Saya masih bisa mengingat peristiwa itu dengan jelas. Setiap kali musim haji tiba, eyang saya dengan sepenuh hati akan mengajak anak atau cucunya untuk “nguntapke kaji” atau mengantarkan calon tamu Allah di pelataran Masjid Agung Solo. Dalam memori masa kecil saya, masih terbayang dengan jelas orang berduyun-duyun datang dari arah mana saja untuk sekadar menyalami atau bahkan menyentuh baju calon haji ini dengan harapan bisa segera ketularan menjadi tamu Allah. Begitupun eyang saya. Bahkan setelah beliau diizinkan Allah berangkat haji ditahun 1983, kebiasaan itu masih terus dilakukannya setiap tahun, hingga sakit dan tidak bisa kemana-mana lagi.
Begitu kuatnya pengalaman mengantarkan calon haji itu, sejak kecil saya hanya punya dua cita-cita: menjadi wartawan dan bisa berangkat haji. Saya tak pernah melupakan tatapan mata eyang saat memandang para calon tamu Allah itu dengan penuh harapan, keinginan yang sangat kuat dan doa tulus yang selalu diucapkannya. Sejak saat itu, saya masih berumur 5 tahunan, saya tidak pernah berhenti bermimpi untuk bisa pergi haji dengan gaji pertama saya sebagai wartawan.
------------------------------------
“Yo, yen saiki mahrammu ki dudu Yudha, tapi Lambang (kalau sekarang mahrammu bukan Yudha tapi Lambang,” itu jawaban yang diucapkan Papi ketika saya menyampaikan niat ingin berangkat haji bersama Yudha, adik saya, di tahun 2005.
“Ya kalau untuk berangkat satu orang, tabungannya cukup, Pi, tapi kalau untuk berdua, belum dihitung lagi,” jawab saya.
"Wes,Bismillah, sing penting niat, mengko Allah yang akan mencukupi.”
Setahun setelah percakapan itu, Allah akhirnya menginzinkan saya berangkat haji berdua dengan Lambang di tahun 2006. Sesuatu yang tak henti-hentinya saya syukuri. Bukan sekadar tabungan yang akhirnya cukup untuk berangkat berdua, di tahun itu pun saya bisa langsung berangkat tanpa perlu berada dalam daftar tunggu, dan yang terpenting adalah saya berangkat dengan mahram, seseorang yang sudah saya cari lebih dari dua puluh tahun.
Perkara mahram ini bukan hal sederhana bagi saya. Saya sudah bekerja sebagai wartawan sebelum menikah, sehingga saya sudah bisa menabung untuk mewujudkan mimpi naik haji. Namun menjadi masalah karena saya tidak punya mahram. Kondisi Papi yang sudah sakit tidak memungkinkan lagi menjadi mahram saya, apalagi Papi sudah menunaikan ibadah haji dua kali. Ketiga adik laki-laki saya masih kecil, dan belum mempunyai penghasilan. Hingga akhirnya munculah niat itu ketika Yudha terlibat dalam sebuah proyek di kampusnya dengan salah satu stasiun teve Jepang. Itu pun tidak Papi izinkan dengan alasan, mahram saya sekarang Lambang, suami saya.
“Larangan” Papi itu akhirnya menjadi sesuatu yang sangat saya syukuri. Sebagai mahram Lambang bisa diandalkan karena kemampuan visual spasialnya sangat baik atau kalau orang Jawa bilang tidak bingungan. Lambang jarang sekali tersesat arah. Dia bisa memperkirakan arah ke kanan dan ke kiri dengan tepat. Sebaliknya, seperti isi buku best seller “Why Women Can’t Read Map”, saya sering disorientasi di tempat baru, saya tidak bisa membaca peta, saya harus memaksa otak saya bekerja keras untuk sekadar menentukan tadi datang dari arah kiri atau kanan. Saya hanya tidak bingung kalau jalan-jalan di mall, saya tiba-tiba menjadi cerdas untuk mengingat di mana konter Charles and Keith dan Guess. :p
Saya bisa mengandalkan Lambang untuk mencari posisi sholat dengan Ka’bah view terbaik di Masjidil Haram tanpa perlu bingung bagaimana cara kembali ke hotel. Di Madinah saya bisa mendapat kurma dan cokelat dengan harga miring karena Lambang hapal jalan ke arah Pasar Kurma. Di Jeddah saat yang lain sibuk berbelanja, saya bisa meng-eksplore Musseum of Jeddah, sesuatu yang tidak bisa dinikmati setiap jamaah.
Hari ini, 21 Agustus, mahram saya, Lambang berulangtahun.
Terima kasih sudah menjadi mahram yang tidak bingung arah.
Semoga Allah izinkan kita terus bergandengan tangan menuju pintu surga.
Jakarta, 21 Agustus 2013
Uttiek Herlambang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar