Minggu, 27 Maret 2016

Pendar Mozaik di Blue Mosque


Lelaki tua warga negara Prancis keturunan Maroko itu terlihat bersungut-sungut. Saat ia beriktikaf di masjid, anak laki-lakinya pulang dalam keadaan mabuk. Mereka beradu mulut. "Saya harus menunggu kamu berdoa. Di luar dingin, jadi saya minum sedikit," kilah si anak.

Adegan itu adalah penggalan film berjudul "Le Grand Voyage", sebuah film yang diputar pada pembukaan Festival Film Prancis di Jakarta sekian tahun lalu. Ceritanya tentang pria tua dari Prancis yang akan pergi haji melalui jalan darat dan meminta anak laki-lakinya menyupiri. Si anak ini memiliki gaya hidup hedonis yang jauh berbeda dengan ayahnya yang sholeh. Banyak pesan kemanusiaan terselip sepanjang film. Salah satu yang paling berkesan buat saya adalah adegan di masjid Sultan Ahmed, Istanbul, atau yang lebih dikenal sebagai Blue Mosque.

Masjid itu terlihat indah dengan minaret yang unik. Saat menyaksikan adegan dalam film itu, terselip doa di hati, semoga Allah izinkan saya untuk pergi ke Baitullah melalui jalan darat. Dan satu lagi, shalat di Masjid Biru itu. Alhamdulillah, Allah izinkan saya mendapatkan salah satunya hari ini.

------------------------------------------

Guyuran salju kian lebat. Saya memastikan coat dan sarung tangan terpasang rapat. Syal yang melingkar di leher saya kenakan di kepala, melapisi hijab. Sambil sedikit membungkuk, kita berjalan menembus salju. Jarak Topkapi Sarayi ke Blue Mosque tidak terlalu jauh, namun lebatnya hujan salju membuat jalan kita menjadi lambat.

Beberapa turis dari Timur Tengah terlihat berlarian gembira. Mereka bermain snow war, alias lempar-lemparan salju. Saya tersenyum kecil, membayangkan mereka yang setiap hari harus merasakan panasnya udara gurun, tentulah berada di tengah hujan salju seperti ini menjadi pengalaman yang menyenangkan. Bahkan beberapa perempuan yang mengenakan abaya hitam tampak santai tanpa coat tebal.

Dari kejauhan mulai terlihat Blue Mosque yang putih tertutup salju. Sebenarnya masjid ini dari luar memang tidak berwarna biru. Namun, mozaik di dalamnya yang semua berwarna biru, membuat masjid yang aslinya bernama Sultan Ahmed ini dikenal dengan nama Blue Mosque. Mozaik yang terpasang tak terhitung jumlahnya dan rapi sekali, pastilah ini hasil karya tangan-tangan terampil.

Di depan pintu, terlihat antrean wudhu untuk laki-laki. Saya lirik Lambang sekilas, ia menoleh dan langsung berkata, "Aku tayamum ya. Enggak kuat dinginnya," jawabnya. Di Turki, masyarakatnya tidak mengenal wudhu dengan air hangat. Sekalipun suhu di bawah nol derajat, dengan guyuran salju dan terpaan angin dingin yang kencang, mereka tetap berwudhu menggunakan air dingin.

Ingin tahu seperti apa rasanya wudhu dengan air dingin di tengah salju? Air ini kalau kena muka seperti menampar-nampar pipi. Sedikit pedih. Lalu pipi seperti dikerubuti ribuan semut, dan beberapa di antaranya menggigit, hingga terasa perih!

Nalan lalu memberi tahu arah tempat wudhu dan shalat untuk perempuan, serta menunjuk tempat janjian kita usai shalat. Seperti beberapa masjid besar di Turki, di gerbang masjid tersedia plastik yang bisa digunakan untuk membungkus sepatu, kemudian kita harus meletakkannya di rak penyimpanan di dalam ruangan. Di musim dingin seperti ini, semua orang ke masjid menggunakan sepatu boots, tidak ada yang memakai sandal, karena harus berjalan menembus salju.

Umumnya gerbang masjid di Turki ditutup dengan semacam kerai yang terbuat dari kulit dan terpal berwarna hijau yang sangat tebal. Fungsinya untuk menghalau angin dingin dari luar, sekaligus sebagai penanda bahwa itu pintu menuju tempat shalat. Berbeda dengan di Indonesia, masjid di Turki umumnya boleh dimasuki orang-orang non muslim, namun mereka menggunakan pintu yang berbeda. Pintu berwarna hijau khusus bagi yang akan shalat. Saat adzan berkumandang, semua masjid tertutup bagi turis, hingga selesai waktu shalat.

Saya menyibak kerai warna hijau yang berat itu dan melangkah perlahan ke tempat shalat perempuan. Subhanallah. Mozaik biru yang menutup dinding dalam masjid ini indah sekali. Tidak terhitung jumlahnya.  Di tengah masjid juga tak terlihat pilar-pilar untuk menyangga kubah yang sangat besar. Seperti halnya Masjid Selimiye di Edirne yang saya saksikan kemarin, mereka menggunakan hidden pillar. Dengan arsitek yang cantik, pilar kokoh berdiameter 5 meter itu seakan tidak terlihat.

Saya dongakkan kepala, kubah besar itu dikelilingi dengan kubah-kubah kecil di sekitarnya. Dari bawah, kumpulan kubah itu bentuknya menyerupai kelopak bunga. Tak hanya dari sisi estetika, sejatinya kubah-kubah kecil itu fungsinya untuk mengurangi “beban” kubah besar yang ada di tengah. Sungguh sebuah ide jenius yang menggabungkan antara kekuatan dan keindahan dalam sebuah karya arsitektur.

Dalam bukunya “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia”, Prof. DR. Raghib A-Sirjani menyebutkan, peradaban Islam telah mencapai kemajuan dalam membangun kubah-kubah besar. Secara keseluruhan kubah adalah bangunan yang membutuhkan perhitungan matematika yang rumit. Maha karya itu, di antaranya, kubah Ash-Shakrah (dome of rock) di Baitul Maqdis, Palestine, kubah masjid  Astanah di Kairo, bangunan-bangunan di Andalusia, dan rangkuman dari seluruh karya besar itu adalah masjid Sultan Ahmed atau Blue Mosque di Istanbul.

Beberapa buah chandelier yang sangat besar tergantung di bawah kubah. Istimewanya, saat itu mereka masih menggunakan minyak untuk penerangan, tapi tak ada sedikitpun jelaga yang membuat kubah terlihat menghitam. Dengan cara yang sangat "canggih", asap dan jelaga itu ditampung dalam satu wadah, lalu dengan menggunakan cairan kimia tertentu, diolah menjadi tinta yang digunakan untuk menulis kitab. Subhanallah.

Masjid ini memiliki 6 minaret, padahal umumnya masjid di Turki hanya memiliki 4 minaret. Ini terkait dengan menara di Masjidil Haram yang kala itu baru berjumlah 6, sehingga Sultan memutuskan, tidak boleh ada masjid yang melebihinya.

"Kesalahan" terjadi kala Sultan Ahmed menginginkan minaret masjid yang terbuat dari emas, namun dipahami oleh arsiteknya sebagai enam. Kata emas dan enam dalam bahasa Turki terdengar mirip. Jadilah masjid ini sebagai satu-satunya masjid yang memiliki enam minaret di Turki.

Tak berhenti pada penciptaan kubah-kubah besar, namun juga seni lengkung bangunan yang menjadi ciri arsitektur Islam. Di awali dengan pembuatan lengkung Manfukh di Masjid Umawi, Damaskus, pada tahun 706, lalu menyebarlah ke seluruh dunia. Beragam bentuk lengkungan tercipta, seperti lengkung Al-Mudabbabah, Ash-Shama, dan  Al-Munfarij. Nama terakhir itu baru dikenal di Inggris abad ke-16 dengan nama Tudor Arch.

Salah satu pencapaian yang paling spektakuler adalah ilmu suara atau akuistik. Tanpa menggunakan pengeras suara, suara imam dapat didistribusikan ke seluruh masjid dengan sangat jernih. Para arsitek muslim telah mengenal bahwa suara memantul dari atap-atap cekung dan berkumpul di cekungan tertentu. Seperti halnya hukum cahaya yang memantul dari kaca cekung. Atap dan tembok masjid dirancang dengan bentuk cekung yang terbagi di beberapa pojok masjid secara detail dengan perhitungan yang rumit.

Kalau dunia mengenal nama Wallace Sabine, fisikawan dari Harvard, sebagai penemu ilmu suara bangunan di tahun 1900, sesungguhnya para ilmuwan muslim lah yang menciptakannya, berabad sebelumnya. Ini dibuktikan pada masjid Isfahan kuno, masjid Al-Adiliyah di Halab, serta masjid-masjid Daulah Abbasiyah di Baghdad, masjid-masjid di Andalusia, dan masjid-masjid Daulah Utsmani di Turki.

Yang menarik, dari beberapa masjid yang kita singgahi, umumnya imamnya masih muda, berusia sekitar empat puluhan, dengan wajah yang ganteng-ganteng khas pria Euroasia. Sebagai gambaran, bayangkan para Vladimir, mengenakan jubah imam yang indah dan penutup kepala khas. Bacaan mereka sangat tartil, umumnya mereka hafiz. Kalau di beberapa masjid di Indonesia, sebelum dan sesudah shalat ada shalawatan, di Turki juga ada, dan lebih panjang lagi yang mereka baca.

Nalan sempat mengenalkan kita dengan salah satu imam di Masjid Selimiye, Edirne, kemarin. Sang imam dengan senyum ramahnya menyambut saya dan Lambang, ia terlihat berbinar begitu tahu kami dari Indonesia. Dalam bahasa Turki, yang diterjemahkan Nalan, ia mengucapkan selamat datang, memuji orang Indonesia sebagai muslim yang ramah, serta mengirimkan salam untuk saudara-saudara muslim di Indonesia. Sudut mata saya hangat menyambut salam ini, persaudaraan dalam satu akidah selalu menggetarkan hati.

------------------------------------

Tempat shalat perempuan dipisah dengan batas partisi dari kayu, namun tetap bisa melihat arah mihrab. Saya segera mengambil posisi di shaf perempuan. Selesai shalat, saat berdoa, saya melihat jari lentik yang memakai cincin indah, terulur mengambil tasbih yang posisi gantungannya tepat di depan saya. Penasaran, saya menoleh. Alangkah terkejutnya, perempuan cantik berjari lentik itu sangat mirip dengan Dewi Sandra!

Usai shalat, kami saling berjabat tangan sambil mengucapkan salam. Melihat banyaknya jamaah siang ini, hati terasa hangat. Mustafa Kamal Attaturk boleh saja mencabut panji-panji Islam dan menjadikan negara ini sekuler, namun Allah Sang Pemilik Hidayah, tetap akan membuka hati mereka untuk memakmurkan masjidNya.


Istanbul, 31 Desember 2015

Uttiek Herlambang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar