Journey to Uighur-Xinjiang #4
Pohon-pohon meranggas di musim dingin yang beku di Turpan, Xinjiang
Pohon-pohon terlihat meranggas tanpa
daun dan bunga, menyisakan pemandangan dramatis di sepanjang jalan yang saya
lalui. Udara dingin terasa menggigit. Orang-orang berjalan cepat untuk
menghalau dinginnya.
“Lihat, rumah-rumah di sini berbeda.
Atapnya datar. Tidak seperti atap rumah khas Tiongkok,” jelas Mr. Chang memecah
kesunyian.
Rumah di negara tropis umumnya
beratap pelana seperti yang sering dilihat di Indonesia. Salah satu fungsinya
adalah untuk mengalirkan air hujan. Bangunan di China umumnya juga beratap
seperti itu dengan hiasan dan warna yang berbeda untuk menunjukkan status
sosial.
Namun, rumah-rumah di Xinjiang
berbeda. Deretan bangunan yang kita lewati lebih mirip arsitektur di Timur
Tengah. Berbentuk kubus dan beratap datar. Rasanya seperti sedang berada di
Jeddah ketimbang di China.
“Itu bangunan apa?” Tanya saya pada
Mr.Chang saat melihat bangunan menyerupai pabrik dengan cerobong asap.
“Itu pabrik,” jawabnya singkat.
“Pabrik apa?’ kejar saya.
“Pabrik kain.”
Jawaban singkat itu mengingatkan saya
pada berita tentang penangkapan orang-orang Uighur dan setelah menyelesaikan
“pendidikan” di kamp mereka dipekerjakan sebagai buruh pabrik kain dengan
bayaran yang sangat murah.
Ah, jangan-jangan….
Mr. Chang sepertinya tidak ingin
melanjutkan obrolan tentang pabrik itu dan mengalihkan pembicaraan tentang
Tuyoq Valley. Sebuah desa yang menjadi pemukiman muslim Uighur sejak ratusan
tahun lalu yang akan menjadi tujuan perjalanan selanjutnya.
“Ini memang sepi karena musim dingin
atau desa ini memang sepi?” Tanya saya heran karena sedikitnya manusia yang
terlihat lalu-lalang di jalan.
“Karena musim dingin dan karena
penduduk desa ini sebagian besar sudah pindah ke pemukiman baru yang dibangun
pemerintah,” jawabnya.
Mr. Chang lalu menjelaskan kalau rumah-rumah
tua itu sudah tidak layak ditinggali, karena rawan rubuh serta korsleting
listrik yang bisa menyebabkan kebakaran. Sebagai gantinya pemerintah
menyediakan rumah-rumah baru dengan harga disubsidi sampai setengahnya.
“Ada di mana pemukiman baru itu?”
“Di sana,” tunjuknya. Yang entah di
mana itu.
Saya tercenung sejenak. Benarkah
penduduk desa yang mayoritas muslim Uighur ini pindah ke tempat lain? Ataukah
berita itu benar, kalau sekitar satu juta muslim Uighur telah ditangkap dan
dimasukkan ke kamp-kamp untuk menjalani “pendidikan”?
Banyak hal yang saya lihat di
Xinjiang ini mengingatkan saya pada tanah Palestine. Rumah dan tanah yang
dibeli. Perpindahan penduduk desa dalam jumlah masif. Persis seperti yang
terjadi di sana.
Awalnya penduduk Palestine juga
ditawarkan uang dalam jumlah tidak terbatas untuk menjual rumah dan tanah
mereka pada Israel. Berapapun akan dibayar. Setelah tinggal sedikit yang
tersisa, maka upaya represif berupa pemutusan listrik dan air mulai
diberlakukan. Terakhir, kalau masih bertahan juga, bulldozer akan meratakan
rumah itu dengan tanah. Akankah hal serupa terjadi di desa ini kelak?
“Boleh berhenti di sini sebentar?
Saya ingin memotret,” pinta saya.
“Sure!” jawab Mr. Chan santai.
Saya dan Lambang lalu turun dan
memotret beberapa bangunan kosong di desa yang telah ditinggal penghuninya itu.
Tiba-tiba terdengar pengeras suara seperti menyiarkan sesuatu dalam bahasa
China yang tidak saya mengerti.
“Apa itu?” Tanya saya.
“Itu seperti ajakan supaya
orang-orang desa bersemangat bekerja,” jawab Mr. Chang. Propaganda seperti itu
memang lazim di negara-negara komunis.
Selesai memotret, kita lanjutkan
perjalanan. Tuyoq Valley berjarak sekitar 55 km dari pusat kota Turpan. Tak
lama Mr. Chang menghentikan mobilnya di sebuah pekarangan yang diportal.
Seorang petugas keamanan yang berjaga menanyakan sesuatu sebelum membuka portal
itu. Turun dari mobil, saya dan Lambang harus melalui penindai orang dan barang
seperti di bandara, juga pemeriksaan pasport.
Beres urusan pemeriksaan, Mr. Chang
mengajak kita berjalan menyusuri jalan desa yang sempit. Desa ini telah
ditempati muslim Uighur sejak tahun 1.700. Dari kejauhan terlihat Tuyog Mazar
Aldi, masjid pertama yang dibangun di tempat ini. Penduduk setempat menyebutnya
sebagai “little Mecca”.
Konon dalam tradisi setempat, sebelum
berangkat haji, muslim Uighur harus menziarahi Tuyog Mazar Aldi lebih dulu.
Masjid ini tidak difungsikan lagi karena bangunannya sudah terlalu tua.
Masjid yang sudah ditutup dan tidak boleh dipergunakan lagi di Tuyoq Valley, Turpan, Xinjiang.
Tak jauh dari Tuyog Mazar Aldi ada
masjid yang lebih baru yang didirikan. Tapi pintu masjid itu juga tertutup
rapat. “Kita tidak bisa masuk?” Tanya saya yang dijawab Mr. Chang dengan
gelengan kepala.
“Sesuai peraturan baru pemerintah,
masjid ini tidak lagi dipergunakan. Tapi kalau mau memotret di depannya,
boleh.”
Innalillahi wa innailaihi rojiun…
Ini adalah informasi penutupan masjid
yang pertama saya dengar. Ternyata kabar itu benar. Masjid-masjid di Xinjiang
sudah tidak boleh lagi dipergunakan. (tulisan tentang masjid-masjid yang
ditutup dan tidak boleh dipergunakan akan saya lanjutkan di tulisan berikutnya:
Journey to Uighur-Xinjiang #5 EMIN MINARET DAN SHALAT JUMAT YANG HILANG).
Perempuan Uighur sedang membuat perapian dari ranting pohon anggur.
Saya dan Lambang hanya bisa saling
pandang. Di depan masjid terlihat seorang perempuan tengah membuat perapian
dari ranting pohon anggur. Saya lemparkan senyum yang disambutnya dengan senyum.
Setelah dekat, setengah berbisik
supaya tidak terdengar yang lain, saya ucapkan salam, “Assalamualaykum.”
Perempuan itu melihat saya sekilas dengan pandangan yang sulit diartikan, lalu
bergegas masuk ke dalam rumah. Entah takut. Entah apa.
Tak lama ia keluar lagi dan
menyelesaikan perapian yang tadi ditinggalkan dengan tergesa. Kita bertiga
menumpang menghangatkan badan. Saya minta Mr. Chang menanyakan siapa namanya?
Yang dijawab, “Akima.”
Rupanya Akima ini adalah pedagang
kismis atau anggur yang dikeringkan. Dagangannya digelar di pengkolan dekat
rumahnya. Mr. Chang lalu membeli beberapa kantong untuk anak laki-lakinya yang
katanya sangat suka kismis. Kismis adalah salah satu produk unggulan Xinjiang
yang terkenal sebagai sentra perkebunan anggur yang buahnya sangat manis.
Saat Akima menimbang kismis, saya
menatapnya lama. “Akima, kalau kamu mendengar, saya ingin bertanya, apakah kamu
merindukan suara adzan dari masjid di depan rumahmu?” Tanya saya dalam hati.
“Shall we go now?” Tiba-tiba suara
Mr. Chang mengejutkan saya.
“Oke,” jawab saya sambil sekali lagi
menatap Akima menunggu jawabannya. Ia mengangguk dan melempar senyum bergurat
duka. Saya menganggap anggukan itu adalah jawaban pertanyaan saya.
Biidznillah, saudaraku. Dengan izin
Allah, suatu saat nanti masjid itu akan dibuka lagi dan engkau akan kembali
mendengar kumandang adzan dari sana.
Turpan, 3/1/2019
Uttiek
Follow me on
IG @uttiek.herlambang |FB @uttiek_mpanjiastuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar