagi,” katanya sambil mengenakan sweater, sebelum memakai coat tebalnya, mengalungkan syal, serta memasang sarung tangan.

Keluar dari kamar, terlihat taman dari balik kaca yang seluruhnya telah berwarna putih. “Wah, tebal sekali saljunya,” ujar Lambang. Pagi itu ketebalan salju sekitar 20-30 cm. Saya menatap sepatu boots yang baru kemarin dibeli di Edirne Bazaar, sambil membatin, alhamdulillah, kemarin sempat membelinya, karena saya memang tidak mempersiapkan perjalanan untuk bertemu salju. Apa jadinya kalau harus berjalan menembus salju setebal ini tanpa memakai sepatu boots?  

Hotel Hilton Garden Inn tempat kita menginap posisinya di atas. Karena jalanan tertutup salju, mobil tidak bisa naik. Jadilah Nalan mengajak kita untuk turun ke bawah, ke tempat mobil menunggu. Seorang pegawai hotel menemani, untuk memastikan kami turun dengan selamat. Beberapa kali saya terpeleset, karena jalan yang tertutup salju licin sekali.   

Pagi itu dingin terasa mengingit, karena salju turun kian lebat. Saya agak terkejut, ternyata guyuran salju tidak membuat kita basah seperti halnya kalau kehujanan. Dengan sekali kibas, salju yang menempel di coat akan berjatuhan, tanpa ada sisa air yang menempel.  

Setelah hampir 30 menit berkendara, sampailah kita di area kota tua. Saya, Lambang dan Nalan, harus turun dari mobil kurang lebih setengah kilometer dari lokasi parkir, karena jalanan stuck akibat tertutup salju. Jalan yang licin, membuat saya lagi-lagi nyaris terpeleset beberapa kali. "Aku lewat tengah salju sajalah, licin kalau lewat jalan yang saljunya sudah dibersihkan dengan taburan garam," kata saya pada Lambang.

Jalan yang kita lalui terus mendaki. Topkapi Sarayi berada di atas bukit. Ada tujuh bukit di seluruh Istanbul, salah satunya adalah lokasi ini. Dipilihnya tempat di atas ketinggian, tentu bukan tanpa alasan. Dari sini, setiap pergerakan di Selat Bosphorus dan Laut Marmara dapat terlihat dengan jelas.

Semua rasa lelah, ngos-ngosan karena berjalan jauh, mendaki di bawah guyuran salju, seketika hilang saat terlihat gerbang yang sangat terkenal itu. Di sinilah Muhammad Al-Fatih mengibarkan panji kemenangan, lalu menyebarkan cahaya Islam ke dua per tiga wilayah di dunia, selama lebih dari enam ratus tahun. Subhanallah, tak terasa sudut mata saya terasa hangat.

Topkapi Sarayi kini difungsikan sebagai museum yang menyimpan peninggalan sejarah tak ternilai harganya. Bukan karena banyaknya barang yang terbuat dari emas maupun berbalut batu mulia, tapi karena jejak sejarah yang ditinggalkannya.

Gerbang pertama yang kita masuki adalah Bab Al Humain. Saya agak terkejut sebenarnya melihat sarayi atau istana "penguasa" dunia "sesederhana" ini. Saya pernah menyaksikan istana Al Hambra yang luar biasa indahnya, padahal Granada hanyalah sebuah keemiran kecil sekaligus yang terakhir di Andalusia, sangat jauh dibanding kekuasaan Daulah Utsmani.

Tak banyak ornamen di dalam istana. Motif geometris maupun gambar-gambar bunga sebagai dekorasi pun terlihat sangat sederhana. Tidak serumit di Al Hambra. Inikah bentuk ketawadhuk-an Al Fatih? Atau mungkinkah menciptakan bangunan yang megah bukan prioritas? Mereka lebih memilih menciptakan alat-alat perang yang belum pernah digunakan manusia sebelumnya?

Ada yang khas dari istana ini, yakni banyaknya air mancur. Selain difungsikan sebagai hiasan, sumber air ini sekaligus digunakan sebagai tempat wudhu. Di pintu istana terdapat satu tonggak untuk menancapkan bendera. Pada masa itu digunakan sebagai penanda, apakah sultan sedang berada di istana atau sedang berjihad.

Pada kesempatan tertentu, kalau sedang beruntung, pengunjung bisa menyaksikan upacara pasukan Jeniseri (Inkisyariyah). Sekalipun saat ini pasukan kebanggaan itu sudah tidak ada, dan upacara ini sekadar pertunjukan budaya, namun tak kurang kegemilangannya masih dirasakan oleh mereka yang melihat. Di abad ke-15, pasukan Utsmani adalah pasukan tempur yang paling modern dan terorganisir. Terdiri dari divisi infanteri Jeniseri, kavaleri Sipahi, pasukan ireguler Akinci, militer sukarela Bashi-bazouk.  Dan tak ada yang dapat menandingi kehebatan Jeniseri pada masa itu.

Sejarah mencatat, pasukan elite ini dibentuk pada masa Murad I dan Bezayid, di akhir abad ke-14. Tidak seperti kebiasaan pasukan Eropa yang membunuh para tawanan perang dan laki-laki yang mereka temui di daerah taklukan, Sultan Murad I mempunyai ide jenius dengan memanfaatkan anak-anak laki-laki Kristen dari wilayah yang berhasil dibebaskan.

Anak-anak ini dididik dengan disiplin yang luar biasa sehingga terbentuklah armada militer yang tangguh. Tidak ada pemaksaan untuk memeluk agama Islam, meski akhirnya hampir seluruhnya mendapat cahaya hidayah setelah menyaksikan keadilan dan keagungan agama Tauhid ini.

Pasukan ini dipimpin oleh seorang jenderal yang disebut Aga yang memimpin beberapa brigade; brigade Cemaat (pasukan depan), brigade Boluk (pengawal sultan), dan brigade Sekban. Masing-masing brigade terdiri dari beberapa orta atau batalion yang dipimpin seorang Corbaci atau kolonel. Pada saat membebaskan Konstantinopel, jumlah pasukan Jeniseri kurang lebih 165-196 orta atau sekitar 10.000-12.000 pasukan.

Muhammad Al-Fatih acap kali mengimami pasukan ini shalat berjamaah. Dalam khubah Jumatnya, ia selalu mengingatkan akan nubuwat Rasulullah akan kemuliaan pasukan yang bisa membebaskan Konstantinopel. Sultan juga menempatkan para ulama di setiap barak untuk menjaga lurusnya niat dan kedekatan pada Yang Maha Memberi Kemenangan. Pengondisian seperti ini tak ayal membuat pasukan Jeniseri tak ada yang menandingi.

Kemenangan demi kemenangan yang ditorehkan pasukan Utsmani tak hanya karena ketangguhan pasukannya. Tapi, juga kehebatan senjata yang berhasil mereka ciptakan. Salah satu ahli senjata itu bernama Orban. Ia berhasil menciptakan meriam sepanjang 8 m, berdiameter lebih dari 0,7 m, dengan tebal bibir meriam 20 cm, yang terbuat dari logam padat. Di ujung moncong meriam, Sultan memerintahkan untuk mengukirnya dengan tulisan “Tolonglah ya Allah. Sultan Muhammad Khan bin Murad.” Betapapun hebatnya senjata ini pada zamannya, Al-Fatih tetap berkeyakinan bahwa pertolongan Allah lah yang akan menghantarkannya pada kemenangan.

Sebagai bayangan betapa besarnya senjata ini, seorang pria dewasa dapat masuk ke meriam ini dengan berlulut di dalamnya. Peluru yang digunakan seberat 700 kg. Meriam inilah yang akhirnya, atas izin Allah, dapat menjebol tembok kokoh Konstantinopel. Seolah menjawab penantian panjang, jihad yang terus dikobarkan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, sejak masa Muawiyah mengirim pasukannya di tahun 669 hingga kemenangan itu diperoleh tahun 1453, atau 784 tahun!

-----------------------------

Hari ini Topkapi Sarayi sejauh mata memandang terlihat putih berselimut salju. Nalan mengajak kita masuk ke bagian lain dari museum yang menyimpan benda-benda bersejarah, seperti pedang yang digunakan Rasulullah dan para sahabat, rambut dan jubah Rasulullah, gamis yang dikenakan Fatimah, bahkan benda-benda dari zaman Nabi Ibrahim. Hati saya tergetar waktu melihat pedang Khalid ibn Walid, benda inikah yang digunakan berjihad sehingga membuatnya digelari Syaifullah atau pedang Allah?

Peninggalan Daulah Ustmani diletakkan di ruang terpisah. Ada berlian 86 carat (!), yang kilauannya sangat menyilaukan, juga pedang yang digunakan Al Fatih yang di tengahnya terdapat ukiran ayat-ayat jihad.

Di bagian lain, terdapat ruangan yang digunakan untuk audiensi dengan rakyat maupun para duta besar. Lagi-lagi saya terkesan dengan kesederhanaan bangunan ini. Keluar dari ruangan, terdapat taman yang luas. Di dekat pagar pembatas terlihat gazebo kecil. Di gazebo inilah sultan menanti adzan Maghrib berkumandang di bulan Ramadhan. Indah sekali pemandangan dari tempat ini. Bayangkan minum seteguk zam-zam untuk menghapus dahaga setelah puasa seharian sambil menatap senja yang lindap di atas Selat Bosphorus.

Hati saya terasa ringan. Sejarah Utsmani adalah kegemilangan. Saat melangkah keluar dari Topkapi Sarayi, terdengar kumandang adzan Dzuhur dari kejauhan. "Shall we go to Blue Mosque now?" Tanya saya. "Sure," jawab Nalan.

Kalimat, "Hayya 'ala sholah..."  terdengar sangat indah, di bawah guyuran salju, di depan Istana Topkapi. Allah selalu punya cara untuk membuat bunga tulip kembali bermekaran di hati saya...



Istanbul, 31 Desember 2015


Uttiek Herlambang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar