Journey to
Uighur-Xinjiang #10
Setiap melakukan
perjalanan ke negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim, saya sangat
bersyukur sebagai orang Indonesia. Kata “I’m from Indonesia,” akan bersambut
pelukan hangat dan ucapan selamat datang sepenuh hati.
Di Palestine tahun
2012, Fatima, seorang petugas di Masjidil Aqsa memeluk saya erat dan
mengatakan, “Kabarkan pada saudaramu untuk datang kemari. Mereka hanya memusuhi
kami. Masjid ini aman. Masjidil Aqsa aman karena Allah yang menjaganya,”
katanya tegas tanpa melepaskan pelukannya.
Di Bukhara,
Uzbekistan, saya dan Lambang diajak foto bersama ala artis yang sedang jumpa
penggemar. Di Old Madina, Fes, Maroko, saya mendapat barang dengan harga lebih
murah disertai ucapan, “Because you’re my sister from Indonesia.”
Kabar kebaikan hati
dan kedermawanan orang Indonesia untuk saudara-saudara muslimnya di dunia telah
menyebar ke pelosok-pelosok negeri.
Tapi, ada yang berbeda
dalam perjalanan saya kali ini. Jawaban, “I’m from Indonesia,” bersambut dengan
tatapan mata yang sulit saya artikan. Tidak ada pelukan hangat dan ucapan
selamat datang ke negerinya, seperti yang biasa saya terima.
Sebegitu parahkan
perang psikologi yang dikondisikan sehingga membuat mereka betul-betul tercekam
ketakutan. Ataukah larangan berbicara dengan orang asing membuat mereka memilih
menahan diri?
Di Sunday Market,
sewaktu memotret, seorang perempuan penjual buah berkali-kali mencuri pandang
dan menatap saya. Saat saya dekati dan minta izin memotretnya, tiba-tiba ia
berkata pelan, “Indonesia?” yang saya jawab dengan anggukan kepala.
Hanya itu sepenggal
kalimat yang membuat saya tertegun. “Apa yang engkau harapakan dari kami,
saudaraku?” bisik saya dalam hati. Apakah engkau sudah terlalu lama menunggu
uluran tangan kami?
Prof. DR. Raghib
As-Sirjani dalam bukunya “Palestina Kewajiban yang Terlupakan” menuliskan
secara rinci apa kewajiban kita pada Palestina. Semua muslim di seluruh dunia
bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada tanah waqaf Palestine.
Saya merenung.
Kewajiban yang sama harusnya juga berlaku untuk saudara-saudara muslim di
seluruh dunia yang kini tengah dirundung duka. Di Uighur, mereka tidak
membutuhkan bantuan dana, karena sistem komunis membuat semua penduduk mendapat
jaminan kebutuhan sandang pangan sama rata.
Namun, kebutuhan dasar
manusia untuk beragama dan dimanusiakan itu yang direnggut paksa. Haruskah kita
diam saja?
Suarakan penderitaan
mereka dengan suara lantang maupun doa dalam diam. Kuatkan hati mereka untuk
menggenggam erat kalimat Tauhid di hatinya. Dengan segala risiko yang harus
diterima.
Saya teringat
perjalanan ke Uzbekistan akhir tahun 2017 lalu. Saya bertemu dengan beberapa
imam muda. Melihat usianya yang masih di bawah saya dan Lambang, saya
membayangkan para imam ini harus menyembunyikan agamanya di era Uni Soviet
menguasai negerinya. Hafalan surat-surat yang dikuasainya, pastilah tidak
terjadi dalam semalam.
Sepanjang pendudukan
Uni Soviet, secara diam-diam, mereka dan keluarganya tetap mempertahankan
Tauhid, mendaras bacaan Al-Qur’an dalam kesunyian. Setelah rezim komunis
berlalu, mereka melanjutkan pendidikan ke negeri yang menjadi sumber-sumber
Cahaya hidayah, menyerap ilmu, dan kini bisa membagikannya pada umat di
sekitarnya. (baca Buku Journey to Samarkand –segera hadir).
Sungguh-sungguh saya
deraskan doa, supaya mereka diberi kesabaran, hingga tiba waktunya. Hangat
CahayaNya kembali menghangatkan negeri ini. Dan musim dingin bisa segera
berganti.
Hari ini saya harus
melangkahkan kaki meninggalkan negeri ini. Berat rasanya. Pagi ini menggunakan
China Southern Airlines saya akan terbang dari Urimqi transit di Guangzhou,
lalu dari Ghuangzhou ke Jakarta.
Setiba di Urumqi dari
Kashgar semalam, saya kembali berjumpa dengan Mr. Chang. Saya katakan padanya,
besok berangkat lebih pagi tidak apa-apa, karena pemeriksaan saya di bandara
pasti lebih lama. Saya tidak mau terburu-buru.
Tepat pukul 7.30, yang
di sana berarti sebelum Subuh, Mr. Chang sudah menjemput saya dan Lambang di
lobby hotel. “Kita gantian shalat Subuh di mobil,” pesan saya pada Lambang yang
duduk di kursi depan.
Menembus pekatnya pagi
di musim dingin, saya bertakbir. Ada satu pinta yang saya panjatkan usai salam,
“Izinkan saya menyaksikan orang menegakkan shalat di negeri ini, sekali saja ya
Rabb.”
Saya yakin di
kegelapan sana ada orang-orang yang saat ini sedang terbangun, bermunajad,
membenamkan sujudnya dalam-dalam.
Di check-in desk, saya
minta Mr Chang memastikan ada dua boarding pass yang kita terima.
Urumqi-Guangzhou dan Guangzhou-Jakarta. Serta bagasi kita langsung ke Jakarta.
Karena waktu transit di Guangzhou yang sempit, semua harus beres di sini.
Sekali lagi boarding
pass Lambang bermasalah. Nama tengahnya tidak muncul. Tapi karena ada Mr.
Chang, jadi bisa diselesaikan dalam 5 menit. Kita diminta menuju salah satu
konter, lalu nama tengah Lambang dituliskan menggunakan bolpen dan distempel.
Beres!
Padahal kemarin di
Kashi Airport, saat mengalami masalah serupa kita kalang kabut bukan main.
Karena tidak ada yang bisa menjelaskan masalahnya dan apa yang harus dilakuan
dalam bahasa Inggris (baca Journey to Uighur-Xinjiang #9 NEGERI TANPA SENYUM).
Di mesin pemindai,
karena tidak bersedia melepas kerudung, seperti biasa saya harus masuk ke ruang
pemindai khusus. Tapi karena sudah beberapa kali, jadi saya sudah santai.
Apalagi cukup waktu, sehingga tidak terburu-buru.
Saya berjalan pelan
dengan Lambang menuju boarding gate. Sempat mampir di salah satu toko buku
untuk membeli tempelan kulkas berbentuk peta Xinjiang. Bukan tak mungkin, peta
ini kalau diikutkan 10 Year Challenge akan berubah 10 tahun lagi.
“Aku ke toilet terus
ambil minum. Kamu mau?” Tawar saya ke Lambang yang dijawab dengan anggukan
kepala.
Kebiasaan penduduk
setempat di musim dingin seperti sekarang ini kemanapun pergi akan membawa
termos kecil. Di bandara dan tempat-tempat umum lainnya banyak tersedia
dispenser air panas gratis.
Mengapa air panas?
Karena temperatur yang selalu di bawah 0 derajat di musim dingin membuat air
dalam kemasan cepat sekali membeku. Saya pernah meninggalkan botol air mineral
di mobil, sewaktu mau diminum bagian bawahnya sudah membeku.
Deg! Rasnya jantung
saya seperti berhenti berdetak. Saya tersentak.
Di belakang mesin
dispenser saya lihat seorang pria berwajah Timur Tengah, mengenakan hem biru
dan syal kotak-kotak serupa kafayeh yang juga berwarna biru dililit ke
lehernya, tampak menggelar sajadah untuk shalat Subuh.
Sudut mata saya terasa
hangat. Hati saya gerimis. Allah langsung mengabulkan doa yang saya pinta usai
shalat Subuh di dalam mobil dalam perjalanan ke bandara tadi.
Akhirnya, saya
menyaksikan orang menegakkan shalat di negeri ini. Allahu akbar!
Sambil menyerahkan cup
kertas berisi air panas ke Lambang, saya bisikkan pelan, “Pelan-pelan nolehnya.
Arah jam 6 kamu ada orang lagi shalat. Jangan bikin gerakan ngagetin. Noleh
pelan saja.”
Penerbangan
Urumqi-Guangzhou ditempuh dalam waktu 5 jam. Hampir sama dengan waktu tempuh
Guangzhou-Jakarta. Menu muslim food yang kita request oline sejak dari Jakarta
dihidangkan awak kabin, “Are you request muslim food?” tanyanya, yang saya
jawab dengan anggukan kepala. Begitu dibuka, isinya ubi rebus, yang membuat
saya dan Lambang tersenyum.
Dalam semua
penerbangan ke luar negeri, kalau tidak menggunakan Garuda Indonesia atau
maskapai Timur Tengah seperti Emirates dan Qatar Airways, kita selalu request
muslim food secara online begitu dapat kode bookingnya. Namun, penerbangan kali
ini yang paling kocak karena dapatnya ubi rebus!
Menjelang landing di
Guangzhou, saya ke toilet. Tak sengaja saya antre di belakang pria yang tadi
shalat Subuh di bandara. “Assalamualaykum, Brother,” sapa saya. Yang dijawab
dengan senyum ramah, “Wa’alaykum salam.”
“Where do you come
from?” Tanya saya.
“Kuwait. And you?”
“Indonesia,” jawab
saya.
“Aah, Indonesia.
Beautiful country. Ahlan.”
Sekalipun bukan muslim
Uighur yang menyambut, di atas ketiggian 35.000 kaki, akhirnya ada yang
mengucapkan selamat datang. Saya ceritakan obrolan singkat itu ke Lambang yang
dijawab dengan senyuman.
Dari jendela pesawat
yang terlihat hanya awan putih. Entah berada di mana saat ini. Saya renungi
perjalanan ini. Betapa banyak hikmah berserak yang bisa dipunguti.
Nikmat shalat tanpa
tekanan dan rasa takut yang tak akan saya rasakan kalau tidak mengalaminya di
negeri ini. Betapa iman yang sudah tertanam di hati harus digenggam erat.
Jangan pernah terlepas sekalipun. Hangat Cahaya hidayah menyusup ke relung
hati. Mata saya basah. Hati saya apalagi!
Saya bulatkan tekad,
“Akan aku kabarkan keadaanmu saudara-saudaraku. Akan aku tuliskan kisahmu. Akan
aku bagikan pada siapa saja yang mau membacanya. Akan aku sorongkan doa-doa
terbaik ke pintu langit supaya pertolongan Allah segera datang ke negerimu.”
Seluruh hatiku
bersamamu, saudaraku!
Jakarta, 8/1/2019
Uttiek
Follow me on IG
@uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut