Selasa, 10 April 2012

Mereka Rampas Tanah dan Pohon Jeruk Kami

Setelah beres urusan imigrasi, lokal guide yang bernama Jamal menyambut kami di pintu keluar. Untuk ukuran orang Indonesia postur Jamal terhitung tinggi, kulitnya putih, rambutnya agak ikal berwarna hitam kecokelatan. Kesan saya pertama bertemu dengannya, ia terlihat gugup. Apalagi salah satu teman dalam rombongan masih tertahan di border Jordan, berulangkali ia meminta kami untuk bersabar karena berurusan dengan Israel tidak bisa diduga, bisa sejam, dua jam, atau seharian. Ia meminta kami berdoa supaya segalanya berjalan lancar.  Setelah tiga hari bersama, saya akhirnya paham mengapa ia selalu terlihat gelisah dan gugup. Nanti akan saya ceritakan.

Berbeda dengan Jamal, supir bus yang bernama Abu Ismail (ayahnya Ismail, orang Arab mempunyai tradisi dipanggil dengan nama ayah dari anak laki-laki pertama), wajahnya terlihat teduh, senyum selalu tersungging di bibirnya. Berkulit putih, dengan rambut beruban, dan hidung khas pria Arab. Sekalipun Bahasa Inggrisnya terpatah-patah, tapi ia berusaha keras untuk bersahabat dengan kami. Melihat Abu Ismail, saya jadi teringat Maher, supir bus selama di Jordan. Ia seorang Palestine yang mengungsi ke Jordan. Sudah puluhan tahun tak kembali ke negaranya. Ketika mengantarkan kami ke border King Husein Bridge, wajahnya tampak sendu, ia bahkan sempat menitikkan air mata ketika menceritakan kerinduan pada tanah kelahirannya. Kawat berduri sepanjang 4km memupus mimpinya. Semoga Allah segera memberikan jalan bagimu Maher, untuk menghirup kembali  segarnya udara Palestine dan bertemu dengan saudara-saudaramu.

Selama di border kita dilarang memotret. Peringatan itu kembali diulang, selama melewati check point kita dilarang memotret, apalagi memotret tentara Israel. Entah apa alasannya. Tapi itu tak ada pengaruhnya buat saya, jangankan memotret, melihat wajah mereka pun saya malas. Selalu yang terbayang bagaimana tingkah laku mereka menganiaya saudara-saudara kita di Palestine. Bus bergerak pelahan meninggalkan border, setelah diputuskan Jamal akan menunggu teman yang masih tertahan di border Jordan. Nanti kita akan bertemu di restoran saat makan siang. Kalau ternyata nanti belum beres urusan saat makan siang, akan dipikirkan lagi langkah selanjutanya. Untuk sementara perjalanan akan dipandu oleh Abu Ismail yang merangkap supir.

Di kiri-kanan terlihat kawat berduri dan bukit pasir yang sengaja di buat. Konon di dalam bukit-bukit pasir itu banyak ditanam ranjau darat. Jalanan  lebar yang beraspal mulus terlihat begitu lengang, sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan dan bukit pasir buatan. Di kejauhan terlihat Dead Sea, Laut Mati, tempat dimana umat Nabi Luth ditenggelamkan. Hanya sesekali bus berpapasan dengan bus lain yang juga membawa rombongan. Tak terlihat sama sekali mobil pribadi, "Apalagi ojeg," canda seorang teman memecah ketegangan. Lumayan.

Bus terus bergerak, dari kejauhan terlihat kibaran bendera yang sudah sangat saya kenal. Hitam-putih-hijau-merah. Palestine! Alhamdulillah. Abu Ismail menunjuk sebelah kiri, ia mengatakan kalau itu adalah kamp pengungsi Palestine. Rumah-rumah yang sudah terlihat tua, centang perentang, ah, hati kembali basah. Saya teringat buku dr Ang Swee Chai, From Beirut to Jerusalem, tentang pembantaian di Kamp Sabra-Shatila. Tiba-tiba tercetus tanya, "Where's Sabra-Shatila Camp?" "Sabra-Shatila is in Libanon, Mam," wajah Abu Ismail berubah sendu. Ah, tentu  saja saya tahu kalau Kamp Sabra-Shatila ada di Libanon, tapi entah kenapa pertanyaan itu terlontar begitu saja ketika mendengar bahwa bangunan yang ada di kiri jalan adalah kamp pengungsi Palestine. Mungkin karena ini pertama kali saya melihat langsung kamp pengungsi yang sudah ratusan kali saya baca di buku maupun artikel tentang Palestine.

Melewati sebuah bundaran kecil, Abu Ismail menunjukkan tanda bahka kita sudah memasuki kota Jericho, the moon city, mungkin itu seperti kata Solo Berseri. Kota Jericho adalah ibukota administratif Palestine untuk sementara ini. Kota ini pernah menjadi kota tertua di dunia yang masih terus ditinggali manusia, sebelum akhirnya tergantikan dengan ditemukan kota Gaziantep di Turki. Cuaca di Jericho masih dingin di bulan Maret namun akan mendapat curahan matahari yang cukup di musim panas. Hasil bumi berupa buah dan sayur dari Jericho sangat terkenal. Jeruknya sangat-sangat manis. Yang mencengangkan, pohon pisang yang butuh banyak air tumbuh di sisi kiri jalan, sedang di kanan jalan pohon kurma yang butuh panas matahari bisa berbuah. Subhanallah. Sungguh, tanah Palestine adalah tanah yang diberkahi.

Bus berhenti di sebuah restoran untuk makan siang. Lantai satu dijadikan toko souvenir dan toko yang menjual aneka buah-buahan, sedang lantai dua difungsikan sebagai restoran. Makanannya disajikan secara buffet alias prasmanan. Semua rasanya enak menurut saya. Pizza yang terhidang baru keluar dari oven, hangat dan kejunya meleleh di mulut. Manisan jeruknya super.  Selesai makan saya memutuskan untuk berbelanja buah-buahan. Aneka jeruk, anggur, pear, pisang, apricot, hingga kurma terhampar menggoda mata. Semua ada testernya bagi yang ingin mencicipi. Satu kilo jeruk dihargai 4 USD, satu kilo pear 6 USD. Pembayaran bisa dilakukan dengan  Shekel, mata uang Israel, atau USD. Saya tidak pernah mau melakukan transaksi dengan mata uang Shekel, dengan banyak alasan. Saya putuskan untuk membeli jeruk dan pear. Jeruk ini akhirnya saya bawa hingga ke Jakarta, saking senangnya.

Meskipun hasil pertanian Jericho sangat istimewa, tapi produk rakyat Palestine menjadi tidak kompetitif di pasaran karena dikenakan pajak macam-macam oleh Israel. Harganya menjadi terlalu mahal. Ah, seandainya Jericho dekat, saya relakan tabungan saya setahun untuk terus membeli jeruk mereka dan saya bagikan untuk siapa saja yang menginginkan. Bangsa Palestine adalah bangsa yang kuat, meski terus dimiskinkan dan dipinggirkan, namun mereka bertahan. Kamp pengungsi, jeruk yang sangat manis dan senyum Abu Ismail adalah buktinya.

Keluar dari restoran, gerimis kembali mengguyur bumi Palestine. Sepertinya sayup-sayup saya mendengar teriakan mereka, "Mereka merampas tanah dan pohon jeruk kami, tapi kami tidak akan menyerah, tidak takut, karena yakin Allah  bersama kami. Mereka boleh mengambil apa saja, semua milik Allah. Allah pasti akan mengganti dengan yang lebih baik."

Hasbunallahu wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'mannashir 
[Cukup Allah pelindungku dan Allah lah sebaik-baik pelindung]


Uttiek Herlambang
Jericho, Palestine, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar