Setelah makan siang, Jamal dan teman yang tertahan di border Jordan sudah bisa bergabung. Alhamdulillah. Bus bergerak meninggalkan Jericho menuju makam dan Masjid Nabi Musa. Masjid dibangun pada masa dinasti Mamluk, terlihat dari ciri arsitekturnya yang banyak menggunakan lengkung. Di sini untuk pertama kalinya saya merasakan dinginnya air Palestine di bulan Maret. Nyeess...rasanya waktu mengambil wudhu. Selesai sholat Dzuhur dan Ashar dijama’ qasar, Jamal menunjukkan makam umat Islam di belakang masjid, dahulunya daerah ini adalah perkampungan yang padat. Namun sekarang semua sudah mengungsi akibat bombardir Israel. Jadilah Masjid Nabi Musa seperti berdiri sendiri di tengah padang tandus.
Makin dekat dengan Al-Quds (Yerusahlaim), Jamal menunjuk ke atas bukit. Dari kejauhan terlihat berderet-deret rumah berbatas tembok tinggi, itu adalah Israeli settlements atau pemukiman yahudi yang dibangun dengan merampas tanah-tanah Palestine. Ada kegetiran yang tertangkap dari nada bicara Jamal. Sebelum tahun 1967, settlements itu jumlahnya belum seberapa, hanya puluhan atau ratusan. Kini jumlahnya tak terhitung lagi. Hampir tak ada bukit yang di atasnya tidak dibangun settlements. Israel menjual perumahan berfasilitas lengkap itu dengan harga sangat murah untuk orang-orang yahudi dari seluruh dunia yang mau menetap di tanah Palestine. Sekilas terlihat seperti perumahan-perumahan baru di BSD atau Cibubur. Dada terasa perih membandingkan kondisi kamp pengungsi Palestine dengan settlements yahudi. Selain bergaya minimalis modern, di setiap rumah dilengkapi dengan pemanas, AC, serta fasilitas umum.
Menurut Jamal ada beberapa cara yang dilakukan Israel untuk merampas tanah milik orang Palestine. Pertama mereka akan menyodorkan cek yang boleh diisi sendiri. Berapa pun mereka akan menjual tanah/rumahnya akan dibayar. Mereka yang lemah iman, biasanya terbujuk untuk menjual tanahnya. Kalau tanah disekitar sudah berhasil diperoleh tapi ada beberapa rumah yang masih bertahan, mereka akan mengisolasi rumah-rumah itu, menyetop air serta listrik, hingga penghuninya menyerah. Tapi kalau cara itu tidak mempan, mereka akan membuldoser paksa. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Kontur tanah di Palestine berbukit-bukit, jalanan naik-turun. Bayangkan indahnya negeri dimana pohon Tin dan Zaitun tumbuh subur ini. Udaranya yang sejuk, di kanan-kiri tanaman menghijau. Mungkin kalau daerah ini tidak terjajah, pastilah seelok Lembang atau Lereng Pananjakan di Bromo. Jamal lalu bercerita tentang tembok pembatas yang dibangun sejauh 844 km (sekadar perbandingan jarak Jakarta-Surabaya melalui jalan darat adalah 822 km!). Tembok ini merenggut semua hak rakyat Palestine. Mereka tidak bisa bebas bergerak, kemanapun harus melewati check point, bahkan sekadar berkunjung ke rumah tetangganya.
Bus lalu berhenti di sebuah bukit yang telah tertata rapi, namanya Mt Olive atau Bukit Zaitun. Dahulunya di sini adalah perbukitan zaitun, tapi sekarang sudah diratakan, sebagian dijadikan kuburan yahudi. Di atas bukit berdiri sebuah plaza yang cukup luas, dari sini kita bisa memandang keindahan panorama Kota Al Quds (Yerusahlaim). Kubah emas itu! Pandangan saya tidak beranjak darinya. Jamal lalu menunjuk benteng yang membatasi old city. Terlihat sangat luas dari kejauhan. Ah, di situ dulu Khalid bin Walid mengepung kota selama berhari-hari sampai akhirnya Gubernur Al Quds (Yerusahlaim) menyerah dan menyerahkan kunci gerbang kota pada Khalifah Umar bin Khatab. Di situ pula beberapa generasi kemudian sang pahlawan Salahudin Al Ayyubi membebaskan kota dengan pertempuran yang heroik. Tak sabar rasanya ingin segera turun dan memasuki gerbang kota tua itu.
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi padaku
Bait di atas adalah penggalan syair yang sangat terkenal dari seorang sufi wanita Rabi’ah al-Adawiyah. Makam sang sufi ini yang menjadi tujuan selanjutnya. Terus terang saya tidak terlalu tertarik dengan sufiisme, jadi pengetahuan saya tentang Rabi’ah al-Adawiyah tak lebih dari penggalan bait syairnya yang terkenal itu. Dari penjelasan Jamal, saya baru tahu kalau ia adalah anak seorang saudagar kaya yang mengabdikan hidupnya untuk kemanusiaan. Ia menghabisakan banyak hartanya untuk menolong kaum papa, dan memberikan air ketika Al Quds (Yerusahlaim) terkena wabah penyakit. Makamnya berada di ruangan bawah tanah. Kita harus menuruni tangga. Temboknya terasa dingin namun lantainya beralas karpet. Di dekat gerbang tumbuh pohon zaitun yang rindang.
Dari makam Rabi’ah al-Adawiyah, rombongan berjalan kaki menuju makam Salman Al Farisi. Udara dingin terasa menusuk tulang karena angin berhembus cukup kencang. Salman Al Farisi adalah seorang sahabat yang perjalanan hidupnya sangat dramatis. Anak seorang bangsawan dari tanah Parsi (Al Farisi menunjukkan ia orang Parsi), hasratnya bertemu Rasulullah membuatnya mengembara, berganti-ganti beberapa agama, menjadi budak, sebelum akhirnya dimerdekakan dan menjadi salah satu sahabat yang istimewa. Kecerdasannya menginspirasi dari generasi ke generasi. Institut Teknologi Bandung mengabadikan namanya sebagai nama masjid kampus. Masjid Salman yang terkenal itu. Sepanjang jalan menuju makam Salman Al Farisi saya mulai melihat banyak grafiti yang menyuarakan perlawanan, banyak gambar bendera Palestine. Ah, saya benar-benar berada di sini.
Hari mulai senja, tak sabar saya ingin segera mendengar kumdandang adzan dari Masjidil Aqsa. Jamal menyudahi penjelasannya dan meminta kita segera kembali ke bus untuk menaruh barang-barang di hotel dan sholat Maghrib di Masjidil Aqsa.
Al-Quds, Al-Quds, terus memanggil...
Uttiek Herlambang
Al Quds (Yerusahlaim), Palestine, 2012
Hati saya gerimis membacanya.. Terbayang sendu campur bahagianya... Lanjut mbak, kalau bisa diposkan sedikit peta dan foto iconic palestine supaya komplit membayangkannya
BalasHapusInsyaAllah Mas Bintar, nanti ditambahkan foto, untuk sementara saya posting tulisannya dulu karena sudah ditagih-tagih lanjutannya terus :)
Hapussalam,
Uttiek