Lelaki tua warga negara Prancis
keturunan Maroko itu terlihat bersungut-sungut. Saat ia beriktikaf di masjid,
anak laki-lakinya pulang dalam keadaan mabuk. Mereka beradu mulut. "Saya
harus menunggu kamu berdoa. Di luar dingin, jadi saya minum sedikit,"
kilah si anak.
Adegan itu adalah penggalan film
berjudul "Le Grand Voyage",
sebuah film yang diputar pada pembukaan Festival Film Prancis di Jakarta sekian
tahun lalu. Ceritanya tentang pria tua dari Prancis yang akan pergi haji melalui
jalan darat dan meminta anak laki-lakinya menyupiri. Si anak ini memiliki gaya
hidup hedonis yang jauh berbeda dengan ayahnya yang sholeh. Banyak pesan
kemanusiaan terselip sepanjang film. Salah satu yang paling berkesan buat saya
adalah adegan di masjid Sultan Ahmed, Istanbul, atau yang lebih dikenal sebagai
Blue Mosque.
Masjid itu terlihat indah dengan
minaret yang unik. Saat menyaksikan adegan dalam film itu, terselip doa di
hati, semoga Allah izinkan saya untuk pergi ke Baitullah melalui jalan darat. Dan
satu lagi, shalat di Masjid Biru itu. Alhamdulillah, Allah izinkan saya mendapatkan
salah satunya hari ini.
------------------------------------------
Guyuran salju kian lebat. Saya memastikan
coat dan sarung tangan terpasang rapat.
Syal yang melingkar di leher saya kenakan di kepala, melapisi hijab. Sambil sedikit
membungkuk, kita berjalan menembus salju. Jarak Topkapi Sarayi ke Blue Mosque
tidak terlalu jauh, namun lebatnya hujan salju membuat jalan kita menjadi
lambat.
Beberapa turis dari Timur Tengah
terlihat berlarian gembira. Mereka bermain snow
war, alias lempar-lemparan salju. Saya tersenyum kecil, membayangkan mereka
yang setiap hari harus merasakan panasnya udara gurun, tentulah berada di
tengah hujan salju seperti ini menjadi pengalaman yang menyenangkan. Bahkan beberapa
perempuan yang mengenakan abaya hitam tampak santai tanpa coat tebal.
Dari kejauhan mulai terlihat Blue
Mosque yang putih tertutup salju. Sebenarnya masjid ini dari luar memang tidak
berwarna biru. Namun, mozaik di dalamnya yang semua berwarna biru, membuat
masjid yang aslinya bernama Sultan Ahmed ini dikenal dengan nama Blue Mosque.
Mozaik yang terpasang tak terhitung jumlahnya dan rapi sekali, pastilah ini
hasil karya tangan-tangan terampil.
Di depan pintu, terlihat antrean
wudhu untuk laki-laki. Saya lirik Lambang sekilas, ia menoleh dan langsung
berkata, "Aku tayamum ya. Enggak kuat dinginnya," jawabnya. Di Turki,
masyarakatnya tidak mengenal wudhu dengan air hangat. Sekalipun suhu di bawah
nol derajat, dengan guyuran salju dan terpaan angin dingin yang kencang, mereka
tetap berwudhu menggunakan air dingin.
Ingin tahu seperti apa rasanya
wudhu dengan air dingin di tengah salju? Air ini kalau kena muka seperti menampar-nampar
pipi. Sedikit pedih. Lalu pipi seperti dikerubuti ribuan semut, dan beberapa di
antaranya menggigit, hingga terasa perih!
Nalan lalu memberi tahu arah
tempat wudhu dan shalat untuk perempuan, serta menunjuk tempat janjian kita
usai shalat. Seperti beberapa masjid besar di Turki, di gerbang masjid tersedia
plastik yang bisa digunakan untuk membungkus sepatu, kemudian kita harus meletakkannya
di rak penyimpanan di dalam ruangan. Di musim dingin seperti ini, semua orang
ke masjid menggunakan sepatu boots, tidak ada yang memakai sandal, karena harus
berjalan menembus salju.
Umumnya gerbang masjid di Turki ditutup
dengan semacam kerai yang terbuat dari kulit dan terpal berwarna hijau yang
sangat tebal. Fungsinya untuk menghalau angin dingin dari luar, sekaligus
sebagai penanda bahwa itu pintu menuju tempat shalat. Berbeda dengan di
Indonesia, masjid di Turki umumnya boleh dimasuki orang-orang non muslim, namun
mereka menggunakan pintu yang berbeda. Pintu berwarna hijau khusus bagi yang
akan shalat. Saat adzan berkumandang, semua masjid tertutup bagi turis, hingga
selesai waktu shalat.
Saya menyibak kerai warna hijau
yang berat itu dan melangkah perlahan ke tempat shalat perempuan. Subhanallah. Mozaik
biru yang menutup dinding dalam masjid ini indah sekali. Tidak terhitung
jumlahnya. Di tengah masjid juga tak
terlihat pilar-pilar untuk menyangga kubah yang sangat besar. Seperti halnya
Masjid Selimiye di Edirne yang saya saksikan kemarin, mereka menggunakan hidden pillar. Dengan arsitek yang
cantik, pilar kokoh berdiameter 5 meter itu seakan tidak terlihat.
Saya dongakkan kepala, kubah
besar itu dikelilingi dengan kubah-kubah kecil di sekitarnya. Dari bawah,
kumpulan kubah itu bentuknya menyerupai kelopak bunga. Tak hanya dari sisi
estetika, sejatinya kubah-kubah kecil itu fungsinya untuk mengurangi “beban”
kubah besar yang ada di tengah. Sungguh sebuah ide jenius yang menggabungkan
antara kekuatan dan keindahan dalam sebuah karya arsitektur.
Dalam bukunya “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia”,
Prof. DR. Raghib A-Sirjani menyebutkan, peradaban Islam telah mencapai kemajuan
dalam membangun kubah-kubah besar. Secara keseluruhan kubah adalah bangunan
yang membutuhkan perhitungan matematika yang rumit. Maha karya itu, di
antaranya, kubah Ash-Shakrah (dome of
rock) di Baitul Maqdis, Palestine, kubah masjid Astanah di Kairo, bangunan-bangunan di
Andalusia, dan rangkuman dari seluruh karya besar itu adalah masjid Sultan
Ahmed atau Blue Mosque di Istanbul.
Beberapa buah chandelier yang
sangat besar tergantung di bawah kubah. Istimewanya, saat itu mereka masih
menggunakan minyak untuk penerangan, tapi tak ada sedikitpun jelaga yang
membuat kubah terlihat menghitam. Dengan cara yang sangat "canggih",
asap dan jelaga itu ditampung dalam satu wadah, lalu dengan menggunakan cairan
kimia tertentu, diolah menjadi tinta yang digunakan untuk menulis kitab.
Subhanallah.
Masjid ini memiliki 6 minaret,
padahal umumnya masjid di Turki hanya memiliki 4 minaret. Ini terkait dengan
menara di Masjidil Haram yang kala itu baru berjumlah 6, sehingga Sultan
memutuskan, tidak boleh ada masjid yang melebihinya.
"Kesalahan" terjadi
kala Sultan Ahmed menginginkan minaret masjid yang terbuat dari emas, namun
dipahami oleh arsiteknya sebagai enam. Kata emas dan enam dalam bahasa Turki
terdengar mirip. Jadilah masjid ini sebagai satu-satunya masjid yang memiliki
enam minaret di Turki.
Tak berhenti pada penciptaan
kubah-kubah besar, namun juga seni lengkung bangunan yang menjadi ciri
arsitektur Islam. Di awali dengan pembuatan lengkung Manfukh di Masjid Umawi,
Damaskus, pada tahun 706, lalu menyebarlah ke seluruh dunia. Beragam bentuk
lengkungan tercipta, seperti lengkung Al-Mudabbabah, Ash-Shama, dan Al-Munfarij. Nama terakhir itu baru dikenal di
Inggris abad ke-16 dengan nama Tudor Arch.
Salah satu pencapaian yang paling
spektakuler adalah ilmu suara atau akuistik. Tanpa menggunakan pengeras suara,
suara imam dapat didistribusikan ke seluruh masjid dengan sangat jernih. Para arsitek
muslim telah mengenal bahwa suara memantul dari atap-atap cekung dan berkumpul
di cekungan tertentu. Seperti halnya hukum cahaya yang memantul dari kaca
cekung. Atap dan tembok masjid dirancang dengan bentuk cekung yang terbagi di
beberapa pojok masjid secara detail dengan perhitungan yang rumit.
Kalau dunia mengenal nama Wallace
Sabine, fisikawan dari Harvard, sebagai penemu ilmu suara bangunan di tahun
1900, sesungguhnya para ilmuwan muslim lah yang menciptakannya, berabad
sebelumnya. Ini dibuktikan pada masjid Isfahan kuno, masjid Al-Adiliyah di Halab,
serta masjid-masjid Daulah Abbasiyah di Baghdad, masjid-masjid di Andalusia, dan
masjid-masjid Daulah Utsmani di Turki.
Yang menarik, dari beberapa
masjid yang kita singgahi, umumnya imamnya masih muda, berusia sekitar empat puluhan,
dengan wajah yang ganteng-ganteng khas pria Euroasia. Sebagai gambaran,
bayangkan para Vladimir, mengenakan jubah imam yang indah dan penutup kepala
khas. Bacaan mereka sangat tartil, umumnya mereka hafiz. Kalau di beberapa
masjid di Indonesia, sebelum dan sesudah shalat ada shalawatan, di Turki juga
ada, dan lebih panjang lagi yang mereka baca.
Nalan sempat mengenalkan kita
dengan salah satu imam di Masjid Selimiye, Edirne, kemarin. Sang imam dengan
senyum ramahnya menyambut saya dan Lambang, ia terlihat berbinar begitu tahu
kami dari Indonesia. Dalam bahasa Turki, yang diterjemahkan Nalan, ia
mengucapkan selamat datang, memuji orang Indonesia sebagai muslim yang ramah,
serta mengirimkan salam untuk saudara-saudara muslim di Indonesia. Sudut mata
saya hangat menyambut salam ini, persaudaraan dalam satu akidah selalu
menggetarkan hati.
------------------------------------
Tempat shalat perempuan dipisah
dengan batas partisi dari kayu, namun tetap bisa melihat arah mihrab. Saya
segera mengambil posisi di shaf perempuan. Selesai shalat, saat berdoa, saya melihat
jari lentik yang memakai cincin indah, terulur mengambil tasbih yang posisi
gantungannya tepat di depan saya. Penasaran, saya menoleh. Alangkah
terkejutnya, perempuan cantik berjari lentik itu sangat mirip dengan Dewi
Sandra!
Usai shalat, kami saling berjabat
tangan sambil mengucapkan salam. Melihat banyaknya jamaah siang ini, hati
terasa hangat. Mustafa Kamal Attaturk boleh saja mencabut panji-panji Islam dan
menjadikan negara ini sekuler, namun Allah Sang Pemilik Hidayah, tetap akan
membuka hati mereka untuk memakmurkan masjidNya.
Istanbul, 31 Desember 2015
Uttiek Herlambang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar