Journey to
Uighur-Xijiang #7
Masjid di Grand Bazaar-Urumqi yang sudah tidak boleh digunakan untuk shalat Jumat lagi.
Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh. Seuntai doa yang sangat indah. Semoga keselamatan, rahmat Allah,
serta keberkahan-Nya terlimpah kepada kalian.
Bila doa yang indah
itu kini menjadi sumber ketakutan saat mengucapkannya, maka saat itulah
pendulum sejarah akan berputar arah.
Setelah gagal
melaksanakan shalat Jumat di masjid di Grand Bazaar Urumqi, karena masjidnya
tidak boleh digunakan untuk shalat lagi (baca Journey to Uighur-Xinjiang #5 EMIN MINARET DAN SHALAT JUMAT YANG HILANG). Sementara shalat Jumat tidak bisa
dilakukan sendiri, melainkan harus berjamaah di masjid.
“Jadi bagaimana? Kita
shalat di mana?” Tanya saya pada Lambang
Lambang tidak langsung
menjawab. Kita sedang berada di area publik. Tepatnya, di International Grand
Bazaar Urumqi. Di tengah pasar. Tidak mudah menemukan tempat yang bisa
digunakan untuk shalat.
“Nanti pas kita makan
di restoran saja. Kita coba di situ,” jawabnya.
International Grand
Bazaar Urumqi merupakan pasar seluas 4.000 m². Salah satu landmarknya adalah
minaret setinggi 80 meter. Bentuknya dibuat menyerupai Kalyan Minaret di
Bukhara, Uzbekistan. Namun, latar belakang sejarahnya tentu saja tidak bisa
menyamai keagungan Kalyan Minaret yang membuat Jangis Khan menahbiskan rasa
hormat dan takzimnya (baca Buku Serial Jelajah Tiga Daulah: Journey to
Samarkand -segera hadir).
Pasar ini juga
dilengkapi dengan panggung terbuka untuk menggelar beragam pertunjukan.
Berderet-deret restoran dan food court siap menghidangkan aneka masakan lezat
khas Uighur yang dijamin halal.
Masjid yang ada di
Grand Bazaar sejatinya menjadi bagian penting dari pasar. Namun, seperti yang
saya saksikan tadi, masjid ini telah ditutup. Tidak boleh dipergunakan untuk
shalat lagi.
International Grand
Bazaar menyediakan aneka rupa barang. Dari kebutuhan sehari-hari, hingga aneka
kerajinan khas Uighur, seperti alat musik tradisional rebana dan oud (gitar
yang biasa digunakan untuk bermain musik gambus), topi khas Uighur yang disebut
dopa, dan beragam souvenir.
Salah satu komoditi
laris dari daerah ini adalah buah yang dikeringkan. Lapak-lapak penjual aneka
buah kering terlihat berderet dari pintu depan. Kismis dari berbagai jenis
anggur, plum, aprikot, kurma, teh dari bunga kering, dan sebagainya.
Sebagai penggemar teh,
saya membeli beberapa jenis teh dari aneka bunga yang dikeringkan. Aromanya
wangi. Sedap betul. Rasanya, teh seperti ini tidak ada di Indonesia.
Sebagai salah satu
destinasi turis, harga yang ditawarkan berlipat. Kismis yang dijual Akima di
Tuyoq Valley sekilo hanya 30 CNY (setara Rp60.000) (baca Journey to Uighur-Xinjiang #4 “AKIMA, APAKAH ENGKAU MERINDUKAN SUARA ADZAN?”), di pasar
ini ditawarkan mulai 75 CNY.
Tentu saja semua
barang bisa ditawar. Jangan khawatir terkendala bahasa, karena mereka
menyediakan kalkulator yang bisa digunakan untuk tawar menawar.
Saya berhasil menawar
satu kilo kurma kering dari harga 180 CNY menjadi 80 CNY (setara Rp160.000).
“You are good at bidding,” puji Mr. Chang senang melihat kemampuan menawar
saya. Cara makan kurma kering ini dipotong-potong tipis. Jadi semacam sale
pisang kalau di sini. Rasanya enak sekali.
Setelah lelah berputar
kesana- kemari mengelilingi pasar, Mr. Chang mengajak kita makan. Saya langsung
memberi kode ke Lambang untuk bergantian shalat nanti.
Ini adalah kali
pertama saya dan Lambang harus shalat di tempat umum. Sebelumnya kita selalu
bisa mengatur waktunya untuk shalat di hotel atau di mobil.
Mr. Chang tidak pernah
secara eksplisit mengatakan kita tidak boleh shalat. Seperti halnya secara
tegas ia mengulang-ulang larangan untuk memotret check poin, polisi dan tentara
yang sedang bertugas.
Pun saya yakin dia
juga tahu saya dan Lambang beberapa kali bergantian shalat di dalam mobil.
Hanya, kita sama-sama tidak ingin saling “menyulitkan”. Dia tutup mata saat
kami melakukannya. Saya juga tidak ingin membuatnya mendapat kesulitan karena
shalat di tempat umum.
Saya mengajaknya
ngobrol ngalor-ngidul saat Lambang shalat. Sehingga perhatiannya teralihkan.
Usai Lambang shalat, saya mau ke toilet dulu. Rupanya toilet tidak berada di
dalam restoran. Ada toilet umum di dekat deretan restoran itu.
Di depan toilet ada
pelataran yang tertutup tembok yang tidak terlalu tinggi. Tadi sewaktu saya
datang ada beberapa orang berdiri merokok di situ. Semacam tempat untuk merokok
sepertinya.
“Wah, saya bisa shalat
di sini,” batin saya sambil masuk toilet.
Keluar dari toilet,
orang-orang yang tadi merokok sudah tidak ada. Segera saya menyempil di salah
satu pilar dan mengangkat takbir. Tiba-tiba ada tiga orang polisi berpatroli di
depan tembok rendah itu.
Merasa tidak tenang,
saya membatalkan shalat dan bergeser ke pilar berikutnya yang lebih
tersembunyi. Baru dapat setengah rekaat, tiba-tiba saya dikejutkan dengan
suara, “What are you doing?”
Rupanya Mr. Chang
menyusul ke toilet. Mungkin ia menyangka saya kebingungan arah untuk kembali ke
restoran. Akhirnya saya batalkan shalat dan mengikutinya kembali ke restoran.
Dengan isyarat, saya
minta Lambang mengajaknya bicara dan menonton video-video yang kita buat selama
saya gantian shalat.
Allahu akbar…
Selesai salam, saya
tundukkan kepala dalam-dalam. Saya deraskan istighfar sebanyak-banyaknya.
Betapa selama ini kita tidak menyadari nikmatnya bisa melaksanakan shalat tanpa
tekanan dan rasa takut sama sekali.
Masjid-masjid di
Indonesia banyak yang sepi jamaah. Sementara di belahan dunia lain, orang harus
sembunyi-sembunyi untuk membenamkan sujudnya.
Bahkan di negeri ini,
orang sudah takut untuk menjawab salam. Padahal itu adalah doa keselamatan dan
keberkahan (baca Journey to Uighur-Xinjiang #4 “AKIMA, APAKAH ENGKAU MERINDUKAN SUARA ADZAN?”).
Begitupun saat
beberapa kali saya menyebut nama Allah dengan suara agak keras. Seperti,
sewaktu tersandung spontan berucap, “Innalillah.” Orang-orang di sekeliling
langsung menatap saya dengan pandangan yang membuat saya bertanya dalam hati,
“Saya salah apa?”
Beberapa kali saya
menuliskan, apa yang terjadi di tanah Uighur ini serupa dengan yang terjadi di
Palestine. Ketakutan coba diciptakan melalui perang opini. Hal yang seharusnya
tak masalah, menjadi salah akibat ketakutan yang diciptakan.
Bedanya, perang opini
tidak berhasil dilakukan pada para mujahid di Palestine, seperti yang saya
saksikan di sana tahun 2012. Di negeri ini, entah apa yang terjadi, tapi rasa
mencekam itu coba dihembus-hembuskan dengan berbagai cara. Dan tragisnya,
sepertinya berhasil.
Dalam setiap
perjalanan, tak ada yang lebih saya inginkan selain shalat di sebanyak mungkin
di masjid Allah yang ada di setiap jengkal bumiNya.
Ingatan saya melayang,
terlihat masjid-masjid yang pernah saya singgahi, dari Masjidil Haram di
Mekkah; Masjid Nabawi di Madinah; Masjidil Al-Aqsa di Palestina; Masjid
Al-Azhar di Kairo; Blue Mosque di Istanbul; Selimiye Camii di Edirne; Mezquita
di Cordoba; Masjid Hassan di Maroko; Masjid Al-Qarawiyyin di Fes; hingga Masjid
Bolo Haouz dan Masjid Imam Bukhari di Uzbekistan.
Sore ini, di tengah
riuhnya Grand Bazaar Urumqi, saya selipkan doa di dalam hati. Semoga suatu hari
nanti saya dan muslim Uighur di negeri ini bisa shalat di Masjid Grand Bazaar
Urumqi tanpa rasa khawatir sama sekali.
Biidznillah…
Urumqi, 4/1/2019
Uttiek
Follow me on IG
@uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar