Saya sudah sering menulis betapa saya
sangat kagum dengan kitab Ar-Rihlah yang berisi memoar perjalanan Sang
Pengelana Ibn Bathutah.
Tak terbayangkan sulitnya melakukan
perjalanan sejauh itu di zaman alat transportasi hanya ada kuda dan hewan
tunggangan lainnya. Alat navigasi pun masih sangat terbatas hanya mengandalkan
bintang di langit.
Manusia modern tentu tak bisa
membayangkan perjalanan tanpa bantuan GPS dan semacamnya.
Satu lagi yang membuat saya percaya
bahwa bahasa Arab pernah menjadi bahasa Internasional kelompok intelektual
dibuktikan dengan grand journey Ibn Bathutah ini.
Betapa tidak, dari nun jauh di dusun
Tangier, Maroko, ia menyusuri rute yang berlipat dari perjalanan Marcopolo.
Tanpa adanya bahasa yang menyatukan tempat-tempat yang disinggahinya, mustahil
ada catatan perjalanan sepanjang miliknya.
Beberapa kali saya on-off-on-off
kursus bahasa Arab, salah satu tujuannya adalah untuk membaca kitab Ar-Rihlah
dalam bahasa aslinya. Karena kosa kata bahasa Arab sangat kaya, pasti tulisan
aslinya jauuuh lebih indah dari terjemahannya.
Seperti halnya Ibn Bathutah yang
memulai langkah dari Baitullah. Hari ini pun saya akan meneruskan perjalanan
setelah menyelesaikan umrah dan menuntaskan kerinduan di tanah Madinah.
Saya akan menyusuri
Xinjiang-Urumqi-Turpan dan Khasgar untuk menyapa saudara-saudara Uighur di
sana.
Doakan perjalanannya lancar. Banyak
hikmah berserak yang bisa saya punguti di sepanjang rute yang dilalui. Yang
akan saya tuliskan untuk siapa saja yang mau membacanya. Dengan berbagai
pertimbangan, cerita perjalanan ini akan saya bagikan setelah kembali ke
Jakarta.
King Abd Azis Int'l Airport, Jedah,
1/1/2019
Uttiek
Follow me on IG@uttiek.herlambang |FB @uttiek_mpanjiastuti
bismillah, mulai baca
BalasHapus