Journey to Uighur-Xinjiang #3
Perjalanan Urumqi-Turpan melintasi Gurun Gobi.
Barisan pegunungan berselimut salju
itu kian jelas terlihat. Bukan berwarna hijau seperti yang sering saya lihat
dalam penerbangan di Indonesia. Tapi cokelat berlapis putih yang menyuguhkan
pemandangan dramatis seperti yang sering muncul di majalah National Geographic.
Sesekali terasa goncangan. Sepertinya
pesawat akan segera mendarat, karena terdengar pengumuman dari awak kabin dalam
bahasa China yang tidak saya mengerti. Orang-orang berdiri membuka kompartemen
yang membuat saya kembali terheran-heran. Mengapa penumpang pesawat ini suka
heboh sendiri? (Baca: Journey to Xinjiang #2 "YOUR BAGGAGE THROUGH URUMQI, MADAME" ). Pramugari berteriak-teriak mengingatkan mereka supaya kembali
duduk. Satu-dua ada yang berhasil mengambil coat yang disimpan di kompartemen.
"Pastilah di luar sana dingin sekali," batin saya.
Benar saja. Dalam bahasa Inggris awak
kabin menjelaskan kalau pesawat akan segera mendarat, dan suhu di luar sana -15
derajat! Saya dan Lambang saling pandang. Bukan apa-apa, karena bagasi tidak
bisa keluar di Dubai, maka semua perlengkapan musim dingin kita masih ada di
dalam koper. Lambang sudah memakai coat tebalnya. Sedang saya masih memakai
pakaian untuk ke padang pasir dan sekarang harus berjumpa salju.
Kejutan berikutnya, karena bandara
Urumqi ini tidak terlalu besar, penumpang tidak turun menggunakan garbarata
melainkan tangga pesawat dan naik bus ke terminal kedatangan. Wuuusss.... udara
dingin langsung menampar muka begitu keluar dari pesawat. Saya segera berlari
menuruni tangga dan masuk ke dalam feeder bus untuk menghalau dingin.
Ruang imigrasi Urumqi Int'l Airport
tidak seberapa luas. Langsung dipisahkan antrean untuk pemegang paspor China
dan warga negara asing. Hanya ada 4 orang perempuan yang mengantre di line
Foreigners. Dan saya satu-satunya yang mengenakan kerudung.
"Bismillah," batin saya. "Lihat, kayaknya seruangan ini cuma aku
yang berkerudung," kata saya ke Lambang yang hanya dijawab dengan senyum.
Antrean bergerak sangat lambat. Semua
paspor warga negara asing diperiksa dengan sangat teliti. Selama ini saya agak
khawatir kalau harus memeriksa sidik jari. Bukan apa-apa, sidik jari saya
sering tidak terbaca. Sewaktu ke London pun saya harus menunggu di ruangan
khusus di Heathrow International Airport untuk mengonfirmasi sidik jari. Di
King Abdulazis Int'l Airport kemarin juga sama.
Segera saya oleskan hand body ke
ujung-ujung jari. Karena sudah sering, jadi saya selalu mengantisipasi dengan
membawa hand body ukuran travelling di tas. Paling sulit kalau datang untuk
umrah dan sudah miqat (mengambil niat) di Yalamlam, karena sudah tidak bisa
memakai hand body yang berpewangi lagi.
Alhamdulillah, sidik jari saya tidak
bermasalah di sini. Saat ditanya mau ke mana? Dan saya jawab, "Urumqi,
Turpan..." petugas imigrasi menanyakan sesuatu dalam bahasa China yang
tidak saya mengerti. Sekali lagi saya ulangi perkataan saya lebih keras, yang
disambutnya, "Tu-lu-fan... oo, tu-lu-fan." Rupanya pelafalan nama
daerah di sini dalam bahasa Inggris dan China ada perbedaan. Nantinya saya juga
baru tahu kalau orang Xinjiang tidak menyebut kota Kashgar dengan nama Kashgar.
Hampir terakhir saya dan Lambang
keluar dari ruang imigrasi. Di samping conveyor belt tinggal tersisa beberapa
koper yang belum diambil pemiliknya. "I want to take my coat. Can I open
my lugage here?" Tanya saya pada petugas. Sepertinya dia tidak bisa
berbahasa Inggris. Lalu seorang perempuan tinggi semampai yang berpakaian
sangat ketat membantu menerjemahkannya dan memberikan jawaban kalau boleh
membuka koper di situ. Dia menjawab kalau bekerja di Dubai Int'l Airport saat
saya berterima kasih dan memujinya bisa berbahasa Inggris dengan baik.
Nyaris tak ada penumpang tersisa
selain saya dan Lambang, perempuan yang bekerja di Dubai dan seorang pria warga
negara Filipina. "Itu," kata Lambang sambil melambaikan tangan pada
seorang pemuda umur 30-an yang membawa kertas bertuliskan logo Khalifah Tour
dan nama kami. Untuk alasan keamanan saya akan menyebutnya Mr. Chang, nama
lokal guide yang akan menemani perjalanan ini. Ia seorang China Han yang telah
bekerja sebagai lokal guide selama 10 tahun.
"Kenapa kalian lama sekali
keluar dari imigrasi? Apa ada masalah di dalam?" Tanyanya ramah setelah
saya selesai mencuci muka, sikat gigi dan berganti kerudung di toilet.
"Tidak. Antreannya memang lama sekali di dalam," jawab saya.
Mr. Chang lalu meminta saya dan
Lambang menunggu di lobi. Ia akan memanaskan heater di mobilnya dulu, baru
menjemput kita. Menurutnya, di dalam mobil akan dingin sekali kalau heater
belum dinyalakan. Butuh waktu supaya ruang dalam mobil jadi hangat.
Pagi ini, dari bandara kita akan
langsung jalan darat menuju kota Turpan sejauh 150 km, yang akan ditempuh
selama 3,5 jam melewati jalan tol. Kita akan melintasi gurun Gobi yang menjadi rute
utama Jalur Sutra di masa lalu. Bedanya, jalan ini sekarang sudah beraspal
mulus. Gurun Gobi merupakan gurun terluas ketiga di Asia. Tak kurang luasnya
mencapai 1,3 juta km persegi, membentang dari Asia Tengah, China hingga
Mongolia bagian selatan.
Jalanan masih sepi. Di musim dingin
seperti ini Subuh di kota Urumqi dan Turpan sekitar pukul 7.00, dan matahari
baru akan bersinar terang menjelang pukul 10.00 pagi. Sesekali mobil kita
berpapasan dengan truk-truk besar pengangkut segala rupa. Geliat pertumbuhan
ekonomi di China terasa sampai ke pelosok desa-desa. Kalau dulu rute ini ramai
dengan caravan unta milik para kabilah yang membawa dagangan menuju Grand
Bazaar, Istanbul, kini aneka truk dan kontainer sarat muatan yang membawa aneka
rupa barang-barang produksi China ke seluruh dunia.
Di sepanjang rute Jalur Sutra yang
sudah pernah saya singgahi dari Samarkand, Bukhara, di Uzbekistan, Istanbul di
Turki, hingga Fes di Maroko, selalu ada jejak bangunan peninggalan sejarah
berupa caravansarai, yakni tempat singgah para kabilah dagang (baca buku ke-3
Serial Jelajah Tiga Daulah: Journey to Samarkand, -segera hadir). Namun di
sepanjang jalur Gurun Gobi ini saya tak melihatnya. Mr. Chang pun tidak
mengetahui apa itu caravansarai dan apakah masih ada yang tersisa hingga ini.
Seketika saya merasa sedih.
Caravansarai tidak sekadar bangunan peninggalan sejarah, melainkan bagian dari
peradaban Islam. Bagaimana perdagangan lintas benua terjamin keamanan dan
pasokan barangnya melalui fasilitas caravansarai yang dijamin oleh
daulah-daulah yang memimpin negeri itu.
Di sini, mungkin segala hal yang
berbau Islam harus dieliminir dalam upaya menghapus ingatan kolektif warga
setempat atas tradisi, budaya dan agamanya. Yang terlihat sepanjang seratusan
kilometer adalah pasir gurun berwarna cokelat yang berselimut salju di
sana-sini. Mata saya menjadi berat, lalu terlelap.
Saya terbangun karena hempasan udara
dingin dari kaca mobil yang dibuka. "Ada apa?" Tanya saya.
"Check poin," jawab Mr. Chang singkat. Di depan terlihat semacam
deretan gerbang pintu tol yang dijaga aparat bersenjata lengkap. Setiap mobil
harus berhenti dan membuka jendela untuk diperiksa. Mr. Chang menjawab
pertanyaan polisi dengan singkat, lalu mobil terus melaju. Dia tertawa sambil
berkata, "Sepertinya polisi mengira kita semua warga lokal," seraya
menambahkan kalau muka Lambang terlihat seperti orang China, karena matanya
sipit.
"Keberuntungan" muka China
Lambang ini berlanjut di dua check poin berikutnya. Di check poin keempat,
polisi meminta kita turun dan memeriksa paspor. Beberapa pertanyaan standar
diajukan yang dijawab Mr. Chang dalam bahasa China yang saya tidak mengerti. Lalu
kita berdua bergantian difoto menggunakan handphone dan diminta nomer telepon
yang digunakan.
Saya tersenyum karena ingat pesan
seorang rekan wartawan yang pernah meliput ke Xinjiang sebelum berangkat,
"Pokoknya loe diem aja Mbak. Diem aja. Sejak di pesawat. Semua awak kabin
itu intel. Orang yang duduk di sebelah loe, bisa jadi intel juga. Lokal guide
loe di sana, intel juga. Pokoknya loe diem aja." Waktu itu saya tertawa,
"Dari tadi ngomongnya, loe diem aja melulu, jadi gw gak ngapa-ngapain dan
gak kemana-mana dong. Kan, diem aja," balas saya bercanda.
Rupanya saran itu memang yang harus
dilakukan. Selama pemeriksaan sebaiknya diam saja, kecuali menjawab
sesingkatnya kalau ditanya. Tidak perlu beramah-tamah ala orang Indonesia.
Karena polisi dan tentara yang berjaga semua memasang muka tegang laiknya
seorang kamerad dari Korea Utara yang sering muncul di drama Korea.
Sebelum berangkat, saya sudah membaca
dan mendapat informasi tentang banyaknya check poin di Xinjiang yang
diberlakukan semenjak tragedi Xinjiang di 2014. Di semua tempat, polisi akan
memeriksa, utamanya warga Uighur dan orang asing. Tak hanya identitas yang akan
dicek, namun juga barang bawaan. Tak jarang mereka meminta membuka tas seperti
di bandara. Beruntung, saya dan Lambang tidak pernah sampai diminta membongkar
koper untuk diperiksa. Karena, pastilah akan merepotkan sekali. Apalagi saya
membawa sajadah dan mukena travelling berwarna putih, yang secara tegas
kerudung berwarna putih dilarang di sini.
Sepanjang Urumqi sampai Turpan ada 5
check poin yang kita lewati. Ada 3 check poin yang lolos begitu saja karena
"muka China" Lambang, sedang 2 lainnya kita harus turun dan
diperiksa. Pemeriksaan di check poin seperti ini sudah pernah saya alami
sebelumnya saat ke Palestine tahun 2012 lalu. Bedanya, kalau di Palestine jelas
siapa kawan dan lawan, sehingga kalau terjadi sesuatu tahu harus kemana, sedang
di sini tidak. Semua terlihat sama.
Berkali-kali Mr. Chang mewanti-wanti,
tidak boleh memotret check poin dan polisi atau tentara yang bertugas. Saya
juga tidak ingin memotret check poin, secara kamera CCTV ada di mana-mana. Tapi
kalau polisi atau tentara, satu-dua sih, dapatlah.
Setelah check poin terakhir,
sampailah kita di pusat kota Turpan, "Guys, are you hungry?" Tanya
Mr. Chang ramah, yang ternyata sudah menghentikan mobilnya di depan sebuah
restoran terkenal bernama Harembag. Pemiliknya adalah seorang Uighur yang
sukses. Restoran ini ada di beberapa kota, bahkan punya cabang di Amerika.
Semua papan petunjuk jalan, nama toko, pengumuman apapun, bahkan daftar menu, ditulis dalam aksara Arab, China dan beberapa ada yang ditambah bahasa Inggris.
Turun dari mobil saya edarkan
pandangan ke sekeliling. Semua papan petunjuk jalan, nama toko, pengumuman
apapun, bahkan daftar menu, ditulis dalam aksara Arab, China dan beberapa ada
yang ditambah bahasa Inggris. Ironisnya, mereka tidak tahu kalau itu adalah
aksara Arab. "No, this is not Arabic. This is Uighur's language,"
jawab Mr. Chang. Mereka tidak tahu kalau yang disebut aksara Uighur itu adalah
aksara Arab berbahasa Uighur. Seperti kalau di Indonesia kita mengenal istilah
Arab Pegon atau Arab Melayu, bahasa Melayu atau bahasa Jawa yang ditulis dalam
aksara Arab.
Mencabut akar suatu bangsa selalu
diawali dari budayanya. Karena, bisa jadi agama terlalu sulit. Seperti
keprihatinan yang disuarakan Buya Hamka sekian puluh tahun lalu saat anak-anak
sekolah tak lagi diajarkan Arab Melayu atau Arab Pegon. Terbukti, belasan tahun
kemudian angka buta aksara Alquran melonjak drastis. Di Xinjiang, mereka tidak
tahu kalau aksara yang digunakan adalah aksara yang sama untuk menuliskan kalam
Allah. Sehingga hampir bisa dipastikan, mereka pun telah berhasil dijauhkan
dari Alquran. Innalillahi wa innailaihi rojiun.
Turpan, 3/1/2019
Uttiek
Follow me on
IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar