Rabu, 21 Agustus 2013
Nasi Mandi, Doa Di Sore Hari
"Saya kemarin dapat ta'jil nasi mandi. Disajikan dalam nampan besar dan baru dibagi-bagi sesaat sebelum adzan. Ayamnya sepotong besar."
Saya menelan ludah mendengar cerita yang disampaikan dalam tausiah sore itu. Terbayang nasi beraroma rempah bercita rasa eksotik dengan potongan daging ayam yang empuk. Di negeri asalnya, Yaman, nasi mandi diracik menggunakan 16 jenis rempah sehingga memunculkan aroma yang khas. Daging yang digunakan sebagai pelengkap bukan ayam, melainkan kambing. Daging kambing ini di masak dalam tungku tradisional, berupa lubang sedalam 1,5 meter berdiameter 80 cm, di dalamnya ditaruh kayu bakar yang telah membara, daging ini dimasak di atasnya selama dua jam.
Sudah menjadi tradisi sejak berabad lampau di Masjid Nabawi setiap bulan Ramadhan dibagikan makanan untuk berbuka puasa bagi siapa saja. Ya, mereka adalah keturunan Bani Anshor yang sangat dermawan sejak zaman Rasulullah. Sampai saat ini tradisi tersebut masih terus berjalan. Keluarga-keluarga yang telah mendapat izin dari pemerintah boleh menggelar karpet dan membagikan ta'jil dan makanan berbuka untuk jamaa'ah yang hadir di sini. Saya bertekad sore itu saya akan mencari karpet yang membagikan ta'jil nasi mandi.
------------------------------
Melewati gerbang Umar Bin Khatab, saya belok ke kanan, suasana terlihat riuh. Karpet-karpet beralas plastik telah digelar. Wanita-wanita cantik berbalut abaya hitam hilir mudik menawarkan teh, roti, kurma, manisan, cokelat dan apa saja yang dibawanya pada orang-orang yang melintas. Anak-anak kecil berlarian dengan gembira, satu dua mendorong troley penuh roti. Aroma roti hangat yang baru keluar dari oven menggelitik perut kosong siapa saja. Suasana ini betul-betul belum pernah saya rasakan sebelumnya. Sorot mata dan sapaan ramah menawarkan supaya saya mau bergabung untuk buka bersama. Saya tersenyum sopan sebagai tanda penolakan. Sambil memotret dan menikmati suasa yang luar biasa itu, saya menajamkan pandangan mencari-cari karpet yang menawarkan nasi mandi. Sampai persis di depan gerbang, saya tidak menemukannya.
Rata-rata ta'jil yang dibagikan adalah roti dengan yogurt sebagai condiment, yang dalam bahasa Arab disebut kahka, air mineral dingin, kurma, buah, cokelat, kacang dan aneka makanan kecil lainnya. Saya membandingkannya dengan ta'jil yang sering dibagikan di masjid-masjid di Jakarta berupa kolak pisang, kue-kue manis, risoles, lontong sayur, kurang lebih seperti itu perbandingannya. Senja semakin kemerahan, pertanda Maghrib menjelang. Karena belum menemukan apa yang saya cari, saya memutuskan untuk duduk di tangga teras masjid sambil menikmati suasana yang semakin riuh. Seorang anak kecil datang memberikan segelas zam-zam, lalu anak perempuan lain menyodorkan roti dan yogurt, disusul gelas plastik berisi aneka kacang-kacangan. Saya menerima semua dengan senyum tulus tanda terima kasih. Sambil memandang langit yang sangat bersih, saya berbisik, "Ya Allah, yang ada nasi mandi dimana ya?"
----------------------
Keesokan harinya saya masih penasaran ingin berbuka puasa dengan nasi mandi. Sebenarnya bisa saja saya pergi ke salah satu restoran yang ada di sekitar hotel dan membelinya, namun selama di sini saya tidak pernah mau keluar lagi dari masjid menjelang berbuka, waktu dimana doa-doa diijabah. Saya lebih memilih menikmati suasana yang luar biasa ini sambil memanjatkan doa dan membacakan doa-doa titipan teman-teman. Kata Lambang kalau di tempat laki-laki banyak yang membagikan nasi mandi, bila ada sekelompok orang Pakistan, hampir dipastikan ada nasi mandi di situ. Saya menitip pesan untuk mengambilkannya satu dan akan saya makan selepas tarawih.
"BBM saya sudah diterima, Mbak?" tanya Pak Rustam, pemilik Khalifah Tour, travel yang mengantarkan saya untuk umroh ini, saat berpapasan di depan restoran hotel.
"Wah, maaf, Pak, BB saya baterey-nya habis sejak tadi sore, saya tidak keluar dari masjid, jadi tidak sempat nge-charge. Ada apa ya?"
"Oh, saya mau mengundang Mbak Uttiek dan Mas Lambang untuk makan malam di International Restaurant Movenpick malam ini."
"Sekarang, Pak? Dengan senang hati."
Di pintu restoran beberapa orang menyapa Pak Rustam. Sebagai pemilik biro umroh yang telah melakukan reservasi hotel sepanjang tahun, tentulah dia sangat dikenal di sini. Pak Rustam mengajak saya dan Lambang menuju stall yang agak di belakang. "Saya sangat merekomendasikan nasi mandi yang ada di sini. Menurut saya ini nasi mandi yang paling enak," jelasnya dengan penuh semangat.
Deg!
Saya diam terpaku.
Di depan saya terlihat satu wadah besar nasi berbulir panjang yang dimasak dari beras basmati, hangat mengepul, terlihat jejak warna kuning safron sebagai bumbu dan paha kambing muda yang begitu menggoda. "Silakan, silakan. Ini yang kambing, ini yang ikan," lanjutnya ramah. Sambil berbincang tentang situasi terakhir di Mesir, saya mengunyah nasi mandi ini pelan-pelan. Terasa sangat pulen, dengan aroma rempah yang tidak terlalu kuat. Daging kambingnya luar biasa empuk, saat dipotong terlihat lelehan bumbunya yang dimasak oleh chef profesional. Disajikan dengan sejenis acar bawang merah, rasanya sungguh luar biasa. Sekilas saya melirik kantong plastik berisi nasi mandi yang dibawa Lambang.
Sungguh, Allah Maha Mendengar dan selalu memberi lebih. Saya hanya ingin nasi mandi yang dibagikan gratis di pelataran masijd, Allah memberikannya dua sekaligus; yang satu betul dari pembagian gratis di masjid, yang satu hasil olahan chef profesional dari hotel berbintang lima yang harganya setara dengan 50 liter Pertamax. Subhanallah.
Untuk Pak Rustam, syukron laka...
Masjid Nabawi, Ramadhan 1434H
Uttiek Herlambang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar