Kamis, 24 Januari 2019

“AKIMA, APAKAH ENGKAU MERINDUKAN SUARA ADZAN?”


Journey to Uighur-Xinjiang #4


Pohon-pohon meranggas di musim dingin yang beku di Turpan, Xinjiang


Pohon-pohon terlihat meranggas tanpa daun dan bunga, menyisakan pemandangan dramatis di sepanjang jalan yang saya lalui. Udara dingin terasa menggigit. Orang-orang berjalan cepat untuk menghalau dinginnya.

“Lihat, rumah-rumah di sini berbeda. Atapnya datar. Tidak seperti atap rumah khas Tiongkok,” jelas Mr. Chang memecah kesunyian.

Rumah di negara tropis umumnya beratap pelana seperti yang sering dilihat di Indonesia. Salah satu fungsinya adalah untuk mengalirkan air hujan. Bangunan di China umumnya juga beratap seperti itu dengan hiasan dan warna yang berbeda untuk menunjukkan status sosial.

Namun, rumah-rumah di Xinjiang berbeda. Deretan bangunan yang kita lewati lebih mirip arsitektur di Timur Tengah. Berbentuk kubus dan beratap datar. Rasanya seperti sedang berada di Jeddah ketimbang di China.



Rumah-rumah berbentuk kubus, beratap datar di Xinjiang. Lebih mirip bangunan di Timur Tengah ketimbang rumah-rumah di China.


“Itu bangunan apa?” Tanya saya pada Mr.Chang saat melihat bangunan menyerupai pabrik dengan cerobong asap.
“Itu pabrik,” jawabnya singkat.
“Pabrik apa?’ kejar saya.
“Pabrik kain.”

Jawaban singkat itu mengingatkan saya pada berita tentang penangkapan orang-orang Uighur dan setelah menyelesaikan “pendidikan” di kamp mereka dipekerjakan sebagai buruh pabrik kain dengan bayaran yang sangat murah.

Ah, jangan-jangan….

Mr. Chang sepertinya tidak ingin melanjutkan obrolan tentang pabrik itu dan mengalihkan pembicaraan tentang Tuyoq Valley. Sebuah desa yang menjadi pemukiman muslim Uighur sejak ratusan tahun lalu yang akan menjadi tujuan perjalanan selanjutnya.

“Ini memang sepi karena musim dingin atau desa ini memang sepi?” Tanya saya heran karena sedikitnya manusia yang terlihat lalu-lalang di jalan.

“Karena musim dingin dan karena penduduk desa ini sebagian besar sudah pindah ke pemukiman baru yang dibangun pemerintah,” jawabnya.

Mr. Chang lalu menjelaskan kalau rumah-rumah tua itu sudah tidak layak ditinggali, karena rawan rubuh serta korsleting listrik yang bisa menyebabkan kebakaran. Sebagai gantinya pemerintah menyediakan rumah-rumah baru dengan harga disubsidi sampai setengahnya.

“Ada di mana pemukiman baru itu?”
“Di sana,” tunjuknya. Yang entah di mana itu.

Saya tercenung sejenak. Benarkah penduduk desa yang mayoritas muslim Uighur ini pindah ke tempat lain? Ataukah berita itu benar, kalau sekitar satu juta muslim Uighur telah ditangkap dan dimasukkan ke kamp-kamp untuk menjalani “pendidikan”?

Banyak hal yang saya lihat di Xinjiang ini mengingatkan saya pada tanah Palestine. Rumah dan tanah yang dibeli. Perpindahan penduduk desa dalam jumlah masif. Persis seperti yang terjadi di sana.

Awalnya penduduk Palestine juga ditawarkan uang dalam jumlah tidak terbatas untuk menjual rumah dan tanah mereka pada Israel. Berapapun akan dibayar. Setelah tinggal sedikit yang tersisa, maka upaya represif berupa pemutusan listrik dan air mulai diberlakukan. Terakhir, kalau masih bertahan juga, bulldozer akan meratakan rumah itu dengan tanah. Akankah hal serupa terjadi di desa ini kelak?

“Boleh berhenti di sini sebentar? Saya ingin memotret,” pinta saya.
“Sure!” jawab Mr. Chan santai.

Saya dan Lambang lalu turun dan memotret beberapa bangunan kosong di desa yang telah ditinggal penghuninya itu. Tiba-tiba terdengar pengeras suara seperti menyiarkan sesuatu dalam bahasa China yang tidak saya mengerti.
“Apa itu?” Tanya saya.
“Itu seperti ajakan supaya orang-orang desa bersemangat bekerja,” jawab Mr. Chang. Propaganda seperti itu memang lazim di negara-negara komunis.

Selesai memotret, kita lanjutkan perjalanan. Tuyoq Valley berjarak sekitar 55 km dari pusat kota Turpan. Tak lama Mr. Chang menghentikan mobilnya di sebuah pekarangan yang diportal. Seorang petugas keamanan yang berjaga menanyakan sesuatu sebelum membuka portal itu. Turun dari mobil, saya dan Lambang harus melalui penindai orang dan barang seperti di bandara, juga pemeriksaan pasport.

Beres urusan pemeriksaan, Mr. Chang mengajak kita berjalan menyusuri jalan desa yang sempit. Desa ini telah ditempati muslim Uighur sejak tahun 1.700. Dari kejauhan terlihat Tuyog Mazar Aldi, masjid pertama yang dibangun di tempat ini. Penduduk setempat menyebutnya sebagai “little Mecca”.

Konon dalam tradisi setempat, sebelum berangkat haji, muslim Uighur harus menziarahi Tuyog Mazar Aldi lebih dulu. Masjid ini tidak difungsikan lagi karena bangunannya sudah terlalu tua.


Masjid yang sudah ditutup dan tidak boleh dipergunakan lagi di Tuyoq Valley, Turpan, Xinjiang.


Tak jauh dari Tuyog Mazar Aldi ada masjid yang lebih baru yang didirikan. Tapi pintu masjid itu juga tertutup rapat. “Kita tidak bisa masuk?” Tanya saya yang dijawab Mr. Chang dengan gelengan kepala.
“Sesuai peraturan baru pemerintah, masjid ini tidak lagi dipergunakan. Tapi kalau mau memotret di depannya, boleh.”

Innalillahi wa innailaihi rojiun…

Ini adalah informasi penutupan masjid yang pertama saya dengar. Ternyata kabar itu benar. Masjid-masjid di Xinjiang sudah tidak boleh lagi dipergunakan. (tulisan tentang masjid-masjid yang ditutup dan tidak boleh dipergunakan akan saya lanjutkan di tulisan berikutnya: Journey to Uighur-Xinjiang #5 EMIN MINARET DAN SHALAT JUMAT YANG HILANG).

Perempuan Uighur sedang membuat perapian dari ranting pohon anggur.


Saya dan Lambang hanya bisa saling pandang. Di depan masjid terlihat seorang perempuan tengah membuat perapian dari ranting pohon anggur. Saya lemparkan senyum yang disambutnya dengan senyum.

Setelah dekat, setengah berbisik supaya tidak terdengar yang lain, saya ucapkan salam, “Assalamualaykum.” Perempuan itu melihat saya sekilas dengan pandangan yang sulit diartikan, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Entah takut. Entah apa.

Tak lama ia keluar lagi dan menyelesaikan perapian yang tadi ditinggalkan dengan tergesa. Kita bertiga menumpang menghangatkan badan. Saya minta Mr. Chang menanyakan siapa namanya? Yang dijawab, “Akima.”

Rupanya Akima ini adalah pedagang kismis atau anggur yang dikeringkan. Dagangannya digelar di pengkolan dekat rumahnya. Mr. Chang lalu membeli beberapa kantong untuk anak laki-lakinya yang katanya sangat suka kismis. Kismis adalah salah satu produk unggulan Xinjiang yang terkenal sebagai sentra perkebunan anggur yang buahnya sangat manis.

Saat Akima menimbang kismis, saya menatapnya lama. “Akima, kalau kamu mendengar, saya ingin bertanya, apakah kamu merindukan suara adzan dari masjid di depan rumahmu?” Tanya saya dalam hati.

Shall we go now?” Tiba-tiba suara Mr. Chang mengejutkan saya.
“Oke,” jawab saya sambil sekali lagi menatap Akima menunggu jawabannya. Ia mengangguk dan melempar senyum bergurat duka. Saya menganggap anggukan itu adalah jawaban pertanyaan saya.

Biidznillah, saudaraku. Dengan izin Allah, suatu saat nanti masjid itu akan dibuka lagi dan engkau akan kembali mendengar kumandang adzan dari sana.

Turpan, 3/1/2019

Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang |FB @uttiek_mpanjiastuti


Tidak ada komentar:

Posting Komentar