Saya masih bisa mengingat peristiwa itu dengan jelas. Setiap kali musim haji tiba, eyang saya dengan sepenuh hati akan mengajak anak atau cucunya untuk “nguntapke kaji” atau mengantarkan calon tamu Allah di pelataran Masjid Agung Solo. Dalam memori masa kecil saya, masih terbayang dengan jelas orang berduyun-duyun datang dari arah mana saja untuk sekadar menyalami atau bahkan menyentuh baju calon haji ini dengan harapan bisa segera ketularan menjadi tamu Allah. Begitupun eyang saya. Bahkan setelah beliau diizinkan Allah berangkat haji ditahun 1983, kebiasaan itu masih terus dilakukannya setiap tahun, hingga sakit dan tidak bisa kemana-mana lagi.
Begitu kuatnya pengalaman mengantarkan calon haji itu, sejak kecil saya hanya punya dua cita-cita: menjadi wartawan dan bisa berangkat haji. Saya tak pernah melupakan tatapan mata eyang saat memandang para calon tamu Allah itu dengan penuh harapan, keinginan yang sangat kuat dan doa tulus yang selalu diucapkannya. Sejak saat itu, saya masih berumur 5 tahunan, saya tidak pernah berhenti bermimpi untuk bisa pergi haji dengan gaji pertama saya sebagai wartawan.
------------------------------------
“Yo, yen saiki mahrammu ki dudu Yudha, tapi Lambang (kalau sekarang mahrammu bukan Yudha tapi Lambang,” itu jawaban yang diucapkan Papi ketika saya menyampaikan niat ingin berangkat haji bersama Yudha, adik saya, di tahun 2005.
“Ya kalau untuk berangkat satu orang, tabungannya cukup, Pi, tapi kalau untuk berdua, belum dihitung lagi,” jawab saya.
"Wes,Bismillah, sing penting niat, mengko Allah yang akan mencukupi.”
Setahun setelah percakapan itu, Allah akhirnya menginzinkan saya berangkat haji berdua dengan Lambang di tahun 2006. Sesuatu yang tak henti-hentinya saya syukuri. Bukan sekadar tabungan yang akhirnya cukup untuk berangkat berdua, di tahun itu pun saya bisa langsung berangkat tanpa perlu berada dalam daftar tunggu, dan yang terpenting adalah saya berangkat dengan mahram, seseorang yang sudah saya cari lebih dari dua puluh tahun.
Perkara mahram ini bukan hal sederhana bagi saya. Saya sudah bekerja sebagai wartawan sebelum menikah, sehingga saya sudah bisa menabung untuk mewujudkan mimpi naik haji. Namun menjadi masalah karena saya tidak punya mahram. Kondisi Papi yang sudah sakit tidak memungkinkan lagi menjadi mahram saya, apalagi Papi sudah menunaikan ibadah haji dua kali. Ketiga adik laki-laki saya masih kecil, dan belum mempunyai penghasilan. Hingga akhirnya munculah niat itu ketika Yudha terlibat dalam sebuah proyek di kampusnya dengan salah satu stasiun teve Jepang. Itu pun tidak Papi izinkan dengan alasan, mahram saya sekarang Lambang, suami saya.
“Larangan” Papi itu akhirnya menjadi sesuatu yang sangat saya syukuri. Sebagai mahram Lambang bisa diandalkan karena kemampuan visual spasialnya sangat baik atau kalau orang Jawa bilang tidak bingungan. Lambang jarang sekali tersesat arah. Dia bisa memperkirakan arah ke kanan dan ke kiri dengan tepat. Sebaliknya, seperti isi buku best seller “Why Women Can’t Read Map”, saya sering disorientasi di tempat baru, saya tidak bisa membaca peta, saya harus memaksa otak saya bekerja keras untuk sekadar menentukan tadi datang dari arah kiri atau kanan. Saya hanya tidak bingung kalau jalan-jalan di mall, saya tiba-tiba menjadi cerdas untuk mengingat di mana konter Charles and Keith dan Guess. :p
Saya bisa mengandalkan Lambang untuk mencari posisi sholat dengan Ka’bah view terbaik di Masjidil Haram tanpa perlu bingung bagaimana cara kembali ke hotel. Di Madinah saya bisa mendapat kurma dan cokelat dengan harga miring karena Lambang hapal jalan ke arah Pasar Kurma. Di Jeddah saat yang lain sibuk berbelanja, saya bisa meng-eksplore Musseum of Jeddah, sesuatu yang tidak bisa dinikmati setiap jamaah.
Hari ini, 21 Agustus, mahram saya, Lambang berulangtahun.
Terima kasih sudah menjadi mahram yang tidak bingung arah.
Semoga Allah izinkan kita terus bergandengan tangan menuju pintu surga.
Jakarta, 21 Agustus 2013
Uttiek Herlambang
Rabu, 21 Agustus 2013
Countrriiee Name... Countrriiee Name...
Pada zamannya kafilah haji nusantara pernah sangat ditakuti penjajah Belanda. Kafilah haji tahun 1911-1933 yang baru pulang dari tanah suci menggunakan kapal laut harus menjalani karantina di Pulau Onrust (salah satu gugusan Kepulauan Seribu). Belanda berdalih untuk mencegah wabah penyakit Pes yang ditularkan dalam perjalan panjang itu. Namun alasan yang sesungguhnya adalah Belanda melakukan cuci otak dan mendata lengkap para kafilah haji ini. Kalau suatu saat di daerahnya nanti muncul gerakan menentang Belanda, para haji inilah yang akan ditangkap pertama kali.
Ketakutan itu bukan tanpa alasan, karena pada muktamar akbar itulah mereka berkesempatan bertemu dengan orang-orang dari seluruh dunia, bertukar ilmu dan semangat persamaan derajat manusia, konsep Islam yang kemudian menjadi cikal bakal semangat kemerdekaan. Salah satu contohnya adalah tahun 1803 sekembali dari tanah suci, kafilah haji dari dari Minangkabau memulai gerakan Padri yang bertujuan mengusir kafir Belanda.
Mekah dan Madinah sebagai meeting point orang Islam seluruh dunia adalah tempat yang paling ideal untuk transfer ilmu dan informasi. Setiap hari berjumpa dengan orang dari berbagai bangsa membuat orang-orang Islam lebih terbuka wawasannya. Saya bisa merasakan bagaimana para khalifah haji nusantara pertama kali mempunyai ide tentang kemerdekaan. Saat menunggu waktu sholat, kita duduk bersebelahan dengan siapa saja. Dari bertukar senyum, saling mengucapkan salam, terciptalah sebuah obrolan.
Ada beberapa kejadian menarik dan lucu yang pernah saya alami terkait hal ini. Suatu kali ada seorang wanita sepuh yang turun dari kursi rodanya dengan merangkak menuju tempat sholat yang masih kosong, kebetulan pas di sebelah saya juga masih kosong. Tentu saya merasa terharu dengan semangat ibadahnya, sambil berdoa, "Allahuma yassir wa la tu'assir (Ya Allah, mudahkanlah, jangan dipersulit)," saya tersenyum tulus padanya. Nenek itu membalas tersenyum sambil menepuk lengan saya dengan napas ngos-ngosan. "Laahaula wa la quawata illa billah," ucapnya masih sambil tersenyum. Saya meneruskan membaca Al-qur'an. Dia berkata lagi dalam bahasa Arab dengan dialek yang saya tidak kenal. Saya hanya membalas dengan senyum sopan sambil berkata, "Laa adri (Maaf, saya tidak paham)," rupanya nenek ini masih terus memaksa saya menanggapi perkataannya.
Karena kasihan dan penasaran kenapa dia begitu ngotot ingin ditanggapi, saya celingak-celinguk ke belakang. Terlihat wanita muda dari Pakistan seumuran mahasiswa, saya tersenyum dan menyapa, "Excuse me, can you speak English?" dia tersenyum dan menjawab, "Yes." "Can you speak Arabic?" lagi-lagi dia mengangguk, saya tersenyum lega. Lalu saya katakan, nenek di sebelah saya ini dari tadi ngotot ingin mengatakan sesuatu pada saya tapi saya tidak menangkap maksudnya, apakah dia bisa menerjemahkannya.
Lalu mereka berdua bicara, mahasiswi dari Pakistan, yang kemudian saya tahu bernama Kiran ini tersenyum menatap saya dan berkata, "Nenek ini heran, bagaimana mungkin kamu bisa membaca Al-qur'an dengan sangat lancar, tapi kamu tidak mengerti bahasa Arab yang diucapkannya? Dia hanya bilang beberapa hari lagi puasa Ramadhan akan selesai dan kita merayakan Eid." Sejenak saya bengong, sebelum akhirnya tersenyum malu. Nenek, yang kemudian dari Kiran saya tahu berasal dari Libya ini, duduk persis di sebelah saya, pastilah dia mendengar saya membaca Al-qur'an, dan ketika saya menjawab, "Laa adri (saya tidak paham)," dia berusaha mengulang perkataannya beberapa kali, dan saya tetap tidak paham, maka dia pun heran.
Beberapa kali saya pernah menulis, betapa menyesalnya saya tidak menyelesaikan kursus Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar Indonesia, karena kelas ditutup tidak memenuhi kuota. Padahal bahasa Arab adalah bahasa Al-qur'an sekaligus bahasa pemersatu umat Islam. Sebenarnya bukan tidak mengerti sama sekali, untuk percakapan sederhana saya bisa mengikuti, namun untuk obrolan panjang, apalagi menggunakan dialek tertentu, saya tidak bisa memahami.
Saya selalu merasa malu saat harus bertanya, "Can you speak English?" di sini. Bukankah harusnya kita bicara dalam satu bahasa, yakni bahasa Al-qur'an? Melalui penguasaan satu bahasa itu pula lah kafilah haji nusantara bisa berinteraksi dengan orang-orang dari seluruh dunia pada muktamar akbar haji. Melalui kesamaan bahasa mereka membangun konsep kemerdekaan. Bagi orang-orang yang berbicara bahasa Arab, pasti sangat heran, bagaimana mungkin orang yang bisa membaca Al-qur'an dengan lancar, tidak mengerti bahasa Arab, yang berarti pula tidak mengerti maksud kalam Allah yang sedang dibacanya itu. Sekali lagi saya tersenyum malu menatap nenek Anisa dari Libya itu.
Dari sekadar menerjemahkan, saya lalu mengobrol asyik dengan Kiran. Dia seorang mahasiswi salah satu universitas terkemuka di Pakistan. Gaya bicaranya santun namun percaya diri, menguasai bahasa Inggris, Arab, dan Urdu dengan sangat baik. Dia selama 10 hari terakhir i'tikaf di dalam masjid, tidak keluar sama sekali, sekalipun paket yang dia beli dari travel agen di Pakistan sudah termasuk reservasi kamar hotel di sekitar masjid. Hebat sekali anak ini, saya semakin dibuat malu dengan kemampuannya. Ketika saya bertanya dengan siapa saja dia berangkat? Saya semakin terkejut ketika dia menunjuk wanita di sebelahnya adalah ibunya. Wanita ini secara penampilan sangat berbeda dengan Kiran. Ibu ini seperti gambaran wanita pedesaan yang ada di film-film India, dia pun hanya bisa berbahasa Urdu. Warna kulit Kiran terang dengan sorot mata cerdas, sedang kulit ibunya lebih gelap, berpakaian sangat sederhana. Tapi jangan tanya bagaimana sikap Kiran saat melayani ibunya berbuka puasa. Betul-betul gambaran anak yang berbakti pada orangtua. Lalu saya teringat dua adik laki-laki saya yang belum menikah, apa saya jodohkan saja dengan Kiran, ya? :D
Pengalaman lucu yang tak terlupakan adalah saat saya sholat Dzuhur. Di sebelah saya ada seorang anak umur empat tahunan. Dia asyik bermain sendiri. Awalnya saya tidak memerhatikan, karena setelah sholat tahiyatul masjid, saya langsung asyik membaca Al-qur'an. Sampai tiba-tiba konsentrasi saya pecah saat mendengar suara, "Countrriiee name... Countrrriiee name... Subhanallah... Subhanallah...," dari belakang saya. Kata country diucapkan dengan huruf r dan i yang sangat jelas, khas dialek orang-orang Asia Selatan. Mungkin tidak lucu kalau kalimat itu hanya diucapkan sekali. Tapi saya dengar setiap kali anak ini bicara dengan seseorang, lalu ada suara wanita dewasa yang berkata, "Countrriiee name... Countrriiee name...," dan tanpa menunggu jawaban, wanita itu langsung melanjutkan bertasbih, "Subhanallah... Subhanallah..." Saya pun mulai tersenyum. Saya tergelitik untuk mencoba, saya sapa anak itu, "What's your name?" "Mumtaz," jawabnya dengan suara cadel. Belum sempat saya memuji namanya sangat bagus dalam bahasa Arab yang artinya sempurna, tiba-tiba dari belakang ada suara, "Countrriiee name... Countrriee name... Subhanallah... Subhanallah." Hahaha, lalu meledaklah tawa saya saat menoleh ke belakang dan ibunya Mumtaz ini mengatakannya lengkap dengan gelengan kepala ala bintang film India. Mumtaz berasal dari Bangladesh, mungkin ibunya di sana adalah aktivis partai atau nasionalis sejati sehingga perlu menanyakan dari mana negara asal setiap lawan bicara anaknya.
Cerita seru lainnya waktu saya tidak membawa sajadah, karena sajadah saya basah ketumpahan zam-zam saat iftar. Saya menggelar mukena untuk alas sujud. Tiba-tiba wanita di sebelah saya menegur karena saya sholat menggunakan celana panjang, saya jelaskan kalau biasanya saya sholat mengguankan mukena ini untuk menutupi celana panjang saya, tapi karena saya tidak membawa sajadah, saya menggunakannya sebagai alas. Lalu dia mengatakan akan sharing sajadah. Dia memperkenalkan diri bernama Sultana, muslim Amerika. Kami lalu berbincang akrab, sampai dia melontarkan pertanyaan, "How long you've been moslem?" Saya bengong mendapat pertanyaan itu. Sebagai orang Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim, tentu tidak pernah terlontar pertanyaan seperti itu. "I was born as moslem. Alhamdulillah."
Lalu saya teringat ketika memulai persahabatan dengan Fatima seorang mahasiswi dari Bosnia. Ketika pertama kali bertukar e-mail, dia menanyakan preferensi mahzab yang saya anut. Saya butuh waktu lama untuk menghilangkan rasa terkejut karena pertanyaan itu. Bukan apa-apa, sama dengan pertanyaan Sultana tentang sudah berapa lama saya menjadi muslim, saya pun belum pernah mendapat pertanyaan tentang preferensi mahzab sebelumnya. Saya suni (dan Muhammadiyah :) ), tapi seperti orang Indonesia pada umumnya, saya tidak pernah men-declare sebagai Syafii, misalnya. Pertanyaan itu pun saya jawab, "I was born as moslem. Sunni. Alhamdulillah."
Jeddah, Syawal 1434H
Uttiek Herlambang
Ketakutan itu bukan tanpa alasan, karena pada muktamar akbar itulah mereka berkesempatan bertemu dengan orang-orang dari seluruh dunia, bertukar ilmu dan semangat persamaan derajat manusia, konsep Islam yang kemudian menjadi cikal bakal semangat kemerdekaan. Salah satu contohnya adalah tahun 1803 sekembali dari tanah suci, kafilah haji dari dari Minangkabau memulai gerakan Padri yang bertujuan mengusir kafir Belanda.
Mekah dan Madinah sebagai meeting point orang Islam seluruh dunia adalah tempat yang paling ideal untuk transfer ilmu dan informasi. Setiap hari berjumpa dengan orang dari berbagai bangsa membuat orang-orang Islam lebih terbuka wawasannya. Saya bisa merasakan bagaimana para khalifah haji nusantara pertama kali mempunyai ide tentang kemerdekaan. Saat menunggu waktu sholat, kita duduk bersebelahan dengan siapa saja. Dari bertukar senyum, saling mengucapkan salam, terciptalah sebuah obrolan.
Ada beberapa kejadian menarik dan lucu yang pernah saya alami terkait hal ini. Suatu kali ada seorang wanita sepuh yang turun dari kursi rodanya dengan merangkak menuju tempat sholat yang masih kosong, kebetulan pas di sebelah saya juga masih kosong. Tentu saya merasa terharu dengan semangat ibadahnya, sambil berdoa, "Allahuma yassir wa la tu'assir (Ya Allah, mudahkanlah, jangan dipersulit)," saya tersenyum tulus padanya. Nenek itu membalas tersenyum sambil menepuk lengan saya dengan napas ngos-ngosan. "Laahaula wa la quawata illa billah," ucapnya masih sambil tersenyum. Saya meneruskan membaca Al-qur'an. Dia berkata lagi dalam bahasa Arab dengan dialek yang saya tidak kenal. Saya hanya membalas dengan senyum sopan sambil berkata, "Laa adri (Maaf, saya tidak paham)," rupanya nenek ini masih terus memaksa saya menanggapi perkataannya.
Karena kasihan dan penasaran kenapa dia begitu ngotot ingin ditanggapi, saya celingak-celinguk ke belakang. Terlihat wanita muda dari Pakistan seumuran mahasiswa, saya tersenyum dan menyapa, "Excuse me, can you speak English?" dia tersenyum dan menjawab, "Yes." "Can you speak Arabic?" lagi-lagi dia mengangguk, saya tersenyum lega. Lalu saya katakan, nenek di sebelah saya ini dari tadi ngotot ingin mengatakan sesuatu pada saya tapi saya tidak menangkap maksudnya, apakah dia bisa menerjemahkannya.
Lalu mereka berdua bicara, mahasiswi dari Pakistan, yang kemudian saya tahu bernama Kiran ini tersenyum menatap saya dan berkata, "Nenek ini heran, bagaimana mungkin kamu bisa membaca Al-qur'an dengan sangat lancar, tapi kamu tidak mengerti bahasa Arab yang diucapkannya? Dia hanya bilang beberapa hari lagi puasa Ramadhan akan selesai dan kita merayakan Eid." Sejenak saya bengong, sebelum akhirnya tersenyum malu. Nenek, yang kemudian dari Kiran saya tahu berasal dari Libya ini, duduk persis di sebelah saya, pastilah dia mendengar saya membaca Al-qur'an, dan ketika saya menjawab, "Laa adri (saya tidak paham)," dia berusaha mengulang perkataannya beberapa kali, dan saya tetap tidak paham, maka dia pun heran.
Beberapa kali saya pernah menulis, betapa menyesalnya saya tidak menyelesaikan kursus Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar Indonesia, karena kelas ditutup tidak memenuhi kuota. Padahal bahasa Arab adalah bahasa Al-qur'an sekaligus bahasa pemersatu umat Islam. Sebenarnya bukan tidak mengerti sama sekali, untuk percakapan sederhana saya bisa mengikuti, namun untuk obrolan panjang, apalagi menggunakan dialek tertentu, saya tidak bisa memahami.
Saya selalu merasa malu saat harus bertanya, "Can you speak English?" di sini. Bukankah harusnya kita bicara dalam satu bahasa, yakni bahasa Al-qur'an? Melalui penguasaan satu bahasa itu pula lah kafilah haji nusantara bisa berinteraksi dengan orang-orang dari seluruh dunia pada muktamar akbar haji. Melalui kesamaan bahasa mereka membangun konsep kemerdekaan. Bagi orang-orang yang berbicara bahasa Arab, pasti sangat heran, bagaimana mungkin orang yang bisa membaca Al-qur'an dengan lancar, tidak mengerti bahasa Arab, yang berarti pula tidak mengerti maksud kalam Allah yang sedang dibacanya itu. Sekali lagi saya tersenyum malu menatap nenek Anisa dari Libya itu.
Dari sekadar menerjemahkan, saya lalu mengobrol asyik dengan Kiran. Dia seorang mahasiswi salah satu universitas terkemuka di Pakistan. Gaya bicaranya santun namun percaya diri, menguasai bahasa Inggris, Arab, dan Urdu dengan sangat baik. Dia selama 10 hari terakhir i'tikaf di dalam masjid, tidak keluar sama sekali, sekalipun paket yang dia beli dari travel agen di Pakistan sudah termasuk reservasi kamar hotel di sekitar masjid. Hebat sekali anak ini, saya semakin dibuat malu dengan kemampuannya. Ketika saya bertanya dengan siapa saja dia berangkat? Saya semakin terkejut ketika dia menunjuk wanita di sebelahnya adalah ibunya. Wanita ini secara penampilan sangat berbeda dengan Kiran. Ibu ini seperti gambaran wanita pedesaan yang ada di film-film India, dia pun hanya bisa berbahasa Urdu. Warna kulit Kiran terang dengan sorot mata cerdas, sedang kulit ibunya lebih gelap, berpakaian sangat sederhana. Tapi jangan tanya bagaimana sikap Kiran saat melayani ibunya berbuka puasa. Betul-betul gambaran anak yang berbakti pada orangtua. Lalu saya teringat dua adik laki-laki saya yang belum menikah, apa saya jodohkan saja dengan Kiran, ya? :D
Pengalaman lucu yang tak terlupakan adalah saat saya sholat Dzuhur. Di sebelah saya ada seorang anak umur empat tahunan. Dia asyik bermain sendiri. Awalnya saya tidak memerhatikan, karena setelah sholat tahiyatul masjid, saya langsung asyik membaca Al-qur'an. Sampai tiba-tiba konsentrasi saya pecah saat mendengar suara, "Countrriiee name... Countrrriiee name... Subhanallah... Subhanallah...," dari belakang saya. Kata country diucapkan dengan huruf r dan i yang sangat jelas, khas dialek orang-orang Asia Selatan. Mungkin tidak lucu kalau kalimat itu hanya diucapkan sekali. Tapi saya dengar setiap kali anak ini bicara dengan seseorang, lalu ada suara wanita dewasa yang berkata, "Countrriiee name... Countrriiee name...," dan tanpa menunggu jawaban, wanita itu langsung melanjutkan bertasbih, "Subhanallah... Subhanallah..." Saya pun mulai tersenyum. Saya tergelitik untuk mencoba, saya sapa anak itu, "What's your name?" "Mumtaz," jawabnya dengan suara cadel. Belum sempat saya memuji namanya sangat bagus dalam bahasa Arab yang artinya sempurna, tiba-tiba dari belakang ada suara, "Countrriiee name... Countrriee name... Subhanallah... Subhanallah." Hahaha, lalu meledaklah tawa saya saat menoleh ke belakang dan ibunya Mumtaz ini mengatakannya lengkap dengan gelengan kepala ala bintang film India. Mumtaz berasal dari Bangladesh, mungkin ibunya di sana adalah aktivis partai atau nasionalis sejati sehingga perlu menanyakan dari mana negara asal setiap lawan bicara anaknya.
Cerita seru lainnya waktu saya tidak membawa sajadah, karena sajadah saya basah ketumpahan zam-zam saat iftar. Saya menggelar mukena untuk alas sujud. Tiba-tiba wanita di sebelah saya menegur karena saya sholat menggunakan celana panjang, saya jelaskan kalau biasanya saya sholat mengguankan mukena ini untuk menutupi celana panjang saya, tapi karena saya tidak membawa sajadah, saya menggunakannya sebagai alas. Lalu dia mengatakan akan sharing sajadah. Dia memperkenalkan diri bernama Sultana, muslim Amerika. Kami lalu berbincang akrab, sampai dia melontarkan pertanyaan, "How long you've been moslem?" Saya bengong mendapat pertanyaan itu. Sebagai orang Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim, tentu tidak pernah terlontar pertanyaan seperti itu. "I was born as moslem. Alhamdulillah."
Lalu saya teringat ketika memulai persahabatan dengan Fatima seorang mahasiswi dari Bosnia. Ketika pertama kali bertukar e-mail, dia menanyakan preferensi mahzab yang saya anut. Saya butuh waktu lama untuk menghilangkan rasa terkejut karena pertanyaan itu. Bukan apa-apa, sama dengan pertanyaan Sultana tentang sudah berapa lama saya menjadi muslim, saya pun belum pernah mendapat pertanyaan tentang preferensi mahzab sebelumnya. Saya suni (dan Muhammadiyah :) ), tapi seperti orang Indonesia pada umumnya, saya tidak pernah men-declare sebagai Syafii, misalnya. Pertanyaan itu pun saya jawab, "I was born as moslem. Sunni. Alhamdulillah."
Jeddah, Syawal 1434H
Uttiek Herlambang
'Amma Yatasaa Aluun
'Amma yatasaa aluun
'Anin nabail adziim...
Imam membaca surat pertama juz 30 itu dengan sangat tartil. Sudut mata saya terasa hangat. Tak terbayang hari-hari terakhir Ramadhan tahun ini saya habiskan di rumah Allah. Sudah menjadi tradisi yang berlangsung sejak lama, di hari ke-29 Ramadhan, imam shalat Tarawih di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi akan membaca juz amma sekaligus doa khatam Al-qur'an. Di Indonesia acara ini sering disiarkan secara langsung oleh TVRI maupun tv swasta lainnya. Tak heran kalau menjadi bagian dari jamaah sholat Tarawih yang sekaligus khataman Qur'an ini menjadi impian banyak orang, termasuk saya.
Ramadhan di tanah suci sangat meriah laiknya sebuah festival besar. Orang-orang dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong datang. 10 hari terakhir masjid sangat padat dengan orang i'tikaf. Ribuan orang ini tidak keluar masjid sama sekali; makan, mandi, tidur, semua dilakukan di lingkungan masjid. Pemerintah Saudi sangat memerhatikan kafilah umroh ini, mereka difasilitasi dengan tersedianya sahur dan iftar gratis, bantal, kursi untuk sandaran duduk, selimut, dan berbagai perlengkapan lainnya. Singkat kata, silakan datang para tamu Allah, beribadahlah semaksimal mungkin, kebutuhan selama di dalam masjid pasti terjamin.
Di Majidil Haram maupun Masjid Nabawi, sholat Tarawih dimulai sekitar pukul 21.00 hingga menjelang tengah malam, lalu pukul 1 hingga 3 dini hari dilanjutkan qiyamul lail. Tarawih 20 rekaat tanpa witir dan imam membaca 1 juz surat dalam Al-qur'an secara urut setiap harinya, sedang qiyamul lail 10 rekaat dan ditutup 3 rekaat witir. Meski bilangan rekaat qiyamul lail lebih sedikit, namun durasi sholat sama panjangnya, yakni sekitar 2 jam. Saya Masuk ke kota Madinah sudah lewat tengah malam, namun masih bisa ikut jamaah qiyamul lail. Kejutan yang menyenangkan karena saya tidak menyangka sholat akan berlangsung selama itu. Sebagai gambaran saat ruku', saya membaca doa bacaan ruku' sampai 7 kali dan imam belum juga memberi tanda akan i'tidal :)
Di rekaat terakhir sholat Witir, setelah ruku', imam akan membacakan semacam doa qunut, suasananya sangat dramatis, semua orang menangis, meratap, menengadahkan tangan mohon ampun karena banyaknya dosa. Ah, rasanya saya belum pernah merasakan takutnya api neraka seperti saat itu. Selain itu, sebagai orang Indonesia, saya tidak terbiasa sholat sambil memegang dan membaca mushaf Al-qur'an mengikuti bacaan imam. Tapi semua menyarankan melakukannya untuk menyiasati kantuk karena banyaknya bilangan rekaat dan panjangnya waktu sholat. Subhanallah, ternyata sangat nikmat, karena sekaligus saya bisa tahsin; membetulkan cara membaca langsung dari imam Masjid Nabawi. Bacaan imam ini luar biasa indahnya. Kalau kemudian kantuk lenyap, itu hanya bonus saja.
Saya sangat menikmati daur hidup yang terbalik selama Ramadhan di tanah suci. Semua orang berlomba-lomba menghidupkan malam dengan berdiam di dalam masjid, sholat, tadarus, berdzikir. Lelah? Hampir tak terasa, karena ritual ini tak sekadar butuh ketahanan fisik, yang terpenting adalah keikhlasan. Ini sekaligus bisa menjawab pertanyaan mengapa banyak anak kecil hingga orang-orang sepuh yang sanggup bertahan. Dalam kondisi ikhlas, tubuh akan mengeluarkan hormon-hormon " baik" yang bermanfaat untuk meningkatkan imunitas.
Setelah qiyamul lail, orang berbondong-bondong makan sahur. Selama ini saya termasuk orang yang "ribet" dengan makanan. Apalagi untuk sahur atau iftar. Saya selalu memilih makanan sesuai selera dan lauknya harus lebih dari satu. Kebiasaan itu makin jadi semenjak saya kuliah dan harus kost di luar kota. Saya selalu memikirkan betul menu sahur untuk besok, tak jarang di Jakarta setelah selesai sholat Tarawih di Masjid Al-azhar Kebayoran, saya masih berputar arah demi sepotong ayam panggang yang enak, sebelum pulang ke Pondok Gede. Agak lebay ya?
Di sini, Subhanallah, makanan apa pun yang tersedia di restoran hotel saya makan dengan lahap. Saya sempat agak khawatir akan mengalami konstipasi (sembelit) karena pilihan lauk yang kurang serat, apalagi dalam keadaan puasa, dimana asupan cairan sangat berkurang. Tapi ternyata tidak. Kalau di Jakarta saya hanya bisa makan buah yang sangat masak, karena lambung saya yang bermasalah dengan asam, di sini semua buah saya makan, termasuk jeruk yang manis segar. Padahal sudah lebih dari 20 tahun saya menghindari makan buah jeruk di bulan Ramadhan.
Yang juga terasa sangat kontras dengan Ramadhan di tanah air adalah keramaian di mall. Di Indonesia, sudah jamak menjelang Lebaran pusat-pusat perbelanjaan di serbu pembeli, hingga tak jarang mengakibatkan kemacetan dimana-mana. Namun ini tidak terjadi di tanah suci. Kalau di musim haji atau bulan-bulan lainnya, lepas waktu sholat, mall selalu penuh dengan orang yang berbelanja, di bulan suci, ini tidak terjadi. Mall di sini biasanya buka setelah sholat subuh, orang pun sudah sibuk belanja sepagi itu. Tapi di bulan Ramadhan, toko-toko di dalam mall rata-rata baru buka selepas sholat dzuhur. Kalau pun ada satu-dua yang buka lebih pagi, tidak nampak kerumuman pembeli.
Selain mall, yang juga ramai adalah pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di sekitar pintu masjid, setelah bubaran sholat. Mereka biasanya perempuan berkulit hitam, membawa troley yang ditumpangi kardus besar. Nantinya mereka akan menggelar kain selebar sprei dan menghamburkan dagangan di atasnya. Dagangannya macam- macam, mulai baju, sepatu, kerudung, heina, sampai mainan anak-anak. Bahkan di musim haji ada yang sekadar menjual kulit gandum/gabah untuk pakan burung merpati yang hidup bebas di sekitar masjid. Awalnya saya pikir karena cuaca yang panas, makanya sepi, pedagang akan menggelar dagangannya selepas Maghrib atau Isya, tapi ternyata dugaan saya salah, hanya satu-dua pedagang yang terlihat setelah bubaran waktu sholat. Pembelinya tak terlalu ramai, itu pun kenyakan orang Indonesia!
