Rabu, 21 Agustus 2013

'Amma Yatasaa Aluun

'Amma yatasaa aluun
'Anin nabail adziim...

Imam membaca surat pertama juz 30 itu dengan sangat tartil. Sudut mata saya terasa hangat. Tak terbayang hari-hari terakhir Ramadhan tahun ini saya habiskan di rumah Allah. Sudah menjadi tradisi yang berlangsung sejak lama, di hari ke-29 Ramadhan, imam shalat Tarawih di  Masjidil Haram dan Masjid Nabawi akan membaca juz amma sekaligus doa khatam Al-qur'an.  Di Indonesia  acara ini sering disiarkan secara langsung oleh TVRI maupun tv swasta lainnya. Tak heran kalau menjadi bagian dari jamaah sholat Tarawih yang sekaligus khataman Qur'an ini menjadi impian banyak orang, termasuk saya.

Ramadhan di tanah suci sangat meriah laiknya sebuah festival besar. Orang-orang dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong datang. 10 hari terakhir masjid sangat padat dengan orang i'tikaf. Ribuan orang ini tidak keluar masjid sama sekali; makan, mandi, tidur, semua dilakukan di lingkungan masjid. Pemerintah Saudi sangat memerhatikan kafilah umroh ini, mereka difasilitasi dengan tersedianya sahur dan iftar gratis, bantal, kursi untuk sandaran duduk, selimut, dan berbagai perlengkapan lainnya. Singkat kata, silakan datang para tamu Allah, beribadahlah semaksimal mungkin, kebutuhan selama di dalam masjid pasti terjamin.

Di Majidil Haram maupun Masjid Nabawi, sholat Tarawih dimulai sekitar pukul 21.00 hingga menjelang tengah malam, lalu pukul 1 hingga 3 dini hari dilanjutkan qiyamul lail. Tarawih 20 rekaat tanpa witir dan imam membaca 1 juz surat dalam Al-qur'an secara urut setiap harinya, sedang qiyamul lail 10 rekaat dan ditutup 3 rekaat witir. Meski bilangan rekaat qiyamul lail lebih sedikit, namun durasi sholat sama panjangnya, yakni sekitar 2 jam. Saya Masuk ke kota Madinah sudah lewat tengah malam, namun masih bisa ikut jamaah qiyamul lail. Kejutan yang menyenangkan karena saya tidak menyangka sholat akan berlangsung selama itu. Sebagai gambaran saat ruku', saya membaca doa bacaan ruku' sampai 7 kali dan imam belum juga memberi tanda akan i'tidal :) 

Di rekaat terakhir sholat Witir, setelah ruku', imam akan membacakan semacam doa qunut, suasananya sangat dramatis, semua orang menangis, meratap, menengadahkan tangan mohon ampun karena banyaknya dosa. Ah, rasanya saya belum pernah merasakan takutnya api neraka seperti saat itu. Selain itu, sebagai orang Indonesia, saya tidak terbiasa sholat sambil memegang dan membaca mushaf Al-qur'an mengikuti bacaan imam. Tapi semua menyarankan melakukannya untuk menyiasati kantuk karena banyaknya bilangan rekaat dan panjangnya waktu sholat. Subhanallah, ternyata sangat nikmat, karena sekaligus saya bisa tahsin; membetulkan cara membaca langsung dari imam Masjid Nabawi. Bacaan imam ini luar biasa indahnya. Kalau kemudian kantuk lenyap, itu hanya bonus saja. 

Saya sangat menikmati daur hidup yang terbalik selama Ramadhan di tanah suci. Semua orang berlomba-lomba menghidupkan malam dengan berdiam di dalam masjid, sholat, tadarus, berdzikir. Lelah? Hampir tak terasa, karena ritual ini tak sekadar butuh ketahanan fisik, yang terpenting adalah keikhlasan. Ini sekaligus bisa menjawab pertanyaan mengapa banyak anak kecil hingga orang-orang sepuh yang sanggup bertahan. Dalam kondisi ikhlas, tubuh akan mengeluarkan hormon-hormon " baik" yang bermanfaat untuk meningkatkan imunitas.

Setelah qiyamul lail, orang berbondong-bondong makan sahur. Selama ini saya termasuk orang yang "ribet" dengan makanan. Apalagi untuk sahur atau iftar. Saya selalu memilih makanan sesuai selera dan lauknya harus lebih dari satu. Kebiasaan itu makin jadi semenjak saya kuliah dan harus kost di luar kota. Saya selalu memikirkan betul menu sahur untuk besok, tak jarang di Jakarta setelah selesai sholat Tarawih di Masjid Al-azhar Kebayoran, saya masih berputar arah demi sepotong ayam panggang yang enak, sebelum pulang ke Pondok Gede. Agak lebay ya? 

Di sini, Subhanallah, makanan apa pun yang tersedia di restoran hotel saya makan dengan lahap. Saya sempat agak khawatir akan mengalami konstipasi (sembelit) karena pilihan lauk yang kurang serat, apalagi dalam keadaan puasa, dimana asupan cairan sangat berkurang. Tapi ternyata tidak. Kalau di Jakarta saya hanya bisa makan buah yang sangat masak, karena lambung saya yang bermasalah dengan asam, di sini semua buah saya makan, termasuk jeruk yang manis segar. Padahal sudah lebih dari 20 tahun saya menghindari makan buah jeruk di bulan Ramadhan.

Yang juga terasa sangat kontras dengan Ramadhan di tanah air adalah keramaian di mall.  Di Indonesia, sudah jamak menjelang Lebaran pusat-pusat perbelanjaan di serbu pembeli, hingga tak jarang mengakibatkan kemacetan dimana-mana. Namun ini tidak terjadi di tanah suci. Kalau di musim haji atau bulan-bulan lainnya, lepas waktu sholat, mall selalu penuh dengan orang yang berbelanja, di bulan suci, ini tidak terjadi. Mall di sini biasanya buka setelah sholat subuh, orang pun sudah sibuk belanja sepagi itu. Tapi di bulan Ramadhan, toko-toko di dalam mall rata-rata baru buka selepas sholat dzuhur. Kalau pun ada satu-dua yang buka lebih pagi, tidak nampak kerumuman pembeli.

Selain mall, yang juga ramai adalah pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di sekitar pintu masjid, setelah bubaran sholat. Mereka biasanya perempuan berkulit hitam, membawa troley yang ditumpangi kardus besar. Nantinya mereka akan menggelar kain selebar sprei dan menghamburkan dagangan di atasnya. Dagangannya macam- macam, mulai baju, sepatu, kerudung, heina, sampai mainan anak-anak. Bahkan di musim haji ada yang sekadar menjual kulit gandum/gabah untuk pakan burung merpati yang hidup bebas di sekitar masjid. Awalnya saya pikir karena cuaca yang panas, makanya sepi, pedagang akan menggelar dagangannya selepas Maghrib atau Isya, tapi ternyata dugaan saya salah, hanya satu-dua pedagang yang terlihat setelah bubaran waktu sholat. Pembelinya tak terlalu ramai, itu pun kenyakan orang Indonesia!

Sebelum berangkat saya sempat dag-dig-dug, Ramadhan ini kebetulan jatuh di musim panas. Dari prakiraan cuaca yang saya baca, suhu di Mekah-Madinah mencapai 53derajat. Sebagai perbandingan, di Jakarta saat cuaca terasa sangat terik, suhunya paling banter 33 derajat. Saya bayangkan dalam keadaan berpuasa, pastilah berat sekali. Tapi, Subhanallah, ternyata kekhawatiran saya tidak terjadi. Semua aktivitas terpusat di masjid, kalau pun harus pulang ke hotel itu hanya untuk sahur, iftar dan mandi. Di dalam masjid suasananya sangat sejuk. Pendingin udara dengan sirkulasi terbaik di dunia, membuat hawa panas di luar tidak terasa sama sekali. Langit-langit yang sangat tinggi membuat tidak terasa pengap. Di luar masjid, kipas angin dengan uap air, seperti yang sering terlihat di Dufan, bekerja optimal. Bahkan saat di Madinah, payung Masjid Nabawi yang khas membuat seluruh pelataran masjid terlindungi. Lamanya puasa jadi tidak terasa, karena praktis seusai sholat Ashar, kemeriahan itu sudah dimulai.

-----------------------------

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh...
Imam memimpin bacaan salam, tanda berakhirnya sholat Tarawih terakhir Ramadhan tahun ini. Saya menolehkan kepala ke kiri, mengikuti salam terakhir.

Tiba-tiba terbayang suasana di Malioboro-Yogya, saat Lebaran setahun yang lalu. "Lebaran tahun depan kita enggak bisa naik becak begini lagi, nih," kata saya pada Lambang di atas becak dalam perjalanan dari Malioboro ke Hotel Santika tempat saya menginap. "Karena kita sedang berada di depan Ka'bah," lanjut saya. Lambang tidak menanggapi. "Semoga Allah mudahkan kita untuk umroh Ramadhan tahun depan ya," pancing saya lagi. "Memang kamu punya tabungan?" tanyanya sambil lalu. "Ini bukan masalah tabungan. Ini masalah doa. Kalau Allah sudah berkehendak, pasti akan disediakan jalan."

Sudut mata saya kembali hangat. Rasanya masih seperti mimpi saya berada dalam jamaah sholat Tarawih di tanah suci. Sekali lagi saya meyakinkan diri, ya, ini memang semata-mata masalah doa.


Mekah, Syawal 1434H
Uttiek Herlambang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar