Journey to Uighur-Xinjiang #5
Masjid Emin Minaret yang sudah ditutup dan tidak difungsikan lagi untuk shalat.
“Muslim…. Muslim…,” tanya petugas
keamanan itu sambil mengitari saya. Entah apa maksudnya.
Sejenak kaget, sebelum saya jawab,
“Alhamdulillah. Sure. I’m covering my head with scarf,” jawab saya pelan namun
tegas sambil memegang ujung hijab yang saya kenakan.
Untuk kesekian kalinya kerudung saya
jadi masalah di negeri ini. Kali ini di depan pintu gerbang Emin Minaret.
Pagi ini, destinasi pertama adalah
Emin Minaret yang berada 2 km dari pusat kota Turpan. Emin Minaret merupakan
bangunan peninggalan sejarah muslim Uighur yang masih bisa disaksikan hingga
kini.
Menara dan masjid ini dibangun tahun
1777 untuk menghormati kemenangan Jenderal Emin Khoja, yang kemudian diangkat
menjadi penguasa setempat, setelah berhasil memadamkan pemberontakan Junggar.
Menara setinggi 44 m, berdiameter 10 m ini merupakan bangunan asli yang masih
kokoh berdiri. Sedang masjidnya telah direnovasi karena bangunan aslinya hancur
akibat gempa.
Selain masjid dan menara, di kompleks
ini juga ada pemakaman Islam. Bentuk nisannya khas pemakaman di Asia Tengah.
Saya menyaksikan banyak pemakaman serupa di Uzbekistan. Sesungguhnya, kompleks
ini sangat luas, dahulunya ada istana yang sekarang masih bisa disaksikan
reruntuhannya.
Di depan masjid berdiri patung
Sulaeman Emin yang merupakan anak Emin Khoja. Sosok itu mengenakan gamis dan
serban, bukan pakaian kebesaran seperti yang dipakai jendral-jendral Tiongkok.
Sekali lagi ini adalah penegasan bahwa muslim Uighur memiliki akar sejarah yang
berbeda dengan bangsa China.
Mr. Chang tidak bisa menjelaskan
terlalu banyak tentang sejarah bangunan ini, pun siapa itu Emin Khoja maupun
anaknya. Pemerintah kota ini sepertinya setengah hati menggarap destinasi
wisata yang terkait dengan Islam.
Sesungguhnya, Turpan sangat kaya
dengan jejak sejarah Islam pada periode Jalur Sutra. Kota kuno ini menjadi
perlintasan para kabilah yang masih eksis hingga kini. Sayangnya, sentimen anti
Islam yang begitu tinggi membuat jejak sejarah yang luar biasa itupun coba
dihapuskan.
Mr. Chang lalu mengajak kita ke plaza
di depan masjid yang sangat luas. Dari ceritanya, lokasi ini digunakan untuk
festival setelah Ramadhan alias perayaan Idul Fitri.
“Mereka shalat Ied di sini?” Tanya
saya penasaran.
“Dulu iya. Sekarang tidak lagi. Hanya
digunakan untuk festivalnya saja,” jawabnya.
Di gerbang masjid saya membeku. Bukan
karena udara dingin minus 12 hari itu. Tapi ingatan saya melayang ke Mezquita
di Cordoba, Spayol, yang saya saksikan 5 tahun lalu. Mezquita adalah Masjid
Agung Cordoba yang kini difungsikan sebagai katedral. Nama Mezquita yang
berarti masjid menunjukkan kalau bangunan itu dulunya adalah masjid (baca Buku
Journey to Andalusia).
Mihrab di Mezquita masih berdiri
tegak bertulis kalimat Tauhid di atasnya. Namun, kini berbatas terali besi dan
polisi-polisi yang bertugas menghalau siapa saja yang berusaha shalat di
depannya.
Pagi ini saya menyaksikan hal serupa
di belahan bumi yang berbeda. Di depan terlihat karpet merah membentang menutup
lantai dan mihrab masjid yang dibatasi tali dan dijaga polisi. Pertanda tidak
boleh dilintasi.
Mihrab yang gelap dan berdebu menangis sendirian dalam kesunyian. Semoga hangat CahayaNya segera kembali hangatkan tempat ini.
Mihrab yang gelap dan berdebu itu
tampak menangis sendirian dalam kesunyian. Saya tergugu. Sekali lagi saya harus
menyaksikan luka sejarah. Masjid-masjid yang tidak boleh lagi digunakan untuk
bersujud dan menderaskan namaNya.
Polisi yang berjaga nampak mulai
gelisah dan makin sering mondar-mandir di belakang saya yang masih saja terpaku
memegang tali pembatas dan menatap mihrab di depan sana. Saya tundukkan kepala
dalam-dalam dan sorongkan segala pinta ke pintu langit, “Ya Rabb, izinkan
tempat ini kembali hangat dengan CahayaMu.”
Suara Mr. Chang memecah kesunyian
mengajak saya dan Lambang ke bagian masjid yang lain, yakni tangga menuju
minaret. Saya tanya, “Di mana tempat yang dulunya digunakan untuk berwudhu?” Ia
menatap saya sejenak sebelum menjawab, “I have no idea,” jawabnya dengan muka
polos.
Minaret yang tetap kokoh berdiri itu
kini tidak boleh dinaiki lagi, karena telah lapuk dimakan usia. Saya
membayangkan pastilah dulunya minaret ini digunakan para muadzin untuk
mengumandangkan panggilan shalat lima waktu.
Dari plaza di depan minaret Mr. Chang
menunjuk kompleks pemakaman Islam yang ada di bagian kiri masjid. Nisan
berbentuk gundukan yang terbuat dari tanah merah terlihat memenuhi area itu.
Jumlahnya sekitar lima puluhan. Ada satu-dua yang dinaungi bangunan di atasnya.
Kalau orang Jawa menyebutnya cungkup.
Tidak jelas siapa yang dimakamkan di
sana, karena semua nisan tak bernama. Tidak ada keterangan apa pun di kompleks
pemakaman itu. Namun saya yakin, siapapun yang dikuburkan di sana pasti menangis
pilu menyaksikan masjid ini sekarang mangkrak, tidak boleh digunakan untuk
shalat dan dijaga ketat.
Mr. Chang mengajak kita segera
melanjutkan perjalan, karena harus kembali ke kota Urumqi siang ini. Sebelumnya
kita akan singgah dulu ke Karez Irrigation (kisah ini akan saya lanjutkan di Journey to Uighur-Xinjiang #6 KAREZ IRRIGATION BUKTI TINGGINYA PERADABAN ISLAM DI UIGHUR).
Hari ini hari Jumat. Saat sarapan
tadi saya sempat mendiskusikan dengan Lambang akan shalat Jumat di Masjid Grand
Bazaar di Urumqi. Perjalanan dari Turpan ke Urumqi memakan waktu sekitar 3 jam.
Cukup waktu untuk mengejar shalat Jumat di Urumqi.
Secara fikih, mazhab Syafi’i tidak
mewajibkan perempuan mengikuti salat Jumat, melainkan melaksanakan salat
Dzuhur. Di Jakarta, saya jarang mengikuti salat Jumat karena memang mayoritas
muslim Indonesia bermazhab Syafi’i sehingga tidak banyak masjid yang
menyediakan shaf salat Jumat untuk perempuan.
Namun, setiap kali ke luar negeri dan
bertepatan dengan hari Jumat, saya pasti akan ikut salat Jumat di masjid-masjid
setempat. Kali ini pun saya ingin merasakan shalat Jumat bersama muslim Uighur.
Sampai di tempat parkir Grand Bazaar
terlihat masjid besar di seberang jalan. Saya bertanya pada Mr. Chang, “Mengapa
masjid itu sepi? Bukankah hari ini hari Jumat? Tidak ada shalat Jumat di sana?”
Tanya saya.
“Sesuai peraturan pemerintah yang
baru, tidak diperbolehkan lagi untuk shalat,” jawabnya singkat.
Innalillahi wa innailaihi rojiun…
Tadinya saya berpikir masjid-masjid
besar yang ada di pusat kota masih dibuka untuk shalat Jumat atau shalat Ied.
Di Tuyoq Valley dan Turpan bisa jadi ditutup karena merupakan kota kecil. Tapi
di Urumqi, yang merupakan ibu kota provinsi, saya pikir masih ada masjid yang
difungsikan. Tentu saja dengan kontrol ketat dari pemerintah setempat.
Ternyata, shalat Jumat pun sudah
tidak lagi didirikan di sini. Saya bertanya dalam hati, apa yang sedang terjadi
di negeri ini? Kemana para mujahid yang harusnya membela agama Allah? Bila
shalat sebagai tiang agama tak ada lagi yang bisa menyangga, tak perlu menunggu
lama sampai bangunan negeri ini akan rubuh dengan sendirinya.
Sejarah adalah peristiwa yang
berulang. Apa yang terjadi hari ini pernah terjadi di masa sebelumnya, sebagai
ibrah bagi orang-orang yang berpikir. Prof. DR. Raghib As-Sirjani dalam bukunya
Bangkit dan Runtuhnya Andalusia menuliskan: Apa yang terjadi di Andalusia 600
tahun lalu adalah apa yang terjadi di Palestine hari ini.
Kalimat itu sekarang bertambah
menjadi: Apa yang terjadi di Andalusia 600 tahun lalu adalah apa yang terjadi
di Palestine hari ini. Dan bukan tidak mungkin akan terjadi di Uighur esok hari.
Allahumma ‘a-izzal islama wal
muslimina
Allahummanshur ikhwananal musliminal
mujahidina fi Uighur
Allahumma tsabbit imanahum wa
anzilis-sakinata ‘ala qulubihim wa wahhid shufufahum
Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum
Muslimin.
Ya Allah, tolonglah kaum Muslimin dan
Mujahidin di Uighur.
Ya Allah, teguhkanlah Iman mereka dan
turunkanlah ketenteraman di dalam hati mereka dan satukanlah barisan mereka.
Urumqi,4/1/2019
Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang |
FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar