Pada zamannya kafilah haji nusantara pernah sangat ditakuti penjajah Belanda. Kafilah haji tahun 1911-1933 yang baru pulang dari tanah suci menggunakan kapal laut harus menjalani karantina di Pulau Onrust (salah satu gugusan Kepulauan Seribu). Belanda berdalih untuk mencegah wabah penyakit Pes yang ditularkan dalam perjalan panjang itu. Namun alasan yang sesungguhnya adalah Belanda melakukan cuci otak dan mendata lengkap para kafilah haji ini. Kalau suatu saat di daerahnya nanti muncul gerakan menentang Belanda, para haji inilah yang akan ditangkap pertama kali.
Ketakutan itu bukan tanpa alasan, karena pada muktamar akbar itulah mereka berkesempatan bertemu dengan orang-orang dari seluruh dunia, bertukar ilmu dan semangat persamaan derajat manusia, konsep Islam yang kemudian menjadi cikal bakal semangat kemerdekaan. Salah satu contohnya adalah tahun 1803 sekembali dari tanah suci, kafilah haji dari dari Minangkabau memulai gerakan Padri yang bertujuan mengusir kafir Belanda.
Mekah dan Madinah sebagai meeting point orang Islam seluruh dunia adalah tempat yang paling ideal untuk transfer ilmu dan informasi. Setiap hari berjumpa dengan orang dari berbagai bangsa membuat orang-orang Islam lebih terbuka wawasannya. Saya bisa merasakan bagaimana para khalifah haji nusantara pertama kali mempunyai ide tentang kemerdekaan. Saat menunggu waktu sholat, kita duduk bersebelahan dengan siapa saja. Dari bertukar senyum, saling mengucapkan salam, terciptalah sebuah obrolan.
Ada beberapa kejadian menarik dan lucu yang pernah saya alami terkait hal ini. Suatu kali ada seorang wanita sepuh yang turun dari kursi rodanya dengan merangkak menuju tempat sholat yang masih kosong, kebetulan pas di sebelah saya juga masih kosong. Tentu saya merasa terharu dengan semangat ibadahnya, sambil berdoa, "Allahuma yassir wa la tu'assir (Ya Allah, mudahkanlah, jangan dipersulit)," saya tersenyum tulus padanya. Nenek itu membalas tersenyum sambil menepuk lengan saya dengan napas ngos-ngosan. "Laahaula wa la quawata illa billah," ucapnya masih sambil tersenyum. Saya meneruskan membaca Al-qur'an. Dia berkata lagi dalam bahasa Arab dengan dialek yang saya tidak kenal. Saya hanya membalas dengan senyum sopan sambil berkata, "Laa adri (Maaf, saya tidak paham)," rupanya nenek ini masih terus memaksa saya menanggapi perkataannya.
Karena kasihan dan penasaran kenapa dia begitu ngotot ingin ditanggapi, saya celingak-celinguk ke belakang. Terlihat wanita muda dari Pakistan seumuran mahasiswa, saya tersenyum dan menyapa, "Excuse me, can you speak English?" dia tersenyum dan menjawab, "Yes." "Can you speak Arabic?" lagi-lagi dia mengangguk, saya tersenyum lega. Lalu saya katakan, nenek di sebelah saya ini dari tadi ngotot ingin mengatakan sesuatu pada saya tapi saya tidak menangkap maksudnya, apakah dia bisa menerjemahkannya.
Lalu mereka berdua bicara, mahasiswi dari Pakistan, yang kemudian saya tahu bernama Kiran ini tersenyum menatap saya dan berkata, "Nenek ini heran, bagaimana mungkin kamu bisa membaca Al-qur'an dengan sangat lancar, tapi kamu tidak mengerti bahasa Arab yang diucapkannya? Dia hanya bilang beberapa hari lagi puasa Ramadhan akan selesai dan kita merayakan Eid." Sejenak saya bengong, sebelum akhirnya tersenyum malu. Nenek, yang kemudian dari Kiran saya tahu berasal dari Libya ini, duduk persis di sebelah saya, pastilah dia mendengar saya membaca Al-qur'an, dan ketika saya menjawab, "Laa adri (saya tidak paham)," dia berusaha mengulang perkataannya beberapa kali, dan saya tetap tidak paham, maka dia pun heran.
Beberapa kali saya pernah menulis, betapa menyesalnya saya tidak menyelesaikan kursus Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar Indonesia, karena kelas ditutup tidak memenuhi kuota. Padahal bahasa Arab adalah bahasa Al-qur'an sekaligus bahasa pemersatu umat Islam. Sebenarnya bukan tidak mengerti sama sekali, untuk percakapan sederhana saya bisa mengikuti, namun untuk obrolan panjang, apalagi menggunakan dialek tertentu, saya tidak bisa memahami.
Saya selalu merasa malu saat harus bertanya, "Can you speak English?" di sini. Bukankah harusnya kita bicara dalam satu bahasa, yakni bahasa Al-qur'an? Melalui penguasaan satu bahasa itu pula lah kafilah haji nusantara bisa berinteraksi dengan orang-orang dari seluruh dunia pada muktamar akbar haji. Melalui kesamaan bahasa mereka membangun konsep kemerdekaan. Bagi orang-orang yang berbicara bahasa Arab, pasti sangat heran, bagaimana mungkin orang yang bisa membaca Al-qur'an dengan lancar, tidak mengerti bahasa Arab, yang berarti pula tidak mengerti maksud kalam Allah yang sedang dibacanya itu. Sekali lagi saya tersenyum malu menatap nenek Anisa dari Libya itu.
Dari sekadar menerjemahkan, saya lalu mengobrol asyik dengan Kiran. Dia seorang mahasiswi salah satu universitas terkemuka di Pakistan. Gaya bicaranya santun namun percaya diri, menguasai bahasa Inggris, Arab, dan Urdu dengan sangat baik. Dia selama 10 hari terakhir i'tikaf di dalam masjid, tidak keluar sama sekali, sekalipun paket yang dia beli dari travel agen di Pakistan sudah termasuk reservasi kamar hotel di sekitar masjid. Hebat sekali anak ini, saya semakin dibuat malu dengan kemampuannya. Ketika saya bertanya dengan siapa saja dia berangkat? Saya semakin terkejut ketika dia menunjuk wanita di sebelahnya adalah ibunya. Wanita ini secara penampilan sangat berbeda dengan Kiran. Ibu ini seperti gambaran wanita pedesaan yang ada di film-film India, dia pun hanya bisa berbahasa Urdu. Warna kulit Kiran terang dengan sorot mata cerdas, sedang kulit ibunya lebih gelap, berpakaian sangat sederhana. Tapi jangan tanya bagaimana sikap Kiran saat melayani ibunya berbuka puasa. Betul-betul gambaran anak yang berbakti pada orangtua. Lalu saya teringat dua adik laki-laki saya yang belum menikah, apa saya jodohkan saja dengan Kiran, ya? :D
Pengalaman lucu yang tak terlupakan adalah saat saya sholat Dzuhur. Di sebelah saya ada seorang anak umur empat tahunan. Dia asyik bermain sendiri. Awalnya saya tidak memerhatikan, karena setelah sholat tahiyatul masjid, saya langsung asyik membaca Al-qur'an. Sampai tiba-tiba konsentrasi saya pecah saat mendengar suara, "Countrriiee name... Countrrriiee name... Subhanallah... Subhanallah...," dari belakang saya. Kata country diucapkan dengan huruf r dan i yang sangat jelas, khas dialek orang-orang Asia Selatan. Mungkin tidak lucu kalau kalimat itu hanya diucapkan sekali. Tapi saya dengar setiap kali anak ini bicara dengan seseorang, lalu ada suara wanita dewasa yang berkata, "Countrriiee name... Countrriiee name...," dan tanpa menunggu jawaban, wanita itu langsung melanjutkan bertasbih, "Subhanallah... Subhanallah..." Saya pun mulai tersenyum. Saya tergelitik untuk mencoba, saya sapa anak itu, "What's your name?" "Mumtaz," jawabnya dengan suara cadel. Belum sempat saya memuji namanya sangat bagus dalam bahasa Arab yang artinya sempurna, tiba-tiba dari belakang ada suara, "Countrriiee name... Countrriee name... Subhanallah... Subhanallah." Hahaha, lalu meledaklah tawa saya saat menoleh ke belakang dan ibunya Mumtaz ini mengatakannya lengkap dengan gelengan kepala ala bintang film India. Mumtaz berasal dari Bangladesh, mungkin ibunya di sana adalah aktivis partai atau nasionalis sejati sehingga perlu menanyakan dari mana negara asal setiap lawan bicara anaknya.
Cerita seru lainnya waktu saya tidak membawa sajadah, karena sajadah saya basah ketumpahan zam-zam saat iftar. Saya menggelar mukena untuk alas sujud. Tiba-tiba wanita di sebelah saya menegur karena saya sholat menggunakan celana panjang, saya jelaskan kalau biasanya saya sholat mengguankan mukena ini untuk menutupi celana panjang saya, tapi karena saya tidak membawa sajadah, saya menggunakannya sebagai alas. Lalu dia mengatakan akan sharing sajadah. Dia memperkenalkan diri bernama Sultana, muslim Amerika. Kami lalu berbincang akrab, sampai dia melontarkan pertanyaan, "How long you've been moslem?" Saya bengong mendapat pertanyaan itu. Sebagai orang Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim, tentu tidak pernah terlontar pertanyaan seperti itu. "I was born as moslem. Alhamdulillah."
Lalu saya teringat ketika memulai persahabatan dengan Fatima seorang mahasiswi dari Bosnia. Ketika pertama kali bertukar e-mail, dia menanyakan preferensi mahzab yang saya anut. Saya butuh waktu lama untuk menghilangkan rasa terkejut karena pertanyaan itu. Bukan apa-apa, sama dengan pertanyaan Sultana tentang sudah berapa lama saya menjadi muslim, saya pun belum pernah mendapat pertanyaan tentang preferensi mahzab sebelumnya. Saya suni (dan Muhammadiyah :) ), tapi seperti orang Indonesia pada umumnya, saya tidak pernah men-declare sebagai Syafii, misalnya. Pertanyaan itu pun saya jawab, "I was born as moslem. Sunni. Alhamdulillah."
Jeddah, Syawal 1434H
Uttiek Herlambang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar