Sejarah mencatat, pertempuran di
Lembah Barbate adalah pertempuran terhebat setelah Perang Yarmuk. Pasukan
Thariq ibn Ziyad yang hanya 12.000 berhasil mengalahkan pasukan Roderic yang
berjumlah 100.000 tepat di gerbang rumah mereka.
----------------------------------------------------------
Bulu kuduk saya terasa meremang.
Pemandangan di sore yang gelap ini terasa seperti déjà vu. Jembatan kokoh
dengan bastion menjulang, rongga-rongga pemecah arus sungai, udara dingin yang
berkabut. Di mana saya pernah menyaksikan pemandangan seperti ini? Saya berusaha
keras untuk mengingat, tapi tidak berhasil. Mungkinkah saya pernah ke sini
sebelumnya? Tentu saja tidak! Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di
Eropa. Batin saya terus berbantahan.
Sore belumlah terlalu tua, namun
cuaca di musim dingin seperti ini membuat langit lebih cepat gelap. Seorang
perempuan jangkung, berambut keriting kemerahan, berdiri di depan pintu bus. Tak
lama terdengar suara pintu hidrolik yang dibuka Juan. Keduanya lalu bercakap
dalam bahasa Spanyol yang cepat. “Si…si,” kata perempuan itu sambil
menghidupkan mic dan mulai
memperkenalkan diri. Namanya Carmen, ia yang akan menjadi local guide selama di Toledo sampai Madrid.
“Anyone wants to toilet?” katanya sambil menunjuk kafe di seberang
jalan yang bisa digunakan. Sekalipun tidak ingin ke toilet, tapi saya tetap
turun dari bus dan berdiri di pinggir jembatan. Saya masih penasaran, mengapa
rasanya saya pernah berada di sini? Memori ini masih lekat hingga kini dan
menyisakan tanya yang tak terjawab. Mungkinkah karena saya sedang mencari
Lembah Barbate?
Ya, Lembah Barbate atau Lembah
Lakka (Lacca) adalah lokasi pertempuran Sang Pahlawan Thariq ibn Ziyad dengan
Roderic penguasa kerajaan Ghotic. Lembah itu posisinya sebelum kota Toledo yang
menjadi ibukota kerajaan sekaligus kota terbesar pada masa itu. Sejarah mencatat,
pertempuran di Lembah Barbate adalah pertempuran terhebat setelah Perang
Yarmuk. Pasukan Thariq ibn Ziyad yang hanya 12.000 berhasil mengalahkan pasukan
Roderic yang berjumlah 100.000 tepat di gerbang rumah mereka.
Pertempuran yang berlangsung
sejak 28 Ramadhan 92H/19 Juli 711 M itu tak terlukiskan kedahsyatannya. Tiga
ribu syuhada menjemput kesyahidannya dengan senyum. Takdir Allah atas kemenangan
pasukan muslim seiring suara takbir menyambut datangnya hari raya Idul Fitri,
hari kemenangan. Jatuhnya kota Toledo menandai lapangnya jalan pembebasan
semenanjung Iberia. Di sinikah Lembah Barbate? Inikah tanah yang disuburkan
dengan darah para syuhada?
Saya mencoba mencari tahu dengan
bertanya pada Carmen tentang keberadaan Lembah Barbate. Ia mengernyitkan dahi
tanda tidak tahu. Ia hanya membenarkan bahwa Toledo, kota yang akan segera kita
masuki sore ini adalah bekas kerajaan Roderic. Saya tersenyum kecut, pengalaman
di Granada dan Cordoba kemarin menyadarkan saya, bahwa segala hal yang berbau
sejarah Islam coba untuk dikaburkan di sini. Apalagi ini adalah sejarah
kemenangan Islam.
--------------------------------------------------
Sekarang ini Toledo hanyalah kota
tua yang tak terlalu “penting”, setelah ibukota Spanyol dipindahkan ke Madrid. Namun
kota kecil ini ibarat Yogyakarta, lekat dengan jejak sejarah dan sangat indah.
Bus terus melaju membelah bukit, jalanan berkelok-kelok naik turun, Carmen
menjelaskan bangunan-bangunan yang kita lewati, hingga sampailah di depan
benteng kota tua. Ia lalu meminta kita semua turun dari bus.
“Subhanallah. Salju,” saya
terpekik kecil. Lambang menoleh lalu melihat ke arah rumput yang ada di depan.
Terlihat kristal es yang membeku di atas tanah dan bebatuan. Ini adalah kali
pertama saya melihat salju sungguhan. Ada desiran aneh tiba-tiba muncul di
hati. Sejak lama saya bercita-cita ingin melihat salju pertama kali di Lebanon,
namun ternyata Allah pilihkan Toledo. Tapi Biidznillah, suatu hari nanti saya
akan melihat salju di Lebanon. Lalu terdengar komentar, “Wah, sudah ada salju.”
“Ayo foto dulu di atas salju.” Dingin semakin menusuk tulang.
Carmen mengajak rombongan
memasuki gerbang kota tua. Di depan ada escalator yang sangat tinggi, rasanya setinggi
bangunan tiga atau empat lantai. Pastilah dulunya ini perjalanan mendaki
bukit, tapi sekarang sudah dipermudah dengan escalator. “Ini nanti kalau kita turunnya
lewat sini juga, lalu escalatornya pas mati, keren banget nih,” celetuk saya
pada Lambang.
Di ujung escalator terlihat plaza
yang luas. Banyak orang berkumpul dan menikmati pemandangan di bawah. Jalanan dilapisi
bebatuan rapi, sekilas seperti jalanan di film Les Misérables. Carmen terus
berjalan cepat sambil menjelaskan ini-itu. Saya berusaha menjajari langkahnya.
Ini benar-benar seperti film Les Misérables, jalanan gelap, dingin, dengan
bangunan tua di kiri-kanan. Suasana bertambah “seram” karena rata-rata bentuk
bangunan di kota tua ini berarsitektur Gothic, laiknya di film-film horor.
“Di Toledo ini dulunya banyak
sekali gereja, namun kini sudah banyak yang dialihfungsikan karena kosong,
tidak ada yang menggunakan,” tuturnya. Ini adalah fenomena yang jamak di Eropa,
rumah ibadah itu ditinggal umatnya dan menyisakan bangunan yang mangkrak,
hingga akhirnya harus dialihfungsikan. Tiba-tiba tergelitik tanya, “Carmen,
tadi kamu bercerita kalau di kota ini dulu umat Islam, Kristen dan Yahudi hidup
berdampingan dengan damai? Benar, kan? Lalu mengapa Issabel dan Ferdinand
memaksa mereka untuk mengubah keyakinannya, bahkan dibunuh atau diusir dari
kota ini kalau tetap memilih menjadi muslim atau yahudi?” Hening sesaat. “This young women have a good question,”
katanya meminta perhatian rombongan. Saya merasa tidak enak karena semua
melihat ke arah kami. “Kenapa, sih, dari kemarin mempermasalahkan hal ini
terus?” Mungkin begitu batin mereka.
“It’s all about politic,” lanjut Carmen. Menurutnya, sebagai
penguasa, Issabel dan Ferdinand akan mendapat penghormatan lebih ketika bisa
menyatukan semua rakyatnya dalam ideologi dan keyakinan yang sama. Saya masih mau
protes, tapi mengapa harus dengan cara genosida? Tapi pertanyaan itu urung
terucap. Saya sudah bisa menebak arah jawabannya, dan rasanya itu hanya akan
menambah kepedihan di hati. Saya coba tersenyum dan mengangguk pada Carmen sebagai
respons atas penjelasannya.
Rombongan terus berjalan dan
sampailah di deretan toko-toko yang menjual souvenir. Suasananya mungkin
sengaja dibuat seperti abad pertengahan. Carmen lalu menarik tangan saya untuk
melihat sebuah etalase toko. “Lihat, boneka-boneka itu menggambarkan bagaimana
Bangsa Moor mengolah berbagai macam bahan masakan menjadi makanan lezat,”
katanya. Sekilas saya melihat diorama boneka yang ada di etalase toko kue itu. “Tentu
saja. Bangsa Moor mengajarkan kalian banyak hal. Tanpa itu rasanya kalian tak
mungkin semaju sekarang,” tanggap saya yang dibalas dengan senyum kecut Carmen.
Dari toko roti, Carmen menunjuk
toko souvenir yang memajang pedang dalam berbagai ukuran. Dari yang sangat
kecil yang umumnya digunakan sebagai tusukan buah, hingga yang panjangnya lebih
dari satu meter. “Apakah itu benar-benar tajam?” tanya saya penasaran. “Ha ha
ha, saya juga tidak tahu,” jawabnya dengan kerlingan lucu. Pada zaman dulu,
Toledo juga dikenal sebagai kota penghasil pedang yang berkualitas. Mungkin
seperti Cimande di Jawa Barat yang terkenal sebagai penghasil golok.
Rombongan terlihat sudah
berpencar. Pemandangan yang sama tiap kali berada di pusat pertokoan. Carmen lalu
mendekati saya dan bercerita kalau di Toledo ini dulunya banyak universitas dan
menjadi pusat penerjemahan buku-buku dalam berbagai bahasa. Tiba-tiba muncul
tanya di hati, seandainya waktu itu kitab-kitab ilmuwan Andalusia tidak
diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin, akankah cahaya Islam tetap
menerangi Eropa saat ini? Akankah pengetahuan dan kemajuan hanya berada dalam
genggaman Islam?
Ah, tentu saja tidak. Para alim itu
menghasilkan temuan-temuannya semata untuk membuktikan keagungan Allah. Untuk
menunjukkan betapa kerdilnya manusia dibanding keluasan ilmu Allah. Pastilah
tidak ada sedikitpun keinginan di benak mereka untuk menyimpan rapat atau
memiliki sendiri tanpa mau berbagi dengan yang lain. Mereka akan mengajarkan
pada siapa pun yang menginginkan, bukan karena ingin termasyur dan diakui
kehebatannya, namun semata mereka mengimani, setelah meninggal, semua amalan
anak Adam akan terputus, keculi 3 perkara. Salah satunya adalah ilmu yang
bermanfaat. Terbukti, ilmu mereka masih dimanfaatkan manusia hingga berabad
kemudian.
Malam semakin gelap. Dingin kian
menggigit. Carmen meminta rombongan bergegas mengikutinya karena Juan segera
menjemput untuk melanjutkan perjalanan ke Madrid. Di tepi jalan, saat menunggu
bus, sebuah pikiran melintas. Jangan-jangan benar, lembah di dekat jembatan
yang rasanya sudah sangat saya kenal itu adalah Lembah Barbate.
Toledo, 8 Januari 2015
Uttiek Herlambang