Rabu, 02 November 2011

KOTA YANG TAK PERNAH TIDUR

Setiap tahunnya, beberapa bulan sebelum dan sesudah Bulan Dzulhijah, Makkah selalu disesaki tamu-tamu Allah. Mereka datang dari tempat-tempat yang sangat jauh, dari ujung-ujung dunia, yang bahkan mungkin namanya tak terbaca di globe. Mereka tidak bicara dalam bahasa yang sama kecuali saat melafalkan takbir, tahmid dan tasbih. Jamaah dari Indonesia sangat mudah dikenali karena selalu memakai mukena dan topi haji dengan berbagai aksesoris sebagai tanda pengenal. Jangan heran kalau melihat bunga mawar segede piring bertengger manis di ujung kopiah seorang bapak tua, atau kibaran kain warna-warni yang dijepit di belakang mukena seorang wanita. Satu lagi, Jamaah Indonesia selalu tersenyum pada siapa saja, sekali pun itu bisa mengundang penafsiran yang berbeda.
          Jamaah Turki terkenal sangat kompak, selalu berjalan dalam rombongan besar dengan pakaian seragam yang terlihat sangat necis. Maklumlah mereka adalah bagian dari Bangsa Eropa yang katanya sangat menjunjung tata krama. Jamaah dari India selalu mengundang pelototan mata, karena tidak pernah bisa tertib. Mereka selalu berisik di mana pun berada, menyerobot antrian, membuat orang-orang di sekitarnya merasa tak nyaman. Jamaah pria dari Iran gampang dikenali karena jenggot dan surban khas seperti yang dikenakan Imam Khomaeni, jamaah wanitanya selalu berbalut kain warna hitam dengan cadar yang hanya menyisakan secuil pemandangan mata biru yang membuat siapa pun penasaran.
          Melihat semua itu dari selasar panjang di depan Kentucky Fried Chicken, yang menutup gambar kepala Kolonel Sanders dengan kertas putih, seperti melihat segelas es doger. Ada merah, kuning, hijau, hilir mudik kesana-kemari. Semua sibuk dengan aktivitas masing-masing, bahkan di jam dua dini hari. Di musim haji, Makkah adalah kota yang tak pernah tidur. Lampu-lampu seterang lampu stadion Senayan membuat siang dan malam tak terasa bedanya. Di dalam masjid orang-orang bertadarus sampai pagi. Di sekitar Ka’bah pusaran manusia tak pernah putus Tawaf bagai gelombang air di Samudera Hindia. Di luar pagar masjid, masih ada yang sibuk menawar sajadah, membeli kebab, menukar uang, sekadar menyaksikan semua sambil sesekali tersenyum dan mencatat, seperti saya.
Uttiek Herlambang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar