Tenda-tenda di Mina semua berwarna putih dan bentuknya pun sama persis. Jutaan orang yang berdatangan malam itu, semua masih berpakaian ihram. Rata-rata wajahnya ngantuk dan lelah. Mobilitas dari Arafah ke Muzdalifah lalu ke Mina memang tidak mengenal jam tidur. 5 Juta orang terus bergerak untuk mencapai tiga tempat itu di waktu yang telah ditentukan.Setelah meletakkan barang bawaan dan menyiapkan kerikil yang diambil dari Muzdalifah, rombongan diminta berkumpul di depan tenda untuk bersiap melaksanakan jumrah pertama; Aqabah. Udara gurun dingin menggigit di puncak musim dingin. Berbeda dengan pakaian ihram pria yang hanya terdiri dari dua lapis kain putih, pakaian ihram wanita harus menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Sangat menolong di musim dingin seperti ini. Alhamdulillah. Saya tarik resleting jaket sampai ke atas untuk menghalau angin dingin, padahal saya sudah memakai tiga lapis pakaian di dalam jaket, masih ditambah syal dan kupluk rajut yang biasa dipakai ke Bromo. Subhanallah, angin gurun di puncak musim dingin!
Langkah saya terhenti, mulut yang semula melafalkan talbiyah seperti tercekat di tenggorokan. Kulit terasa merinding, bukan karena udara dingin. Saya berdiri tepat di depan terowongan Al-Muaisim yang terkenal dengan kejadian terowongan Mina. Hari itu, Jumat, 9 Juli 1990, 1.600 jamaah, 560 di antaranya dari Indonesia, syahid akibat
gencet-gencetan saat akan melempar jumrah. Ya Allah tempatkan para syuhada itu di syurgamu yang indah. Rasanya di terowongan Al-Muaisim itu para syuhada menanti. Belum selesai keharuan itu, dari arah berlawanan (sekarang terowongan Al- Muaisim sudah dibagi menjadi 2 jalur untuk mengantisipasi tragedi tersebut berulang. Lepas dari mulut terowongan, masih ada pagar setinggi 2 m berjarak lebih dari 100 m untuk memecah arus supaya tidak berkerumun di mulut terowongan) saya melihat pemandangan yang sungguh sangat menakjubkan. Berjuta orang memakai pakaian serbaputih berjalan searah sambil bertalbiah, bertakbir, tahmid, tahlil, memuji Allah. Orang-orang itu bagai semut yang terus-menerus keluar dari mulut terowongan tanpa berhenti. Saya belum pernah melihat manusia sebanyak itu. Subhanallah.
Di dalam terowongan, semua harus bergerak, polisi dan tentara memantau jamaah supaya tidak ada yang berhenti berjalan. Satu orang saja berhenti bisa menyebabkan arus tersendat dan bahaya desak-desakan akan terjadi. Kalau ada yang kelelahan atau terlihat sakit, dengan sigap petugas medis akan memandunya keluar dari terowongan.
Exhaust fan segede-gede parabola di tempatkan di langit-langit terowongan, supaya udara terus berputar di situ, saking besarnya
exhaust, botol-botol plastik bekas air mineral dan sampah ringan lainnya berterbangan ke atas. Di dalam terowongan, di antara ribuan orang, suara saya semakin lirih...
Allahu Akbarwa li Allahi al hamd...Sepulang dari haji, tiap kali mendengar suara takbir di malam takbiran, yang teringat selalu momen di dalam terowongan Al-Muaisim pagi itu.
Rombongan mengambil posisi di lantai 3 untuk melempar jumrah (di tahun 2006-2007 jamarat baru terdiri dari 3 lantai). Seperti yang diajarkan waktu manasik, jangan terburu-buru melempar, kita harus berjalan sampai bisa memegang tembok pembatas, baru melempar. Perlahan-lahan posisi saya makin dekat, setelah berhasil memegang tembok,
Bismillahi Allahu akbar...satu kerikil saya lempar, Ya Allah hilangkanlah setan dalam hati saya.
Bismillahi Allahu akbar...satu lagi saya lempar, Ya Allah hilangkanlah segala keraguan dan was-was karena godaan yang selalu dihembus-hembuskan setan ke dalam hati saya.
Bismillahi Allahu akbar...sampai ketujuh kerikil selesai saya lempar. Sungguh, saya rasakan, jumrah tidak sekadar melempar, sebab godaan terbesar justru dari dalam hati. Setelah semua selesai melempar, rombongan bergerak agak menepi dan Ustadz memimpin berdoa, belum selesai, polisi sudah menghalau kami untuk terus bergerak dan tidak boleh berhenti di area jamarat. Saat berjalan turun, saya melihat nenek-nenek dari Turki (terlihat dari seragamnya), yang berjalan terbungkuk-bungkuk memegang tongkat meninggalkan tempat jamarat, "Ya Allah, mudahkanlah dia."
Di ujung terowongan, langit mulai berwarna jingga, tanda Subuh sebentar lagi menjelang. Tiba-tiba terlintas prasasti yang bertuliskan nama para suhada di loby RS Haji Jakarta, tempat saya sering berobat. Sekali lagi saya menoleh ke belakang...Ya Allah, seandainya saja saya menjadi salah satu dari para syuhada itu...setetes air hangat jatuh di telapak tangan saya yang dingin.
Uttiek Herlambang