Journey to Uighur-Xinjiang #6
Dalam bahasa Uighur, masyarakat setempat menyebut sistem irigasi ini Miyim Haji Karez atau Karez Irrigation dalam bahasa Inggris.
Islam lekat dengan ilmu pengetahuan.
Tak terkecuali teknologi. Banyak penemuan terkait fisika, fisika mekanik yang
sekarang disebut robotik, teknik sipil, arsitektur yang bersumber dari
peradaban Islam.
Salah satunya adalah teknologi
membendung aliran air dan membuat kincir air sebagai sumber energi. Pada masa
Daulah Abbasiyah, pembangunan bendungan yang sekaligus dimanfaatkan sebagai
kincir air telah mengadaptasi teknologi teknik sipil yang tinggi.
Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill
dalam bukunya Islamic Technology: an Ilusstrated History mengungkapkan, tahun
370 H/960 M, Buwayyah Amir Adud Al-Daulah telah berhasil membuat proyek
hidrolik raksasa di Sungai Kur, Iran.
Di Cordoba, Andalusia, yang sekarang
masuk wilayah Spanyol, jejak sejarahnya masih saya saksikan di Sungai
Guadalquivir saat mengunjunginya tahun 2014. Adalah Al-Idrisi, geografer Muslim
abad ke-12 yang menjadi saksi sejarah. Dalam catatannya, bendungan ini dibangun
dengan batu-batu yang didatangkan dari Mesir.
Membendung aliran air dan
memanfaatkannya sebagai sistem irigasi maupun sumber energi memberi dampak yang
sangat signifikan bagi suatu negeri. Pertanian akan mendapat pasokan air cukup,
sumber energi bisa dimanfaatkan untuk penggilingan gandum, sekaligus
bendungannya bisa mengendalikan banjir.
Tak hanya di kota-kota pusat
peradaban Islam seperti Baghdad, Cordoba atau Samarkand yang menguasai
teknologi ini. Di wilayah yang kini bernama Turpan, Xinjiang, pun muslim Uighur
telah berhasil membangun sistem irigasi sejak tahun 1700.
Dalam bahasa Uighur, masyarakat
setempat menyebut sistem irigasi ini Miyim Haji Karez atau Karez Irrigation
dalam bahasa Inggris. Teknologi yang digunakan sangat rumit dan cerdas. Caranya
dengan mengalirkan salju abadi yang mencair dari Gunung Tianshan sejauh 5.000
km (3.106 mil).
Ada teknologi sumur vertikal, kanal
bawah tanah, kanal di atas tanah, dan reservoir yang harus dilewati untuk
mengalirkan air sampai ke kota Turpan. Jangan bayangkan kondisi geografis kota
ini seperti Indonesia dimana air bisa didapat dengan mudah dan berlimpah.
Turpan berada di tengah Gurun Gobi.
Wilayah dengan kondisi cuaca paling ekstrem di China. Suhu di musim panas
mencapai 50° C, sedang di musim dingin sampai (minus) -25°C! Karenanya, jaminan
ketersediaan air sepanjang tahun menjadi vital.
Mengapa mencari sumber air menjadi
perhatian penting dalam peradaban Islam? Karena ada kebutuhan untuk berwudhu
dan bersuci setiap hari. Tak heran kalau teknologi yang mendukung upaya
pencarian sumber air berkembang pesat.
Siang ini, saya menyaksikan jejak
sejarah tingginya peradaban yang dimiliki muslim Uighur di sebuah kota kecil
nun di tengah Gurun Gobi. Di pintu gerbang terlihat beberapa petugas keamanan
berjaga. Pengunjung harus melewati penindai orang dan barang seperti yang ada
di bandara, serta pemeriksaan passport untuk turis asing.
Dari pintu gerbang kita akan melewati
ramp menurun yang terbuat dari bata-bata besar. Setelahnya ada taman yang luas
dan patung perempuan Uighur di tepinya. Semula saya sangka patung Dewi dari
mitologi Yunani, karena mengenakan gaun panjang dan penutup kepala. Ternyata
itu adalah pakaian tradisional perempuan Uighur.
Di salah satu dindingnya dilukis
keluarga Uighur yang sedang berkumpul. Ada yang menabuh rebana dan memainkan
oud (gitar yang sering digunakan dalam musik gambus). Tak jauh dari lukisan itu
ada patung-patung yang menggambarkan para pekerja saat membangun Karez
Irrigation. Menariknya, patung itu digambarkan memakai kopeah khas Uighur,
laki-lakinya berjenggot, berbadan besar dan berhidung mancung. Pastilah bukan
penggambaran tipikal ras mongoloid yang bermata sipit dan bertubuh kecil.
Diorama pekerja saat membangun Karez Irrigation. Penggambaran patung-patung ini memakai kopeah khas Uighur, laki-lakinya berjenggot, berbadan besar dan berhidung mancung.
Dari taman kita masuk ke lorong bawah
tanah yang gelap dan lembap. Di musim dingin seperti ini berada di dalam lorong
rasanya lebih nyaman karena hangat. Ada beberapa percabangan di dalam lorong
itu.
“This way,” seru Mr. Chang sambil
menyibak terpal yang menutup percabangan. Di depan terlihat lantai kaca di atas
air yang mengalir. Karena gelap, cahaya yang dipantulkan dari lampu penerang
jadi berwarna kebiruan.
“You can try the water,” tawar Mr.
Chang meminta saya mencoba air yang mengalir di bawah lantai kaca yang kita
injak. Ada celah kecil untuk mengambil air itu.
Sejenak saya ragu. Saya tatap Lambang
yang langsung mengangguk.
“Bersih enggak ya?” Tanya saya masih
ragu.
“Bersih. Airnya kan mengalir,”
lanjutnya.
Saya ambil sedikit menggunakan
genggaman tangan lalu menghirupnya. Segar. Rasanya jauh lebih segar ketimbang
air mineral dalam kemasan. Tapi, tidak ada jejak rasa manis seperti air
pegunungan di Indonesia. “Mungkin karena sumber airnya dari salju abadi,” batin
saya.
Karez Irrigation masih berfungsi
hingga saat ini. Menjadi sumber pengairan utama untuk perkebunan anggur, melon,
kapas, dan komoditas pertanian lainnya yang menjadi sumber pendapat kota
Turpan.
Di tangga menuju pintu keluar, saya
melihat aksara Arab yang ditulis di tembok batu. Saya hanya bisa membaca kata
awalnya Karez, di belakangnya tidak bisa mengerti, karena menggunakan bahasa
Uighur.
Saya tersenyum getir, alangkah
ironisnya, saat ini muslim Uighur yang merupakan mayoritas penduduk Turpan
(75%) terus mendapat tekanan untuk meninggalkan agama dan dicabut dari akar
budayanya. Padahal sejarah membuktikan, kehidupan di kota ini masih terus
berdenyut, salah satunya karena sumbangan peradaban Islam. Apa jadinya kota di
tengah gurun ini bila tak memiliki pasokan air dari Karez Irrigation?
Turpan, 4/1/2019
Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang |
FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar