Minggu, 03 Februari 2019

PERANG OPINI KALAHKAN KETAKUTAN DI GRAND BAZAAR URUMQI


Journey to Uighur-Xijiang #7



Masjid di Grand Bazaar-Urumqi yang sudah tidak boleh digunakan untuk shalat Jumat lagi.


Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Seuntai doa yang sangat indah. Semoga keselamatan, rahmat Allah, serta keberkahan-Nya terlimpah kepada kalian.


Bila doa yang indah itu kini menjadi sumber ketakutan saat mengucapkannya, maka saat itulah pendulum sejarah akan berputar arah.


Setelah gagal melaksanakan shalat Jumat di masjid di Grand Bazaar Urumqi, karena masjidnya tidak boleh digunakan untuk shalat lagi (baca Journey to Uighur-Xinjiang #5 EMIN MINARET DAN SHALAT JUMAT YANG HILANG). Sementara shalat Jumat tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan harus berjamaah di masjid.


“Jadi bagaimana? Kita shalat di mana?” Tanya saya pada Lambang
Lambang tidak langsung menjawab. Kita sedang berada di area publik. Tepatnya, di International Grand Bazaar Urumqi. Di tengah pasar. Tidak mudah menemukan tempat yang bisa digunakan untuk shalat.
“Nanti pas kita makan di restoran saja. Kita coba di situ,” jawabnya.


Minaret yang menjadi landmark Grand Bazaar Urumqi. Desainnya menyerupai Kalyan Minaret di Bukhara, Uzbekistan.


International Grand Bazaar Urumqi merupakan pasar seluas 4.000 m². Salah satu landmarknya adalah minaret setinggi 80 meter. Bentuknya dibuat menyerupai Kalyan Minaret di Bukhara, Uzbekistan. Namun, latar belakang sejarahnya tentu saja tidak bisa menyamai keagungan Kalyan Minaret yang membuat Jangis Khan menahbiskan rasa hormat dan takzimnya (baca Buku Serial Jelajah Tiga Daulah: Journey to Samarkand -segera hadir).


Pasar ini juga dilengkapi dengan panggung terbuka untuk menggelar beragam pertunjukan. Berderet-deret restoran dan food court siap menghidangkan aneka masakan lezat khas Uighur yang dijamin halal.


Masjid yang ada di Grand Bazaar sejatinya menjadi bagian penting dari pasar. Namun, seperti yang saya saksikan tadi, masjid ini telah ditutup. Tidak boleh dipergunakan untuk shalat lagi.



Aneka barang yang tersedia di Grand Bazaar-Urumqi. Dari kebutuhan sehari-hari, hingga aneka kerajinan khas Uighur.


International Grand Bazaar menyediakan aneka rupa barang. Dari kebutuhan sehari-hari, hingga aneka kerajinan khas Uighur, seperti alat musik tradisional rebana dan oud (gitar yang biasa digunakan untuk bermain musik gambus), topi khas Uighur yang disebut dopa, dan beragam souvenir.


Salah satu komoditi laris dari daerah ini adalah buah yang dikeringkan. Lapak-lapak penjual aneka buah kering terlihat berderet dari pintu depan. Kismis dari berbagai jenis anggur, plum, aprikot, kurma, teh dari bunga kering, dan sebagainya.


Sebagai penggemar teh, saya membeli beberapa jenis teh dari aneka bunga yang dikeringkan. Aromanya wangi. Sedap betul. Rasanya, teh seperti ini tidak ada di Indonesia.


Sebagai salah satu destinasi turis, harga yang ditawarkan berlipat. Kismis yang dijual Akima di Tuyoq Valley sekilo hanya 30 CNY (setara Rp60.000) (baca Journey to Uighur-Xinjiang #4 “AKIMA, APAKAH ENGKAU MERINDUKAN SUARA ADZAN?”), di pasar ini ditawarkan mulai 75 CNY.


Tentu saja semua barang bisa ditawar. Jangan khawatir terkendala bahasa, karena mereka menyediakan kalkulator yang bisa digunakan untuk tawar menawar.


Saya berhasil menawar satu kilo kurma kering dari harga 180 CNY menjadi 80 CNY (setara Rp160.000). “You are good at bidding,” puji Mr. Chang senang melihat kemampuan menawar saya. Cara makan kurma kering ini dipotong-potong tipis. Jadi semacam sale pisang kalau di sini. Rasanya enak sekali.


Setelah lelah berputar kesana- kemari mengelilingi pasar, Mr. Chang mengajak kita makan. Saya langsung memberi kode ke Lambang untuk bergantian shalat nanti.


Ini adalah kali pertama saya dan Lambang harus shalat di tempat umum. Sebelumnya kita selalu bisa mengatur waktunya untuk shalat di hotel atau di mobil.


Mr. Chang tidak pernah secara eksplisit mengatakan kita tidak boleh shalat. Seperti halnya secara tegas ia mengulang-ulang larangan untuk memotret check poin, polisi dan tentara yang sedang bertugas.


Pun saya yakin dia juga tahu saya dan Lambang beberapa kali bergantian shalat di dalam mobil. Hanya, kita sama-sama tidak ingin saling “menyulitkan”. Dia tutup mata saat kami melakukannya. Saya juga tidak ingin membuatnya mendapat kesulitan karena shalat di tempat umum.


Saya mengajaknya ngobrol ngalor-ngidul saat Lambang shalat. Sehingga perhatiannya teralihkan. Usai Lambang shalat, saya mau ke toilet dulu. Rupanya toilet tidak berada di dalam restoran. Ada toilet umum di dekat deretan restoran itu.


Di depan toilet ada pelataran yang tertutup tembok yang tidak terlalu tinggi. Tadi sewaktu saya datang ada beberapa orang berdiri merokok di situ. Semacam tempat untuk merokok sepertinya.


“Wah, saya bisa shalat di sini,” batin saya sambil masuk toilet.
Keluar dari toilet, orang-orang yang tadi merokok sudah tidak ada. Segera saya menyempil di salah satu pilar dan mengangkat takbir. Tiba-tiba ada tiga orang polisi berpatroli di depan tembok rendah itu.


Merasa tidak tenang, saya membatalkan shalat dan bergeser ke pilar berikutnya yang lebih tersembunyi. Baru dapat setengah rekaat, tiba-tiba saya dikejutkan dengan suara, “What are you doing?”


Rupanya Mr. Chang menyusul ke toilet. Mungkin ia menyangka saya kebingungan arah untuk kembali ke restoran. Akhirnya saya batalkan shalat dan mengikutinya kembali ke restoran.


Dengan isyarat, saya minta Lambang mengajaknya bicara dan menonton video-video yang kita buat selama saya gantian shalat.


Allahu akbar…


Selesai salam, saya tundukkan kepala dalam-dalam. Saya deraskan istighfar sebanyak-banyaknya. Betapa selama ini kita tidak menyadari nikmatnya bisa melaksanakan shalat tanpa tekanan dan rasa takut sama sekali.


Masjid-masjid di Indonesia banyak yang sepi jamaah. Sementara di belahan dunia lain, orang harus sembunyi-sembunyi untuk membenamkan sujudnya.


Bahkan di negeri ini, orang sudah takut untuk menjawab salam. Padahal itu adalah doa keselamatan dan keberkahan (baca Journey to Uighur-Xinjiang #4 “AKIMA, APAKAH ENGKAU MERINDUKAN SUARA ADZAN?”).


Begitupun saat beberapa kali saya menyebut nama Allah dengan suara agak keras. Seperti, sewaktu tersandung spontan berucap, “Innalillah.” Orang-orang di sekeliling langsung menatap saya dengan pandangan yang membuat saya bertanya dalam hati, “Saya salah apa?”


Beberapa kali saya menuliskan, apa yang terjadi di tanah Uighur ini serupa dengan yang terjadi di Palestine. Ketakutan coba diciptakan melalui perang opini. Hal yang seharusnya tak masalah, menjadi salah akibat ketakutan yang diciptakan.


Bedanya, perang opini tidak berhasil dilakukan pada para mujahid di Palestine, seperti yang saya saksikan di sana tahun 2012. Di negeri ini, entah apa yang terjadi, tapi rasa mencekam itu coba dihembus-hembuskan dengan berbagai cara. Dan tragisnya, sepertinya berhasil.


Dalam setiap perjalanan, tak ada yang lebih saya inginkan selain shalat di sebanyak mungkin di masjid Allah yang ada di setiap jengkal bumiNya.


Ingatan saya melayang, terlihat masjid-masjid yang pernah saya singgahi, dari Masjidil Haram di Mekkah; Masjid Nabawi di Madinah; Masjidil Al-Aqsa di Palestina; Masjid Al-Azhar di Kairo; Blue Mosque di Istanbul; Selimiye Camii di Edirne; Mezquita di Cordoba; Masjid Hassan di Maroko; Masjid Al-Qarawiyyin di Fes; hingga Masjid Bolo Haouz dan Masjid Imam Bukhari di Uzbekistan.


Sore ini, di tengah riuhnya Grand Bazaar Urumqi, saya selipkan doa di dalam hati. Semoga suatu hari nanti saya dan muslim Uighur di negeri ini bisa shalat di Masjid Grand Bazaar Urumqi tanpa rasa khawatir sama sekali.


Biidznillah…



Urumqi, 4/1/2019


Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar