Warnanya abu-abu dengan dua garis berwarna cokelat. Kain ini adalah kain khas Afghanistan. Sering dikenakan laki-laki maupun perempuan untuk menutupi tubuh dari dinginnya udara gurun. Tenunannya cukup tebal dengan jalinan benang yang kuat. Lebarnya selebar kain jarik. Sekali diserempangkan dari leher hingga lutut bisa tertutupi. Orang yang menciptakan kain ini sangat cerdas, batin saya. Dinginnya udara gurun berbeda dengan dinginnya salju, dinginnya udara gurun dibawa oleh angin. Memakai kain tebal dan panjang seperti ini lebih efektif ketimbang jaket. Dengan mudah kain bisa dipindahkan ke kepala, kaki atau bagian tubuh lainnya yang terasa dingin.
Sekali lagi saya mempererat lilitan kain di bagian leher. Menarik ujung sarung tangan. Suhu udara sore itu sekitar 7-8 derajat dengan angin yang cukup kencang berhembus (sebagai perbandingan suhu di Bromo sekitar 10 derajat). Orang-orang berjalan cepat untuk menghalau dingin. Saya berdiri di tangga depan hotel dengan gembira, sesekali berjalan hingga ujung perempatan. Kami masih harus menunggu dua orang yang belum turun dari kamarnya. Padahal tadi Jamal sudah wanti-wanti berpesan supaya cepat berkumpul lagi di loby hotel. Saya tidak tahu jam berapa karena jam tangan saya masih menggunakan waktu Jakarta. Orang-orang lalu-lalang di depan saya, sepertinya pulang kerja.
Akhirnya diputuskan untuk mulai jalan perlahan sembari menunggu. Saya berusaha berjalan di samping Jamal supaya bisa banyak bertanya. Trotoar yang kami lewati tidak terlalu lebar, hanya cukup untuk papasan dua pejalan kaki. Di kanan-kiri toko-toko sederhana masih buka. Toko pakaian, sepatu, barang-barang murah dari China, restoran, barber shop. Suasanan seperti jalan Coyudan di Solo, atau Pasar Baru Bandung, saat tidak terlalu ramai. Orang-orang di jalan sangat ramah, mereka akan melempar senyum atau membalas senyum saya. Hotel National tempat saya menginap adalah hotel bintang 4 lokal yang berada di kawasan Arab Palestine. Lokasinya tidak terlalu jauh dari benteng kota tua. Setelah berjalan sekitar 200m, sampailah di persimpangan yang ramai. Ada pedagang buah dan sayur yang menggelar dagangannya di pinggir jalan, ada anak-anak yang sepertinya baru pulang sekolah, dan ada yahudi menyeberang jalan, saya memejamkan mata tidak mau melihat.
Yang saya suka dari Al Quds (Yerusahlaim) semua orang menunjukkan identitasnya dengan jelas; wanita muslim akan memakai jilbab dan laki-lakinya memakai peci atau membawa tasbih; yahudi akan memakai kippa, sekalipun ia sedang memakai seragam wajib militer atau memakai jeans dan t-shirt; orang-orang nasrani memakai kalung salib. Semua tahu siapa dia. Jelas. Tidak seperti di Jakarta yang serba tidak jelas. Dari seberang jalan saya sudah bisa melihat salah satu gerbang Old City. “Yala...yala,” seru Jamal dalam Bahasa Arab Amiyah yang berarti, cepat, cepat, saat menyeberang jalan yang lumayan ramai.
Old City kini terbagi menjadi 4 quarter: muslim, nasrani, yahudi dan armenia. Rombongan masuk dari Herrod’s gate, pintu gerbang dari quarter muslim yang paling dekat dari arah hotel. Sewaktu membebaskan Al-Quds (Yerusahlaim), Salahudin Al Ayyubi memasuki kota dari Damaskus gate. Pintu gerbangnya masih asli, lengkung yang tersusun dari batu-batu besar sangat kokoh. Tidak terlalu lebar, hanya bisa untuk papasan tiga orang dewasa. Di balik tembok ada pedagang buah dan sayur, sepertinya ini dulu pos penjaga. Setelah itu belok ke kiri, sepanjang lorong di sebelah kanan berderet toko-toko kecil. Jalanan di dalam kota tua terbuat dari batu-baru besar yang sangat kuat, ini seperti conblock tapi ini versi kuatnya karena terbuat dari batu. Ada undakan naik-turun yang tidak terlalu tinggi. Jalannya kecil, dengan labirin yang berkelok-kelok. Pastilah benteng ini didesain dengan sangat cerdas untuk menahan serangan dari luar. Menyusuri lorong di kota tua, terlihat jelas jejak perjuangan Salahudin Al Ayyubi membebaskan kota ini dan menjadikannya kota paling aman selama lebih dari 7 abad.
Saya tidak ingat berapa kali berbelok, naik, turun, sampai akhirnya Jamal memperlambat jalannya menunggu rombongan yang masih tertinggal di belakang. Saya yang berada di depan langsung melihat ada tiga orang tentara sedang duduk di depan gerbang besi berwarna hijau, hanya satu pintu kecil bagian kiri yang dibuka. Jamal menjawab pertanyaan mereka dengan Bahasa Hebrew, saya hanya menangkap kata, “Indonesia.” Pandangan mereka tidak bersahabat. Langit mulai temaran, dari tempat berdiri, saya bisa melihat kubah Al Sakrah yang berwarna emas. Indah sekali dalam keremangan langit senja. Tiba-tiba kaki saya tidak bisa digerakkan begitu kumandang adzan terdengar. Subhanallah, kumandang adzan Masjidil Aqsa terdengar indah sekali. Hati saya tergetar ketika muadzin sampai pada kalimat, “Hayya 'alash sholah; Marilah sholat,” Alhamdulillah ya Allah, Engkau turunkan perintah sholat.
Dari gerbang besi ada beberapa undakan naik, setelah itu terlihat pelataran yang sangat luas. Semua bergegas berjalan menuju kubah Al Sakrah. Ada teras kecil di depan pintu masjid tempat kita melepas alas kaki. Setelah melewati pintu, rak-rak untuk menyimpan sepatu ada di sebelah kiri. Segera saya sholat dua rekaat tahiyatul masjid dan dua rekaat qobliyah. Lalu terdengar iqomah dan imam mulai mengumandangkan takbir. Dada bergemuruh; sholat di Masjid Nabawi rasanya syahdu karena kita tahu Rasulullah SAW dibaringkan di dekat situ; sholat di Masjidil Haram rasanya sangat dekat dengan Allah, karena sholat bisa menatap Ka’bah; sholat di Masjidil Aqsa, subhanallah, semangat keislaman akan bergolak, dari tempat ini Rasulullah Mi’raj untuk menerima perintah sholat, tempat ini diperjuangkan dengan darah dan air mata dari generasi ke generasi.
Bacaan imam sangat indah, suaranya sedang, namun sangat tartil. Lalu terdengar imam mulai membacakan doa qunut untuk keselamatan saudara-saudara di Gaza. Saya yang dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah, seumur hidup baru beberapa kali sholat dengan qunut, itu pun pasti secara tidak sengaja. Namun kali ini air mata saya menderas. Amin yang saya ucapkan betul-betul dari sanubari terdalam. Ya Rabb, selamatkanlah saudara-saudara kami dari orang-orang dzalim ini. Saya bayangkan bagaimana rasanya saat para syuhada berangkat berjihad dan menyongsong kematian dengan senyum karena surga sudah diperlihatkan padanya.
Setelah sholat ba’diyah, saya menyalami wanita yang sholat di sebelah saya. Ia bertanya tanpa melepas genggaman tangannya, saya bisa menangkap sepotong bahasa Arab yang diucapkannya, “Masmuki Uttiek, ana min Indonesiy,” [nama saya Uttiek, saya dari Indonesia] jawab saya. “Subhanallah,” sahutnya sambil memeluk saya erat. Ia lalu memanggil seorang wanita yang memakai seragam hitam dan kerudung putih, diucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Arab yang cepat, saya tidak bisa menangkap apa maksudnya. Wanita berseragam itu terus mengangguk-angguk sambil memandang saya. Saya balas senyumnya. Lalu dengan bahasa Inggris yang sangat fasih ia memperkenalkan diri, namanya Fatima, ia adalah penjaga keamanan Masjid, diucapkannya selamat datang pada saya, senang sekali ada saudara jauh dari Indonesia berkunjung. Sama seperti wanita tadi, Fatima juga memeluk saya erat, bersahabat.
“Kabarkan pada saudaramu untuk datang kemari. Mereka hanya memusuhi kami. Masjid ini aman. Masjidil Aqsa aman karena Allah yang menjaganya,” katanya tegas tanpa melepaskan tangan saya.
Uttiek Herlambang
Kubah Al Sakrah, Palestine, 2012
Assalamualaikum Wr Wb,
BalasHapusmata saya berkaca-kaca membayangkannya mba, mungkin air mata ini akan mengalir lebih deras dibanding waktu shalat di masjidil haram dan masjid nabawi.Namun Allah SWT maha adil mba, walaupun rakyat dan tentara Israel memiskinkan mereka, hal ini hanya berlaku di dunia saja. Saya selalu yakin, mereka akan mendapat hal sebaliknya ( Surga yang kekal)di akhirat nanti dan kaum Israel akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin ya rabbal alamin.
Wassalam
Hadi CG
Wa'alaikum salam, Mas Hadi,
BalasHapusRencana Allah pasti sempurna, mengapa Bangsa Palestine yang terpilih untuk menjaga tempat suci itu, pasti karena mereka adalah orang-orang yang kuat dan amanah. InsyaAllah surga balasannya. Amin
Salam,
Uttiek