Sebelum berangkat saya sempat dag-dig-dug, Ramadhan ini kebetulan jatuh di musim panas. Dari prakiraan cuaca yang saya baca, suhu di Mekah-Madinah mencapai 53derajat. Sebagai perbandingan, di Jakarta saat cuaca terasa sangat terik, suhunya paling banter 33 derajat. Saya bayangkan dalam keadaan berpuasa, pastilah berat sekali. Tapi, Subhanallah, ternyata kekhawatiran saya tidak terjadi. Semua aktivitas terpusat di masjid, kalau pun harus pulang ke hotel itu hanya untuk sahur, iftar dan mandi. Di dalam masjid suasananya sangat sejuk. Pendingin udara dengan sirkulasi terbaik di dunia, membuat hawa panas di luar tidak terasa sama sekali. Langit-langit yang sangat tinggi membuat tidak terasa pengap. Di luar masjid, kipas angin dengan uap air, seperti yang sering terlihat di Dufan, bekerja optimal. Bahkan saat di Madinah, payung Masjid Nabawi yang khas membuat seluruh pelataran masjid terlindungi. Lamanya puasa jadi tidak terasa, karena praktis seusai sholat Ashar, kemeriahan itu sudah dimulai.
-----------------------------
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh...
Imam memimpin bacaan salam, tanda berakhirnya sholat Tarawih terakhir Ramadhan tahun ini. Saya menolehkan kepala ke kiri, mengikuti salam terakhir.
Tiba-tiba terbayang suasana di Malioboro-Yogya, saat Lebaran setahun yang lalu. "Lebaran tahun depan kita enggak bisa naik becak begini lagi, nih," kata saya pada Lambang di atas becak dalam perjalanan dari Malioboro ke Hotel Santika tempat saya menginap. "Karena kita sedang berada di depan Ka'bah," lanjut saya. Lambang tidak menanggapi. "Semoga Allah mudahkan kita untuk umroh Ramadhan tahun depan ya," pancing saya lagi. "Memang kamu punya tabungan?" tanyanya sambil lalu. "Ini bukan masalah tabungan. Ini masalah doa. Kalau Allah sudah berkehendak, pasti akan disediakan jalan."
Sudut mata saya kembali hangat. Rasanya masih seperti mimpi saya berada dalam jamaah sholat Tarawih di tanah suci. Sekali lagi saya meyakinkan diri, ya, ini memang semata-mata masalah doa.
Mekah, Syawal 1434H
Uttiek Herlambang
'Anin nabail adziim...
Imam membaca surat pertama juz 30 itu dengan sangat tartil. Sudut mata saya terasa hangat. Tak terbayang hari-hari terakhir Ramadhan tahun ini saya habiskan di rumah Allah. Sudah menjadi tradisi yang berlangsung sejak lama, di hari ke-29 Ramadhan, imam shalat Tarawih di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi akan membaca juz amma sekaligus doa khatam Al-qur'an. Di Indonesia acara ini sering disiarkan secara langsung oleh TVRI maupun tv swasta lainnya. Tak heran kalau menjadi bagian dari jamaah sholat Tarawih yang sekaligus khataman Qur'an ini menjadi impian banyak orang, termasuk saya.
Ramadhan di tanah suci sangat meriah laiknya sebuah festival besar. Orang-orang dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong datang. 10 hari terakhir masjid sangat padat dengan orang i'tikaf. Ribuan orang ini tidak keluar masjid sama sekali; makan, mandi, tidur, semua dilakukan di lingkungan masjid. Pemerintah Saudi sangat memerhatikan kafilah umroh ini, mereka difasilitasi dengan tersedianya sahur dan iftar gratis, bantal, kursi untuk sandaran duduk, selimut, dan berbagai perlengkapan lainnya. Singkat kata, silakan datang para tamu Allah, beribadahlah semaksimal mungkin, kebutuhan selama di dalam masjid pasti terjamin.
Di Majidil Haram maupun Masjid Nabawi, sholat Tarawih dimulai sekitar pukul 21.00 hingga menjelang tengah malam, lalu pukul 1 hingga 3 dini hari dilanjutkan qiyamul lail. Tarawih 20 rekaat tanpa witir dan imam membaca 1 juz surat dalam Al-qur'an secara urut setiap harinya, sedang qiyamul lail 10 rekaat dan ditutup 3 rekaat witir. Meski bilangan rekaat qiyamul lail lebih sedikit, namun durasi sholat sama panjangnya, yakni sekitar 2 jam. Saya Masuk ke kota Madinah sudah lewat tengah malam, namun masih bisa ikut jamaah qiyamul lail. Kejutan yang menyenangkan karena saya tidak menyangka sholat akan berlangsung selama itu. Sebagai gambaran saat ruku', saya membaca doa bacaan ruku' sampai 7 kali dan imam belum juga memberi tanda akan i'tidal :)
Di rekaat terakhir sholat Witir, setelah ruku', imam akan membacakan semacam doa qunut, suasananya sangat dramatis, semua orang menangis, meratap, menengadahkan tangan mohon ampun karena banyaknya dosa. Ah, rasanya saya belum pernah merasakan takutnya api neraka seperti saat itu. Selain itu, sebagai orang Indonesia, saya tidak terbiasa sholat sambil memegang dan membaca mushaf Al-qur'an mengikuti bacaan imam. Tapi semua menyarankan melakukannya untuk menyiasati kantuk karena banyaknya bilangan rekaat dan panjangnya waktu sholat. Subhanallah, ternyata sangat nikmat, karena sekaligus saya bisa tahsin; membetulkan cara membaca langsung dari imam Masjid Nabawi. Bacaan imam ini luar biasa indahnya. Kalau kemudian kantuk lenyap, itu hanya bonus saja.
Saya sangat menikmati daur hidup yang terbalik selama Ramadhan di tanah suci. Semua orang berlomba-lomba menghidupkan malam dengan berdiam di dalam masjid, sholat, tadarus, berdzikir. Lelah? Hampir tak terasa, karena ritual ini tak sekadar butuh ketahanan fisik, yang terpenting adalah keikhlasan. Ini sekaligus bisa menjawab pertanyaan mengapa banyak anak kecil hingga orang-orang sepuh yang sanggup bertahan. Dalam kondisi ikhlas, tubuh akan mengeluarkan hormon-hormon " baik" yang bermanfaat untuk meningkatkan imunitas.
Setelah qiyamul lail, orang berbondong-bondong makan sahur. Selama ini saya termasuk orang yang "ribet" dengan makanan. Apalagi untuk sahur atau iftar. Saya selalu memilih makanan sesuai selera dan lauknya harus lebih dari satu. Kebiasaan itu makin jadi semenjak saya kuliah dan harus kost di luar kota. Saya selalu memikirkan betul menu sahur untuk besok, tak jarang di Jakarta setelah selesai sholat Tarawih di Masjid Al-azhar Kebayoran, saya masih berputar arah demi sepotong ayam panggang yang enak, sebelum pulang ke Pondok Gede. Agak lebay ya?
Di sini, Subhanallah, makanan apa pun yang tersedia di restoran hotel saya makan dengan lahap. Saya sempat agak khawatir akan mengalami konstipasi (sembelit) karena pilihan lauk yang kurang serat, apalagi dalam keadaan puasa, dimana asupan cairan sangat berkurang. Tapi ternyata tidak. Kalau di Jakarta saya hanya bisa makan buah yang sangat masak, karena lambung saya yang bermasalah dengan asam, di sini semua buah saya makan, termasuk jeruk yang manis segar. Padahal sudah lebih dari 20 tahun saya menghindari makan buah jeruk di bulan Ramadhan.
Yang juga terasa sangat kontras dengan Ramadhan di tanah air adalah keramaian di mall. Di Indonesia, sudah jamak menjelang Lebaran pusat-pusat perbelanjaan di serbu pembeli, hingga tak jarang mengakibatkan kemacetan dimana-mana. Namun ini tidak terjadi di tanah suci. Kalau di musim haji atau bulan-bulan lainnya, lepas waktu sholat, mall selalu penuh dengan orang yang berbelanja, di bulan suci, ini tidak terjadi. Mall di sini biasanya buka setelah sholat subuh, orang pun sudah sibuk belanja sepagi itu. Tapi di bulan Ramadhan, toko-toko di dalam mall rata-rata baru buka selepas sholat dzuhur. Kalau pun ada satu-dua yang buka lebih pagi, tidak nampak kerumuman pembeli.
Selain mall, yang juga ramai adalah pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di sekitar pintu masjid, setelah bubaran sholat. Mereka biasanya perempuan berkulit hitam, membawa troley yang ditumpangi kardus besar. Nantinya mereka akan menggelar kain selebar sprei dan menghamburkan dagangan di atasnya. Dagangannya macam- macam, mulai baju, sepatu, kerudung, heina, sampai mainan anak-anak. Bahkan di musim haji ada yang sekadar menjual kulit gandum/gabah untuk pakan burung merpati yang hidup bebas di sekitar masjid. Awalnya saya pikir karena cuaca yang panas, makanya sepi, pedagang akan menggelar dagangannya selepas Maghrib atau Isya, tapi ternyata dugaan saya salah, hanya satu-dua pedagang yang terlihat setelah bubaran waktu sholat. Pembelinya tak terlalu ramai, itu pun kenyakan orang Indonesia!
Sebelum berangkat saya sempat dag-dig-dug, Ramadhan ini kebetulan jatuh di musim panas. Dari prakiraan cuaca yang saya baca, suhu di Mekah-Madinah mencapai 53derajat. Sebagai perbandingan, di Jakarta saat cuaca terasa sangat terik, suhunya paling banter 33 derajat. Saya bayangkan dalam keadaan berpuasa, pastilah berat sekali. Tapi, Subhanallah, ternyata kekhawatiran saya tidak terjadi. Semua aktivitas terpusat di masjid, kalau pun harus pulang ke hotel itu hanya untuk sahur, iftar dan mandi. Di dalam masjid suasananya sangat sejuk. Pendingin udara dengan sirkulasi terbaik di dunia, membuat hawa panas di luar tidak terasa sama sekali. Langit-langit yang sangat tinggi membuat tidak terasa pengap. Di luar masjid, kipas angin dengan uap air, seperti yang sering terlihat di Dufan, bekerja optimal. Bahkan saat di Madinah, payung Masjid Nabawi yang khas membuat seluruh pelataran masjid terlindungi. Lamanya puasa jadi tidak terasa, karena praktis seusai sholat Ashar, kemeriahan itu sudah dimulai.
-----------------------------
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh...
Imam memimpin bacaan salam, tanda berakhirnya sholat Tarawih terakhir Ramadhan tahun ini. Saya menolehkan kepala ke kiri, mengikuti salam terakhir.
Tiba-tiba terbayang suasana di Malioboro-Yogya, saat Lebaran setahun yang lalu. "Lebaran tahun depan kita enggak bisa naik becak begini lagi, nih," kata saya pada Lambang di atas becak dalam perjalanan dari Malioboro ke Hotel Santika tempat saya menginap. "Karena kita sedang berada di depan Ka'bah," lanjut saya. Lambang tidak menanggapi. "Semoga Allah mudahkan kita untuk umroh Ramadhan tahun depan ya," pancing saya lagi. "Memang kamu punya tabungan?" tanyanya sambil lalu. "Ini bukan masalah tabungan. Ini masalah doa. Kalau Allah sudah berkehendak, pasti akan disediakan jalan."
Sudut mata saya kembali hangat. Rasanya masih seperti mimpi saya berada dalam jamaah sholat Tarawih di tanah suci. Sekali lagi saya meyakinkan diri, ya, ini memang semata-mata masalah doa.
Mekah, Syawal 1434H
Uttiek Herlambang
Nasi Mandi, Doa Di Sore Hari
"Saya kemarin dapat ta'jil nasi mandi. Disajikan dalam nampan besar dan baru dibagi-bagi sesaat sebelum adzan. Ayamnya sepotong besar."
Saya menelan ludah mendengar cerita yang disampaikan dalam tausiah sore itu. Terbayang nasi beraroma rempah bercita rasa eksotik dengan potongan daging ayam yang empuk. Di negeri asalnya, Yaman, nasi mandi diracik menggunakan 16 jenis rempah sehingga memunculkan aroma yang khas. Daging yang digunakan sebagai pelengkap bukan ayam, melainkan kambing. Daging kambing ini di masak dalam tungku tradisional, berupa lubang sedalam 1,5 meter berdiameter 80 cm, di dalamnya ditaruh kayu bakar yang telah membara, daging ini dimasak di atasnya selama dua jam.
Sudah menjadi tradisi sejak berabad lampau di Masjid Nabawi setiap bulan Ramadhan dibagikan makanan untuk berbuka puasa bagi siapa saja. Ya, mereka adalah keturunan Bani Anshor yang sangat dermawan sejak zaman Rasulullah. Sampai saat ini tradisi tersebut masih terus berjalan. Keluarga-keluarga yang telah mendapat izin dari pemerintah boleh menggelar karpet dan membagikan ta'jil dan makanan berbuka untuk jamaa'ah yang hadir di sini. Saya bertekad sore itu saya akan mencari karpet yang membagikan ta'jil nasi mandi.
------------------------------
Melewati gerbang Umar Bin Khatab, saya belok ke kanan, suasana terlihat riuh. Karpet-karpet beralas plastik telah digelar. Wanita-wanita cantik berbalut abaya hitam hilir mudik menawarkan teh, roti, kurma, manisan, cokelat dan apa saja yang dibawanya pada orang-orang yang melintas. Anak-anak kecil berlarian dengan gembira, satu dua mendorong troley penuh roti. Aroma roti hangat yang baru keluar dari oven menggelitik perut kosong siapa saja. Suasana ini betul-betul belum pernah saya rasakan sebelumnya. Sorot mata dan sapaan ramah menawarkan supaya saya mau bergabung untuk buka bersama. Saya tersenyum sopan sebagai tanda penolakan. Sambil memotret dan menikmati suasa yang luar biasa itu, saya menajamkan pandangan mencari-cari karpet yang menawarkan nasi mandi. Sampai persis di depan gerbang, saya tidak menemukannya.
Rata-rata ta'jil yang dibagikan adalah roti dengan yogurt sebagai condiment, yang dalam bahasa Arab disebut kahka, air mineral dingin, kurma, buah, cokelat, kacang dan aneka makanan kecil lainnya. Saya membandingkannya dengan ta'jil yang sering dibagikan di masjid-masjid di Jakarta berupa kolak pisang, kue-kue manis, risoles, lontong sayur, kurang lebih seperti itu perbandingannya. Senja semakin kemerahan, pertanda Maghrib menjelang. Karena belum menemukan apa yang saya cari, saya memutuskan untuk duduk di tangga teras masjid sambil menikmati suasana yang semakin riuh. Seorang anak kecil datang memberikan segelas zam-zam, lalu anak perempuan lain menyodorkan roti dan yogurt, disusul gelas plastik berisi aneka kacang-kacangan. Saya menerima semua dengan senyum tulus tanda terima kasih. Sambil memandang langit yang sangat bersih, saya berbisik, "Ya Allah, yang ada nasi mandi dimana ya?"
----------------------
Keesokan harinya saya masih penasaran ingin berbuka puasa dengan nasi mandi. Sebenarnya bisa saja saya pergi ke salah satu restoran yang ada di sekitar hotel dan membelinya, namun selama di sini saya tidak pernah mau keluar lagi dari masjid menjelang berbuka, waktu dimana doa-doa diijabah. Saya lebih memilih menikmati suasana yang luar biasa ini sambil memanjatkan doa dan membacakan doa-doa titipan teman-teman. Kata Lambang kalau di tempat laki-laki banyak yang membagikan nasi mandi, bila ada sekelompok orang Pakistan, hampir dipastikan ada nasi mandi di situ. Saya menitip pesan untuk mengambilkannya satu dan akan saya makan selepas tarawih.
"BBM saya sudah diterima, Mbak?" tanya Pak Rustam, pemilik Khalifah Tour, travel yang mengantarkan saya untuk umroh ini, saat berpapasan di depan restoran hotel.
"Wah, maaf, Pak, BB saya baterey-nya habis sejak tadi sore, saya tidak keluar dari masjid, jadi tidak sempat nge-charge. Ada apa ya?"
"Oh, saya mau mengundang Mbak Uttiek dan Mas Lambang untuk makan malam di International Restaurant Movenpick malam ini."
"Sekarang, Pak? Dengan senang hati."
Di pintu restoran beberapa orang menyapa Pak Rustam. Sebagai pemilik biro umroh yang telah melakukan reservasi hotel sepanjang tahun, tentulah dia sangat dikenal di sini. Pak Rustam mengajak saya dan Lambang menuju stall yang agak di belakang. "Saya sangat merekomendasikan nasi mandi yang ada di sini. Menurut saya ini nasi mandi yang paling enak," jelasnya dengan penuh semangat.
Deg!
Saya diam terpaku.
Di depan saya terlihat satu wadah besar nasi berbulir panjang yang dimasak dari beras basmati, hangat mengepul, terlihat jejak warna kuning safron sebagai bumbu dan paha kambing muda yang begitu menggoda. "Silakan, silakan. Ini yang kambing, ini yang ikan," lanjutnya ramah. Sambil berbincang tentang situasi terakhir di Mesir, saya mengunyah nasi mandi ini pelan-pelan. Terasa sangat pulen, dengan aroma rempah yang tidak terlalu kuat. Daging kambingnya luar biasa empuk, saat dipotong terlihat lelehan bumbunya yang dimasak oleh chef profesional. Disajikan dengan sejenis acar bawang merah, rasanya sungguh luar biasa. Sekilas saya melirik kantong plastik berisi nasi mandi yang dibawa Lambang.
Sungguh, Allah Maha Mendengar dan selalu memberi lebih. Saya hanya ingin nasi mandi yang dibagikan gratis di pelataran masijd, Allah memberikannya dua sekaligus; yang satu betul dari pembagian gratis di masjid, yang satu hasil olahan chef profesional dari hotel berbintang lima yang harganya setara dengan 50 liter Pertamax. Subhanallah.
Untuk Pak Rustam, syukron laka...
Masjid Nabawi, Ramadhan 1434H
Uttiek Herlambang
Langganan:
Postingan (Atom)