Saking pentingnya aktivitas belanja ini, sampai muncul anekdot, “jumrah” riyal dan “tawaf” di Hilton. Pedagang di sini rata-rata bisa mengucapkan satu-dua kata dalam Bahasa Indonesia, seperti “murah”, “bagus”, “belanja” dan sebagainya. Bahkan seorang pedagang kain di dekat Hotel Mercure, Makkah, selalu menawarkan dagangannya dengan intonasi suara khas tiap bubaran waktu sholat. “Liyat-liiyat dolo, liat-liiyat dolo, liyat-liiyat dolo…” Tak hanya jam tangan seharga 5 riyal atau boneka unta yang bisa bernyanyi yang laris diserbu jamaah, tas, kaca mata seharga ratusan riyal bahkan jam tangan ribuan riyal pun banyak diminati. Jamaah Indonesia dengan mudah terlihat di semua tempat belanja, dari Pasar Seng hingga Hilton.
Melihat peluang ini, tak heran banyak perusahaan kargo yang menawarkan jasa pengiriman barang ke Indonesia. Mobil-mobil boks yang dilengkapi dengan timbangan besar tiap hari terparkir di depan maktab/hotel yang diisi Jamaah Indonesia . “Empat sampai sepuluh hari pasti sampai, Bu, dijamin. Harga per kilonya pun lebih murah dari kargo lain,” adalah kata-kata seragam yang diucapkan para pegawai meski perusahaan kargonya berbeda-beda. Pasti banyak peminatnya, buktinya usaha musiman ini selalu ada tiap tahun.
Di suatu siang yang dingin, seorang wanita terlihat melintas di depan Masjidil Haram diikuti porter yang memakai seragam Departemen Store terkemuka sambil menjinjing barang belanjaan yang sangat banyak. “Lihat orang itu belanja kok sampai segitu banyak. Mau ibadah atau shopping sih?” bisik seorang wanita sambil melirik jam tangan seharga seribu lima ratus riyal yang baru dibelinya. “Iya, dasar orang Indonesia ,” balas temannya tanpa menghentikan kegiatannya mengelus-elus cincin berlian yang dibelinya kemarin.
Uttiek Herlambang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar